"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

29 Mei 2012

Bagaimanakah Perpecahan Umat Ini Bermula?

Telah diriwayatkan dengan jalan-jalan periwayatan yang sangat banyak dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Sunnah, bahwa umat ini akan terpecah kepada 73 golongan. Para imam dan ulama menyadari bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ingin memperingatkan umatnya dan membuka wawasan mereka terhadap sebuah sunnatullah dari sunnah-sunnah Allah di alam ini, yang telah menimpa umat-umat terdahulu dan membinasakan mereka, kecuali yang Allah tetapkan keselamatan atas dirinya. Mereka sangat menyadari bahwa sunnah dan ketentuan tersebut pasti terjadi di umat ini. Kecuali orang yang dirahmati Allah, dan diberikan hidayah untuk istiqamah diatas petunjuk rasul-Nya, serta petunjuk para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum.

Pembahasan tentang perpecahan umat sama sekali tidak dilandasi oleh kegembiraan, atau kebencian terhadap golongan tertentu. Tetapi lebih dilandasi oleh kesedihan yang mendalam atas perpecahan yang menimpa umat ini. Dengan sedikit harapan bahwa pembahasan ini –dan yang semisalnya- dapat mewujudkan sebuah tujuan yang baik demi berkhidmat untuk Islam, dan mengurangi tajamnya perselisihan yang telah memecah belah kaum muslimin dan menjadikan agama mereka terpecah ke dalam berbagai macam sekte dan aliran.

Demikian juga, pembahasan ini bertujuan untuk menyatukan kalimat kaum muslimin dan memalingkan perhatian mereka kepada inti perselisihan tersebut agar mereka menjauh dari apa yang telah menjerumuskan para pendahulunya dari umat ini. Karena rujuk kepada al-haq lebih baik daripada membangkang dalam kebatilan. Jadi, pembahasan yang seperti ini lebih  merupakan alternatif pengobatan terhadap problem tersebut, karena pengetahuan tentang obat yang bermanfaat sangat berhubungan dengan pengetahuan akan penyakitnya.

Dalam menyatukan kalimat dan mengembalikan kejayaan dan kemuliaan mereka, kaum muslimin tidak membutuhkan kecuali niat yang baik untuk kembali kepada kebenaran. Karena pondasi yang dahulu tegak di atasnya kemuliaan Islam dan kaum muslimin tetap sama sepanjang masa, yaitu Kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tidak akan baik generasi akhir umat ini melainkan dengan apa yang telah menjadikan baik generasi awalnya.



Bagaimanakah Perpecahan Itu Bermula?

Bid'ah pertama yang muncul di umat ini adalah bid’ah Khawarij [1]. Cikal bakal Khawarij bermula dengan munculnya seseorang yang bernama Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim, yang mempermasalahkan keadilan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam pembagian rampasan perang [2]. Inilah awal pembangkangan terhadap Syari’at Islam, hingga kemudian fitnah itu membesar pada akhir Khilafah Utsman dan muncul sebagai sebuah firqah (sekte) yang memiliki dogma dan kekuatan bersenjata setelah berakhirnya perang Shiffin antara Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah.

Kemudian muncul firqah Syi’ah [3]. Fitnah ini awalnya disebabkan oleh kecintaan yang sangat berlebihan sebagian pengikut Ali terhadap Ali dan keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun fitnah ini berkembang setelah perang Shiffin dan menjelma menjadi sebuah gerakan politik keagamaan, dengan klaim membela dan mencintai Ahlul Bait.

Pada akhir masa Shahabat, muncul bid’ah Qadariyah [4], Majusi-nya umat ini [5]. Mereka mengatakan : Allah Ta’ala tidak pernah menetapkan takdir perbuatan para hamba. Perbuatan para hamba tidak berada dalam kehendak-Nya dan tidak pula diciptakan-Nya. Bahkan yang paling ekstrim dari mereka mengatakan : Allah tidak mengetahui perbuatan para hamba dan tidak pula tertulis dalam Lauh Mahfudz. Allah tidak pernah tahu apa yang akan diperbuat para hamba sampai mereka melakukannya!!

Lalu muncul setelah itu bid’ah irjaa’ pada masa pembesar-pembesar Tabi’in. Murji’ah [6] mengatakan bahwa maksiat tidak akan membahayakan keimanan seseorang.


Namun, bid’ah-bid’ah tersebut diawal kemunculannya hanya berbicara pada persoalan ketaatan dan kemaksiatan, persoalan iman dan kekufuran. Sama sekali belum menyinggung persoalan Dzat Allah Yang Maha Mulia dan sifat-sifat-Nya.


Kemudian, datanglah kaum "cendekiawan"!! Yang mengklaim bahwa akal harus didahulukan daripada wahyu. Mereka mengumpulkan dua pendapat dari perkataan Khawarij dan Murji’ah, dan menyimpulkan sebuah pendapat baru : bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah seorang mukmin sebagaimana pendapatnya Murji’ah, dan tidak pula kafir sebagaimana pendapat Khawarij. Akan tetapi dia berada di sebuah manzilah baina manzilatain (suatu tempat yang berada diantara dua tempat). Demikian hukumnya di dunia. Adapun di akhirat, maka dia kekal dalam neraka sebagaimana pendapatnya Khawarij. Sekte inilah yang dikenal sebagai Mu’tazilah [7]

Kemudian, muncul lagi sebuah bid’ah yang sangat sesat, yaitu bid’ah yang dimunculkan oleh al Ja’ad bin Dirham [8] dan Jahm bin Shofwan [9], pada masa Bani Umawiyah dan semakin kuat dengan dukungan sebagian penguasa pada masa Khilafah Abbasiyyah. Mereka dikenal dengan nama firqah Jahmiyyah. Bid’ah ini muncul dan tidak berbicara tentang persoalan nama dan hukum seseorang itu mukmin atau kafir atau fasik. Tidak juga berbicara tentang manzilah baina manzilatain. Akan tetapi mereka berani berbicara tentang persoalan yang berkait dengan Dzat Sang Pencipta.


