"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

29 April 2012

Mengobati Penyakit Lemah Syahwat

Bolehkah mencari pengobatan penyakit lemah syahwat?


Jawab :

Alhamdulillah, boleh hukumnya mencari pengobatan penyakit lemah syahwat. Karena hal itu tergolong penyakit, dan secara umum syariat telah membolehkan pengobatan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :


"Wahai hamba Allah berobatlah, sebab Allah telah menurunkan obat bagi setiap penyakit yang diturunkan-Nya, kecuali satu penyakit."

Para sahabat bertanya: "Apa gerangan penyakit itu wahai Rasulullah?"

Beliau menjawab: "Penyakit pikun"

(Terjemah H.R Tirmidzi No:1961 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Hadits Shahih XX/202)



Dalam hadits lain Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam bersabda :


"Tidaklah Allah turunkan satu penyakit kecuali Allah turunkan juga obatnya. Sebagian orang ada yang mengetahuinya dan sebagian lagi tidak mengetahuinya."

(H.R Ahmad No:3397, redaksi matan ini adalah riwayat beliau, dan diriwayatkan oleh Al-Bukhari No:5246)



Obat dan pengobatannya harus memenuhi persyaratan berikut ini :


Tidak menimbulkan efek samping yang lebih besar bahayanya, seperti menimbulkan penyakit lain yang lebih parah atau menyebabkan kematian. Sebab beberapa obat lemah syahwat dapat menimbulkan efek samping seperti itu.

Tidak juga dengan perkara yang diharamkan, seperti khamar, najis dan daging yang tidak halal dimakan. Jangan sampai membuka aurat. Jangan mempergunakan sebelum konsultasi dengan dokter yang ahli lagi terpercaya. Wallahu a'lam.



Islam Tanya & Jawab
Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid
http://islamqa.com/id

28 April 2012

Meruqyah Kaum Wanita

Sebagaimana yang Anda ketahui bahwa sebagian orang menderita berbagai macam penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara medis. Kemudian mereka mencari pengobatan melalui Kitabullah dan meminta kepada ahli ilmu, para penghafal Al-Qur'an serta orang-orang takwa dan shalih untuk meruqyah mereka dengan ruqyah yang dibenarkan syariat. Kadang kala anggota tubuh yang sakit pada kaum wanita adalah bagian kepala, dada, tangan atau kaki mereka.

Bolehkah menampakkan bagian tubuh yang sakit tersebut untuk diruqyah dalam kondisi darurat? Dan apakah batasan aurat bagi kaum wanita saat diruqyah?



Jawab :

Perlu diketahui bahwa mengajarkan ruqyah yang dibenarkan syariat termasuk perkara yang disunnahkan, dengan harapan dapat berguna bagi kaum muslimin, sekaligus sebagai pengobatan bagi penyakit-penyakit kronis tersebut. Sebab Kitabullah merupakan obat yang ampuh dan mujarab. Akan tetapi kaum lelaki tidak boleh menyentuh tubuh wanita yang bukan mahramnya saat meruqyah. Dan si wanita juga tidak boleh sama sekali menampakkan bagian tubuhnya, seperti dada, leher dan lain-lain. Hendaknya si wanita tetap diruqyah meskipun dalam keadaan memakai hijab. Cara seperti itu juga berfaedah. Para akhawat (kaum wanita) dianjurkan mempelajari bacaan-bacaan ruqyah, dengan harapan agar mereka dapat mengobati kaum wanita yang menderita sakit melalui ruqyah tersebut. Wallahu a'lam.



Islam Tanya & Jawab
Syeikh Muhammad Shalih Al-Munajjid
http://islamqa.com/id

24 April 2012

Menghadiahkan Bacaan Dzikir untuk Mayit

Apakah aku boleh mengucapkan ‘Subhanallah' sebanyak 100 kali atau zikir lainnya, dengan harapan pahala tersebut untuk ayah dan ibuku? Perlu diketahui bahwa ayahku telah meninggal dunia sementara ibuku masih hidup.


Jawab :

Alhamdulillah... Para ulama berbeda pendapat terkait dengan menghadiahkan pahala kepada orang yang sudah meninggal, apakah sampai pahalanya? Ada dua pendapat, 


Pendapat pertama, bahwa semua amal saleh yang dihadiahkan kepada mayit akan sampai kepadanya, di antaranya bacaan Al-Qur’an, puasa, shalat dan ibadah-ibadah lainnya. 


