"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

29 Januari 2013

Menyusui dengan Alat Bantu

Kami mengasuh seorang bayi yatim. Istri saya menyusuinya secara tidak langsung, melainkan dengan meminumkan ASI kepada si bayi setelah dikeluarkan dengan alat bantu penyedot. Setelah ASI terkumpul dalam sebuah wadah, barulah dia meminumkannya. Istri saya memakai cara ini selama tiga bulan. Apakah dengan cara itu bayi tersebut menjadi saudara bagi anak-anak saya sehingga diharamkan atas mereka untuk menikah dengannya?


*****

Dijawab oleh Mufti Agung Mesir, Syaikh Dr. Ali Jum'ah Muhammad :

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب

"Diharamkan karena penyusuan apa yang diharamkan karena nasab." (hadits Muttafaq 'alaih)

Menyusui yang dapat membuat bayi menjadi haram untuk dinikahi oleh saudara sesusuannya memiliki beberapa syarat. Syarat itu berkaitan dengan wanita yang menyusui, air susu yang diminum dan tempat berkumpulnya susu setelah diminum.

1. Wanita yang menyusui.

Wanita yang menyusui ini haruslah wanita yang hidup dan dapat melahirkan, baik gadis, bersuami, telah dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya.

2. Air susu.

Air susu ini tidak mesti tetap berada dalam kondisi aslinya ketika keluar dari payudara. Imam an-Nawawi berkata dalam kitab Raudhah ath-Thalibin, "Kalau ASI itu berubah menjadi kecut, membeku, mendidih, atau menjadi keju, susu kering, mentega atau menjadi berkurang, lalu diberikan kepada bayi, maka hal itu tetap menjadikan bayi itu haram. Karena ASI itu telah masuk ke dalam perut bayi dan menjadi makanan baginya. Jika suatu makanan dicelupkan ke dalam susu itu (lalu diberikan kepada bayi), maka keharaman itu juga terjadi."

Juga tidak disyaratkan adanya kesamaan cara dalam penyusuan bayi. Jika sebagian penyusuan itu dilakukan dengan cara biasa yaitu dengan menyusukannya langsung ke payudara, dan sebagiannya dilakukan melalui alat bantu baik melalui mulut atau hidung, maka semua cara penyusuan itu mengakibatkan keharaman bayi tersebut untuk dinikahi oleh saudara sesusuannya, jika jumlah penyusuan yang mengharamkan itu terpenuhi.

3. Tempat terkumpulnya susu.

Tempat ini mencakup lambung bayi yang masih hidup ataupun sesuatu yang dianggap seperti lambung. Sampainya susu ke lambung bayi menyebabkan terjadinya hukum pengharaman itu, baik disusukan secara langsung di payudara atau atau dengan menyedot susu lalu meminumkannya kepada bayi.

Yang dimaksud dengan bayi dalam masalah ini adalah bayi yang belum mencapai usia dua tahun dengan perhitungan tahun Hijriyah. Jika bulan Hijriyah pertama tidak genap, maka digenapkan pada bulan yang ke dua puluh lima. Dan awal perhitungan umur bayi dimulai sejak hari kelahirannya.

Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan yang diajukan, jika susu yang diberikan kepada bayi tersebut diambil dari istri Anda dan dia menyusukannya lebi dari empat kali dalam masa dua tahun pertama usia bayi, maka bayi itu merupakan anak susuan bagi Anda berdua. Dia juga adalah saudara sesusuan bagi anak-anak Anda, sehingga bayi itu tidak boleh menikah dengan salah satu anak Anda, namun dia  boleh bergaul dengan mereka sebagaimana saudara kandung mereka sendiri.

Wa_Llahu subhanahu wa ta'ala a'lam.

--------------------

Sumber : www.dar-alifta.org

28 Januari 2013

Apakah Tranfusi Darah bisa Mengharamkan Pernikahan Sebagaimana Penyusuan?

Majelis Al-Majma' Al-Fiqhi Al-Islami (Dewan Fiqh Islam Internasional) di bawah naungan Liga Muslim Sedunia (Rabithah Al-'Alam Al-Islami) dalam simposiumnya yang ke XI di Makkah Al-Mukarramah pada bulan Rajab 1409 H/Februari 1989 M telah membahas tentang persoalan yang berkait dengan tranfusi darah dari seorang ibu kepada bayi di bawah umur 2 tahun; apakah hal tersebut mengambil hukum penyusuan yang mengharamkan pernikahan ataukah tidak? Dan apakah boleh mengambil imbalan  untuk darah tersebut?

Setelah melalui diskusi, Majelis akhirnya memutuskan dengan ijma' (kesepakatan) bahwa tranfusi darah itu tidak membawa kepada pengharaman pernikahan, karena pengharaman hanya khusus berlaku untuk penyusuan saja.