Perhatikanlah, bagaimana fase-fase kemunculan bid’ah di permulaan Islam, sampai akhirnya berani mempersoalkan Dzat Allah Yang Maha Mulia. Mereka menjadikan Sang Pencipta sama dengan makhluk-Nya. Berkata-kata sesuka hati mereka tentang Dzat-Nya yang Mulia.


Perpecahan dan perselisihan semakin buruk dengan pengaruh buku-buku filsafat Yunani dan India yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Setiap firqah berpecah ke dalam berbagai kelompok baru yang berseberangan pendapat dan saling menyalahkan.

Setelah itu muncul sekte Asy’ari [10] dan Maturidi [11], yang pada awalnya bertujuan untuk membendung pemikiran para ahli filsafat, Rafidhah dan aliran kebatinan, serta bertujuan untuk membantah pendapat-pendapat Mu’tazilah dan Jahmiyyah. Mereka memiliki andil yang patut disyukuri atas usaha tersebut, namun metode para ahli kalam dan filsafat yang mereka gunakan dan juga usaha untuk menyatukan pemikiran ahli kalam dengan Ahlussunnah telah memberikan pengaruh yang sangat buruk bagi aqidah umat ini.

Pada masa sekarang, sebagian besar pemikiran dan pendapat firqah-firqah tersebut telah berkembang dan diperbaharui, atau telah mengenakan bentuk yang lain dari bentuknya yang dahulu, atau telah berganti nama dengan nama-nama yang kadang membuat kagum orang yang melihat atau mendengarnya. Sehingga, seorang muslim sepatutnya selalu berusaha untuk memahami sisi-sisi kesamaan antara pemikiran/pendapat yang dahulu dengan pemikiran/pendapat yang sekarang, agar terpelihara dari kesalahan yang sama. [12]

Demikian juga, pembahasan dan penjelasan tentang penyimpangan dari ide-ide dan pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan dengan prinsip Islam yang shahih adalah sebuah keniscayaaan. Sehingga seorang muslim benar-benar berada diatas hujjah yang jelas mengenai aqidahnya, agar tidak mudah terpedaya dengan perkataan atau tulisan para pengikut pemikiran tersebut atau orang-orang yang terpengaruh dengannya.


Semoga Allah selalu membimbing kita dan menunjuki kepada jalan-Nya yang lurus. Amin. 


======================


Referensi :

  1. Firaq Mu’aashirah Tantasib ilaa al Islaam wa Bayaan Mauqif al Islaam Minhaa, Dr. Ghalib ‘Awaajy, Maktabah ‘Ashriyyah Dzahabiyyah - Jeddah, cet. V, th. 1426/ 2005.
  2. Al Bidaayah wa an Nihaayah, al Hafidz ‘Imaduddin Ibnu Katsir, Dar Ihya’ at Turats al ‘Araby – Beirut, tanpa tahun.
  3. Al Fashl fi al Milal wa al Ahwaa’ wa an Nihal, Abu Muhammad Ibnu Hazm, Dar Ihya at Turats al ‘Araby-Beirut, cet. I, th. 2002.
  4. Majmuu' Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dikumpulkan dan disusun oleh Abdurrahman al Qasim, cetakan Riyadh, th. 1372. 
  5. Al Mausuu’ah al Muyassarah fil Adyaan wal Madzaahib wal Ahzaab al Mu’aashirah, disusun oleh sebuah tim dari World Assembly Muslim Youth (WAMY) - Riyadh dibawah pengawasan dan diteliti kembali oleh Dr. Mani’ bin Hammad al Juhany, cet. V, th. 1424/ 2003. 
  6. Syarh al ‘Aqiidah al Waasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Daar Ibnul Jauzy – Dammam, cet. IV, th. 1424 H.



Catatan Kaki :

