"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

27 Desember 2013

Melakukan Akad Nikah Melalui Telepon

Jika telah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan, hanya saja, wali dan mempelai laki-laki, masing-masing berada di kota yang berbeda, apakah boleh melakukan akad nikah melalui telepon?

Jawab :

Melihat banyaknya tipu daya dan penipuan pada masa ini, dan kemahiran sebagian orang dalam meniru suara orang lain dalam berbicara atau atau menyisipkan pembicaraan orang lain dalam suara, sampai-sampai salah seorang dari mereka mampu meniru kelompok laki-laki dan perempuan, anak kecil maupun orang dewasa, meniru dalam suara mereka dan dialog mereka yang berbeda-beda dengan pembicaraan yang memunculkan dalam hati orang yang mendengarkan bahwa yang berbicara adalah beberapa orang, padahal dia hanyalah satu orang saja; dan juga memandang kepada perhatian Syari'at Islam dalam menjaga kemaluan dan kehormatan, dan kaedah kehatian-hatian yang diterapkan dalam masalah ini jauh lebih ketat daripada apa yang diterapkan dalam persoalan akad muamalah lainnya; maka Lajnah memandang tidak selayaknya bersandar kepada pembicaraan telepon dalam akad pernikahan, dalam ijab qabul dan mewakilkannya. Demi untuk mewujudkan maqashid asy-syari'ah (tujuan-tujuan pensyariatan) dan memperketat perhatian dalam menjaga kemaluan dan kehormatan. Sehingga para pemuas hawa nafsu tidak mempermainkan masalah ini, dan juga orang-orang yang diajak jiwanya untuk mengadakan penipuan. Wa billahi at-taufiq.

Wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

Al-Lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta' (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)

Ketua :
Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz

Wakil :
Abdul Razzaq Afifi

Anggota :
Abdullah bin Ghudayyan
Abdullah bin Mani'

-------------------------

Sumber : Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah,XVIII/91, fatwa no. 1216

23 Desember 2013

Tidak Hadir Kerja dan Terlambat Tanpa Uzur

Saya bekerja di salah satu instansi pemerintah. Sebagaimana Anda ketahui, gaji saya tidak mencukupi untuk biaya hidup dan saya bekerja jam 5 sore sampai jam 11 malam. Saya bekerja (sebagai tambahan) pada siang hari dan saya berangkat kerja (ke kantor) pada jam 6 atau 6.30. Akan tetapi saya melaksanakan tugas yang dibebankan dengan sebaik mungkin. Pertanyaannya : Apakah haram "mencuri" waktu kerja resmi pemerintah sebagaimana yang dikatakan pimpinan saya? Dan apakah gaji yang saya ambil itu haram dan tidak ada keberkahan padanya? Saya berharap kesediaan Anda untuk memberikan faedah kepada saya tentang persoalan penting ini, dimana saya bingung dan khawatir jika gaji saya, walaupun kecil, adalah gaji yang haram dengan keadaan yang saya sebutkan, saya menunaikan pekerjaan saya dan bekerja tambahan dari pekerjaan resmi itu.

Jawab :

Anda wajib hadir di tempat kerja Anda sesuai dengan waktu-waktu resmi yang ditetapkan, dan tidak selayaknya Anda meninggalkan pekerjaan Anda tanpa izin dari pimpinan sesuai dengan aturan yang berlaku. Wa bi_llahi at-taufiq.

Wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Al-Lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta'

22 Desember 2013

Adakah Dalil Mengucapkan Niat sebelum Shalat?

Adakah dalil mengucapkan niat sebelum shalat? Jika tidak ada, apakah termasuk bid'ah? Jika tidak ada, bagaimana saya menjelaskan kepada keluarga agar tidak mengucapkannya? Karena kami semua mempelajari niat tersebut dari buku Tuntunan Shalat.

Eka Yuliana (ekayuliana@xxxxx.com)

Jawab :

Tidak ada dalil satu pun dari al-Quran atau Sunnah yang memerintahkan atau menganjurkan untuk mengucapkan niat sebelum shalat atau ibadah-ibadah lainnya. Hal itu tidak pernah juga dinukil dari para Shahabat, Tabi'in, bahkan dari para Imam mazhab yang empat. Perbuatan ini termasuk bid'ah yang mungkar, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan,

من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ

"Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka perkara itu tertolak." (HR. al-Bukhary dan Muslim)

Dalam riwayat lain,

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو ردّ

"Barangsiapa mengerjakan satu amalan (ibadah) yang tidak ada perintah kami padanya, maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim)

Kewajiban kita terhadap orang yang masih mengamalkannya adalah bernasehat dengan cara yang baik. Sampaikan persoalan ini kepada keluarga dengan mencari kesempatan yang tepat, dengan diskusi yang baik dan ajaklah mereka untuk berpikir sederhana bahwa agama ini milik Allah. Dia yang berhak mengatur tentang urusan agama ini. Itulah keistimewaan Allah yang tidak bisa ditandingi oleh siapapun. Kalau setiap orang bebas untuk berbicara tentang agama Allah ini tanpa ilmu, menambah atau mengurangi ibadah dengan semau hawa nafsunya, apalagi keistimewaan yang tersisa Rabb semesta alam?

Kaedah umumnya bahwa hukum asal ibadah adalah haram kecuali apa yang diperintahkan. Adapun dalam urusan duniawi, maka hukum asalnya adalah mubah (boleh/halal) kecuali apa yang dilarang. Barangkali saja dengan logika sederhana ini mereka bisa menerima argumen yang Saudari sampaikan tentang masalah ini.

Semoga Allah memberkahi Saudari dan keluarga.