Adapun hukum mengambil imbalan harga atas darah (yang didonorkan) atau dengan istilah lain : "jual beli darah", maka Majelis memandang bahwa hal tidak dibenarkan, dan termasuk dalam perkara-perkara yang disebutkan keharamannya dalam Al-Quran Al-Karim (yang disebutkan bersama pengharaman) bangkai dan daging babi. Karenanya, tidak boleh menjual darah atau mengambil imbalan harga atas darah tersebut. Telah sah dalam hadits;

إن الله تعالى إذا حرم شيئًا حرم ثمنه

"Sesungguhnya jika Allah Ta'ala mengharamkan sesuatu, maka Dia mengharamkan harganya.";

sebagaimana telah sah juga bahwasannya beliau shallallahu 'alaihi wasallam telah melarang jual beli darah. Dikecualikan dari larangan ini, kondisi-kondisi darurat untuk tujuan-tujuan medis dan tidak ada yang mau mendonorkan darahnya kecuali dengan harga, (saat itulah) "kondisi-kondisi darurat membolehkan perkara-perkara yang diharamkan, dengan kadar yang bisa menghilangkan keadaan darurat tersebut."

Dalam kondisi demikian, dihalalkan bagi yang ingin membeli darah memberikan imbalan (harga), dan dosanya atas orang yang mengambilnya.

Tidak mengapa memberikan harta sebagai pemberian atau imbalan (cuma-cuma) sebagai bentuk motivasi untuk melakukan amal sosial kemanusiaan, karena hal ini masuk dalam bentuk sumbangan, bukan jual beli.

وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليمًا كثيرًا والحمد لله رب العالمين


Ketua Majelis :
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Wakil Ketua :
Dr. Abdullah Umar Nashif

Keanggotaan :
Muhammad bin Jubair
Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid
Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam
Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Muhammad bin Abdullah As-Subail
Mustafa Ahmad Az-Zarqa
Dr. Yusuf bin Abdullah Al-Qaradhawi
Dr. Muhammad Rasyid Raghib Al-Qabbani
Muhammad Asy-Syadzili An-Naifer
Abu Bakr Joumi
Dr. Ahmad Fahmi Abu Sinnah
Dr. Muhammad Al-Habib bin Al-Khoujah
Muhammad Salim 'Adood
Muhammad Mahmud Ash-Shawwaf
Dr. Thalal Umar Bafaqih

-------------------------

ٍSumber :

Qaraaraat Majelis Al-Majma' Al-Fiqhi Al-Islaami li Raabithah Al-Aalam Al-Islaami, terbitan Sekretariat Umum Majelis di Makkah Al-Mukarramah

22 Januari 2013

Untuk Apa Mereka Merayakan Maulid Nabawi?

Orang-orang yang suka merayakan Maulid telah melegalkan perbuatan mereka tersebut dengan beberapa alasan berikut ini, dengan sebagiannya atau seluruhnya,

  1. Penyelenggaraan Maulid yang dilakukan setiap tahunnya, dengannya kaum muslimin akan kembali mengingat Nabinya -shallallahu 'alaihi wasallam-, sehingga bertambahlah kecintaan dan pengagungan mereka terhadap beliau.
  2. Mendengarkan asy-Syama'il al-Muhammadiyyah (Sifat-sifat dan akhlak-akhlak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam) dan mengenal nasab (garis keturunan) beliau yang mulia.
  3. Menampakkan kegembiraan dengan kelahiran Rasul shallallahu 'alaihi wasallam yang menunjukkan akan kecintaan terhadap diri beliau dan kesempurnaan iman.
  4. Memberi makan, dan ini adalah perkara yang diperintahkan. Padanya ada ganjaran pahala yang besar terutama dengan niat syukur kepada Allah Ta'ala.
  5. Berkumpul untuk berzikir kepada Allah dengan membaca al-Quran dan bershalawat kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Inilah lima perkara yang dijadikan alasan pembenaran untuk merayakan Maulid oleh sebagian pendukungnya. Alasan-alasan ini tidak memuaskan dan sangat nampak kebatilannya karena kelancangannya terhadap Syari'at dengan membuat sesuatu yang tidak pernah disyari'atkan walaupun ada hajat kepada hal itu. Berikut ini adalah penjelasan tentang kebatilan alasan-alasan tersebut,