  1. Khawarij muncul pertama kali sebagai sebuah kelompok yang memiliki kekuatan pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, dengan membai’at Abdullah bin Wahb ar Raasiby sebagai Amirul Mu’minin tandingan pada tanggal 10 Syawwal tahun 37 H di Harura’, Irak. Berkata Syaikhul Islam : "Bid’ah yang pertama kali muncul dalam Islam dan yang paling jelas celaan terhadapnya dalam sunnah dan atsar adalah bid’ah Haruriyyah (Khawarij) yang membangkang…". [Majmuu Fataawa, XIX/ 71]. Beliau juga berkata : "Merekalah yang pertama kali mengkafirkan Ahli Kiblat dengan alasan dosa, bahkan dengan sesuatu yang mereka anggap sebagai dosa. Mereka halalkan darah-darah Ahli Kiblat dengan perkara tersebut…". [lihat juga : Majmuu’ Fataawa, XIII/ 20, 32; al Milal wan Nihal, I/ 91, al Fashl, III/ 107-109]
  2. HR. Bukhary (3610), dan Muslim (1064), (148) dari hadits Abu Sa’id al Khudry radhiyallahu ‘anhu.
  3. Syi'ah, sebuah firqah yang mengklaim bahwa mereka adalah syi’ah (pendukung) Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya. Dalam perkembangannya, Syi’ah terpecah kedalam banyak aliran. Yang paling moderat adalah firqah yang mengatakan Ali lebih berhak atas Khilafah daripada Abu Bakar dan Umar dengan tetap menghormati kedua shahabat tersebut, seperti firqah Zaidiyyah. Yang paling ekstrim adalah firqah yang menganggap Ali sebagai Tuhan seperti Saba’iyyah. [Majmuu’ Fataawa, XIII/33-36; al Fashl, III/ 97-107]
  4. Yang pertama kali berbicara tentang persoalan qadar (takdir) adalah Ma’bad bin Khalid al Juhany, seorang shalih yang taat beribadah hingga akhirnya mengabaikan ilmu. Terlibat dalam pemberontakan bersama Ibnul Asy’ats terhadap Khalifah Abdul Malik bin Marwan, dan dibunuh oleh al Hajjaj pada tahun 80 H setelah gagalnya pemberontakan tersebut. [al Bidaayah wan Nihaayah, IX/ 37]
  5. Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan bahwa Qadariyyah adalah Majusi-nya umat ini. Sebagian besarnya merupakan hadits dha’if. Tetapi beberapa jalan periwayatannya dihasankan oleh para ulama. Silahkan rujuk kepada kitab Shahih Sunan Ibnu Majah oleh Syaikh al Albany rahimahullah.
  6. Firqah Murji’ah terbagi kedalam banyak aliran dan saling berselisih pada sebagian dari prinsip-prinsip keyakinan irja’-nya. Yang paling dekat kepada Sunnah adalah Murji’ah Fuqaha’ di Kufah yang tidak memasukkan amal dalam hakekat keimanan (diantara tokohnya adalah Imam Abu Hanifah, guru beliau Hammad bin Abu Sulaiman, dan lain-lain –rahimahumullah). Sementara yang paling ekstrimnya adalah Murji’ah Jabariyah yang dianut oleh firqah Jahmiyah. Mereka mencukupkan iman sebagai ma’rifah (pengetahuan) hati, menganggap bahwa maksiat tidak akan berpengaruh pada keimanan, dan pengakuan serta amalan tidak termasuk dalam definisi iman. [lihat Majmu Fataawa, jilid VII pada beberapa tempat dari buku tersebut; Firaq Mu’aashirah, III/ 1089]
  7. Mu'tazilah, firqah Islam yang muncul pada akhir masa Bani Umawiyah dan berkembang pesat pada masa Bani Abbasiyyah. Firqah ini sangat mengagungkan akal dalam memahami aqidah Islam disebabkan oleh pengaruh filsafat yang masuk ke dunia Islam. Muncul pertama kali sebagai sebuah gerakan pemikiran dengan munculnya tokoh yang bernama Washil bin ‘Atha’ al Ghazzal, yang tadinya adalah murid Imam Hasan al Bashri, tapi akhirnya ber-i’tizal (memisahkan diri) dari gurunya setelah dia mengemukakan pendapat bahwa pelaku dosa besar berada pada manzilah baina manzilatain (satu tempat yang berada diantara dua tempat), yaitu tidak mukmin dan tidak juga kafir. Tapi bila meninggal sebalum bertaubat, maka dia kekal dalam neraka. Washil bin ‘Atha wafat pada tahun 131 H. [Majmuu’ Fataawa, XIII/ 386; al Milal, I/ 35-62]
  8. Al Ja’ad bin Dirham, berasal dari Khurasan dan bermukim di Damaskus. Orang yang pertama kali mengatakan bahwa al Qur’an adalah makhluk dan mengingkari seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla. Al Ja’ad mengambil bid’ah tersebut dari Bayan bin Sam’an, yang mengambilnya dari Thalut, putra saudari Labid bin A’sham, yang juga suami dari putrinya. Dan Labid bin A’sham -yang pernah menyihir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam- mengambil perkataan itu dari seorang Yahudi Yaman. Sebagian ulama mengatakan bahwa Al Ja’ad dibunuh oleh seorang gubernur Bani Umayyah, Khalid bin Abdillah al Qusary pada hari ‘Iedul Adha di Kufah karena aqidahnya yang menyimpang. [al Bidaayah wa an Nihaayah, IX/ 323-324]
  9. Jahmiyah, nisbat kepada Jahm bin Shofwan at Tirmidzi. Salah satu firqah ahli Kalam yang menisbatkan diri kepada Islam. Memiliki ide-ide dan pemikiran-pemikiran aqidah yang keliru dalam pemahaman keimanan serta nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala. Sementara pendirinya, Jahm bin Shofwan adalah orang yang mengadopsi bid’ah perkataan bahwa al Qur’an adalah makhluk, dan menolak serta mengingkari seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah dari al Ja’ad bin Dirham. Jahm dibunuh oleh Salim bin Ahwaz di Merv pada tahun 128 H setelah pemberontakannya yang gagal. [al Bidaayah wan Nihaayah, IX/ 324; Majmuu’ Fataawa, XII/502-503; al Milal, I/ 67-68]
  10. Asy'ariyah adalah sebuah firqah Islam yang dinisbatkan kepada Abul Hasan al Asy’ari (wafat di Baghdad tahun 324 H) yang berhijrah dari mazhab Mu’tazilah dan mendirikan sebuah mazhab baru. Walaupun sebenarnya Abul Hasan al Asy’ari telah bertaubat dan rujuk kembali kepada mazhab Salaf, tapi sebagian besar orang yang menisbatkan diri kepada Asy’ari masih berpegang pada pemahamannya yang keliru tersebut. Asy’ariyyah menggunakan argumentasi logika dan ilmu kalam dalam usaha mereka untuk membantah Mu’tazilah dan ahli filsafat demi untuk membela hakikat agama dan aqidah Islamiyah. Diantara tokoh-tokoh besar sekte Asy’ariyyah adalah Abu Bakr al Baqillany, Imam al Haramain al Juwainy, Abu Hamid al Ghazaly, dan Imam al Fakrurraazy. Semua tokoh yang disebutkan telah bertaubat dan kembali kepada manhaj Salaf di akhir hayatnya.  [Firaq Mu’aashirah, III/ 1205-1226, al Mausuu’ah al  Muyassarah, I/ 84-86]
  11. Maturidiyah, nisbat kepada Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al Maturidy (wafat tahun 333 H). sebuah firqah ahli Kalam yang juga menggunakan argumentasi akal dan filsafat untuk membantah lawan-lawan mereka dari kalangan Mu’tazilah, Jahmiyyah dan sekte-sekte kebatinan, demi untuk menetapkan dan membela aqidah Islamiyah menurut pemahaman mereka. Mazhab Maturidi masih tersebar luas di India dengan adanya madrasah-madrasah seperti Madrasah Deobond dan Darun Nadwah. [Firaq Mu’aashirah, III/ 1228-1242, al Mausuu’ah al Muyassarah, I/ 96-98]
  12. Al Mausuu’ah al Muyassarah, I/ 50.          
         