Pendapat kedua, bahwa tidak akan sampai amal saleh apapun kepada mayit kecuali ada dalil bahwa amal itu sampai ke mayit. Dan ini adalah pendapat yang kuat. Dalilnya adalah firman-Nya:


 وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى  (سورة النجم: 39)


Dan tidak ada (pahala) bagi manusia kecuali apa yang diusahakannya,” (QS. An-Najm: 39)


Juga berdasarkan sabdanya shallallahu’alihi wa sallam: “Ketika seseorang mati, maka amalannya akan berhenti kecuali tiga (amalan); shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakan.” (HR. Muslim, no. 1631 dari Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu)


Telah wafat paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; Hamzah radhiallahu ‘anhu, istri beliau Khadijah dan tiga anak perempuannya, dan sama sekali tidak ada riwayat bahwa beliau membacakan Al-Qur’an, shalat Dhuha, puasa, atau shalat untuk mereka. Dan tidak ada informasi  satupun dari shahabat tentang hal itu. Seandainya dianjurkan, mereka (pasti) akan mendahului kita untuk melakukan itu. Adapun dalil yang menunjukkan pengecualian berupa sampainya pahala kepada mayit adalah haji, umrah, puasa wajib, shadaqah dan doa. 


Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya terkait firman Allah (وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى) :


"Berdasarkan ayat ini, Imam Syafi’i dan pengikutnya mengambil kesimpulan hukum bahwa bacaan (Al-Qur’an) tidak sampai jika pahalanya dihadiahkan kepada mayit. Karena ia bukan amal dan jerih payahnya. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak menganjurkan dan tidak mengajak umatnya untuk itu dan tidak pula memberi petunjuk baik secara jelas atau isyarat. Tidak dinukil seorang pun dari para shahabat radhiallahu anhum. Jika hal itu suatu kebaikan, pasti mereka akan mendahului kita (berbuat demikian). Dalam masalah ibadah, hendaknya membatasi dengan perkara yang telah dikhususkan oleh nash, tidak diperkenankan mengalihkannya dengan berbagai macam qiyas dan logika. Adapun doa dan shadaqah, hal itu telah disepakati sampainya (kepada mayat) karena dengan tegas dinyatakan dalam syariat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/258) 


Kemudian kalau kita terima bahwa pahala amal shaleh itu sampai kepada mayit, maka yang  lebih utama dan bermanfaat untuk mayat adalah doa. Kenapa kita meninggalkan apa yang dianjurkan Nabi shallallahu alihi wa sallam dengan melakukan perkara-perkara lain yang tidak dilakukannya. Dan tidak juga dilakukan seorang pun dari shahabatnya. Semua kebaikan adalah sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan shahabatnya.


Syekh Ibn Baz rahimahullah pernah ditanya tentang menghadiahkan bacaan Al-Qur’an dan shadaqah untuk ibu, baik (beliau dalam kondisi) hidup atau mati?. Beliau menjawab:


Kalau bacaan Al-Qur’an,  para ulama berbeda pendapat, apakah pahala sampai kepada mayit. Para ulama berbeda dalam dua pendapat (antara yang mengatakan sampai atau tidak). Yang terkuat adalah tidak sampai (pahala kepada mayit) karena tidak ada dalil. Karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan kepada orang-orang yang telah wafat dari kalangan umat Islam seperti puteri-puteri beliau yang wafat saat beliau shallallahu alaihi wa sallam masih hidup. Sepengetahuan kami, hal itu  tidak pernah dilakukan para shahabat radhiallahu anhum. Yang lebih utama bagi orang mukmin adalah meninggalkan hal itu dan tidak membacanya untuk mayit maupun untuk yang masih hidup. Begitu  juga tidak melakukan shalat untuk mereka. Begitu juga amalan sunnah dengan berpuasa untuk mereka. Karena semuanya itu tidak ada dalilnya. 

Asal dari ibadah adalah tauqifi (hanya membatasi pada dalil) yang ada perintahnya dari Allah subhanahu wa ta’ala atau Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam dalam syariatnya. Sementara shadaqah, hal itu bermanfaat bagi yang hidup maupun mati dengan kesepakatan (ijma’) umat Islam. Begitu juga doa, bermanfaat bagi yang hidup maupun mati dengan kesepakan umat Islam. Orang yang hidup tidak diragukan bahwa shadaqah dan doa bermanfaat baginya. Orang yang berdoa sementara kedua orang tuanya masih hidup, bisa mengambil manfaat dengan doanya, begitu juga sadaqah bermanfaat ketika masih hidup. 

