"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

26 Februari 2012

Masuk Neraka Disebabkan oleh Lalat


عن طارق بن شهاب أن رسول الله سلى الله عليه وسلم قال : (( دخل الجنة رجل في ذباب و دخل النار رجل في ذباب )) قالوا : وكيف ذلك يا رسول الله ؟ قال : (( مر رجلان على قوم لهم صنم لا يجاوزه أحد حتى يقرب له شيئا، قالوا لأحدهما : قرب، قال : ليس عندي شيئ أقرب، قالوا: قرب ولو ذبابا، فخلوا سبيله فدخل النار، وقالوا للآخر: قرب، قال: ما كنت لأقرب لأحد شيئا دون الله عز وجل، فضربوا عنقه فدخل الجنة )) رواه أحمد

--ooo--

Kosa kata

في ذباب         :  Disebabkan oleh lalat
صنم             :  Berhala yang dipahat dalam bentuk patung
يقرب            :  Berkurban/ menyembelih untuk mendekatkan diri kepada sesuatu


Dari Thariq bin Syihab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :”Seorang laki-laki masuk masuk surga disebabkan oleh lalat dan seorang laki-laki lain masuk neraka disebabkan oleh lalat”. Mereka bertanya : Bagaimana hal itu terjadi wahai Rasulullah? Beliau menjawab :”Dua orang laki-laki melewati satu kaum yang memiliki berhala. Tidak seorang pun boleh melewatinya sampai dia mengorbankan sesuatu untuk berhala tersebut. Mereka berkata kepada salah seorang dari keduanya : Berkorbanlah! Ia menjawab : Aku tidak memiliki sesuatu untuk dikorbankan. Mereka berkata : Berkorbanlah walaupun hanya dengan seekor lalat! Maka dia berkorban dengan seekor lalat dan mereka melepaskannya yang akhirnya dia pun masuk neraka. Mereka berkata kepada laki-laki yang lain : Berkorbanlah! Dia menjawab : Aku tidak akan berkorban kepada seorang pun selain Allah ‘Azza wa Jalla. Maka mereka memenggal lehernya dan dia pun masuk  surga”. [HR. Ahmad]


Biografi Shahabat

Thariq bin Syihab al Bajaly al Ahmasy, seorang shahabat yang sempat melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam namun tidak pernah mendengarkan hadits dari beliau karena usianya yang masih kanak-kanak. Wafat pada tahun 83 H, radhiyallaahu ‘anhu.


Faedah Hadits
  1. Penjelasan tentang bahaya kesyirikan walaupun dalam perkara yang kecil
  2. Terkadang seseorang terjatuh kepada kemusyrikan sementara dia tidak menyadari bahwa hal itu adalah kemusyrikan yang mengharuskan pelakunya masuk neraka
  3. Peringatan dari bahaya dosa/maksiat walaupun sebuah dosa kecil
  4. Seorang muslim jika melakukan kesyirikan maka dia telah membatalkan ke-Islamannya dan konsekuensinya adalah masuk neraka.
  5. Menyembelih adalah ibadah. Mempersembahkannya untuk selain Allah adalah syirik akbar.
  6. Keutamaan bersabar diatas kebenaran.  

Kembalilah Kepada Fitrah

Pengakuan akan keberadaan, kekuasaan dan kemaha-sempurnaan Sang Pencipta (Tauhid Rubûbiyah) adalah perkara yang fitrah, yang dimiliki oleh setiap manusia. Tidaklah ingkar terhadap fitrah ini melainkan segolongan kecil dari manusia yang menyimpang pemikiran dan tabiatnya.