24 Mei 2012

Bagaimana Para Salaf Mencari Ilmu?

Berikut ini adalah sekilas tentang kisah-kisah para Ulama Salaf dalam menuntut ilmu syar'i. Mudah-mudahan hal ini bisa memberikan sedikit motivasi bagi kita dalam mempelajari agama ini dan bersabar dengan segala kesulitannya. Wallahul musta'an.

Berkata Yahya Ibnu Abi Katsir rahimahullah : "Ilmu tidak akan diperoleh dengan jasad yang bersenang-senang". [1]

Berkata an Nadhr ibn Syumail rahimahullahu : "Seseorang tidak akan merasakan nikmatnya ilmu, hingga dia lapar dan lupa dengan laparnya". [2]

Berkata Imam Malik bin Anas rahimahullahu : "Ilmu tidak akan diperoleh hingga dirasakan padanya pahitnya kefakiran". [3]




Ya, ilmu tidak akan mungkin diperoleh kecuali dengan berbagai kesulitan. Saya tidak katakan kesulitan seperti yang dialami para Salaf seperti dalam kisah-kisah mereka yang akan Anda baca, namun, kesulitan itu sebenarnya datang dari diri kita sendiri yang berwujud rasa malas, lemahnya obsesi, cenderung kepada kesenangan dunia, pasrah dengan lingkungan dan selalu mencari kambing hitam akan kesalahannya dalam kelalaian menuntut ilmu syar'i.


***


Imam Muhammad ibn Ishaq ibn Mandah rahimahullahu pergi menuntut ilmu pada umur 20 tahun dan kembali ke negerinya pada umur 65 tahun. Ia habiskan 45 tahun dari umurnya untuk berkeliling mencari dan mengambil ilmu dari 1700 orang syaikh (guru). Ketika kembali ke negerinya, ia menikah pada umur 65 tahun, dikaruniai anak dan mengajarkan hadits kepada manusia. [4]

Imam Abu Hatim ar Razy rahimahullahu pergi mencari dan mengumpulkan hadits dengan berjalan kaki. Ia berkata mengisahkan pengalaman dirinya : "Aku telah berjalan kaki sejauh 1000 farsakh, dan kemudian aku tidak pernah menghitungnya lagi". [5]

Tahukah Anda berapa jarak satu farsakh?.. Satu farsakh kurang lebih berjarak sejauh lima kilometer..

Umar bin Abdul Karim ar Rawasy bepergian dan mengambil ilmu dari 3600 syaikh. Pada salah satu perjalanannya mencari ilmu, beberapa jarinya terpotong karena salju yang sangat dingin. [6]

Berkata Imam Muhammad bin Thahir al Maqdisi rahimahullahu : "Aku telah kencing darah dua kali dalam perjalananku mencari hadits. Sekali di Baghdad dan sekali di Makkah. Hal itu terjadi karena aku berjalan tanpa alas kaki dibawah terik panas matahari dan di tengah padang pasir yang membakar. Aku sama sekali tidak pernah menunggang kendaraan kecuali sekali saja dan selalu memikul buku-buku di punggungku dalam perjalanan sampai tiba di suatu negeri. Aku tidak pernah meminta harta kepada siapa pun selama mencari ilmu dan mencukupkan diri dengan rezki dari Allah tanpa meminta-minta". [7]

Berkata Sa'id ibnul Musayyib, seorang ulama Tabi'in senior : "Aku berjalan berhari-hari pada siang dan malam (hanya) untuk mencari satu buah hadits". [8]

Berkata Abu Fadhl ibn Bunaiman : "Aku melihat Abul ‘Alaa’ al Hamadzaany di sebuah masjid di kota Baghdad sedang menulis sambil berdiri, karena lampu masjid berada di tempat yang tinggi". [9]

Hal itu tidak dilakukan kecuali karena kefakirannya. Tidak mampu membeli minyak untuk menyalakan lampu, dan akhirnya harus belajar dengan penerangan lampu masjid. Wallahul musta'an.  Semoga Allah merahmati mereka.

Dan terakhir dalam tulisan ringkas ini adalah perkataan Abu Ali al Balkhi rahimahullahu. Ia menceritakan kisahnya dalam mencari ilmu : "Aku berada di Asqalan untuk mencari ilmu. Suatu ketika bekalku habis dan aku berdiam beberapa hari tanpa makan. Kemudian aku pergi untuk menulis hadits, namun aku tidak mampu lagi menulis karena sangat lapar. Maka aku pergi ke warung seorang tukang roti, duduk di dekatnya untuk mencium bau roti yang dengannya aku memperkuat diri lagi untuk menulis. Hingga akhirnya Allah memberikan kemudahan untukku". [10]


***


Setelah membaca dan mengetahui semua ini, tidakkah kita malu bila malas berangkat ngaji, padahal jaraknya mungkin hanya kurang dari lima kilometer saja?!

Tidak malukah kita meluangkan waktu sejam untuk belajar ilmu agama?!