Menunaikan haji untuknya kalau mereka lemah karena sudah tua atau sakit yang tidak mungkin sembuh, juga bermanfaat baginya. Karena telah ada ketetapan dari beliau shallallahu alaihi wa sallam, bahwa seorang wanita bertanya: 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji, sementara ayahku mendapatkannya sudah tua, tidak mampu dalam perjalanan. Apakah saya (boleh) menunaikan haji untuknya?' Beliau menjawab: 'Tunaikanlah haji untuknya.' 

Kemudian, ada juga orang lain yang datang kepada Nabi dan berkata: 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah tua, tidak mampu menunaikan haji dan (naik) kendaraan. Apakah (boleh) saya menunaikan  haji dan umrah untuknya?' Beliau menjawab, 'Hajikan untuk ayahmu dan umrahkan.'

Ini adalah dalil bahwa menghajikan untuk mayit atau yang masih hidup tapi lemah karena usianya  atau wanita lemah karena sudah tua renta adalah boleh. Begitu juga shadaqah, doa, haji atau umrah untuk mayit begitu juga bagi yang lemah, semuanya ini bermanfaat baginya menurut pendapat seluruh ahli ilmu.  Begitu juga puasa untuk mayat, kalau dia mempunyai kewajiban puasa baik karena nadzar, kaffarah (tebusan) atau puasa Ramadhan, berdasarkan keumuman sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam: 'Barangsiapa yang meninggal dunia dan mempunyai beban puasa, maka walinya yang (menggantikan) puasanya.' (Muttafaq alaih). 

Begitu pula hadits-hadits lain yang semakna. Akan tetapi barangsiapa yang terlambat puasa Ramadhan karena alasan yang dibenarkan agama seperti sakit, bepergian kemudian meninggal dunia sebelum ada kesempatan mengqadhanya, maka tidak (perlu) diqadhakan, juga tidak perlu memberikan makanan, karena dia memiliki udzur yang syar’i.” Selesai, (dikutip dari) Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Syaikh Ibnu Baz, 4/348.


Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, apakah seseorang dibolehkan bershadaqah dengan harta lalu (niat) menyertakan selainnya dalam pahala? Beliau menjawab:


Seseorang dibolehkan bershadaqah dengan niat untuk ayah, ibu dan saudaranya dan siapa saja yang dikendaki umat Islam. Karena pahala itu banyak. Sementara shadaqah jika ikhlas karena Allah dan dari hasil yang halal, akan dilipat gandakan berlipat-lipat. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ   (سورة البقرة: 261)
'Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.' (QS. Al-Baqarah: 261)

Dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyembelih satu kambing untuknya dan untuk keluarganya.” (Fatawa Syekh Ibnu Utsaimin, 18/249)



Dengan penjelasan tersebut, jelas bahwa apa yang anda sebutkan tentang menghadiahkan pahala zikir kepada dua orang tua Anda tidak sah menurut pendapat yang kuat. Baik dia masih hidup atau sudah mati. Akan tetapi nasehat bagi Anda adalah memperbanyak doa dan bershadaqah untuk keduanya. Karena sesungguhnya semua kebaikan adalah dengan mengikuti petunjuk Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan para shahabat yang mulia.


Wallahu’alam .


-----------------------------------------------


Soal Jawab Tentang Islam
http://islamqa.info/id/ref/46698

19 April 2012

Menikahkan Seorang Wanita Tanpa Izinnya

Ayahku telah menyepakati pernikahan saudariku yang telah berumur 16 tahun secara paksa dengan seorang laki-laki yang tidak dia sukai. Saudariku berusaha untuk bunuh diri dengan segala cara dan mengatakan: Kematian lebih aku sukai daripada pernikahan itu!!




Dijawab oleh Yang Mulia Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu:

Pernikahan seperti ini mungkar dan tidak boleh dilakukan bahkan tidak sah menurut pendapat yang paling benar dari pendapat-pendapat ulama. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam "melarang menikahkan wanita kecuali dengan izin mereka". Beliau juga mengabarkan bahwa bentuk izinnya seorang gadis adalah dengan diamnya.

Ketika seorang gadis mengabarkan padanya bahwa ayahnya menikahkannya dan dia dalam keadaan terpaksa, beliau memberikan pilihan padanya untuk tetap meneruskan pernikahannya atau meninggalkannya.

Adapun kebiasaan sebagian orang yang tinggal di pedalaman dan lain-lain yang suka menikahkan gadis-gadis tanpa bermusyawarah dengan mereka maka ini adalah kebiasaan yang buruk dan batil. Pemaksaan tidak akan mendatangkan kebaikan. Bahkan akan mendatangkan keburukan untuk semua.