Fir’aun adalah salah satu makhluk yang paling terkenal dalam penyimpangan ini. Namun tidaklah dia menampakkan sikap ganjil tersebut melainkan semata-mata karena kesombongan. Hal demikian telah dinyatakan Allah lewat firman-Nya :
Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya”. [terjemah QS. An Naml : 14]

Fir’aun sangat mengetahui keberadaan Allah. Terbukti dari pernyataan yang keluar dari lisannya yang penuh kedustaan dan kesombongan;
Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkan untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”. [terjemah QS. Al Qashash : 28]

Demikianlah perintah itu keluar dari lisannya… Perintah untuk membuat bangunan yang tinggi hingga ke langit agar dia bisa melihat Tuhannya Musa ‘alaihissalam. Lantas, siapakah yang mengabarinya, bahwa Allah yang dia ingkari itu berada di langit?!... Sungguh, inilah sebuah pengakuan… Tetapi kesombongan adalah awan kelam yang akan menghalangi siapa saja dari cahaya sang mentari. Karena itu, Musa berkata kepada Fir’aun (artinya);
Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa”. [QS. Al Isra’ : 102]


Namun, sekali lagi, kesombongan adalah penyakit yang sungguh sangat mematikan. Bila seseorang telah terjangkit oleh penyakit ini, lantas dia biarkan dan tidak segera diobati, maka Allah mengatakan ;
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau kamu tidak beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka pun ditutup, dan bagi mereka siksa yang amat berat”. [terjemah QS. Al Baqarah; 6-7]
Inilah penyakit kronis yang telah menggerogoti hati sang Fir’aun dahulu dan fir’aun-fir’aun saat ini. Penyakit yang telah membuat hati sang penguasa itu mati dan tidak lagi mampu melihat kebenaran.

Maka untuk menegaskan hal ini, simaklah percakapan sang penguasa itu dengan nabiyullah Musa ‘alaihissalam yang dituangkan Allah lewat firman-Nya dalam surat Asy-Syu’araa’, ayat 23-51 (terjemahan; yang dalam tanda […] bukan ayat Al Quran. Harap dipahami!);

Fir’aun bertanya, “Siapakah Tuhan semesta alam itu?”
Musa menjawab, “Tuhan Pencipta langit dan bumi serta segala apa yang ada diantara keduanya. (Itulah Tuhan-mu), jika kalian mempercayai-Nya”.
Berkata Fir’aun (dengan sombong dan penuh kecongkakan) kepada orang-orang di sekelilingnya, “Tidakkah kalian mendengarkan secara seksama pernyataannya (bahwa ada Tuhan selain aku)?!”

[Ketika tidak mampu memberi argumentasi yang logis … (Red)];
Fir’aun berkata, “Sesungguhnya Rasulmu yang diutus kepada kamu sekalian benar-benar orang yang gila!!”

[Seolah tidak peduli dengan ocehan Fir’aun…];
Musa berkata, “Tuhan yang menguasai timur dan barat dan apa yang ada diantara keduanya; (itulah Tuhan-mu) jika kamu mempergunakan akal”.

[Dengan amarah yang meluap, Fir’aun pun menggunakan ancaman…]
Fir’aun berkata, “Sungguh, jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan!”

Musa berkata, “Apakah (kamu akan tetap melakukan itu) kendati pun aku tunjukkan kepadamu sesuatu (keterangan) yang nyata?”

Fir’aun berkata, “Datangkan (keterangan) yang nyata itu, jika kamu adalah termasuk orang-orang yang benar”.

Maka Musa melemparkan tongkatnya, lalu tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular yang nyata. Kemudian dia menarik tangannya (dari dalam bajunya), maka tiba-tiba tangan itu jadi putih (bersinar) bagi orang-orang yang melihatnya.

Fir’aun berkata kepada pembesar-pembesar yang berada di sekelilingnya, “Sesungguhnya Musa ini benar-benar seorang ahli sihir yang pandai”.

[Dengan nada provokasi, Fir’aun melanjutkan perkataannya…]; “Dia (Musa ‘alaihissalam) hendak mengusir kamu dari negerimu sendiri dengan sihirnya; karena itu, bagaimana pendapat kalian?”