Tidak malukah kita jika enggan ikut pengajian, padahal tersedia fasilitas angkutan kota dan kendaraan pribadi?!

Ya,, Sepantasnya kita malu..


=========================

REFERENSI :

[1]  Muqaddimah Shahih Muslim

[2]  Tadzkirah al Huffadzh, I/314

[3]  Tartib al Madarik, II/68

[4]  Tadzkirah al Huffadzh, III/1032

[5]  Tadzkirah al Huffadzh, II/567

[6]  Tadzkirah al Huffadzh, IV/1238

[7]  Tadzkirah al Huffadzh, IV/1243

[8]  Al Bidayah wa An Nihayah, IX/111

[9] Tadzkirah al Huffadzh, III/915

[10] Tadzkirah al Huffadzh, IV/1173


(Disarikan dari kitab Aina Nahnu min Haa'ulaa', Syaikh Abdul Malik al Qasim, terbitan Darul Qasim-Riyadh, cet. III, th. 1423 H)

21 Mei 2012

Jihad Fi Sabilillah

Tatkala jihad ini merupakan puncak tertinggi Islam dan kubahnya, kedudukan para ahlinya adalah yang tertinggi di surga, sebagaimana mereka memiliki derajat yang tertinggi di dunia, mereka jugalah yang termulia di dunia dan akhirat; maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi  wasallam menempati derajat yang tertinggi dalam jihad tersebut dan telah mengamalkannya dalam segala bentuknya. Beliau telah berjihad karena Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya, baik dengan hati, dakwah, bayaan (penjelasan), pedang dan tombak. Seluruh waktunya dipergunakan untuk berjihad, dengan hatinya, lisannya dan tangannya. Karena itulah beliau orang yang paling mulia namanya dan paling agung kedudukannya di sisi Allah.


Allah telah memerintahkan kepadanya untuk berjihad semenjak pengutusannya sebagai rasul. Allah berfirman :

ولو شئنا لبعثنا فى كل قرية نذيرا، فلا تطع الكافرين وجاهدهم به جهادا كبيرا


"Dan andaikata Kami menghendaki, niscaya Kami utus kepada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan. Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an dengan jihad yang besar". [1]
 

Surat ini adalah surat Makkiyyah. Beliau diperintahkan untuk berjihad melawan orang-orang kafir, dengan hujjah, bayaan (penjelasan) dan tabligh (penyampaian) al-Qur’an. Demikian juga jihad terhadap orang-orang munafik, hal itu hanyalah (mungkin) dengan penyampaian hujjah. Karena pada hakikatnya mereka berada dibawah kekuasaan kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman :

يا أيها النبي جاهد الكفار والمنافقين واغلظ عليهم ومأواهم جهنم وبئس المصير

"Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya". [2]

Maka jihad terhadap orang-orang munafik lebih berat daripada jihad terhadap orang-orang kafir. Ini adalah jihadnya orang-orang khusus dari umat ini dan para pewaris rasul. Orang-orang yang berperan didalamnya sangatlah sedikit di alam ini. Namun, walaupun demikian, merekalah orang yang paling agung kedudukannya di sisi Allah.

 ****

Tatkala jihad terhadap musuh-musuh Allah yang dari luar merupakan cabang dari jihadnya seorang hamba terhadap dirinya sendiri dalam mencari keridhoan Allah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :


المجاهد من جاهد نفسه في طاعة الله، والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه

"Mujahid adalah orang yang berjuang terhadap dirinya sendiri dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, dan muhajir adalah orang yang berhijrah dari apa yang dilarang Allah" [3]; maka jihad melawan diri/hawa nafsu lebih didahulukan daripada jihad melawan musuh yang datang dari luar. Karena, barangsiapa yang belum berjihad menundukkan hawa nafsunya sendiri terlebih dahulu untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang, serta memeranginya karena Allah, maka tidak mungkin baginya untuk memerangi musuhnya yang dari luar. Bagaimana mungkin baginya memerangi dan mengalahkan  musuhnya yang dari luar sementara musuh yang berada diantara kedua sisinya mengalahkannya dan berkuasa atas dirinya. Dia tidak berjihad dan tidak memeranginya karena Allah. Bahkan tidak mungkin baginya keluar untuk menyongsong musuhnya hingga dia berjihad terhadap dirinya sendiri untuk diajak pergi berperang.


        Inilah dua musuh yang dengannya seorang hamba diuji untuk berjihad terhadapnya. Dan diantara keduanya itu, ada musuh ketiga yang mustahil ia akan berjihad terhadap kedua musuh tadi kecuali dengan berjihad terhadap musuh ini. Musuh yang selalu berada diantara keduanya, membuat seorang hamba malas untuk berjihad terhadap keduanya, membiarkannya, menghasutnya dan selalu membuat bayangan tentang sulitnya berjihad terhadap keduanya. Jihad yang hanya akan menghilangkan segala keuntungan, kenikmatan dan segala keinginan hawa nafsunya. Tidak mungkin baginya berjihad  terhadap kedua musuh tersebut kecuali ia berjihad terlebih dahulu terhadapnya. Inilah pokok dari jihad terhadap kedua musuh tersebut. Itulah syaitan. Allah Ta’ala berfirman :

إن الشيطان لكم عدو فاتخذوه عدوا

"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu)". [4]


      Perintah untuk mengambilnya sebagai musuh merupakan untuk mengerahkan segala usaha dalam memerangi dan berjihad terhadap musuh ini, seakan-akan dia adalah musuh yang tidak akan pernah berhenti dam lemah dalam memerangi seorang hamba sepanjang tarikan nafasnya.


***

Jika hal ini telah diketahui, maka jihad tersebut ada empat tingkatan : jihad terhadap hawa nafsu, jihad terhadap syaitan, jihad terhadap orang-orang kafir dan jihad terhadap orang-orang munafik.