Dalam pandangan saya, sebaiknya mengambil sarana para ahlul khair (orang-orang baik/ tokoh-tokoh masyarakat) untuk membatalkan pernikahan tersebut. Jika perantaraan itu berhasil maka itulah yang diinginkan. Jika tidak, maka bawalah persoalan ini ke pengadilan, yang insyallah akan menyelesaikan masalah tersebut. Semoga Allah menganugerahkan taufiq untuk kita semua.

-----------------------------

Sumber : Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah, XX/ 409

Hukum Bergabung di Jama'ah Tabligh

Pertanyaan :

Apa hukumnya bergabung di Jama'ah Tabligh?

--00000--

Dijawab oleh Syaikh Musthafa al 'Adawi hafidzhahullahu :

Jamaah-jamaah secara umum dan jamaah yang disebutkan secara khusus, kami nasehatkan pengikut-pengikutnya untuk mempelajari Kitab Allah dengan sebenar-benarnya dan mahir (padanya), dan mempelajari Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan sebenar-benarnya dan mahir (padanya).

Orang yang sudah belajar dan mahir, dia bisa menyampaikan/ mendakwahi manusia. Adapun menyampaikan dengan kejahilan, maka ini menyelisihi sunnah-sunnah... Bahkan menyelisihi ayat-ayat!!

Allah Ta'ala berfirman :

قل هذه سبيلي أدعو إلى الله على بصيرةٍ أنا ومن اتبعني وسبحان الله وما أنا من المشركين

"Katakanlah : 'Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik'." [QS. Yusuf 'alaihissalam ayat 108]

--00000--

Sumber : 
Fatawa ar Rahmah, 1 Maret 2012. www.mostafaaladwy.com

15 April 2012

Hukum Jual Beli Mata Uang Asing

Assalamualaikum ,

Ustadz, mohon penjelasannya tentang hukumnya halal atau haram mengenai bisnis FOREX (foreign exchanger) atau jual beli mata uang asing secara online?


Terima kasih atas penjelasannya.

Anjar-Bekasi




Jawab :

Wa'alaikumussalam warahmatullah.

Dalam istlah fiqh, pertukaran atau jual beli mata uang disebut ash-Sharf (pertukaran uang, currency exchange). Mata uang yang ada di zaman sekarang mengambil hukum emas dan perak, karena memiliki kesamaan dalam ‘illah (sebab) ribanya yaitu nilai/harga (ats tsamaniyyah). Persoalan jual beli mata uang termasuk persoalan yang sangat pelik dalam fiqh Islam, karena persyaratan at taqâbudh (serah terima secara tunai di majelis akad)

 

Secara umum, jual beli mata uang dibolehkan jika memenuhi syarat-syaratnya yaitu;
  1. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama (at tasâwi) dalam hal berat atau takaran, dan dilakukan secara secara tunai (at-taqâbudh), yang diserah terimakan di majelis akad
  2. Apabila berlainan jenis maka boleh berbeda dalam takarannya (at tafâdhul), tapi harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan (al hulûl) dan diserah terimakan secara tunai (at taqâbudh)

Contohnya, jika dijual emas dengan emas, perak dengan perak, atau mata uang Rupiah dengan Rupiah, maka wajib saat itu at tasâwi dalam takarannya dan at taqâbudh di majelis akad.


Jika dijual emas dengan perak, atau mata uang Rupiah dengan Dollar Amerika, maka saat itu hanya wajib satu hal,yaitu at taqâbudh di majelis akad dengan nilai tukar yang berlaku saat itu juga.


Persoalan jual beli mata uang termasuk persoalan yang sangat pelik dalam fiqh Islam, karena persyaratan at taqâbudh (serah terima secara tunai di majelis akad) yang diistilahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan


يدًا بيدٍ

"Dari tangan ke tangan".

Para ulama kontemporer telah menyebutkan dalam berbagai macam ketetapan fiqh bahwa bukti catatan transaksi bank memiliki kedudukan yang sama dengan at taqâbudh. Diantara syarat-syarat terpenting dalam perdagangan mata uang tersebut adalah;
  1. Transaksi berlangsung saat itu juga tanpa ada penundaan.
  2. Kedua mata uang yang berbeda itu telah tercatat dan tersimpan di rekening masing-masing dari pihak pembeli dan penjual dengan nilai tukar yang berlaku saat itu.
  3. Tidak boleh mengambil bunga dari transaksi tersebut dalam bentuk apapun. 

