"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

15 Juni 2013

Makna kalimat "La ilaha illa_Llahu"

Kewajiban terbesar bagi seorang muslim adalah mengetahui dan memahami kalimat tauhid, "La ilaha illa_Llahu".

Makna "La ilaha illa_Llahu" adalah,

لا معبود بحقّ إلا الله

"Tiada sesembahan yang hak kecuali Allah semata".

Hal ini bermakna penafian (penolakan) hak uluhiyyah dari yang selain Allah Ta'ala, dan menetapkannya hanya untuk Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya.

Makna ( الإله ) adalah ( المعبود ), yaitu yang disembah dan diibadahi. Siapa yang menyembah dan beribadah terhadap sesuatu, maka dia telah menjadikan sesuatu itu sebagai "ilaah" selain Allah Ta'ala. Dan seluruh sesembahan itu adalah kebatilan kecuali satu "ilaah" saja, yaitu Allah semata.

 Allah Ta'ala, Dia-lah "ilaah" yang tunduk pada-Nya hati dengan landasan cinta, pemuliaan dan pengagungan, ketundukan, rasa takut dan tawakkal hanya kepada-Nya, serta permohonan hanya kepada-Nya saja.

Tidak ada kebahagiaan dan kegembiraan bagi hati kecuali dengan mewujudkan makna "La ilaha illa_Llahu". Karena sungguh, kebahagiaan yang sempurna, kehidupan yang baik dan penuh kenikmatan hanya ada pada peng-Esa-an Allah Ta'ala dalam segala bentuk peribadatan dan penghambaan, tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, baik itu para Malaikat yang dekat kepada Allah atau pun para rasul yang diutus-Nya.

*****

Rukun "La ilaha illa_Llahu"

Kalimat agung "La ilaha illa_Llahu" memiliki dua rukun, yaitu an-Nafyu/النفي (penafian) dan al-Itsbat/الإثبات (penetapan).

Rukun pertama, kalimat ( لا إله ) adalah penafian/peniadaan peribadatan kepada yang selain Allah Ta'ala, membatalkan syirik dan mewajibkan kufur terhadap segala sesuatu yang disembah dan diibadahi selain Dia.

Rukun kedua, kalimat ( إلا الله ) adalah itsbat/penetapan peribadatan hanya untuk Allah semata, meng-Esa-kan Dia dalam semua jenis dan bentuk peribadatan tersebut.

Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala,

فَمَنْ يَكفُرْ بِالطَاغوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَد اسْتَمْسَكَ بِالعُرْوَةِ الوُثْقَى

"Barangsiapa yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat." (QS. al-Baqarah ayat 256)

Firman Allah ( فَمَنْ يَكْفُرْ بالطَاغُوْت ), itulah makna rukun pertama ( لا إله ); dan firman-Nya ( وَيُؤْمِنْ بِاللهِ ), itulah makna rukun kedua ( إلا الله ). Wallahu a'lam.

_____________________

Sumber :

Aqidah at Tauhid li an Nasyi-ah wa al Mubtadi-in, Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad Aalu Abdul Lathif.

11 Juni 2013

Kesabaran dalam Menuntut Ilmu

Seorang tokoh ulama, Baqiy bin Makhlid, berjalan menuju Baghdad untuk menuntut ilmu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, mendengarkan hadits darinya. Di umur 20 tahun, ia menyeberangi selat yang memisahkan Andalus (Spanyol Islam) dengan Benua Afrika, mengarungi padang pasir dan pegunungan, berjalan kaki menuju Baghdad. Ketika mendekati kota Baghdad, sampai kepadanya berita tentang fitnah yang menimpa Imam Ahmad, yaitu fitnah perkataan bahwa Al-Quran adalah makhluk. Ia mendengar bahwa Imam Ahmad dilarang mengajar dan membuka majelis-majelis ilmu. Ia hanya berdiam di rumahnya dan dipaksa menjadi tahanan rumah. Berkata Baqiy, "Saya pun sangat sedih mendengarkan berita tersebut."

Akan tetapi, ia terus memaksa untuk melanjutkan perjalanannya. Ketika tiba di Baghdad, ia letakkan barang bawaannya dan langsung pergi ke Masjid Jami' di kota tersebut, kemudian keluar untuk pergi mencari rumah Imam Ahmad.

Ia mengetuk pintu, dan pintu itu dibuka sendiri oleh Imam Ahmad. Baqiy berkata, "Aku seorang asing yang jauh dari rumah dan seorang penuntut ilmu hadits. Aku tidak mengadakan perjalanan ini selain untuk bertemu denganmu."

Imam Ahmad bertanya, "Dimanakah negerimu?"

"Barat Jauh. Aku menyeberang dari negeriku menuju Afrika." (Maksudnya adalah Andalus).

"Negerimu sangat jauh. Aku sangat ingin membantumu. Akan tetapi, aku sekarang sedang dalam ujian dan ditahan dalam rumahku sendiri..."

Baqiy berkata, "Wahai Abu Abdillah! Aku adalah orang asing, tidak ada seorang pun dari penduduk Baghdad yang mengenalku. Jika engkau izinkan, aku akan mendatangimu dalam rupa seorang peminta-minta, mengetuk pintu dan meminta sedekah. Engkau kemudian keluar menjumpaiku, dan menyampaikan padaku walaupun hanya satu buah hadits pada setiap harinya."