Jihad terhadap diri/hawa nafsu juga terdiri dari empat tingkatan :


Pertama : berjihad terhadap dirinya untuk mempelajari al-huda (petunjuk) dan agama yang haq, yang tidak akan ada keberuntungan bagi jiwa tersebut dan kebahagiaan dalam kehidupannya ini dan tempat kembalinya nanti kecuali dengan ilmu. Kapan saja luput darinya ilmu, maka dia akan celaka di dunia dan akhirat.


Kedua : berjihad terhadapnya untuk mengamalkan ilmunya setelah mempelajarinya. Bila  tidak demikian, sekedar ilmu tanpa pengamalan jika tidak membahayakannya minimal tidak akan memberikan manfaat baginya.


Ketiga : berjihad terhadapnya untuk berdakwah kepada ilmu tersebut dan mengajarkannya kepada yang tidak mengetahuinya. Bila tidak demikian, maka dia termasuk orang-orang yang menyembunyikan petunjuk. Ilmunya tidak akan bermanfaat baginya dan tidak akan mampu menyelamatkannya dari azab Allah.


Keempat : berjihad terhadapnya untuk bersabar dengan segala kesulitan dalam berdakwah kepada Allah, bersabar terhadap keburukan para hamba dan menanggung seluruhnya semata-mata karena Allah.


Jika dia telah menyempurnakan empat tingkatan ini, maka dia tergolong orang-orang yang rabbaaniy. Karena para Salaf telah sepakat bahwa seorang yang berilmu tidak berhak disebut sebagai seorang yang rabbaaniy hingga dia mengenal al-haq, mengamalkannya dan mengajarkannya. Barangsiapa yang telah belajar, mengamalkan dan mengajarkan, maka itulah yang akan disebut di seluruh penghuni langit sebagai orang yang agung.



***


Jihad terhadap syaitan ada dua tingkatan. Pertama adalah berjihad terhadapnya atas segala syubhat dan keragu-raguan dalam iman yang dicampakkannya kedalam (hati) seorang hamba.


Kedua adalah berjihad terhadapnya atas segala keinginan-keinginan buruk dan godaan syahwat yang dicampakkannya kepada hamba tersebut. Jihad yang pertama mendatangkan keyakinan, dan yang kedua menghasilkan kesabaran. Allah berfirman:

وجعلنا منهم أئمة يهدون بأمرنا لما صبروا، وكانو بآياتنا يوقنون

"Dan Kami jadikan diantara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan mereka meyakini ayat-ayat Kami". [5]

Allah memberitahukan bahwa imamah dalam agama ini hanyalah diperoleh dengan kesabaran dan keyakinan. Kesabaran akan menolak segala godaan syahwat dan keinginan-keinginan buruk, sementara keyakinan akan menolak segala keraguan dan syubhat.



***


Jihad terhadap orang-orang kafir dan munafik ada empat tingkatan : dengan hati, lisan, harta dan jiwa. Jihad terhadap orang-orang kafir lebih dikhususkan dengan tangan, sementara jihad terhadap orang-orang munafik lebih dikhususkan dengan lisan.



***


Adapun jihad terhadap orang-orang zalim, ahli bid’ah dan pelaku-pelaku kemungkaran ada tiga tingkatan. Pertama dengan tangan bila memiliki kemampuan. Jika tidak mampu, berpindah kepada lisan. Jika tidak mampu, berjihad dengan hatinya. Inilah tiga belas tingkatan jihad, dan


من مات ولمْ يغزُ ولم يحدِّث نفسَهُ بالغزو مات على شعبةٍ من النفاق

"Siapa yang meninggal dan belum berperang, dan tidak pernah berniat dalam dirinya untuk berperang, maka dia mati dalam salah satu cabang kemunafikan". [6], [7]


==================

Footnotes :

[1]  QS. Al Furqan ayat 51-52
[2]  QS. At Taubah ayat 73

[3]  HR. Ahmad (VI/12) dari Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu 'anhu. Sanadnya baik. Dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim, dan disepakati oleh adz Dzahabi.

[4]  QS. Fathir ayat 6

[5]  QS. As Sajdah ayat 24

[6]  HR. Muslim (Kitab al Imarah), Abu Dawud (no. 2502) dan an Nasa'i (no. 3099)

[7]  Disarikan dari Zaad al Ma'ad fi Hady Khair al 'Ibaad, oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu, jilid III hal. 5-11, terbitan Muassasah ar Risalah, Lebanon dan Maktabah al Manar al Islamiyah, Kuwait, cet. III th. 1406/1986.


20 Mei 2012

Beda Bid'ah dengan Mashlahah Mursalah

Di sebagian besar kalangan di negeri kita, sangat masyhur istilah "bid'ah hasanah". Dengan landasan itu, mereka akhirnya melegalkan berbagai macam ritual yang jelas bid'ah dan penyimpangannya dalam agama. Dikarenakan minimnya ilmu dan sifat taklid buta kepada para tokoh agama, orang awam kita begitu mudahnya melakukan ritual ibadah atas nama agama dan melabelkannya sebagai "bid'ah hasanah". Mereka tidak bisa membedakan antara perkara yang jelas bid'ah dengan perkara syar'i yang disebut sebagai "mashlahah mursalah".

Akibatnya, mereka selalu menganggap ritual-ritual tahlilan, yasinan, haul, shalawatan dan yang semacamnya sebagai sebuah perkara baik walaupun tidak memiliki landasan syar'i dalam agama, dan mereka menyamakannya dengan perkara-perkara syar'i seperti penulisan dan pembukuan al Quran, pembukuan hadits dan cabang-cabang ilmu Islam seperti fiqh, tafsir dan lain-lain, penggunaan mikrofon dalam adzan dan shalat, bahkan sampai-sampai mereka menganggap pesawat dan alat-alat transportasi modern lainnya pun sebagai bid'ah hasanah (?!!)