  1. Perkara Maulid yang dijadikan sebagai peringatan tahunan; hal ini layak dijadikan alasan jika seorang muslim tidak menyebut dan mengingat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam puluhan kali pada setiap harinya, sehingga dibuatkanlah peringatan tahunan atau bulanan untuk mengingatnya, yang dengan itu akan bertambahlah iman dan kecintaan muslim tersebut terhadap diri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Adapun seorang muslim; tidaklah dia shalat pada malam dan siang kecuali dia akan menyebut padanya nama Rasul shallallahu 'alaihi wasallam, dan tidaklah masuk waktu shalat dan tidak pula ditegakkan shalat tersebut kecuali akan disebut nama Rasul shallallahu 'alaihi wasallam dan dibacakan shalawat untuknya. Yang pantas untuk dibuatkan perayaan karena khawatir lupa adalah orang-orang yang tidak menyebut dan mengingatnya. Adapun muslim yang (seharusnya) selalu menyebut dan mengingatnya, apa pentingnya acara tersebut agar dia tidak lupa? Bukankah hal ini seperti mencari sesuatu yang semestinya sudah ada pada diri setiap muslim?!
  2. Mendengarkan sebagian dari asy-Syama'il al-Muhammadiyyah dan nasabnya yang mulia; ini juga alasan yang tidak kuat. Karena mengenal asy-Syama'il al-Muhammadiyyah dan nasabnya yang mulia tidaklah cukup hanya untuk didengarkan setahun sekali. Apa yang bisa mencukupi seorang muslim dengan hanya mendengarkannya sekali dalam setahun sementara hal itu adalah bagian penting dari aqidah Islam?! Yang wajib bagi setiap muslim dan muslimah adalah mengenal nasab Nabinya -shallallahu 'alaihi wasallam- dan sifat-sifatnya sebagaimana dia mengenal Allah Ta'ala dengan nama-nama dan sifat-sifatNya. Yang seperti ini tidak mungkin terwujud kecuali dengan pengajaran, tidak cukup hanya dengan mendengarkan kisahnya setahun sekali.
  3. Menunjukkan kegembiraan adalah alasan yang sangat-sangat lemah, karena kegembiraan itu entah karena pribadi Rasul shallallahu 'alaihi wasallam atau karena hari yang padanya beliau dilahirkan. Jika hal itu terjadi karena pribadinya, maka kegembiraan itu seharusnya berlaku pada setiap waktu ketika namanya disebut dan tidak khusus pada waktu-waktu tertentu saja. Jika kegembiraan itu karena hari yang padanya beliau dilahirkan, maka sungguh, hari itu (12 Rabi'ul Awwal) juga adalah hari wafatnya beliau -shallallahu 'alaihi wasallam. Saya tidak mengira seorang yang berakal akan mengadakan perayaan kegembiraan pada hari dimana kekasih yang dicintainya meninggal dunia. Kematian beliau -shallallahu 'alaihi wasallam- adalah musibah terbesar yang menimpa umat ini.
  4. Memberi makan adalah alasan yang jauh lebih lemah dari alasan-alasan sebelumnya, karena memberi makan adalah sunnah dan sangat dianjurkan pada setiap kali ada kebutuhan untuk hal itu. Seorang muslim akan selalu menjamu tamu, memberi makan orang yang kelaparan dan bersedekah sepanjang tahun. Tidak perlu kepada satu hari tertentu pada satu tahunnya untuk memberi makan. Karenanya, hal ini bukanlah alasan yang pantas untuk membuat perkara baru dalam agama.
  5. Berkumpul untuk zikir adalah alasan yang rusak dan batil, karena berkumpul untuk berzikir dengan satu suara tidaklah dikenal di kalangan para Salaf. Adapun puji-pujian yang dengan paduan satu suara, maka ini adalah bid'ah yang buruk dan tidak dilakukan kecuali orang yang bingung dengan agamanya, wal 'iyaadzu bi_Llaah. Padahal, kaum muslimin senantiasa berkumpul pada setiap malam dan siang sepanjang tahunnya untuk shalat-shalat berjama'ah di masjid-masjid dan juga menghadiri majelis-majelis ilmu. Karena itu, mereka tidak butuh kepada majelis tahunan untuk mendengarkan tabuhan-tabuhan dan menyantap makanan dan minuman yang umumnya faktor pendorongnya adalah keinginan-keinginan jiwa dan syahwat.
Semoga Allah mengampuni dan berkenan mengembalikan umat ini kepada ajaran agama-Nya dan Sunnah nabi-Nya dengan cara yang terbaik. Amin.

اللهم أرنا الحقَّ حقًّا وارزقنا اتباعه، وأرنا الباطل باطلاً وارزقنا اجتنابه

-----------------------

Sumber : Al-Inshaaf fiimaa Qiila fii al-Maulid min al-Ghuluww wa al-Ijhaaf, Syaikh Abu Bakr bin Jabir al-Jaza'iri, pengajar di Masjid Nabawi, cetakan Darul Bukhary-Buraidah-KSA, tanpa tahun.

21 Januari 2013

Peringatan Maulid Nabawi

Apa hukumnya merayakan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di bulan Rabi'ul Awwal untuk mengagungkan beliau 'alaihi ash-shalatu wa as-salam?

Jawab :

Pengagungan dan penghormatan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah dengan beriman terhadap apa yang dibawanya dari sisi Allah, dan ber-ittiba' (mengikuti) Syari'atnya baik dalam ucapan, perbuatan dan akhlak, serta meninggalkan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid'ah). Termasuk bid'ah dalam agama adalah merayakan kelahiran (maulid) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Wa bi_Llahi at taufiq.