17 Desember 2013

Berpartisipasi dalam Perayaan Keagamaan Orang Kafir

Ditanyakan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu :

Sebagian muslim ikut berpartisipasi bersama orang-orang Nasrani dalam hari-hari perayaan keagamaan mereka. Apa nasehat Anda untuk hal ini?

Beliau menjawab :

Tidak boleh bagi seorang muslim atau muslimah ikut serta bersama orang-orang Nasrani atau Yahudi atau selain mereka dari orang-orang kafir dalam perayaan hari-hari besar mereka. Bahkan yang wajib adalah meninggalkan hal tersebut. Karena, siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka. Rasul 'alaihisshalatu was salam telah memperingatkan kita dari menyerupai mereka dan berakhlak dengan akhlak mereka.

Wajib bagi seorang mukmin dan mukminah untuk waspada dengan perkara ini, dan tidak boleh bagi keduanya membantu mereka dalam bentuk apapun karena hari raya mereka itu menyelisihi Syariat sehingga tidak dibolehkan ikut serta di dalamnya, tidak juga tolong menolong bersama mereka dan tidak membantu mereka dalam bentuk apapun. Tidak dengan memberikan teh, kopi atau yang selainnya seperti perkakas dan lain-lain. Karena Allah subhanahu berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلىَ البِرِّ وَالتقْوىَ وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلىَ الإثْمِ وَالعُدْوَانِ واتّقُوا اللهَ إنَّ اللهَ شَدِيْدُ العِقَابِ

"Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Berat siksaNya." (QS. Al-Maidah ayat 2)

Berpartisipasi bersama orang-orang kafir dalam hari-hari raya mereka tergolong tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.

(Sumber : Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, VI/405)

12 Desember 2013

Melafazkan Niat dalam Ibadah

Apa hukumnya melafazkan niat dalam shalat dan ibadah lainnya?

Dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu :

Melafazkan niat tidak pernah dikenal di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan masa para as-Salaf ash-Shalih. Ini termasuk perkara yang diada-adakan manusia dan tidak ada perlunya melakukan hal tersebut. Karena niat tempatnya di hati dan Allah Maha Mengetahui apa yang dalam hati para hamba. Anda tidak berdiri di hadapan Dzat yang tidak mengetahui sehingga harus mengatakan : Saya akan mengucapkan apa yang saya niatkan agar Dia mengetahuinya. Anda berdiri di hadapan Dzat yang mengetahui apa yang dibisikkan oleh jiwamu, mengetahui keadaanmu, masa lalumu dan saat ini.

Mengucapkan niat termasuk perkara yang tidak pernah dikenal oleh para as-Salaf ash-Shalih. Jika perkara itu baik, niscaya mereka akan mendahului kita dalam perkara tersebut. Maka tidak selayaknya seseorang mengucapkan niatnya, tidak dalam shalat dan tidak pada yang selainnya dari ibadah-ibadah, tidak secara sirr maupun jahr.

(Majmu' Fatawa wa Rasa-il asy Syaikh Muhammad ibn Shalih al Utsaimin rahimahullahu, jilid XII, bab tentang niat)

08 Desember 2013

Ketika Kata Cerai Terucap dalam Kemarahan

Kondisi kemarahan dalam persoalan talak (perceraian) secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian;

Pertama, kemarahan yang menghilangkan akal sehingga orang yang mengucapkannya tidak mengetahui apa yang telah dia ucapkan saat marahnya. Dalam kasus seperti ini, talak itu tidak jatuh tanpa ada perselisihan di kalangan ulama.

Kedua, kemarahan yang terjadi pada permulaannya, dimana akal dan pikirannya tidak berubah, yang tidak menghalangi pelakunya untuk memahami apa yang dia ucapkan dan tujuan dari ucapannya itu. Kasus kedua ini, talak itu jatuh tanpa ada perselisihan.

Ketiga, pertengahan antara keadaan yang pertama dan kedua, dimana kemarahan itu sangat memuncak dan menguasai dirinya tapi tidak sampai menghilangkan akal sehatnya untuk berpikir. Hanya saja, kemarahan itu telah menghalangi antara dirinya dan niat asalnya dimana dia akan merasakan penyesalan mendalam atas kelalaian dan kekeliruannya itu ketika marahnya hilang. Dia mengetahui dan memahami apa yang dia ucapkan, tahu bahwa dialah yang menikahi istrinya atau menceraikannya, akan tetapi kemarahan telah menguasai dirinya dengan satu kemarahan yang membuatnya mengucapkan kata cerai.

Kasus ketiga ini diperselisihkan oleh para ulama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim, memandang bahwa talak tidak jatuh dalam kondisi kemarahan demikian. Itu pula pendapat yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad al-Utsaimin, rahimahumullahu.

Wallahu a'lam.

------------------------

Silahkan dirujuk Zad al-Ma'ad (V/195), Ighatsah al-Lahafan fi Hukmi Thalaq al-Ghadhban (hal. 38), Fatawa Ibn Baz (XXI/373) dan asy-Syarh al-Mumti' (XIII/27)

17 November 2013

Keluar Tetesan Darah Selesai Mandi Bersuci dari Haid

Ketika selesai haid dan setelah mandi, saya dikagetkan dengan keluarnya beberapa tetes darah. Apakah saya wajib mandi lagi atau tidak?

*****

Jika waktu haid Anda telah selesai sempurna, lalu Anda melihat cairan kekuningan atau keruh, maka cairan tersebut tidak dianggap apa-apa. Anda tetap harus puasa (jika di bulan Ramadan) dan tetap shalat. Berdasarkan hadits Ummu Athiyah radhiyallahu 'anha yang berkata,
كنا لا نعد الصفرة والكدرة بعد الطهر شيئا " رواه البخاري ( 1/ 426 )
 
"Kami dahulu tidak menganggap/mempermasalahkan sesuatu cairan kekuningan dan keruh (yang keluar) setelah masa suci." (HR. al-Bukhary, 1/426)
 
Hal ini berlaku jika masa haid telah berhenti sempurna. Adapun jika cairan kekuningan dan keruh tersebut keluar masih pada masa haid, maka dia dianggap haid. Begitupula jika masa kebiasaan Anda misalnya tujuh hari, lalu pada hari kelima darah berhenti keluar dan anda melihat cairan kekuningan dan keruh, maka hal itu dianggap haid, Anda masih tidak boleh shalat dan puasa. 