Berikut ini kami akan menjelaskan tentang perbedaan yang sangat jelas antara bid'ah dengan "mashlahah mursalah" yang sering disalah artikan sebagai "bid'ah hasanah".


I. Definisi Bid’ah


Al Imam al Hafidz Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullahu telah mendefinisikan bid’ah dengan sebuah definisi yang mencakup, yaitu perkataan beliau :

فكل مَن أحدث شيئًا ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصل من الدين يرجع إليه : فهو ضلالة ، والدين منه بريء

"Setiap orang yang mengada-adakan sesuatu dan dia sandarkan kepada dien (agama), dan hal itu tidak memiliki landasan dari agama ini yang bisa dirujuk kepadanya, maka perkara itu adalah kesesatan, dan agama ini berlepas diri darinya". [1]


Dengannya bisa dipahami bahwa rukun-rukun bid’ah ada tiga, yaitu :
  1. Perkara yang baru dan diada-adakan
  2. Perkara tersebut disandarkan kepada agama
  3. Perkara baru tersebut tidak memiliki landasan dalam prinsip syariat yang menunjukkan kepada syar’inya perkara tersebut 


II. Definisi Mashlahah Mursalah ( المصلحة المرسلة )


Maslahat ( المصلحة ) menurut bahasa adalah manfaat, baik manfaat duniawi atau ukhrawi. Bentuk jama’ (plural)nya adalah mashâlih ( المصالح ).


Mursalah ( المرسلة ) menurut bahasa adalah yang lepas atau terabaikan.


Maslahat Mursalah menurut istilah adalah manfaat yang tidak ada padanya dalil khusus yang menetapkan atau membatalkannya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam penjelasan beliau tentang mashâlih mursalah :

وهو أن يرى المجتهد أن هذا الفعل يجلب منفعة راجحة ، وليس في الشرع ما ينفيه

"Yaitu, seorang mujtahid melihat bahwa perbuatan tersebut mendatangkan manfaat yang sangat jelas (manfa’ah râjihah), dan tidak ada dalam Syari’at perkara yang menafikannya/menolaknya". [2]



III. Persamaan dan Perbedaan antara Bid’ah dan Mashlahah Mursalah


Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara bid’ah dengan mashlahah mursalah. Disini kami nukilkan pembahasan ilmiah yang menjelaskan tentang sisi persamaan dan perbedaan antara bid’ah dan mashâlih mursalah yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Husain al Jîzâni hafidzhahullahu  [3], mudah-mudahan penjelasan ini bisa memberikan manfaat yang jelas dan terang bagi para pembaca.


a. Sisi persamaan antara bid’ah dan maslahah mursalah :
  1. Masing-masing perkara tersebut adalah perkara-perkara yang tidak pernah terjadi di masa kenabian, terutama mashâlih mursalah, dan umumnya bid’ah. Tetapi, mungkin saja terdapat beberapa bid’ah dimasa tersebut walaupun itu sangatlah sedikit. Sebagaimana yang disebutkan mengenai kisah tiga orang yang datang bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
  2. Masing dari bid’ah –umumya- dan juga mashlahah mursalah tidak memiliki dalil tertentu, karena dalil-dalil umum adalah perkara yang paling mungkin dijadikan rujukan dalam berargumen (istidlâl) untuk keduanya

b. Sisi perbedaan antara bid’ah dan mashlahah mursalah
  1. Bid’ah memiliki ciri tersendiri karena dia tidak terjadi kecuali dalam perkara-perkara ta’abbudiyyah (peribadatan) dan yang berkait dengannya dari urusan-urusan agama. Berbeda dengan mashlahah mursalah, karena pandangan umum didalamnya hanya terbatas pada perkara yang maknanya bisa dicerna oleh akal, yang jika perkara tersebut disodorkan kepada akal, maka akal akan langsung menerimanya dan tidak ada lowongan didalamnya bagi perkara-perkara ta’abbudiyah atau yang semacamnya dari urusan-urusan agama
  2. Bid’ah juga sangat berkait erat dengan tujuan awal dalam pandangan para pelakunya. Umumnya, mereka melakukannya untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dan bersifat paten. Mereka tidak akan pernah berpaling darinya, dan hampir mustahil mereka akan menggugurkan amalan tersebut dikarenakan bid’ah tersebut dalam pandangan mereka adalah perkara yang kuat dan jelas daripada dalil-dalil yang menentangnya. Sementara mashlahah mursalah dimaksudkan untuk tujuan yang kedua, bukan yang pertama. Mashlahah mursalah masuk kepada pembahasan tentang al wasâ-il (wasilah, sarana), karena dia disyari’atkan sebagai sarana untuk mewujudkan satu maksud dari Maqâshid asy Syarî’ah (tujuan-tujuan/misi Syari’at). Hal ini bisa dilihat bahwa maslahat tersebut tidak lagi dianggap dan ditinggalkan saat dia berbenturan dengan mafsadat yang lebih besar. Dengan ini, sangat tidak mungkin mengada-adakan bid’ah dari sisi mashalih mursalah
  3. Bid’ah selalu membawa para pengikutnya kepada perkara yang lebih berat dan menambah kesulitan mereka. Ini sangat berbeda dengan mashlahah mursalah, karena tujuannya adalah memberikan keringanan kepada para mukallaf (orang yang dibebani kewajiban Syari’at) dan menghilangkan kesulitan, atau untuk memelihara sebuah perkara yang sangat penting bagi kemaslahatan mereka
  4. Bid’ah bertentangan dengan maqâshid asy syarî’ah dan bahkan bisa merusaknya. Berbeda dengan mashlahat mursalah, agar layak diaplikasikan dalam pandangan Syar’i, maka dia harus masuk dalam lingkup maqâshid asy syarî’ah, sejalan dengannya dan berkhidmat untuk kepentingannya. Jika tidak demikian, maka dia tidak akan dianggap dan akan ditinggalkan
  5. Mashlahah mursalah memiliki ciri khusus bahwa dia tidak terjadi di masa kenabian dikarenakan tidak adanya sebab atau alasan untuk melakukannya (karena tiadanya kemungkinan untuk hal tersebut), atau ada sebab untuk melakukannya namun ada penghalang yang menghalanginya untuk dilakukan. Hal ini berbeda dengan bid’ah, karena hal tersebut sangat mungkin dilakukan di masa kenabian dengan terpenuhinya sebab dan alasan serta tidak adanya penghalang untuk melakukannya   
Inilah perbedaan yang sangat jelas antara bid’ah dengan mashlahah mursalah yang telah dijadikan rancu oleh sebagian orang dan menganggapnya sebagai "bid’ah hasanah". Mereka ingin menyamakan –sebagai contoh- penulisan mushaf, penggunaan mikrofon untuk adzan, penggunaan pesawat terbang, mobil dan kapal untuk haji dengan berbagai macam ritual bid’ah seperti tahlilan, yasinan, haul dan shalawatan.