Apa hukumnya merayakan Maulid Nabawi? Apakah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hadir (pada perayaan tersebut)?

Jawab :

Menghormati Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan memuliakannya hanyalah dengan beriman terhadap risalahnya dan mengamalkan ajaran yang dibawanya dari sisi Allah. Adapun merayakan maulidnya adalah bid'ah yang diada-adakan. Telah sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

"Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang bukan bagian darinya, maka hal itu tertolak." (HR. al-Bukhary, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).

Sama sekali tidak ada berita yang sah bahwa beliau hadir/datang kepada salah seorang dari manusia setelah kematiannya. Hukum asalnya : hal itu tidak pernah terjadi sampai tegak padanya dalil yang marfu'. Wa bi_Llahi at taufiq.

*****

Apakah boleh menghadiri perayaan-perayaan bid'ah seperti perayaan malam kelahiran (maulid) Nabi, malam Mi'raj, malam Nishfu Sya'ban, bagi orang yang tidak meyakini pensyari'atan perayaan-perayaan tersebut dengan tujuan untuk menjelaskan kebenaran?

Jawab :

Masuk dalam perayaan tersebut dan menghadirinya untuk mengingkarinya dan menjelaskan perkara yang benar dan bahwasannya perkara tersebut adalah bid'ah yang tidak boleh dilakukan; hal itu disyari'atkan. Terutama bagi orang yang mampu untuk menjelaskan kebenaran, dengan persangkaan yang dominan bahwa dia akan selamat dari fitnah. Adapun menghadirinya hanya untuk mengisi waktu, bersantai atau sekedar mencari tahu, hal itu tidak dibolehkan, karena hanya akan membawanya ikut berpartisipasi bersama orang-orang yang merayakannya dalam kemungkaran mereka, memperbanyak jumlah mereka dan memperkuat bid'ah mereka. Wa bi_Llahi at taufiq.

*****

Kami mengharapkan faedah tentang waktu yang benar berkenaan dengan kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Kami telah merencanakan padanya untuk mengadakan musabaqah Quran, menyembelih kambing dan menyampaikan ceramah tentang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam kesempatan tersebut. Kami memohon petunjuk jika saja acara ini boleh dalam pandangan syar'i.

Jawab :

Pertama; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dilahirkan pada tahun Gajah, bulan Rabi'ul Awwal, sebagaimana yang disebutkan Ibnu Ishaq dan ulama-ulama sejarah dalam buku-buku sirah.

Kedua; Termasuk dalam bid'ah yang terlarang adalah mengadakan perayaan pada malam kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam serta mengadakan padanya perlombaan Quran, menyembelih kambing dan menyampaikan ceramah tentang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkenaan dengan kesempatan tersebut. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lebih tahu tentang kadar dirinya dan apa yang layak baginya dalam pengagungan dan lebih tahu tentang Syari'at Allah Ta'ala. Tidak ada berita yang sah bahwa beliau merayakan hari lahirnya, tidak pula hari lahir seorang nabi dari saudara-saudaranya terdahulu -shalawat dan salam Allah semoga tercurahkan atas mereka semua-, dan tidak pula kelahiran seorang pun dari sahabat-sahabatnya -radhiyallahu 'anhum. Telah sah darinya bahwa beliau bersabda,

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

"Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang bukan bagian darinya, maka hal itu tertolak." (HR. al-Bukhary, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).

Dalam satu riwayat,

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

"Barangsiapa mengamalkan satu amalan yang tidak ada perintah kami padanya, maka hal itu tertolak." (HR. Muslim dan Ahmad)

Wa bi_Llahi at taufiq.

-------------------------

Sumber : Fatwa-fatwa al-Lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta' (Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa), Kerajaan Saudi Arabia.

http://www.alifta.net/

15 Januari 2013

Apakah Menyentuh Anjing dan Air Liurnya Membatalkan Wudhu'?

Pertanyaan : Apakah menyentuh anjing atau air liurnya bisa membatalkan wudhu'?


Jawab :

Alhamdulillah. Menyentuh anjing atau air liurnya tidak membatalkan wudhu'. Karena thaharah jika telah ada dengan konsekuensi dalil syar'i, maka hal itu tidak mungkin dibatalkan kecuali dengan dalil syar'i juga, dan tidak ada dalil tentang batalnya wudhu' dengan sebab menyentuh anjing atau terkena air liurnya. Karenanya, para ulama tidak menyebutkannya dalam pembatal-pembatal wudhu'.

Berkata Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" (I/264) setelah menyebutkan pembatal-pembatal wudhu' dan sama sekali ia tidak menyebutkan menyentuh anjing atau air liurnya dalam pembatal-pembatalnya; "Inilah seluruh pembatal-pembatal thaharah, dan tidak ada yang membatalkan dengan selain ini menurut pendapat mayoritas ulama...".