Adapun jika apa yang Anda sebutkan terjadi berulang-ulang setiap bulan, maka hendaknya Anda mandi jika darahnya terhenti atau melihat tanda suci sesudahnya. Adapun jika tetesannya sedikit dan tidak bersifat rutin, hanya kadang-kadang saja serta bukan darah murni, sekedar cairan kekuningan dan keruh, maka hal itu tidak dianggap apa-apa dan Anda tidak harus mandi. Keberadaannya dianggap tidak ada, hendaknya Anda mandi kapan saja Anda melihat tanda-tanda suci. 

Wallahua'lam

Fatawa Syaikh Abdullah bin Humaid rahimahullahu, hal. 52

Sumber : www.islamqa.com

13 November 2013

Syi'ah Tidak Mampu Menjawab

Pertanyaan Pertama

Apakah Anda beriman kepada takdir?

Jika Anda mengatakan “Iya”, saya katakan kepada Anda : “Mengapa Anda menyakiti diri dengan memukul-mukul badan, berteriak dan menangisi al-Husain?”

Jika Anda mengatakan bahwa Anda tidak beriman kepada takdir, selesailah urusan ini dengan pembangkangan Anda terhadap takdir dan ketidak ridhaan Anda terhadap hikmah Allah Ta’ala.

Pertanyaan Kedua

Termasuk dalam keyakinan Anda adalah apa yang Anda dan seluruh Syiah lakukan pada hari Asyura’.

Jika Anda mengatakan Allah dan rasul-Nya memerintahkan itu, maka dimanakah dalilnya?

Jika Anda mengatakan tidak ada seorang pun yang menyuruhnya, maka saya katakan ini adalah perkara bid’ah.

Jika Anda mengatakan bahwa Ahlul Bait menyuruhmu untuk melakukan itu, maka saya akan meminta darimu, siapa dari mereka yang pernah melakukannya?

Jika Anda mengatakan : Saya hanya mengungkapkan kecintaan saya kepada Ahlul Bait... Maka saya akan mengatakan : Kalau demikian keadaannya, maka setiap “orang-orang yang bersorban” (ulama-ulama, tokoh-tokoh dan pembesar-pembesar Syiah) sebenarnya membenci Ahlul Bait, karena kami tidak pernah melihat mereka menampar-nampar pipi. Demikian pula sesama Ahlul Bait saling membenci diantara mereka, karena tidak ada seorang pun diantara mereka yang menampar atau melukai diri untuk meratapi yang lainnya.

Pertanyaan Ketiga

Apakah keluarnya al-Husain ke Karbala dan terbunuhnya beliau merupakan kemuliaan untuk Islam dan kaum muslimin atau sebaliknya, kehinaan untuk Islam dan kaum muslimin?

Jika Anda mengatakan untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin, saya katakan, mengapa kalian menangisi hari yang merupakan kemuliaan Islam dan kaum muslimin? Apakah kemenangan Islam itu telah menyakiti Anda?

Jika Anda mengatakan itu merupakan kehinaan untuk Islam dan kaum muslimin, saya katakan : Apakah kita akan menyebut al-Husain sebagai orang yang menghinakan Islam dan kaum muslimin?
Karena al-Husain dalam keyakinan Anda mengetahui yang ghaib, yang dengannya tentu saja ia telah mengetahui bahwa ia akan menghinakan Islam dan kaum muslimin…

Pertanyaan Keempat

Manfaat apa yang didapatkan al-Husain dari perginya dia ke Karbala dan terbunuh disana?

Jika Anda mengatakan dia keluar untuk melawan kezaliman, maka saya katakan : Mengapa ayahnya, Ali bin Abi Thalib tidak keluar untuk melawan orang-orang yang telah menzaliminya?

Apakah al-Husain lebih mengetahui daripada ayahnya? Ataukah ayahnya tidak pernah mengalami kezaliman itu? Ataukah Ali bukanlah seorang yang pemberani untuk melawan kezaliman?

Mengapa pula saudaranya, al-Hasan tidak keluar memerangi Mu’awiyah? Bahkan ia berdamai dengannya dan menyerahkan kepemimpinan negeri dan kaum muslimin kepadanya. Siapakah diantara ketiga orang ini yang benar?

Pertanyaan Kelima

Mengapa al-Husain membawa serta bersamanya keluarga wanita dan anak-anaknya menuju Karbala’?

Jika Anda mengatakan bahwa dia tidak pernah tahu menahu apa yang bakal terjadi terhadap diri mereka… Saya katakan : Anda telah mencampakkan ‘ishmah (kema’shuman) dari dirinya yang kalian katakan bahwa al-Husain mengetahui perkara yang ghaib.

Jika Anda mengatakan bahwa al-Husain tahu tentang hal tersebut, maka saya katakan : Apakah al-Husain keluar menuju Karbala untuk membunuh anak-anaknya? Radhiyallahu ‘anhum

Pertanyaan Keenam

Jika Anda mengatakan bahwa al-Husain keluar untuk menyelamatkan Islam seperti yang digembar gemborkan oleh ulama-ulama Anda, saya akan tanyakan kepada Anda : Apakah Islam sudah menyimpang pada masa pemerintahan al-Hasan? Apakah Islam telah menyimpang pada masa pemerintahan Ali?!