Sistem jual beli online -sebatas yang kami ketahui- tidak bisa memenuhi syarat at taqâbudh, terlebih dengan begitu cepatnya perubahan kurs mata uang pada setiap saatnya. Karenanya kami memandang bahwa hal itu tidak boleh dilakukan kecuali dengan syarat-syarat yang telah jelas disebutkan dalam pembolehan jual beli mata uang. Wallahu a’lam.




Silahkan dirujuk;

  1. al Mulakhkhas al Fiqhi, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan
  2. Taudhîh al Ahkâm min Bulûgh al Marâm, Syaikh Dr. Abdullah bin Abdurrahman al Bassam
  3. http://islamqa.com/en/ref/106094 

14 April 2012

Menggunakan Fasilitas Negara untuk Kepentingan Pribadi

Pertanyaan :

Apa hukumnya menggunakan mobil pemerintah untuk keperluan pribadi?

Dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullahu :


Mobil pemerintah atau selainnya dari fasilitas-fasilitas milik negara, seperti alat fotografi atau alat cetak dan yang lainnya, tidak boleh dipergunakan untuk keperluan pribadi. Hal ini karena fasilitas-fasilitas tersebut diperuntukkan bagi kepentingan umum. Apabila seseorang menggunakannya untuk keperluannya sendiri, maka sungguh, hal ini merupakan bentuk kejahatan terhadap masyarakat umum. Sesuatu yang dimiliki publik tidak boleh seorangpun menggunakannya untuk kepentingan pribadinya. Dalil akan hal ini bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkan ghulul (mencuri rampasan perang), yakni menjadikan barang rampasan perang untuk dirinya sendiri, karena itu milik umum.

Maka yang wajib atas mereka yang melihat seseorang menggunakan fasilitas negara atau mobil pemerintah untuk kepentingan pribadi, untuk menasihatinya dan menerangkan kepadanya bahwa ini haram. Apabila Allah 'Azza wa Jalla memberinya petunjuk, itu yang diharapkan. Dan apabila tidak, maka dilaporkan (kepada atasan). Karena ini merupakan bagian dari kerjasama di atas kebajikan dan ketakwaan. Dan telah shahih riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

انصر أخاك ظالمًا أو مظلومًا

"Tolonglah saudaramu yang zalim dan terzalimi".

Para shahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana caranya menolong yang zalim?"

Beliau bersabda,

تحجزه - أو تمنعه - من الظلم فإن ذلك نصره

"Cegahlah dia dari perbuatan zalimnya, itulah bentuk pertolonganmu kepadanya". [HR. Al Bukhary, hadits no. 6952].

***

Pertanyaan : 

Bagaimana jika pimpinan negara membolehkannya? Apakah tetap berdosa?



Jawab :

(Iya), walaupun pimpinan negara membolehkannya. Fasilitas-fasilitas tersebut bukan milik pemimpin negara bagaimana izinnya bisa dianggap?!

***

Sumber : Liqâ-ât Bâb al Maftûh [No. 238]

12 April 2012

Siapa yang Bersikap Tawadhu', Niscaya Allah akan Mengangkat Derajatnya

Berkata Imam asy-Syafi’irahimahullah- :

“Orang yang paling tinggi kedudukannya adalah orang yang tidak pernah melihat kepada kedudukannya, dan orang yang paling besar keutamaannya adalah orang yang tidak pernah memandang kepada keutamaannya tersebut”. [1]




Kita bisa mengambil ibrah, pelajaran dan tarbiyah dari keadaan Abu Bakrradhiallahu ‘anhu-, dan beliau-lah ash-Shiddiq, Khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berkata Ibnu Abi Mulaikah : Terkadang tali kekang unta terlepas dari tangan Abu Bakr, dan ia hanya memukul leher untanya untuk membungkuk dan ia turun mengambil sendiri tali kekang tersebut. Orang-orang berkata : ”Kenapa engkau tidak menyuruh kami untuk mengambilkannnya?”.