Akan tetapi, tidak diragukan bahwa air liur anjing najis yang sangat kotor, dan najisnya adalah najis yang berat, yang tidak mungkin hilang kecuali dengan tujuh kali cucian yang salah satunya dengan tanah. Berbeda antara persoalan ini dengan persoalan pembatal thaharah. Wallahu ta'ala a'lam.

Islam Soal Jawab
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Munajjid

http://www.islamqa.info/ar/cat/141&page=1

Jangan Mengambil Banyak Guru bagi Penuntut Ilmu Pemula

Pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu :

"Jazakumullahu khairan, Syaikh... Apakah seorang penuntut ilmu harus mengambil seorang syaikh (guru) tertentu yang dia belajar bersama syaikh tersebut, ataukah boleh mengambil banyak guru?"


Beliau menjawab :

Dalam pandangan saya, dia mengambil seorang syaikh selama dia masih di permulaan menuntut ilmu. Karena para masyayikh, terkadang berbeda-beda pendapat mereka dalam satu persoalan tertentu. Jika dia masih baru dalam menuntut ilmu, maka hal itu akan mengganggunya. Karenanya, ambillah satu orang guru yang dia ingin untuk membacakan ilmu (qira'ah) kepadanya. Mungkin saja baginya mengambil guru lainnya, tapi dalam cabang ilmu yang berbeda. Misalkan, dia memiliki guru dalam nahwu, guru dalam fiqh, guru dalam aqidah, guru dalam tauhid dan yang semacamnya.

Adapun  mengambil dua guru dalam fiqh, saya tidak menganjurkan hal tersebut, demikian juga dalam bidang aqidah, bukan nahwu. Nahwu urusannya mudah, walaupun seandainya dia mengambil dua orang guru dan keduanya berselisih terhadapnya (dalam sebuah persoalan) bukanlah hal yang terlalu penting. Yang terpenting adalah persoalan-persoalan amaliah agama, jangan sampai dia mengambil dua orang guru dalam satu cabang ilmu, agar jangan sampai pendapat keduanya berselisih sehingga dia berada dalam kebimbangan.

Karenanya, aku katakan kepada seorang penuntut ilmu pemula; jangan pernah merujuk kepada kitab-kitab yang membahas perselisihan ulama. Jangan membaca (kitab-kitab) seperti "Al-Mughni" atau "Al-Majmu'" oleh Imam An-Nawawi, atau yang selainnya yang membahas perselisihan ulama selama dia masih di permulaan menuntut ilmu. Karena urusan ini akan menjadi kabur baginya, dia akan berada dalam kebimbangan dan maklumatnya akan bercampur aduk. Jadi, selama dia masih di permulaan menuntut ilmu ini, ambillah seorang guru, sebuah kitab, dan jangan mengambil lebih dari satu guru dalam sebuah cabang ilmu.

-------------------------

Sumber :

Fatawa Nur 'alaa ad-Darb.
http://www.ibnothaimeen.com

14 Januari 2013

Mengapa "Shahib az-Zaman" menghilang?

Orang-orang yang percaya kepada wujud Shahib az-Zaman akan menjawab pertanyaan diatas dengan perkataan mereka, "Karena ada sebab yang menghalangi kemunculannya. Ketika sebab ini tiada, dia akan segera muncul."

Kemudian mereka menjelaskan sebab yang menghalangi kemunculan al-Mahdi dengan perkataan mereka, "Tidak ada sebab yang menghalangi kemunculannya kecuali ketakutan atas pembunuhan dirinya. Karena jika tidak demikian, maka dia tidak diperkenankan untuk bersembunyi. Dia juga menanggung beban dan penderitaan. Sesungguhnya tempat kediaman para nabi dan imam dimuliakan karena mereka menanggung beban dahsyat karena Allah."

Sejarah para leluhur al-Mahdi sudah diketahui banyak orang. Para leluhur itu berinteraksi dengan manusia dan mereka tidak pernah menakut-nakuti seorang pun dari manusia.

Orang-orang yang percaya kepada Imam al-Mahdi menyebutkan banyak riwayat. Mereka menyatakan dalam riwayat-riwayat tersebut bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersembunyi di Makkah pada awal dakwahnya karena takut terjadi pembunuhan terhadap dirinya. Dengan demikian, mereka menganalogikan bersembunyinya Imam al-Mahdi sama dengan bersembunyinya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Diantara riwayat itu adalah apa yang diriwayatkan al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar (XVIII/176) dari Abu Abdillah, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam merahasiakan dirinya di Makkah dengan bersembunyi penuh ketakutan. Beliau tidak menampakkan dirinya. Ali dan Khadijah bersamanya. Kemudian Allah memerintahkannya untuk menerangkan semua yang telah diperintahkan kepadanya. Maka beliau pun menampakkan dirinya dan urusannya tersebut."