Mengapa keduanya tidak keluar untuk mengembalikan Islam seperti semula?

Pilihannya : entah Anda mempersaksikan keadilan para Khalifah yang tiga sebelum Ali, kejujuran mereka dan keridhaan Ali terhadap mereka semua, atau justru Anda mempersaksikan pengkhianatan Ali dan putranya al-Hasan terhadap Islam sehingga perlu diselamatkan oleh al-Husain…

Pertanyaan Ketujuh

Siapakah yang membunuh al-Husain?

Jika Anda mengatakan : Yazid bin Mu’awiyah, saya akan menuntut Anda dengan sebuah dalil yang shahih dari kitab-kitabmu (dan Anda tidak perlu susah payah mencari, karena tidak ada dalil yang shahih dalam kitab-kitabmu yang menyebutkan bahwa Yazid membunuh atau menyuruh membunuh al-Husain).

Jika Anda mengatakan bahwa yang membunuhnya adalah Syamr bin Dzil Jausyan, maka saya katakan padamu : ”Mengapa Anda melaknat Yazid?”

Jika Anda mengatakan al-Husain terbunuh di masa pemerintahan Yazid, maka saya katakan bahwa Imam Anda yang ghaib (yang bersembunyi di gua) bertanggung jawab terhadap setiap darah muslim yang tumpah. Di masanya, Iraq, Palestina, dan Afghanistan terjajah dan Syiah pun diserang, sementara dia berlepas diri dan tidak berbuat apapun…

(Dalam keyakinan Syiah, Imam yang ghaib itulah penguasa yang hakiki di alam semesta ini).

Pertanyaan Kedelapan

Manakah yang lebih berat bagi Islam dan kaum muslimin, kematian Nabi ﷺ atau terbunuhnya al-Husain?

Jika Anda mengatakan kematian Nabi ﷺ, saya tanyakan : Mengapa kami tidak melihat kalian menampar dan memukul-mukul tubuh untuk beliau?

Jika kalian mengatakan terbunuhnya al-Husain lebih berat dan buruk, maka akan jelaslah bagi manusia bahwa Nabi yang mulia tidak memiliki kedudukan berarti dalam pandangan kalian, dan kalian lebih mengutamakan al-Husain daripada beliau.

Pertanyaan Kesembilan

Al-Husain radhiyallahu ‘anhu dalam keyakinan Syiah mengetahui yang ghaib. Apakah dia keluar bersama keluarganya untuk bunuh diri?

Jika Anda mengatakan “Iya”, Anda telah menuduhnya bunuh diri dan membunuh anak-anaknya.
Jika Anda mengatakan “Tidak”, maka Anda telah menggugurkan kema’shuman dan keimamahannya..

Pertanyaan Kesepuluh

Ulama-ulama kalian mengatakan bahwa para Imam Syiah memiliki “wilayah takwiniyah” (kekuasaan di alam raya) yang tunduk dibawahnya seluruh apa yang ada di alam ini. Apakah Syamr, pembunuh al-Husain radhiyallahu ‘anhu juga tunduk kepada “wilayah takwiniyah” tersebut?

Jika Anda mengatakan “Iya”, maka itu bermakna bahwa al-Husain mati bunuh diri karena dia tidak mempergunakan “wilayah takwiniyah” yang ada pada dirinya.

Jika kalian mengatakan “Tidak”, Syamr tidak tunduk kepadanya, maka Anda telah mendustakan seluruh ulama Anda yang telah bersepakat tentang perkataan mengenai “wilayah takwiniyah” tersebut.

Pertanyaan Kesebelas

Mengapa kami melihat orang-orang yang menampar pipi, berteriak-teriak, mencambuk dirinya dengan rantai dan memukul kepalanya dengan pedang; mereka itu adalah kalian orang-orang awam… Sementara kami melihat “Orang-orang bersorban” tidak pernah melakukan hal tersebut?

Jika Anda mengatakan ucapanku tidak benar, karena mereka juga melakukan itu; menampar, melukai diri, merayap dan seterusnya seperti yang kalian lakukan… maka saya menuntut bukti dari Anda!

Jika Anda mengatakan: “Iya, dan itulah realitanya”… maka saya akan tinggalkan seribu tanda tanya di kepala Anda mempertanyakan loyalitas dan kecintaan mereka terhadap Ahlul Bait.

Pertanyaan Keduabelas

Kalian, pada setiap Hari Asyura’ di setiap tahunnya selalu mendengung-dengungkan untuk membalas dendam atas pembunuhan al-Husain!

Pertanyaannya : Mengapa para Imam Syiah tidak pernah membalas dendam mereka terhadap pembunuh ayahnya (al-Husain) sebagaimana yang kalian klaim? Apakah kalian lebih berani daripada mereka?

Jika kalian mengatakan: “Kami lebih pemberani”, maka selesailah urusan ini.

Jika kalian mengatakan bahwa para Imam tidak mampu melakukannya karena situasi politik tertentu, maka saya katakan kepada kalian : Dimanakah “wilayah takwiniyah” yang tunduk kepadanya seluruh apa yang ada di alam ini?! Ataukah itu hanyalah sebuah khurafat yang ada di kepala kalian?

Kemudian, siapa juga orang yang akan kalian tuntut untuk membalaskan dendam al-Husain darinya?!

Pertanyaan Ketigabelas

Pertanyaan ini ditujukan kepada Mahdi Syiah yang kabur bersembunyi: Mengapa Anda lari sampai saat ini? Apakah Anda takut terhadap seseorang? Ataukah Anda hanyalah sebuah kebohongan? Dan apakah benar Anda akan keluar dengan sebuah al-Quran baru yang bukan al-Quran kami sekarang?