[Terpancing dengan provokasi tersebut…]
Mereka menjawab, “Tundalah (urusan) dia dan saudaranya dan kirimkanlah ke seluruh negeri orang-orang yang akan mengumpulkan (ahli sihir)” Lalu dikumpulkan ahli-ahli sihir pada waktu yang ditetapkan di hari yang maklum.

[Yaitu di waktu pagi di hari yang dirayakan]

Dan dikatakan kepada orang banyak, “Berkumpullah kamu sekalian, semoga kita mengikuti ahli-ahli sihir jika mereka adalah orang-orang yang menang”.

[Mereka sangat mengharapkan benar-benar ahli sihir itulah yang akan menang, sehingga manusia tidak lagi percaya kepada Musa ‘alaihissalam dan ajaran tauhid yang dibawanya]

Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang, mereka bertanya kepada Fir’aun, “Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar jika kami adalah orang-orang yang menang?”

[Dengan iming-iming keduniaan, Fir’aun memberikan dorongan moril…]
Fir’aun menjawab, “Ya, kalau kamu sekalian menang, sesungguhnya kalian benar-benar akan menjadi orang yang didekatkan (kepadaku)”.

[Maka dimulailah acara tersebut…]
Berkatalah Musa kepada mereka, “Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan!”

Lalu mereka melemparkan tali temali dan tongkat-tongkat mereka dan berkata, “Demi kekuasaan Fir’aun, sesungguhnya kami benar-benar akan menang”.

Kemudian Musa melemparkan tongkatnya, maka tiba-tiba tongkat (yang menjadi ular nyata itu) menelan benda-benda palsu yang mereka ada-adakan itu…

Lantas apa yang terjadi selanjutnya sungguh membuat hati bertambah yakin akan dampak yang sangat negatif dari sikap sombong manakala telah menggerogoti hati seseorang. Simaklah perbedaan yang begitu mencolok antara orang-orang yang benar dalam fitrahnya dengan orang-orang yang telah terkotori fitrahnya itu dengan kesombongan. Allah Ta’ala berfirman tentang ahli-ahli Sihir Fir’aun setelah mereka menyadari kekalahan dan kebenaran mukjizat Musa ‘alaihissalam (artinya) :

Maka tersungkurlah ahli-ahli sihir itu sambil bersujud (kepada Allah). Mereka berkata, “Kami beriman kepada Rabb semesta alam, (yaitu) Rabb Musa dan Harun…”

Demikianlah keimanan (fitrah) itu kembali merekah dengan ilmu dan kerendahan hati setelah sekian lama terkatup dalam lembar kebodohan. Tetapi bagaimanakah dengan reaksi sang penguasa yang sombong itu? Marilah kita simak perkataan Allah selanjutnya (artinya);

Fir’aun berkata, “Apakah kamu sekalian beriman kepada Musa sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya dia benar-benar pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepadamu. Maka kamu nanti pasti benar-benar akan mengetahui (akibat perbuatanmu). Sesungguhnya aku akan memotong tangan dan kakimu dengan bersilangan, dan aku akan menyalibmu semuanya!!”

Akan tetapi, manakala keimanan telah bersemi dan menjadi kokoh, maka ia ibarat sebuah pohon besar, akarnya menghunjam kuat ke dalam tanah dan rantingnya tinggi menjulang ke angkasa, tidak tergoyahkan meski badai datang menghantam. Hal inilah yang ditunjukkan oleh para penyihir yang telah beriman itu, menanggapi ancaman dari sang penguasa yang sombong. Allah Ta’ala berfirman (artinya);

Mereka berkata, “Tidak ada kemudharatan (bagi kami); sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami. Sesungguhnya kami amat menginginkan bahwa Rabb kami akan mengampuni kesalahan kami, karena kami adalah orang-orang yang pertama-tama beriman”.