Al-Majlisi juga meriwayatkan dalam Bihar al-Anwar (XVIII/177) dari Abu Abdillah, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tinggal di Makkah setelah sampai kepadanya wahyu dari Allah selama 13 tahun. Selama 3 tahun diantaranya bersembunyi penuh ketakutan, tidak menampakkan dirinya sampai Allah memerintahkan untuk menjelaskan segala yang telah diperintahkan kepada beliau, lalu beliau pun menampakkan dakwahnya."

Selain itu, terdapat banyak riwayat serupa yang berkesimpulan sama. Namun aku tidak menyebutkannya untuk mempersingkat pembahasan.

Yang pasti, ini adalah benar-benar analogi kontradiktif (qiyaas ma'a al-faariq), karena beberapa alasan :

Pertama, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak menyembunyikan dirinya dari pandangan dunia, tapi hanya berdakwah secara sembunyi-sembunyi.

Kedua, beliau ditemani beberapa orang seperti sang istri, Ali, dan yang lainnya. Sementara Imam al-Mahdi yang mereka yakini tidaklah demikian.

Ketiga, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika menutup diri sampai kemudian menampakkan dirinya di kemudian hari; pada fase itu beliau mempersiapkan dakwah dan juga mempersiapkan beberapa pengikut yang akan membantunya dalam berdakwah. Sedangkan Imam al-Mahdi, dia bersembunyi dan tidak memiliki pengikut. Jika kalangan Syi'ah Imamiyah adalah para pengikut Imam al-Mahdi, maka harap dimaklumi bahwa mereka adalah para pengikutnya sejak dia bersembunyi. Dan sekarang, penganut Syi'ah Imamiyah berjumlah jutaan. Apakah jumlah tersebut tidak cukup untuk memunculkan Imam al-Mahdi?! Sebab, dia pasti akan merasa aman dan bisa berjuang bersama pengikutnya.

Di sini aku menyatakan, bahwa suatu hari aku pernah menyaksikan sebuah acara televisi yang mendiskusikan persoalan eksistensi dan hakikat Imam al-Mahdi serta kisah persembunyiannya. Diskusi terjadi antara dua pihak; orang yang percaya akan wujud Imam al-Mahdi dan yang pihak lainnya yang tidak percaya pada sosok tersebut. Keduanya berasal dari Syi'ah.

Diantara berbagai komentar pihak yang tidak percaya akan persoalan ini, dia mengatakan : Seandainya kita menerima perdebatan tentang kebenaran berita dan riwayat seputar kisah Imam al-Mahdi dan penyebab persembunyiannya, maka sudah diketahui dari berita-berita ini bahwa penyebabnya adalah ketakutan dirinya apabila saat itu dia akan dibunuh oleh Bani Abbas. Tapi, mengapa Imam al-Mahdi sekarang tidak muncul di layar-layar televisi?! Kita saat ini berada di era satelit dan internet?! Atau minimal, dia menampakkan suara dan gambarnya melalui kaset video -sebagaimana yang dilakukan banyak tokoh politik yang berseberangan dan melarikan diri karena menentang pemerintah resmi di sebuah negara-, lalu menyerahkan rekaman tersebut ke tangan orang-orang yang dianggap dekat dengan dirinya. Dengan begitu, dia mampu membuktikan kepada dunia -dan juga orang-orang yang tidak mempercayai eksistensinya sedikitpun- bahwa dirinya bukanlah sosok khayalan, takhayul ataupun kebohongan; demi menegaskan semua yang dinyatakan oleh berbagai kabar dan riwayat.

@ Oleh Ali bin Muhammad al-Qudhaibi, "Rabihtu ash-Shahaabah wa Lam Akhsar Aala al-Bait".

09 Januari 2013

Shalat di Pesawat

Bagaimana para penumpang melakukan shalat di pesawat? Demikian juga bagaimana saat pesawat transit di sebuah bandara sementara penumpang tidak diizinkan untuk turun? Apakah shalat di kursi sudah mencukupi dalam keadaan demikian dan di saat-saat seperti itu?


 Jawab :

Orang yang akan memulai safar dari negerinya sendiri di pesawat sebelum keberangkatan, wajib baginya shalat orang yang mukim sebelum menaiki kendaraan, shalat yang sempurna, kecuali jika bandaranya di luar wilayah bangunan-bangunan (perkampungan) negeri itu, maka tidak mengapa mengqashar.

Jika tiba waktu shalat kedua, sementara penerbangan akan segera berakhir sebelum keluar waktunya, maka dia melaksanakan shalat jika telah turun walaupun dikerjakan di akhir waktu. Jika penerbangan itu terus berlanjut hingga keluarnya waktu shalat, maka dia mengerjakan shalatnya sebatas kemampuan. Jika memungkinkan baginya berdiri, ruku' dan sujud di lantai pesawat, hal itu mesti dia lakukan. Jika tidak mampu, dia shalat di kursinya dengan membungkuk pada saat ruku dan sujud. Wajib baginya menghadap qiblat selama hal itu memungkinkan baginya.