Jika Anda mengatakan : Saya tidak takut!… Saya katakan : Kalau begitu, apalagi yang Anda tunggu untuk keluar?

Jika Anda mengatakan : Saya menunggu perintah Allah… Maka saya meminta darimu dalil, karena Nabi ﷺ tidak meninggalkan sesuatu perkara melainkan telah beliau jelaskan kepada kami. Kecuali jika Anda mencela Nabi dalam perkara ini, maka itu urusan Anda sendiri.

Jika saya berjumpa denganmu wahai Imam, saya akan memintamu untuk mengadakan forum debat antara saya dengan Anda di ruangan para pembela Ahlul Bait, di atas balkon!!!

Wahai Pengikut Syiah…

Saya tidak menuntutmu kecuali satu hal saja; gunakan akalmu dan berpikirlah!! Jangan Anda menyerahkannya kepada “Orang-orang bersorban” untuk berpikir mewakilimu dan menentukan arah hidupmu. Cukuplah orang-orang itu telah mencuri hartamu, yang mungkin saja dia juga telah mencuri kehormatanmu… Maka jagalah akalmu dan berpikirlah!!

10 November 2013

Mereka Saling Menyayangi

Dengan apa Anda akan memberi nama kepada anak-anak kesayangan Anda?

Pernahkah Anda membayangkan bahwa seseorang diantara kita akan memberi nama anaknya dengan nama-nama orang yang sangat dimusuhinya dan dibenci?

Sekte Syi'ah Imamiyah mendakwakan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu (Abul Hasan al-Murtadha, imam ma'shum pertama dalam keyakinan Syi'ah) sangat benci terhadap para shahabat Khulafa' Rasyidun dan juga shahabat-shahabat senior lainnya. Tapi anehnya, nama-nama putra beliau dan juga anak keturunannya memberikan gambaran yang sangat berbeda dari apa yang diyakini dan diimani Syi'ah tentang perkara tersebut.

Sebagai wujud cinta dan hormat beliau kepada para Khulafa' Rasyidun yang telah mendahuluinya, Imam Ali radhiyallahu 'anhu memberikan nama-nama berikut ini kepada tiga orang putranya; Abu Bakr bin Ali, Umar bin Ali dan Utsman bin Ali. Ketiganya terbunuh bersama saudara mereka, al-Husain radhiyallahu 'anhu di Thaff Karbala', Irak.

Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Abu Muhammad az-Zakiy, imam kedua dalam keyakinan sekte Imamiyah, telah memberi nama beberapa putranya dengan nama-nama ini; Abu Bakr bin al-Hasan, Umar bin al-Hasan dan Thalhah bin al-Hasan. Ketiganya juga ikut berperang dan terbunuh bersama paman mereka, al-Husain.

Sementara al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, Abu Abdillah asy-Syahid, imam ketiga dalam mazhab Imamiyah, memiliki seorang putra dengan nama yang sangat dibenci Syi'ah; Umar bin al-Husain!

Putra tertuanya, Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, yang digelari Zainul Abidin, imam keempat dalam mazhab Imamiyah, memiliki seorang putri yang beliau namakan Aisyah dan seorang putra yang bernama Umar.

Shalawat dan salam semoga tercurahkan untuk Sang Kekasih, Rasulullah Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan ahli baitnya yang suci.

28 Oktober 2013

Sekilas tentang Tabarruk

Definisi

Tabarruk (at-tabarruk) adalah meminta keberkahan berupa tambahan kebaikan dan pahala, dan setiap apa yang dibutuhkan oleh seorang hamba dalam urusan agama maupun dunianya. Keberkahan tersebut diperoleh dengan sebab materinya yang penuh keberkahan, atau masa dan tempat yang berkah, dan keberkahan itu diketahui dengan dalil syar'i yang jelas atau diperoleh dengan cara yang benar dari petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Kaedah Umum dalam Persoalan Tabarruk
  1. Keberkahan seluruhnya berasal dari Allah, sebagaimana rezki, kemenangan dan keafiatan berasal dari Allah. Karenanya, keberkahan tidak diminta kecuali dari Allah, dan mengharapkan keberkahan dari selain-Nya adalah kesyirikan.
  2. Apa yang disebutkan oleh Syari'at bahwa padanya ada keberkahan, baik itu orang, materi, ucapan ataupun perbuatan, maka semuanya itu semata-mata sebab untuk didapatkannya keberkahan dan bukan sumber dari keberkahan tersebut.
  3. Yang menunjukkan ada atau tidaknya keberkahan dengan sebab sesuatu atau pada sesuatu, maka itu adalah dalil syar'i, bukan yang selainnya.

Contoh untuk Tabarruk yang Masyru' (Disyari'atkan)
  1. Bertabarruk dengan diri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan peninggalan yang berasal dari diri/jasad beliau.
  2. Bertabarruk dengan perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan serta bentuk-bentuk yang disyari'atkan. Jika seorang muslim melakukan salah satunya untuk mencari kebaikan dengan sebabnya, mengikuti Sunnah dalam melakukannya, maka dia akan memperoleh kebaikan dan keberkahan sesuai dengan kadar niat dan usahanya. Diantaranya adalah dengan dzikir kepada Allah, membaca Al-Quran, termasuk juga diantaranya berkumpul saat makan, maka dari pinggiran nampan dan menjilat jari selesai makan.
  3. Tabarruk masyru' dengan tempat, seperti bertabarruk dengan masjid-masjid secara umum, dengan Al-Masjid Al-Haram, Al-Masjid An-Nabawi, Al-Masjid Al-Aqsha dan Masjid Quba' secara khusus karena keempat masjid ini memiliki keistimewaan tersendiri. Keberkahan tersebut diperoleh dengan shalat, beribadah dan beramal shalih di dalamnya, bukan dengan mengusap-usap dinding atau tempat-tempat tertentu dari masjid-masjid tersebut. Diantara tempat-tempat yang diberkahi adalah kota-kota Makkah dan Madinah serta negeri Syam.
  4. Tabarruk dengan zaman/masa, seperti bulan Ramadhan, Lailatul Qadr, sepertiga malam terakhir, hari Jum'at dan sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah.
  5. Tabarruk dengan beberapa jenis makanan atau minuman yang disebutkan dalil tentang keberkahannya seperti minyak zaitun, susu, kurma, habbah sauda' (jinten hitam), makan sahur, demikian juga seperti halnya madu dan air zam-zam.
Secara umum, sebab terbesar untuk keberkahan ini adalah iman dan ketakwaan. Allah Ta'ala berfirman,