Pengakuan akan keberadaan, kekuasaan dan kemaha sempurnaan Sang Pencipta (tauhid rubûbiyyah) –sekali lagi- adalah perkara yang fitrah, yang dimiliki setiap manusia. Tidaklah fitrah ini diingkari kecuali oleh segolongan kecil manusia yang memiliki kelainan dalam sifat dan tabiatnya. Fitrah itulah yang nantinya akan membawa kepada kesadaran bahwa hanya Dia-lah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah dan diibadahi dalam segala bentuk peribadatan (tauhid ulûhiyyah).

Semoga Allah menjadikan kita kaum muslimin termasuk ke dalam golongan orang-orang yang terjaga fitrahnya, dan semoga Dia melindungi kita dari sikap sombong, sikap Iblis, sikap Fir’aun dan orang-orang yang semisalnya.
 

(Sumber : Majalah al Bashirah, Makassar, edisi 06 th. II/ Shafar 1426, dengan sedikit perubahan)

22 Februari 2012

Benarkah Syaikh Seorang Takfiry?

Sebagian orang telah menisbatkan kepada al Imam Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at Tamimy rahimahullah (1115-1206) bahwa beliau mengkafirkan secara ta’yin orang-orang yang melakukan kemusyrikan tanpa memberikan uzur terhadap mereka. Berikut ini adalah sebagian kutipan perkataan Syaikh yang menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang salafy yang tidak mudah mengkafirkan kaum muslimin.



Beliau pernah ditanya : Diatas landasan apa ia berperang (melawan pelaku kemusyrikan)? Dan diatas landasan apa ia mengkafirkan seseorang?

Beliau menjawab :

“Rukun Islam ada lima perkara. Yang pertama adalah syahadatain, kemudian rukun-rukun yang empat. Rukun yang empat ini, jika diimani seorang muslim dan dia meninggalkannya karena kelalaian, maka kami, walaupun kami memeranginya karena perbuatannya tersebut, tapi kami tidak mengkafirkannya karena meninggalkannya. Dan para ulama telah berselisih tentang kekafiran orang yang meninggalkan rukun-rukun tersebut karena kemalasan tanpa pembangkangan (terhadap kewajibannya). Maka kami tidak mengkafirkan kecuali apa yang telah disepakati para ulama seluruhnya, yaitu syahadatain. Begitu juga, kami kafirkan dia setelah ta’rif (pemberitahuan/ penyampaian hujjah) …”.


Beliau juga berkata :”Adapun kebohongan dan kedustaan, seperti perkataan mereka : bahwa kami mengkafirkan secara umum, mewajibkan hijrah kepada kami orang yang mampu untuk menampakkan syiar agamanya, dan kami mengkafirkan orang yang tidak mengkafirkan, dan orang yang tidak mau berperang, dan lain-lain yang sepertinya masih banyak lagi; maka semuanya adalah kebohongan dan kedustaan, yang mereka maksudkan untuk menghalangi manusia dari agama Allah dan rasul-Nya.

Jika saja kami tidak mengkafirkan orang yang menyembah berhala yang berada diatas kubur Abdul Qadir (al Jaelany), berhala yang berada diatas kubur Ahmad al Badawy, dan yang semisal keduanya, dikarenakan kejahilan mereka, dan tidak adanya orang yang memperingatkan mereka; maka bagaimana kami akan mengkafirkan orang yang tidak mempersekutukan Allah jika dia tidak berhijrah kepada kami, atau tidak ikut mengkafirkan dan berperang?! Subhaanaka, haadzaa buhtaanun ‘adzhiim! (Maha Suci Engkau ya Allah, sungguh ini adalah kedustaan yang besar! –kutipan QS. 24:16)”. [ad Durar as Sunniyyah, I/ 66]