Adapun jika dia ingin melanjutkan perjalanan dan telah masuk waktu shalat pertama sebelum naik ke pesawat, dia mengerjakan dua shalat dengan jama' taqdim. Jika masuk waktu shalat pertama saat sedang dalam perjalanan sementara dia tahu bahwa pesawat akan mendarat sebelum berakhirnya waktu kedua, maka dia akhirkan waktu shalat pertama dan dijama' dengan shalat yang kedua jama' ta'khir jika telah berada di bandara. Jika dia mengetahui bahwa penerbangan akan terus berlanjut hingga berakhirnya waktu shalat kedua, dia melaksanakan shalat di pesawat dengan jama' taqdim atau jama' ta'khir sebatas apa yang mudah baginya, dengan tetap mengqashar shalat yang empat raka'at menjadi dua. Wa bi_Llahi at taufiq.

--------------------

Sumber :

Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah, VI/hal. 457, fatwa no. 16755

Buruknya Keinginan akan Berdampak pada Buruknya Pemahaman

Ternyata, berilmu -apalagi dengan ilmu yang minim- tidaklah menjamin akan benarnya pemahaman seseorang. Ya, ilmu tanpa pemahaman yang benar hanya akan mengantarkan pemiliknya kepada penyimpangan yang mungkin lebih buruk daripada sekedar penyimpangan karena kejahilan semata. Karena dengan ilmunya itu, orang tersebut akan cenderung suka berdalih dengan dalil-dalil yang dipaksakan agar sesuai dengan doktrin yang telah diimaninya. Itulah fenomena yang sangat menonjol dalam pemahaman kaum Khawarij dari masa ke masa. Siapa yang bisa menduga nenek moyang mereka yang hidup pada masa generasi terbaik ternyata harus terjatuh pada kesesatan yang sangat buruk disebabkan oleh kepercayaan diri yang berlebihan terhadap ilmu yang dimiliki tanpa mau merujuk kepada para ulama Shahabat yang masih banyak saat itu. Kalau saja generasi pertama mereka itu begitu beraninya mengabaikan para Shahabat yang mulia, tidak perlalu terlalu heran kalau di hari-hari ini mereka pun sangat lancang terhadap ulama dan bertindak terlalu jauh dengan mencampakkan para ulama-ulama Islam di seluruh dunia. Padahal, tidak ada seorang pun ulama mereka yang diakui kepakarannya di kalangan kaum muslimin. Wallahul musta'an.

Berikut ini adalah petikan nasehat Al-Imam Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu tentang dalil yang sering digunakan oleh orang-orang yang menempuh jalan Khawarij dan mencampakkan jalan para ulama Sunnah, serta komentar yang sangat bagus untuk diketahui kaum muslimin dari salah seorang ulama besar di abad ini, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullahu. Semoga bermanfaat, dan semoga Allah Ta'ala selalu menjaga pemerintah dan kaum muslimin dari keburukan makar Khawarij. Amin

*****

Berkata Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani -rahimahullahu- mengomentari firman Allah Ta'ala,

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أنْزَلَ اللهُ فَأولئكَ هُمُ الكَافِرُوْنَ

"Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir." (QS. Al-Ma'idah ayat 44);

"Apakah yang dimaksud dengan 'kufur' pada ayat ini? Apakah pengertiannya adalah keluar dari agama atau yang selainnya?

Pada keadaan seperti ini, diperlukan kecermatan dalam memahami ayat tersebut. Karena mungkin saja ayat ini bermakna 'kufur amali', yaitu keluarnya seseorang dengan perbuatan-perbuatannya dari beberapa hukum Islam.

Yang bisa membantu kita dalam memahami ayat ini adalah habrul ummah (alim umat ini) dan turjumanul Qur'an (penafsir al-Quran), Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma. Beliau adalah salah satu Shahabat yang diakui oleh seluruh kaum muslimin -kecuali oleh beberapa kelompok sesat- sebagai imam dalam ilmu tafsir.

Pada saat itu, seakan telah sampai ke pendengaran beliau persis seperti apa yang kita dengarkan pada hari ini. Bahwasannya beberapa kelompok manusia telah memahami ayat ini secara zhahirnya, tanpa mau mempelajarinya lebih dalam. Maka beliau radhiyallahu 'anhu berkata, 'Tidaklah kekufuran yang disebutkan dalam ayat ini seperti apa yang kalian pahami. Sesungguhnya kekufuran itu bukanlah kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama ini. Itu adalah kufur yang lebih rendah tingkatannya dari kekufuran yang hakiki (kufrun duuna kufrin).'

Sangat mungkin perkataan ini beliau tujukan kepada kelompok Khawarij yang menentang pemerintahan Ali radhiyallahu 'anhu. Kemudian, sebagai akibat dari pembangkangan itu mereka tumpahkan darah kaum muslimin dan bertindak dengan cara-cara yang tidak pernah dilakukan kaum musyrik.