وَلَوْ أنَّ أهْلَ القُرَى ءَامَنُوْا وَاتَقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَمَاءِ وَالأرْضِ

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi." (QS. Al-A'raf ayat 96)

Tabarruk yang Terlarang

Yaitu bertabarruk dengan sesuatu yang tidak memiliki dalil syar'i dalam Al-Quran maupun Sunnah, atau ada dalil yang melarang untuk bertabarruk dengannya, seperti bertabarruk dengan berthawaf di kuburan, berdoa kepada orang-orang yang sudah wafat atau orang yang tidak berada di tempat, bertabarruk dengan pohon-pohon, batu-batu, lautan, gunung, tanah atau dinding kuburan (yang diklaim sebagai milik) para nabi dan orang-orang shalih, demikian juga bertabarruk dengan diri/jasad orang-orang alim dan shalih; yang seperti ini tidak boleh dilakukan, karena keberkahan itu diambil dengan mengambil ilmu dari mereka dan mengambil faedah dari petunjuk dan akhlak mereka.

(Disadur dari "Kalimat fi Asy-Syafa'ah wa Ath-Thiyarah wa At-Tabarruk wa At-Tama'im", Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd)

16 Oktober 2013

Mengubah Nama Selesai Melaksanakan Haji

Apa hukumnya mengubah nama sebagaimana umumnya para jamaah haji Indonesia, karena mereka mengubah nama di Makkah al-Mukarramah atau al-Madinah al-Munawwarah. Apakah hal itu sunnah atau bukan?

Jawab :

Dahulu Nabi shallallahu 'alahi wasallam mengubah nama-nama yang buruk menjadi nama-nama yang baik. Jika mengubah nama-nama jamaah haji Indonesia itu untuk alasan tersebut, bukan karena selesainya mereka dari haji atau karena ziarah ke Masjid Nabawi untuk shalat di dalamnya, maka hal itu dibolehkan. Adapun jika itu dilakukan karena keberadaan mereka di Makkah atau Madinah, atau selesainya mereka dari haji -misalkan- maka perkara itu adalah bid'ah, bukan sunnah. Wa bi_llahi at-taufiq.

وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم

Al-Lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta'

Ketua :
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Wakil :
Abdul Razzaq Afifi

Anggota :
Abdullah bin Ghudayyan
Abdullah bin Qu'ud


Sumber :

Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah, II/515 fatwa no. 3323

12 Oktober 2013

Adakah Puasa Hari Tarwiyah?

Sebagian orang berkeyakinan bahwa termasuk sunnah berpuasa secara khusus pada tanggal 8 Dzulhijjah (Hari Tarwiyah) dan tanggal 9 Dzulhijjah (Hari Arafah). Keyakinan seperti sama sekali tidak memiliki landasan dalil yang shahih.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz pernah ditanya, "Syaikh yang mulia, banyak orang berkeyakinan bahwa puasa Hari Arafah harus bergandengan dengan puasa pada hari kedelapan, apa nasehat Anda tentang masalah ini?"

Beliau -rahimahullahu- menjawab :

"Puasa hari Arafah berdiri sendiri. Puasa hari itu memiliki keutamaan yang sangat besar, yang dengannya Allah mengampuni dosa setahun sebelumnya dan dosa setahun setelahnya. Adapun orang yang melaksanakan haji maka dia tidak boleh melakukan puasa Arafah, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam wuquf pada hari itu dalam keadaan berbuka (tidak puasa)." (dari fatwa-fatwa Syaikh Bin Baz rahimahullahu)

Demikian penjelasan Syaikh,dan bagi orang yang ingin berpuasa pada tanggal 8 Dzulhijjah maka dia boleh melakukannya tanpa meyakini kekhususannya, tapi semata-mata untuk mencari keutamaan amal shalih pada 10 hari pertama di bulan Dzulhijjah.

Wallahu a'lam.

06 Oktober 2013

Berqurban Hukumnya Sunnah, Tidak Wajib

Pertanyaan :

Saya ingin menyebutkan kepada Anda bahwa saya telah menikah, alhamdulillah, dan memiliki anak. Saya tinggal di kota lain, bukan kota tempat bermukim keluarga saya. Pada saat liburan, kami selalu pulang ke kota tempat bermukim keluarga saya itu. Pada Idul Adha kali ini, saya dan anak-anak pulang ke keluarga 5 hari sebelum 'Id akan tetapi kami tidak berqurban walaupun sebenarnya saya memiliki kemampuan untuk itu, alhamdulillah. Bolehkah saya berqurban? Apakah qurban orang tua telah mencukupi untuk saya, istri dan anak-anak? Apa hukumnya berqurban bagi orang yang mampu? Bolehkah mengambil hewan qurban dalam bentuk hutang dengan jaminan gaji bulanan?

