"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

23 Oktober 2010

AGAMA YANG PERTENGAHAN

Idul Adha telah berlalu. Manasik ibadah haji yang wajib dilaksanakan sekali dalam seumur hidup bagi yang mampu juga telah selesai dilaksanakan oleh saudara-saudara kita yang diberikan kemampuan dan izin oleh Allah untuk menunaikannya. Semoga Allah menerima haji mereka dan menjadikan keadaan mereka lebih baik dari yang sebelumnya.
Berbicara tentang haji, ada sebuah ibadah dalam haji yang bisa kita ambil faedahnya untuk kebaikan kita dalam menjalankan Islam yang hanif ini. Ibadah yang dimaksud adalah melontar Jumrah pada yaum an nahr (yaitu hari Idul Adha) dan di hari-hari Tasyriq. Tentu saja kita tidak akan berbicara tentang ibadah tersebut, namun kita akan berbicara tentang faedah hadits yang menyebutkan tentang sikap pertengahan dalam melontar Jumrah.
Diriwayatkanoleh para imam; Ahmad, an Nasa’i dan Ibnu Majah rahimahumullah dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku pada hari Aqabah dan beliau sedang berada diatas untanya : “Kumpulkan untukku batu-batu kecil!
Aku pun mengumpulkan untuk beliau batu-batu kecil dari batu-batu yang dipakai untuk melontar. Beliau kemudian menimang-nimang batu-batu tersebut di tangannya dan bersabda : “Dengan yang seperti ini hendaknya kalian melontar”.
Kemudian beliau bersabda : “Wahai manusia, jauhilah sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama! Karena sesungguhnya, yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah sikap berlebih-lebihan dalam beragama”. [Terjemah hadits]
Sabda beliau ; “Jauhilah sikap ghuluw” berlaku untuk semua jenis sikap ghuluw dalam keyakinan atau amal perbuatan. Karena yang menjadi patokan adalah keumuman lafaz dan bukan kekhususan sebab datangnya hadits tersebut. Seorang muslim dilarang untuk bersikap ghuluw dalam segala keadaan dan urusannya, dan diperintahkan untuk mengikuti jejak dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Syaitan sangat antusias untuk memalingkan seorang hamba dari jalan Allah yang lurus dengan sikap ekstrim seperti ini. Baik itu ekstrim keras maupun ekstrim lunak yang cenderung meremehkan ajaran agama. Dan dia tidak akan peduli dengan cara mana saja dia akan berhasil. Berkata Imam Ibnul Qayyim rahimahullah :
Dan diantara makarnya –yaitu syaitan, semoga Allah melindungi kami dan Anda darinya- dia akan melihat jiwa sampai dia tahu dua kekuatan mana yang lebih dominan padanya; kekuatan maju melangkah dan keberanian, atau kekuatan bertahan, mundur dan kehinaan. Jika dia melihat yang dominan dalam jiwa adalah sifat kehinaan dan kemunduran, maka dia akan melemahkan obsesi dan keinginannya dari yang diperintahkan dan membuatnya memandang hal itu berat dan mulai membuatnya menganggap ringan persoalan tersebut, hingga akhirnya dia akan meninggalkannya secara keseluruhan atau meremehkan dan memudah-mudahkan.
Jika dia melihat bahwa yang dominan padanya adalah kekuatan untuk maju dan tingginya obsesi, maka dia akan mulai membuatnya memandang sedikit perintah tersebut dan menanamkan dalam dirinya bahwa hal itu tidaklah cukup dan dia butuh tambahan yang lebih. Hingga akhirnya, dia pun lalai dari yang pertama dan melangkah jauh melampaui yang kedua…” [Ighâtsah al Lahafân, I/ 136]
Pertengahan dalam setiap urusan, serta menjauhi sikap ghuluw (ekstrim keras) dan sikap memudah-mudahkan (ekstrim lunak) adalah manhaj yang lurus yang selayaknya ditempuh oleh setiap mukmin sebagaimana yang Allah perintahkan dalam Kitab-Nya dan diperintahkan oleh rasul-Nya dalam sunnahnya. Sikap pertengahan yang benar adalah dengan mengambil batasan yang telah Allah tetapkan untuk hamba-hamba-Nya, dengan tidak memasukkan apa yang bukan bagian darinya dan tidak juga mengeluarkan darinya apa yang ada di dalamnya.
Allah Ta’ala berfirman : “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir. Dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”. [Terjemah QS. 25 : 67]
Firman-Nya : “Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan”. [Terjemah QS. 7 : 31]
Firman-Nya : “Dan pertengahanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu”. [Terjemah QS. 31 : 19]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Bersikaplah pertengahan, bersikaplah pertengahan, niscaya kalian akan sampai”.  [Terjemah HR. al Bukhari]
Beliau juga bersabda : “Wajib bagi kalian berpegang dengan petunjuk yang pertengahan. Karena siapa yang memberat-beratkan agama ini, niscaya dia akan dikalahkan olehnya”. [Terjemah HR. Ahmad, dishahihkan oleh al Albani rahimahumallahu]
Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu : “Pertengahan dalam Sunnah jauh lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam bid’ah”. [R. Imam al Lâlikâ’i rahimahullah]
Agama Allah pertengahan antara dua sisi sikap ekstrim tersebut. Dan sebaik-baik manusia adalah yang pertengahan dengan menghindarkan dirinya dari kelalaian orang-orang yang suka meremehkan dan memudah-mudahkan agama ini, dan tidak menjerumuskan dirinya dalam sikap berlebihan orang-orang yang melampaui batas.