Ia menjawab :”Sesungguhnya Kekasih-ku shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhku untuk tidak meminta sesuatu kepada manusia!”. [2]



Berkata Ali bin Tsabit :”Aku tidak pernah melihat Sufyan ats-Tsaury duduk-duduk di depan majelis. Ia hanya duduk-duduk bersandar di dinding sambil memeluk lututnya”. [3]



Al-Husain bin Ali pernah melewati para peminta-minta sementara mereka sedang memegang roti. Mereka berkata :”Mari kita makan siang, wahai Putra Rasulullah !”. Ia pun turun, duduk di pinggir jalan dan makan bersama mereka. Setelah selesai, ia naik kembali dan berkata :”Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong!”. [4]



Utsmanradhiallahu ‘anhu- selalu mengurus wudhu’nya sendiri pada malam hari. Dikatakan padanya :”Kalau engkau menyuruh pembantu-pembantumu itu sudah cukup bagimu”.

Utsman menjawab :”Tidak. Malam ini milik mereka untuk beristirahat”. [5]



Ketika Imam Ahmad bin Hanbal pergi menuntut ilmu kepada Imam Abdurrazzaq di Yaman, bekalnya habis. Ia pun menggadaikan dirinya (bekerja) pada sebagian kafilah-kafilah unta hingga ia sampai di Sana’a (Yaman). Sahabat-sahabatnya telah menawarkan bantuan untuknya, tapi sedikitpun ia tidak mau menerimanya. [6]


Berkata Urwah bin Zubair : Saya melihat Umar ibnul Khaththab memikul gerabah air diatas pundaknya. Aku berkata : “Wahai Amirul mukminin! Ini tidak pantas untukmu”

Ia menjawab :“Ketika delegasi-delegasi itu datang dengan penuh ketaatan, kesombongan masuk kedalam hatiku. Aku ingin menghancurkannya”. [7]



Dari Maimun bin Mihran, ia berkata : ”al-Hamadany telah telah memberitakan kepadaku bahwa ia melihat Utsman bin Affan mengendarai keledai bersama budaknya, Na’il, sementara beliau ketika itu adalah seorang khalifah”


Ia juga berkata :”Aku melihat Utsman tidur di masjid beralaskan tikar, tidak seorang pun berada di sekelilingnya sementara ia adalah amirul mukminin”. [8]



Berkata Shalih bin Imam Ahmad bin Hanbal :”Ayahku tidak pernah membiarkan seorang pun mengambilkan air untuk wudhu’nya”. [9]


Abu Hurairahradhiallahu ‘anhu- pernah memangku jabatan amir (gubernur). Ia memikul sendiri seikat kayu bakar di punggungnya dan berkata (kepada orang-orang di jalanan) : ”Berilah jalan untuk Amir!” [10]


*****


Footnotes :

[1]  Siyar A'lam an Nubala, X/99
[2]  Shifah ash Shofwah, I/253
[3]  Shifah ash Shofwah, III/147
[4]  Ihya' Ulum ad Dien, II/262
[5]  Tarikh Khulafa', hal. 153
[6]  Siyar A'lam an Nubala', XI/206
[7]  Madarij as Salikin, II/330
[8]  Tarikh Khulafa', hal. 153
[9]  Thabaqat al Hanabilah, I/12
[10] Madarij as Salikin. II/343

09 April 2012

Berlangganan Majalah yang Memuat Gambar Makhluk Bernyawa

Apa hukumnya berlangganan majalah Islami yang memuat gambar dan foto makhluk bernyawa? 

Alhamdulillah, boleh-boleh saja berlangganan majalah Islami yang memuat foto-foto makhluk bernyawa. Sebab ia berlangganan karena faedah yang terdapat di dalamnya bukan karena gambar dan foto-foto tersebut.

Adapun majalah yang memang khusus diterbitkan untuk memuat gambar-gambar dan para pelanggan juga membelinya untuk tujuan itu tentu saja hukumnya haram, tidak boleh membelinya. Sebab malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat gambar (makhluk yang bernyawa).


Dinukil dari kitab Liqâ' al Bâb al Maftûh karya Syaikh Ibnu Utsaimin.


Dan ia boleh menyimpan majalah tersebut jika memang banyak faedahnya dengan catatan setelah mencoret gambar-gambar yang terpampang di sampulnya. Wallâhu a'lam.


Islam Tanya & Jawab
Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid
www.islamqa.com

07 April 2012

Mengikuti Perlombaan dengan Membayar Sejumlah Uang

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Ustadz.. apa hukumnya mengikuti perlombaan2 yang bersifat keagamaan? Bagaimana hukumnya kalau peserta diwajibkan membayar sejumlah uang sbg persyaratan mengikuti lomba tsb?.. Terima kasih.

Ahmad-Makassar

--000--

Jawab :

Wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. 