Syaikh juga pernah mengatakan :”Maka bagaimanakah pendapat terhadap orang yang menulis dalil? Dan mengetahui perkataan para imam yang dijadikan teladan? Kemudian terus berada dalam keadaannya tersebut –yaitu dengan ucapannya : Wahai Rasulullah, aku memohon kepadamu syafa’at!- sampai dia meninggal dunia? Aku katakan : Tidak ada halangan untuk kami memberikan uzur terhadap orang yang disebutkan. Tidak juga kami katakan bahwa dia kafir, bahkan tidak juga dalam pembahasan yang telah lalu bahwa dia bersalah, walaupun dia terus berada dalam kesalahannya. Karena tidak adanya orang yang mengingatkan tentang masalah ini pada masanya tersebut, baik dengan lisan, pedang dan tombaknya. Hujjah belum tegak atas dirinya, dan tidak jelas baginya dalil…”. [ad Durar as Sunniyyah, I/ 235, 236]


Beliau berkata :”Adapun apa yang disebutkan musuh bahwasannya aku mengkafirkan dengan persangkaan, mengkafirkan dengan wala’, atau aku mengkafirkan orang jahil yang belum tegak atasnya hujjah, maka ini adalah kedustaan yang besar. Mereka ingin membuat manusia lari dari agama Allah dan rasul-Nya”. [Majmuu’ Muallafaat as Syaikh, V/ 25]


Dalam jawabannya terhadap Ibnu Shayyah – ketika ia meminta penjelasan tentang sikap Syaikh dalam perkara-perkara yang dinisbatkan kepadanya -, Syaikh rahimahullah berkata :

“Diantaranya : menyebarkan kebohongan dengan sesuatu yang seorang berakal pun akan malu untuk menceritakannya, apalagi sampai mengada-adakannya. Diantaranya apa yang kalian sebutkan bahwa aku mengkafirkan seluruh manusia kecuali orang yang mengikutiku, dan aku mengklaim bahwa pernikahan mereka tidak sah. Sungguh aneh sekali! Bagaimana mungkin hal ini masuk dalam akal seorang yang berakal?! Apakah pantas seorang muslim mengatakan yang seperti ini?! Aku berlepas diri kepada Allah dari perkataan seperti ini, perkataan yang tidak keluar kecuali dari orang yang rusak akalnya, dan tidak memiliki pengetahuan. Semoga Allah menghancurkan para pemburu kebatilan!!”. [ad Durar as Sunniyyah, I/ 80]

Agar Masyarakat Muslim Tidak Menjadi Imma'ah

Termasuk perkara yang menguatkan keteguhan seorang mukmin dan komitmennya terhadap agamanya dan manhaj Nubuwwah adalah ke-tsiqah-annya terhadap dirinya yang datang dari tsiqah (kepercayaan/keyakinan)-nya terhadap Rabb dan agamanya.

       Muslim yang tsiqah terhadap dirinya ibarat sebuah tiang besar dan kokoh yang berada diantara ombak dan badai; ia tidak hancur oleh terjangan ombak dan badai tersebut. Demikianlah keadaan seorang muslim yang hak, dihadapan fitnah dan berbagai macam perubahan. Dia berpindah dari tsabat (keteguhan) ke tsabat, dan bertambah besarlah keyakinannya terhadap Rabb dan agamanya. Ia tidak terpengaruh dengan tipu daya syaitan dan tidak menjilat kepada setiap pencetus fitnah. Ia kokoh diatas jalan petunjuk, walaupun sedikit orang yang menempuhnya; dan jauh dari jalan kesesatan, walaupun banyak yang binasa dalam menempuh jalan tersebut.