Untuk membantah dugaan bid’ah hasanah dalam perkara-perkara tersebut, maka kami katakan sebagai contoh dan bukan bantahan untuk seluruhnya;


Penulisan & Pembukuan Mushaf Al Quran (dan juga Kitab-Kitab Hadits)

Penulisan dan pembukuan mushaf tidaklah masuk dalam kategori bid’ah. Tidak ada dalil yang memerintahkan perbuatan Sahabat menulis dan membukukan mushaf. Akan tetapi, mereka melihat maslahat besar yang selaras dengan misi Syari’at yaitu untuk menjaga keotentikan al Quran dan sekaligus menjaga Syari’at itu sendiri. Dan perkara untuk menjaga kemurnian al Quran adalah perkara yang sudah dimaklumi bersama.
 
Jika hal ini bisa dipahami dengan baik, maka seperti itu juga tujuan penulisan hadits, fiqh, tafsir dan berbagai macam disiplin ilmu dalam kitab-kitab, disamping kekhawatiran akan hilangnya ilmu tersebut.


Semuanya ini dilakukan sebagai sarana untuk sampai kepada tujuan yang dimaksud dan bukan tujuan hakiki. Benar, bahwa sebab dan alasan untuk penulisan dan pembukuan itu ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan alat tulis-menulisnya pun ada, akan tetapi, faktor-faktor al Quran yang belum turun seluruhnya, belum adanya kebutuhan tulisan dikarenakan kebiasaan Bangsa Arab saat itu yang ummi dan mengandalkan hafalan, dan juga adanya larangan untuk menulis hadits karena dikhawatirkan bercampur dengan al Quran; semuanya ini menjadi penghalang dilakukannya perkara tersebut di masa kenabian.


Lebih-lebih dengan memperhatikan sifat mashlahah mursalah yang disyaratkan: harus sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at, jelas sekali bagi kita bahwa meski kesemuanya ini tidak memiliki dalil khusus yang menetapkan maupun menolaknya, namun semuanya selaras dengan misi syari’at yang antara lain bertujuan menjaga dien.


Pengeras Suara (Mikrofon)

Mikrofon adalah sebuah maslahat dan bukan bid’ah. Hal ini sangat bisa dipahami karena dalam Syariat ada sunnah bagi yang mengumandangkan adzan adalah orang yang bersuara lantang dan nyaring. Dalam kasus ini, mikrofon berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan adzan ke tempat yang terjauh dan bukan ibadah yang berdiri sendiri sehingga harus dikategorikan sebagai bid’ah. Penggunaan mikrofon juga selaras dengan misi Syari’at dalam memberikan kemudahan dan tidak ada dalil yang menetapkan atau melarangnya. Dan juga, tidak ada kemungkinan hal itu dilakukan di masa kenabian karena alat seperti itu belum ada di masa tersebut.


Alat Transportasi

Adapun penggunaan sarana transportasi modern, maka ini sangat jauh dari definisi bid’ah. Karena bid’ah –seperti yang telah dijelaskan- hanya berlaku dalam perkara yang bersangkut paut dengan agama. Sementara alat transportasi adalah kebutuhan manusia dari masa ke masa yang akan selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia dan kemajuan teknologi. Sangat nampak kedangkalan akal dan kebodohan orang yang selalu mengait-ngaitkan alat-alat semacam ini dengan bid’ah dalam agama. Apa hubungannya antara ibadah dengan urusan duniawi seperti ini?! Semoga Allah menunjuki kita semua kepada hidayah-Nya dan membebaskan kita dari sikap fanatisme buta yang tidak berlandaskan dalil dan akal sehat.


Dengan penjelasan ini bisa diketahui bahwa Syari'at tidak pernah memberikan wewenang dalam perkara-perkara ta'abbudiyah kepada akal dan pemikiran para ahli ibadah. Sehingga tidak ada pilihan bagi mereka kecuali membatasi diri dengan apa yang telah ditetapkan oleh Syari'at. Karena tambahan dalam perkara Syari'at adalah bid'ah, sebagaimana mengurangi sesuatu darinya juga termasuk bid'ah.


Wallahu a'lam.


------------------------------------------------


Footnotes :
[1]  Jâmi’ al ‘Ulûm wa al Hikam, II/128
[2]  Majmû’ Fatâwâ, XI/342-343
[3]  Qawâ'id Ma'rifah al Bida', hal. 19-20