Menyadari hal itu, Ibnu Abbas berkata, 'Tidaklah kekufuran yang disebutkan dalam ayat ini seperti apa yang kalian pahami. Sesungguhnya kekufuran itu bukanlah kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama ini. Itu adalah kufur yang lebih rendah tingkatannya dari kekufuran yang hakiki (kufrun duuna kufrin).'

Ini adalah jawaban yang singkat dan jelas dari beliau dalam menafsirkan ayat ini, yang tidak mungkin lagi ditasirkan selain dengan makna ini..."

Demikianlah kutipan perkatan Syaikh Al-Albani rahimahullahu, dan berikut adalah komentar Syaikh Al-'Utsaimin terhadap perkataan tersebut.

*****

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin -rahimahullahu- :

"Syaikh Al-Albani telah berargumen dengan menggunakan sebuah atsar dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma. Demikian pula ulama-ulama selain beliau, mereka pun telah berdalil dengan atsar tersebut. Meskipun pada sanadnya terdapat perbincangan, tetapi mereka tetap saja menerima atsar itu. Hal ini disebabkan karena kesesuaian yang terdapat pada atsar itu dengan banyak dari dalil-dalil syar'i lainnya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

سباب المسلم فسوقٌ وقتاله كفرٌ

'Mencela orang mukmin adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran.' (Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu).

Meskipun begitu, perbuatan memerangi kaum muslimin tidak mengeluarkan seseorang dari agama ini. Allah Ta'ala berfirman,

وَ إنْ طَائِفَتَانِ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَأصْلِحُوْا بَيْنَهُمَا

'Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.' (QS. Al-Hujurat ayat 9)

إنَّمَا المُؤْمِنُوْنَ إخْوَةٌ فَأصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

'Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu.' (QS. Al-Hujurat ayat 10)

Namun, ketika orang-orang yang telah terfitnah dengan manhaj takfir (metode pengkafiran) itu tidak juga ridha dengan perkataan ini, mereka pun lantas berkata, 'Atsar ini tidak dapat diterima dan tidak benar asalnya dari Ibnu Abbas!'

Kami katakan kepada mereka, 'Bagaimana mungkin atsar ini tidak benar, sedangkan orang-orang yang lebih baik dan lebih tahu tentang hadits daripada kalian telah menerimanya?!'

Andaipun benar apa yang kalian katakan bahwa atsar dari Ibnu Abbas ini tidak benar, maka kami mempunyai beberapa dalil yang menyatakan bahwa terkadang lafaz ini (lafaz 'kufur') dicantumkan, tetapi tidaklah dimaksudkan kufur yang bisa mengeluarkan seseorang dari agama ini. Diantara contohnya adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (artinya),

'Dua hal yang dapat menyebabkan seseorang menjadi kufur, yaitu mencela nasab dan meratapi orang mati.' (Diriwayatkan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu); namun kedua hal tersebut sama sekali tidak menyebabkan seseorang keluar dari agamanya.

Tetapi, sebagaimana yang diungkapkan Syaikh Al-Albani pada awal buku ini, bahwa minimnya ilmu dan pemahaman akan kaedah-kaedah syar'i yang umumlah yang merupakan faktor pemicu utama terjatuhnya seseorang dalam kesesatan. Kemudian kami tambahkan satu hal yang juga merupakan faktor pemicu akan hal ini, yaitu buruknya keinginan yang berdampak pada buruknya pemahaman seseorang. Karena, seseorang jika memiliki keinginan, pasti pemahamannya pun akan terfokus pada keinginan tersebut, hingga pada akhirnya, ia pun berani mengubah-ubah dalil syar'i agar sesuai dengan keinginanannya.

Untuk itu, para ulama telah menetapkan sebuah kaedah : 'Carilah dalil, kemudian yakini.', bukan, 'Yakini sesuatu, setelah itu carilah dalilnya.'

Jadi, sebagai kesimpulan, penyebab dari penyimpangan umat ini ada tiga hal;
  1. Dangkalnya ilmu tentang Syari'at
  2. Minimnya pemahaman tentang kaedah syar'i yang sifatnya umum
  3. Pemahaman yang rancu sebagai hasil dari maksud (keinginan) yang tidak terpuji"

*****

Demikianlah nasehat berharga dari dua ulama besar di masa ini. Semoga Allah masih berkenan membuka mata hati kita untuk menerima kebenaran walaupun bertentangan dengan hawa nafsu kita.

-----------------------

Sumber : Fitnah at Takfiir wa Hukm maa Anzala_Llaahu, Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz, Darul Wathan-Riyadh.

Edisi Indonesia : "Janganlah Mengkafirkan Saudaramu", Hukum Mengkafirkan Sesama Muslim menurut Syaikh Al-Albani, dan Dikomentari oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh Al-'Utsaimin. Terbitan Najla Press, Cet. I, 2002