(AAS-Saudi Arabia)

Jawab :

Qurban hukumnya sunnah dan tidak wajib. Seekor kambing mencukupi bagi seorang laki-laki dan keluarganya. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pada setiap tahunnya berqurban dengan 2 ekor domba putih bertanduk, beliau menyembelih salah satunya untuk diri beliau dan keluarganya, dan yang satunya lagi untuk orang yang mentauhidkan Allah dari umatnya -shallallahu 'alaihi wasallam. Jika Anda -si penanya- berada di rumah tersendiri, disyari'atkan bagi Anda berqurban untuk diri dan keluarga Anda, dan tidaklah mencukupi qurban orang tua Anda yang dia niatkan untuk dirinya dan keluarganya. Karena Anda tidak bersama mereka tinggal dalam rumah itu. Dan tidak mengapa bagi seorang muslim berhutang untuk bisa berqurban jika dia memiliki kemampuan untuk membayarnya. Semoga Allah memberikan taufiq untuk semua.

01 Oktober 2013

Wanita-Wanita yang penah Menyusukan Nabi ﷺ

Riwayat yang shahih menyebutkan bahwa diantara wanita-wanita yang pernah menyusukan Nabi selain ibunya adalah Tsuwaibah, bekas budak Abu Lahab. Dan paman beliau, Hamzah bin Abdul Muththalib adalah saudara sesusuan beliau.

Adapun berita tentang penyusuan beliau pada Halimah As-Sa'diyah di perkampungan Bani Sa'ad dengan segala keberkahan dan keajaiban yang muncul dari penyusuan itu, maka kisahnya sangat masyhur dalam kitab-kitab Sirah terdahulu dan yang datang kemudian. Yang dikenali pertama kali menyebutkannya adalah Imam Ibnu Ishaq (wafat tahun 151 H).

Walaupun riwayat-riwayat tentang kisah-kisah tersebut tidak dishahihkan oleh para ulama hadits karena cacat yang ada pada sanad-sanad periwayatan, namun riwayat tentang penyusuan beliau di perkampungan Bani Sa'ad oleh Halimah As-Sa'diyah adalah riwayat yang dikuatkan oleh sebagian ulama.

Wallahu a'lam.

(Disadur dari : As-Sirah An-Nabawiyyah ASh-Shahihah, oleh Dr. Akram Dhiya' Al-Umari)

15 September 2013

Shalat di Masjid dan Sekitarnya Terdapat Kuburan

Sebuah masjid yang dilaksanakan padanya shalat-shalat fardhu, Jumat dan 'Ied dan disekelilingnya ada kuburan, bagaimana petunjuk Anda tentang masjid tersebut?

Di jawab oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu :

Keadaan kuburan tersebut yang berada di sekeliling masjid tidaklah masalah, baik di depan, sebelah kanan, sebelah kiri, hal itu tidak masalah. Yang terlarang adalah jika kuburan itu berada di dalam masjid. Adapun jika berada di luar, maka itu tidak bermasalah untuk masjid dan tidak juga mendatangkan masalah untuk kaum muslimin, jika antara mereka dan kuburan itu ada penghalang berupa dinding yang membatasi mereka, atau jalan, atau wadi atau yang semacamnya yang menunjukkan akan jauhnya kubur tersebut dan tidak dimaksudkan sebagai (bagian dari) masjid yang ada itu. (Jika yang) dimaksudkan keberadaan kuburan itu dekat masjid, maka itu tidak bermasalah bagi masjid tersebut dan juga bagi orang-orang yang shalat.

08 September 2013

Jangan Pernah Berputus Asa dari Kebaikan Mereka

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda,

إذا قال الرجل : هلك الناس فهو أهلكهم

"Jika seseorang berkata : 'Manusia telah binasa', maka sungguh dia telah membinasakan mereka." (HR. Muslim)

Kata ( أهلك ) diriwayatkan dengan fathah dan dhommah. Diriwayatkan dengan fathah, maknanya seperti yang telah disebutkan, dan diriwayatkan dengan dhommah yang artinya : "Maka dialah yang paling binasa diantara mereka."

Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan,

إذا سمعتم رجلاً يقول قد هلك الناس فهو أهلكهم، يقول الله إنه هالك

"Jika kalian mendengar seorang laki-laki mengatakan : 'Manusia telah binasa', maka dialah yang paling binasa. Allah berfirman : "Sesungguhnya dia seorang yang binasa'."

Dalam riwayat Abu Nu'aim disebutkan dengan redaksi,

فهو من أهلكهم

"Dialah yang paling binasa."

Adapun makna dari hadits ini, berkata Imam An-Nawawi rahimahullahu, "Maksud perkataan beliau adalah; tatkala seseorang itu masih suka mencela manusia, mengungkapkan keburukan-keburukan mereka dan sibuk dengan aib-aib mereka sambil berkata : 'Celakalah manusia dan binasalah mereka!', maka pada saat itu, dialah yang lebih celaka dari mereka. Hal ini disebabkan karena dengan perbuatannyanitu, ia telah menyingkap aib seseorang. Ia akan mendapatkan aib tersebut, ia akan mendapatkan dosa di sisi Allah dan juga perbuatannya itu akan mewariskan sifat 'ujub (bangga diri) dalam jiwanya serta merasa bahwa dialah yang terbaik dari manusia-manusia lainnya.