Perlombaan semacam itu, jika Anda membayar sesuatu yang kemudian Anda bisa memperoleh hadiah atau mungkin tidak mendapatkannya, yang seperti ini tidak boleh diikuti. Demikian pula apa yang banyak kita dapatkan di berbagai media elektronik dan cetak yang memberikan semacam pertanyaan atau kuis, kemudian orang-orang akan menghubungi mereka atau mengirim SMS yang otomatis mereka akan membayar biaya pulsanya yang sudah ditentukan, dan pemenangnya akan mengambil hadiahnya; yang seperti ini juga tidak boleh diikuti dan termasuk dalam "maisir" (judi).

Adapun jika seseorang berkata, 'Hafalkan al Quran! -atau Hafalkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Siapa yang menghafalkan dan hafalannya bagus, maka dia akan mendapatkan hadiah dariku'; yang seperti ini tidak mengapa. Wallahu a'lam.

Cinta Rasul (shallallahu 'alaihi wasallam)

Ketahuilah bahwa setiap amalan yang berada diatas keteladanan, manhaj dan karakter Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka itulah yang diterima di sisi Allah Ta’ala. Karena hal tersebut dicintai oleh Rabb semesta alam dan setiap yang terkait dengan orang yang dicintai pasti akan dicintai.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :


من تشبه بقوم فهو منهم

Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang hasan)


Telah dimaklumi bersama bahwa pencinta yang benar dalam cintanya akan mencintai setiap apa yang ada  pada kekasihnya, baik itu dalam bentuk, pakaian, teladan dan segala sifatnya. Demikian juga dia akan mencintai setiap gerakan, diam, berdiri dan duduknya. Bahkan dia akan mencintai kampungnya, rumah dan pakaiannya.



Imam al Qurthubi berkata dalam kitab tafsirnya berkata : “Yang berkait dengan yang dicintai akan dicintai dan yang berkait dengan yang dibenci akan dibenci”. (Tafsir al Qurthubi, X/ 32)


Orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya maka Allah dan rasul-Nya lebih dicintainya daripada yang selain keduanya. Dan cinta tersebut akan “memaksa” pelakunya untuk mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dalam segala urusannya insyaallah. Allah Ta’ala berfirman :


قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله


Katakanlah : Jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kamu”. (QS. Alu Imran : 31).



Jika saja cinta itu tidak membawa kepada sebuah amalan yang dianjurkan atau disandarkan kepada Sang Kekasih shallallahu ‘alaihi wasallam, maka bagaimana mungkin dia akan membawa kepada ittiba’ Sunnah atau kewajiban. Tidaklah yang demikian itu melainkan hanyalah dakwaan cinta dan bukanlah sebuah cinta yang hakiki.



تعصى الإلهَ وأنت تظهرُ حبهُ

هذا لعمري فى الفعّــال شنيــعُ

لو كان حبك صَادقًــــا لأطعتهُ

إن المحبّ لمن يُحــــبّ مطيـعُ


Engkau bermaksiat kepada al Ilaah sementara engkau menampakkan kecintaan kepada-Nya

Yang seperti ini, demi umurku, sebuah perbuatan yang sangat buruk

Jika saja cintamu benar, niscaya engkau akan taat kepada-Nya

Karena sesungguhnya, pencinta akan taat kepada yang dia cintai




Pada hakekatnya, siapa yang mencintai seseorang, maka dia akan menyukai segala apa yang disukai orang tersebut. Berikut ini adalah sirah para Salaf, bahkan hingga pada perkara-perkara mubah atau yang disukai oleh jiwa :



♥  Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma sering mengunjungi Ummu Aiman, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan pengasuh beliau. Mereka berdua berkata : “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering mengunjunginya”.


Ketika Halimah as Sa’diyyah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau menghamparkan pakaiannya sebagai alas duduknya sampai ia menyelesaikan hajatnya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, Halimah datang kepada Abu Bakr dan Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan mereka pun melakukan yang sama terhadapnya seperti perlakuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.


Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah tertawa disebabkan dahulu ia pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertawa sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam “al Kalim ath Thayyib”. Beliau menyebutkan dalam buku tersebut :

“… Ali pun tertawa. Ditanyakan kepadanya : Wahai Amirul Mukminin, apa yang membuatmu tertawa?

Ia menjawab : Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukakan seperti apa yang aku lakukan dan beliau tertawa. Aku pun bertanya : Wahai Rasulullah, apa yang menyebabkanmu tertawa?