Diatas manhaj seperti inilah seorang mukmin bisa memahami hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berisi peringatan bagi umatnya :

لا تكُونُوا إمَّعةً تقولُونَ: إنْ أحسنَ النَّاسُ أحسنَّا وإنْ ظلمُوا ظلمْنَا، ولكِنْ وطِّنُوا أنفسكم إن أحسنَ النَّاسُ أنْ تُحسِنُوا وإنْ أساءُوا فلا تظلِمُوا

Jangan kalian menjadi imma’ah! Kalian mengatakan : ‘Jika manusia berbuat baik, kami pun akan berbuat baik; jika mereka berbuat kezaliman, kami juga akan berbuat zalim’. Akan tetapi, kokohkan diri kalian. Jika manusia berbuat baik, kalian juga berbuat baik, jika mereka berbuat buruk, maka jangan kalian berlaku zalim”. (HR. at-Tirmidzi dan beliau meng-hasan-kannya)


Imma’ah adalah orang yang tidak punya pendirian. Ia mengikuti pendapat setiap orang dan tidak pernah istiqamah diatas sesuatu pun. Komitmennya lemah, penuh kebimbangan, dan hatinya tempat berkumpul segala syak dan keraguan.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mengisyaratkan jenis orang seperti ini di zamannya saat terjadinya fitnah. Ia berkata :”Pada masa Jahiliyyah, kami menganggap imma’ah adalah orang yang mengikuti manusia kepada hidangan makanan tanpa diundang. Adapun imma’ah di masa kalian saat ini adalah orang yang ikut-ikutan manusia dalam agamanya”.

Ia juga berkata :”Janganlah salah seorang dari kalian ikut-ikutan kepada seseorang dalam agamanya. Jika orang itu beriman, dia juga beriman, jika orang itu kafir, dia juga ikut kafir; karena tidak ada uswah (teladan) pada manusia”.


Jika memperhatikan nash-nash Syariat dan keadaan para Salaf, maka bisa diketahui bahwa tidak akan terjadi kerusakan setelah adanya komitmen kuat dan pandangan yang benar sesuai dengan sifat dan syariat Allah Ta’ala.

Tidak asing lagi bagi kita sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat perjanjian Hudaibiyah. Ketika ada sebagian Shahabat berpandangan bahwa perjanjian itu tidak akan menguntungkan kaum muslimin, akan tetapi justru ketsiqahan Nabi kepada Rabb dan janji-Nya tidak membawanya kepada keragu-raguan, dan sama sekali banyak pandangan dan pendapat tidak berpengaruh apa-apa pada komitmen beliau.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib ketika ingin berangkat memerangi Khawarij, datang kepadanya seorang ahli nujum yang berkata: ”Wahai Amirul Mukminin, jangan berangkat sekarang, karena bulan berada di bujur Aqrab (Scorpio). Jika engkau memaksa berangkat, maka pasukanmu akan mengalami kekalahan”.

Ali radhiyallahu ‘anhu menjawab :”Kami akan tetap berangkat dengan ketsiqahan kepada Allah, bertawakkal kepada-Nya dan mendustakanmu”. Ia pun berangkat dan diberkahi dalam kepergiannya tersebut. Ia telah membinasakan seluruh Khawarij. Salah satu peristiwa yang paling membahagiakannya.


Hendaknya seseorang bertanya :”Apakah keadaan masyarakat saat ini mengharuskan pembicaraan tentang imma’ah? Apakah hal tersebut banyak terjadi sehingga perlu diwaspadai?”.

Jawabannya : Iya; terutama di masa ini saat terjadi banyak kematian ulama dan manusia mengambil tokoh-tokoh yang lebih rendah ketsiqahan dan ilmunya dibanding para ulama. Masa dimana kebodohan semakin merajalela, ilmu semakin sedikit dan Ruwaibidhah telah berbicara. Siapa saja bisa menjadi ahli fiqh. Referensi keagamaan dan kewibawaannya dalam fatwa yang baik dan benar semakin melemah. Pembicaraan dalam masalah keagamaan telah didominasi oleh Ruwaibidhah, yaitu orang bodoh yang berbicara dalam persoalan-persoalan besar yang menyangkut orang banyak, yang sebenarnya tidak layak untuk berbicara tentangnya kecuali ulama besar.