Namun, celaan terhadap orang yang mengucapkan perkataan tersebut tentunya hanya berlaku bagi orang-orang yang menyatakannya dengan maksud untuk meremehkan atau mencela lawan bicaranya serta meninggikan dirinya diatas mereka. Adapun jika dia mengungkapkannya sebagai bukti rasa cintanya kepada mereka ketika dia melihat kekurangan yang ada pada diri saudaranya yang menyangkut masalah agama, maka yang demikian itu dibolehkan." (Syarh Shahih Muslim)

01 September 2013

Sejenak Bersama Hati

Berkata Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu dalam kitabnya "Al-Fawa'id" :
  • Hati yang bergantung pada nafsu syahwat akan tertutup dari Allah sebesar ketergantungannya kepadanya
  • Hati adalah wadah Allah di muka bumi. Yang paling disukaiNya adalah yang paling lembut, paling kuat
  • Hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang keras
  • Jika hati telah keras, mata terlihat kosong
  • Kekerasan hati karena empat perkara apabila batasnya telah dilanggar; makan, tidur, berbicara dan bergaul. Sebagaimana badan apabila sakit, makanan dan minuman tidak bermanfaat baginya, demikian pula hati bila telah sakit karena nafsu syahwat, nasehat tidak akan berguna baginya
  • Barangsiapa ingin kejernihan hatinya, maka hendaklah dia mendahulukan Allah diatas keinginan hawa nafsunya
  • Rindu kepada Allah dan perjumpaan denganNya bagaikan angin semilir yang menghembus hati dan mendinginkannya serta menggetarkan dunia
  • Hati bisa sakit sebagaimana badan pun bisa sakit, kesembuhannya dengan taubat dan menjaga diri dari dosa. Bisa pula berkarat sebagaimana cermin, bersihnya dengan dzikir. Bisa telanjang sebagaimana tubuh, perhiasannya adalah ketakwaan. Bisa lapar dan haus sebagaimana tubuh, makanan dan minumannya adalah mengenal Allah, mencintaiNya, bertawakkal kepadaNya, menyerahkan diri dan mengabdi hanya kepadaNya
  • Tiada azab yang ditimpakan kepada seorang hamba yang lebih besar daripada hati yang keras dan jauh dari Allah
  • Neraka diciptakan untuk mengazab hati yang keras
  • Kehancuran hati karena merasa aman dari dosa dan karena lalai. Dan kesuburan hati karena takut terhadap dosa dan karena dzikir
  • Jika hati diberi makanan berupa rasa cinta, niscaya akan hilang nafsu syahwat dari perutnya
  • Siapa yang mengagungkan hak Allah di hatinya hingga tidak bermaksiat kepadaNya, niscaya Allah akan mengagungkannya di hati manusia hingga mereka tidak menghinakannya
  • Siapa yang menempatkan hatinya di sisi Rabb-nya, niscaya dia akan merasakan kedamaian dan ketenangan. Sementara orang yang menempatkannya diantara manusia, dia akan merasakan kegoncangan dan ketidak-tenangan

24 Agustus 2013

Kapankah Ketaatan terhadap Makhluk menjadi Syirik Akbar?

Kapankah ketaatan terhadap sesama makhluk menjadi syirik besar?

*****

Alhamdulillah. Ketaatan terhadap sesama makhluk menjadi perbuatan syirik besar, dalam beberapa kondisi. Di antaranya ketika seseorang mentaati sesama makhluk dalam menganggap halal perbuatan haram, atau menganggap haram perbuatan halal, atau orang yang ditaati membuat satu peraturan dan membentuk satu undang-undang, lalu orang yang mentaatinya berkeyakinan bahwa undang-undang itu lebih sempurna atau lebih memenuhi kemaslahatan daripada syari'at Allah, atau setara dengan syari'at Allah, atau menurut keyakinannya syari'at Allah tetap lebih baik, hanya saja menggunakan undang-undang buatan manusia itu juga boleh. Dalilnya adalah firman Allah:
 
اتخَذُوْا أحْبَارَهمْ وَرُهْبَانَهُمْ أرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ
 "Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah.." (QS. At-Taubah : 32).

Adiy bin Hatim radhiyallahu 'anhu berkata: "Wahai Rasulullah! Dahulu kami tidak pernah menyembah mereka." Rasulullah bertanya: "Bukankah mereka menghalalkan yang diharamkan Allah, lalu kalian ikut menghalalkannya, dan mengharamkan yang dihalalkan Allah, dan kalianpun turut mengharamkannya?" Adi menjawab: "Benar wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Itulah bentuk peribadatan kepada mereka."

Jadi, orang-orang Nashrani yang mentaati para rahib mereka dalam berbuat maksiat dengan keyakinan memutar balikkan yang halal dan yang haram dengan mengikuti pendapat para rahib tersebut, dianggap ibadah kepada selain Allah. Itu termasuk perbuatan syirik besar yang bertentangan dengan tauhid.

Adapun berkenaan dengan pertanyaan, bila orang yang mentaati orang tuanya misalnya dalam berbuat maksiat itu meyakini bahwa perbuatannya itu maksiat, maka orang tersebut masuk dalam kategori memperturutkan hawa nafsu, bukan ketaatannya yang dimaksud di atas. Atau bila ia melakukannya karena takut dihukum oleh kedua orang tuanya bila tidak sampai pada level "dalam paksaan", maka ia berdosa, berbuat maksiat dan melanggar sabda Nabi:

 لا طاعة لمخلوق فى معصية الخالق عز وجل

"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Azza wa Jalla." Diriwayatkan oleh Ahmad (1041), dan hadits itu shahih.

Namun dengan perbuatan itu, si anak tidaklah menjadi musyrik. Akan tetapi apabila si anak berkeyakinan bahwa ucapan orang tuanya itu dapat menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, maka ia telah melakukan perbuatan syirik besar.

Seyogyanya seorang muslim itu menundukkan dirinya sendiri agar hawa nafsunya mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mendahulukan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya daripada ketaatan kepada siapapun. Hendaknya cintanya kepada Allah dan rasul-Nya juga lebih daripada cinta kepada selain keduanya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


"Tidaklah salah seorang dari kalian beriman hingga aku (Rasulullah) lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia." (HR. Al-Bukhary, no. 63).

Semoga Allah memberikan petunjuk menuju jalan yang lurus.
Tanya Jawab tentang Islam
Syeikh Muhammad Shalih Al-Munajid
http://islamqa.info