Beliau pun menjawab : Sesungguhnya Rabb-mu subhanahu wa ta’ala takjub terhadap hamba-Nya jika dia mengucapkan ; Wahai Rabb-ku, ampuni dosa-dosaku! Hamba itu tahu bahwa tidak ada yang mengampuni dosa selain Aku’.” [Hadits diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, at Tirmidzi dan an Nasa’i. Berkata at Tirmidzi : Hadits hasan shahih]


Umar ibnul Khattab lebih menyukai berjalan kaki menuju masjid Quba walaupun tersedia kendaraan untuknya. Ketika Abdullah bin Qais bin al Makhramah datang membawa kendaraan, ia berkata : “Naiklah, wahai Paman!”

Umar berkata : “Wahai putra saudaraku, kalau aku ingin untuk mengendarai kendaraan, niscaya aku akan mendapatkannya. Akan tetapi aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan menuju masjid ini hingga beliau sampai dan shalat di masjid tersebut. Maka aku pun suka untuk berjalan menuju masjid ini sebagaimana aku pernah melihat beliau berjalan”. Ia pun enggan untuk naik dan terus berjalan. [Riwayat Imam Ahmad dalam al Musnad. Para perawinya tsiqah]


Imam Ahmad rahimahullahu pernah berkata : “Tidaklah aku menulis sebuah hadits melainkan aku telah mengamalkannya. Sampai-sampai datang kepadaku sebuah hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam minta dibekam dan beliau memberikan Abu Thaibah satu Dinar, maka aku pun berbekam dan aku memberikan tukang bekam satu Dinar”. [Badzl al Majhûd fî Syarh Sunan Abi Dâwûd]


Imam Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dengan sanadnya dari Imam Abu Dawud rahimahullahu bahwasannya ia (Abu Dawud) berada di sebuah kapal. Tiba-tiba ia mendengar orang yang bersin di tepian dan dan mengucapkan “Alhamdulillah”. Ia pun menyewa sebuah perahu kecil dengan harga satu Dirham untuk datang kepada orang yang bersin itu dan men-tasymit (mendoakan) orang tersebut dan kembali lagi ke kapal. Imam Abu Dawud ditanya tentang perbuatannya tersebut, ia berkata : “Barangkali saja orang yang bersin itu dikabulkan doanya”.

Ketika mereka telah tidur, tiba-tiba mereka mendengarkan seseorang berkata : “Wahai penumpang kapal, sesungguhnya Abu Dawud telah membeli surga dari Allah dengan satu Dirham!”. [Kisah ini disebutkan Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bâri, XX/ 626]   



Dari kisah terakhir ini bisa kita simpulkan bahwa “Surga dikelilingi oleh Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”.

 

Meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat dicintai di sisi Allah Ta’ala dalam segala perkara walaupun sebagian perkara tersebut tidaklah wajib. Karena seorang pencinta tidak akan melihat kepada perbedaan wajib atau tidaknya. Bahkan dia akan mengikuti sang Kekasih semata-mata karena cintanya tersebut. Wallâhu a’lam.


(Disarikan dari buku Jibâl Hasanât bi Daqâ’iq Ma’dûdât)
  

05 April 2012

Memendekkan Rambut bagi Wanita

Pertanyaan :

Apa hukumnya wanita yang memendekkan rambutnya karena darurat, misalnya kaum wanita di Kerajaan Inggris beranggapan bahwa mencuci rambut panjang adalah suatu hal yang sulit bagi mereka khususnya pada musim dingin, oleh karena itu mereka memendekkan rambutnya.


Jawab :

Alhamdulillah, mereka dibolehkan memendekkan rambut sesuai kebutuhan jika kondisinya seperti yang diceritakan di atas tadi. Adapun jika mereka memotongnya dengan motif meniru wanita-wanita kafir tentu saja tidak dibolehkan. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang berbunyi :

من تشبه بقوم فهو منهم
"Barangsiapa menyerupai satu kaum maka ia termasuk golongan mereka."

(Fatâwa al Lajnah ad Dâ-imah V/182)

Begitu pula mereka tidak dibolehkan memendekkan rambut hingga seperti potongan rambut kaum pria. Berdasarkan hadits Abdullah bin Abbas radhiyallaahu 'anhu ia berkata :

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم المتشبهين من الرجال بالنساء ، والمتشبهات من النساء بالرجال
"Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam melaknat para lelaki yang menyerupakan dirinya dengan kaum wanita dan para wanita yang menyerupakan dirinya dengan kaum pria." (H.R Al-Bukhari no. 5435)

Wallâhu A'lam.

Islam Tanya & Jawab
Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid
http://islamqa.com