Ibnu Qutaibah rahimahullah pernah berbicara tentang keadaan manusia dan bagaimana jiwa-jiwa mereka sangat mungkin untuk terpengaruh, berubah dan suka ikut-ikutan. Ia berkata : ”Manusia adalah kawanan burung, sebagiannya mengikuti sebagian yang lain. Jika seandainya muncul dari mereka orang yang mendakwakan kenabian –dengan pengetahuan mereka bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penutup para nabi-, atau mendakwakan rububiyyah (ketuhanan), niscaya akan ada orang-orang yang mengikuti hal tersebut”.

Taklid buta dan sifat imma’ah adalah dua sisi mata uang. Dalam saat yang bersamaan keduanya tidak terbatas pada orang biasa atau para pengacau saja. Bahkan sifat imma’ah telah menular kepada yang lebih jauh dari itu. Sebagaimana imma’ah itu ada pada pribadi seseorang, dia juga memiliki wujud dalam masyarakat.

Katakanlah bahwa yang seperti itu ada pada orang awam, orang terpelajar, dan orang yang ber-intisab (menisbatkan diri) kepada ilmu ini. Karena sekedar menisbatkan diri kepada ilmu tidak serta merta membuat orang itu selamat untuk tidak menjadi korban taklid buta dan memiliki sifat imma’ah, jika orang itu banyak menoleh, lemah ketsiqahannya terhadap kebenaran.

Inilah yang nampak dari waktu ke waktu pada sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu ini. Keragu-raguan dan sikap plin-plan dalam manhaj, fatwa, berpindah-pindah dalam berbagai mazhab dan pemikiran, yang disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, berbagai macam tekanan dan peristiwa yang menyebabkan orang itu berjalan kemanapun manusia pergi. Fiqh ditundukkan untuk mereka dan bukan mereka yang tunduk kepada aturan Fiqh.


Berkata Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :”Jadilah seorang yang berilmu atau seorang pelajar, dan jangan menjadi imma’ah diantara keduanya”.

Ibnul Qayyim mengomentari perkataan tersebut :”Lihatlah bagaimana seorang muqallid (yang taklid) dikeluarkan dari golongan ulama dan pelajar (baca : penuntut ilmu). Karena muqallid sebagaimana yang beliau katakan : Dia tidak bersama ulama dan tidak bersama orang yang belajar untuk ilmu. Hujjah –sebagaimana diketahui- sangat jelas bagi orang yang memperhatikan”.


Sifat imma’ah telah meruntuhkan pondasi kehidupan masyarakat dan melemahkan kepribadiannya, sehingga menjadi masyarakat yang terhina dan tercampakkan disebabkan oleh “ruh taklid” (baca : ikut-ikutan), yang menjadikan dia hidup dalam tradisi, lingkungan dan pemikiran orang lain.

Jika saja masyarakat muslim dalam relung jiwanya masih memikirkan bahwa umat ini harus bangkit, maka kembalinya kita kepada syir’ah (manhaj) Allah dan syir’ah Rasulullah merupakan poin penting bagi perubahan.

إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”. (ar-Ra’ad : 11)


Tidaklah perubahan seperti ini kecuali akhlak Islam yang sebenarnya. Apakah ada di bumi ini kebangkitan besar yang bisa tegak dengan selain perubahan diatas manhaj Islam?

أَفَغَيْرَ اللّهِ أَبْتَغِي حَكَماً وَهُوَ الَّذِي أَنَزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلاً وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِّن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ فَلاَ تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

Pantaskah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu secara rinci? Orang-orang yang telah Kami beri al-Kitab mengetahui benar bahwa (al-Quran) itu diturunkan dari Tuhan-mu dengan benar. Maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu”. (al-An’aam : 114)


(Tulisan Syaikh Dr. Su’ud bin Ibrahim asy-Syuraim, dengan ringkasan dan sedikit perubahan)