(Sumber : Durûs ‘Aqadiyyah Mustafâdah min al Hajj, Syaikh Dr. Abdurrazzâq bin Abdul Muhsin al ‘Abbâd)

16 Oktober 2010

Hukum Melafazhkan Niat

Melafazhkan niat tidak memiliki dasar apa pun dalam syariat yang suci ini. Juga tidak dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau para Sahabatnya radhiallahu 'anhum.




Niat itu tempatnya di hati, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى

"Amal-amal itu dengan niat, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan." [1]


Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu : "Tempat niat itu adalah hati tanpa (mengikut sertakan) lisan dengan kesepakatan para imam kaum muslimin, dalam seluruh bentuk peribadatan; thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, pembebasan budak (al 'itq), jihad dan lain-lain...". [2]


Karenanya, tidak disyariatkan menjaharkan niat atau mengulang-ulanginya. Bahkan siapa yang membiasakannya layak untuk diberi pelajaran dan hukuman setelah diajarkan tentang ilmu yang sebenarnya, jika perbuatannya tersebut telah mengganggu orang yang ada di sampingnya dan dia terus-terusan mengulangi perbuatan itu. Orang yang menjaharkan niat adalah orang yang buruk dan menyelisihi Syariat. Jika dia meyakininya sebagai dien (agama) dan melafazkannya sebagai bentuk peribadatan kepada Allah maka dia telah berbuat bid'ah.


Jika perkara itu baik, niscaya Allah akan menjelaskannya melalui lisan rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Dan lagi pula, tidak ada perlunya melafazkan niat karena Allah Maha Mengetahui dengan niat seseorang. [3]


Adapun apa yang dinukil dari Imam asy Syafi'i rahimahullahu bahwa beliau berpendapat bahwa niat harus dilafazkan, maka berikut kami kutipkan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah :

"Sebagian (ulama) muta-akhkhirin (yang datang belakangan) mengeluarkan satu pendapat dalam mazhab asy Syafi'i yang mewajibkan hal tersebut (yaitu melafazkan niat). Dan orang (yang menyebutkan pendapat) tersebut telah dianggap keliru oleh jumhur sahabat-sahabat asy Syafi'i. Kekeliruannya adalah, Imam asy Syafi'i berkata tentang shalat : 'Tidak boleh tidak, mesti mengucapkan di awalnya'... Orang yang keliru ini mengira bahwa yang dimaksudkan Imam asy Syafi'i adalah mengucapkan niat, namun seluruh sahabat-sahabat asy Syafi'i menyalahkannya, dan mereka berkata : 'Yang beliau maksudkan adalah mengucapkan takbir (takbiratul ihram) dan bukannya niat...'." [4]


Wallahu a'lam.
 


Footnotes :

[1]  HR. al Bukhary dan Muslim
[2]  Majmu'ah ar Rasa-il al Kubra, I/ 243
[3]  Silahkan lihat ; Zadul Ma'ad (I/196), Ighatsah al Lahafan (I/134), Bada-i' al Fawa-id (III/186), al Furu' (I/111) dan asy Syarhul Mumti' (I/159)
[4]  Lihat selengkapnya dalam Majmu' Fatawa, XXII/218-221 dan XXXVII/57