Imam Ahmad menjawab, "Baik, tapi dengan syarat, engkau tidak boleh hadir di majelis-majelis ilmu dan di sisi para ahli hadits..."

*****

Berkata Baqiy bin Makhlid :

Aku pun mengambil sebuah tongkat di tanganku, mengikat kepalaku dengan kain, dan menaruh kertas dan tintaku dalam lipatan kain lenganku. Aku mendatangi pintu rumah dan berteriak, "Sedekah, semoga Allah merahmati kalian!!"

Ahmad pun keluar, menutup pintu dan menceritakan padaku dua atau tiga hadits, hingga akhirnya terkumpul padaku sekitar 300 hadits!!

Kemudian, akhirnya Allah mengangkat ujian tersebut dari Imam Ahmad dan beliau diizinkan untuk mengajar dan membuka majelis ilmu. Jika aku mendatanginya di majelisnya, ia akan melapangkan majelis untukku dan mempersilahkan aku duduk di sampingnya. Ia berkata kepada murid-muridnya, "Orang ini layak untuk disebut sebagai penuntut ilmu sejati...", dan ia pun menceritakan kisahku bersamanya.

Suatu ketika aku sakit, dan Ahmad datang menjengukku bersama sahabat-sahabatnya. Mereka datang dengan membawa pena-pena mereka dan menuliskan setiap perkataan syaikh (guru) mereka, Imam Ahmad.

Sumber kisah : Siyar A'lam an-Nubala', Imam adz-Dzahabi, XIII/292

10 Juni 2013

Apakah Dianjurkan Berpuasa pada Bulan Sya'ban Seluruhnya

Apakah berpuasa di bulan Sya’ban secara penuh sesuai dengan sunnah?

Jawab :

Alhamdulillah. Dianjurkan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. Terdapat riwayat bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam sering  berpuasa di bulan Sya’ban.

Diriwayatkan oleh Ahmad, 26022. Abu Daud, 2336. Nasa’i, 2175. Ibnu Majah, 1648 dari Ummu Salamah radhiallahu 'anha berkata: ”Aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam berpuasa dua bulan secara berurutan kecuali beliau melanjutkan bulan Sya’ban dengan Ramadhan."

Dalam riwayat Abu Daud (dikatakan), "Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh dalam setahun kecuali pada bulan Sya’ban dilanjutkan ke Ramadhan." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Abu Daud, no. 2048) 

Dalam hadits ini tampak bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasalam biasanya berpuasa penuh pada bulan Sya’ban. Akan tetapi ada (hadits) lain bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam biasanya berpuasa pada bulan Sya’ban kecuali sedikit saja (darinya yang beliau tidak berpuasa)

Diriwayatkan oleh Muslim, 1156, dari Abu Salamah dia berkata, saya bertanya kepada  A'isyah radhiyallahu 'anha tentang puasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka ia menjawab: 

كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ صَامَ ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ أَفْطَرَ ، وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلا قَلِيلا (رواه مسلم، رقم 1156)

"Beliau biasanya berpuasa sampai kami mengatakan : Sungguh beliau telah berpuasa (terus). Dan beliau berbuka sampai kami mengatakan : Sungguh beliau telah berbuka (tidak lagi berpuasa). Dan aku tidak melihat beliau   berpuasa  yang lebih banyak dibandingkan pada bulan Sya’ban. Biasanya beliau berpuasa pada bulan Sya’ban semuanya, dan biasanya beliau berpuasa pada bulan Sya’ban kecuali sedikit (darinya yang beliau tidak berpuasa)." (HR. Muslim) 

Para ulama berbeda pendapat dalam mengkompromikan dua hadits ini,

Sebagian mereka berpendapat hal ini terkait dengan perbedaan waktu. Pada sebagian tahun   beliau shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa Sya’ban secara penuh. Dan pada sebagian tahun lainnya beliau shallallahu alaihi wa salam berpuasa kecuali sedikit saja (yang tidak berpuasa padanya). Pendapat ini adalah pilihan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah." (Silakan lihat Majmu Fatawa Syaikh Ibnu Baz, 15/416).

Sebagian lainnya berpendapat, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan. Sementara hadits Ummu Salamah maksudnya adalah berpuasa bulan Sya’ban kecuali sedikit (yang tidak berpuasa). Mereka mengatakan bahwa dari sisi bahasa kalau seseorang sering berpuasa, dibolehkan mengatakan berpuasa sebulan penuh. 

Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata: “Sesungguhnya hadits Aisyah menjelaskan bahwa maksud dari hadits Ummu Salamah, bahwa 'beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berpuasa dalam setahun sebulan penuh kecuali Sya’ban bersambung dengan Ramadhan'; yakni bahwa beliau lebih banyak berpuasa padanya.

At-Tirmidzi mengutip  dari Ibnu Mubarak sesungguhnya beliau berkata : Dalam bahasa Arab dibolehkan mengatakan telah berpuasa sebulan penuh bagi orang yang  berpuasa pada sebagian besar hari dalam satu bulan tersebut.

Ath-Thayyibi berkata : Dimungkinkan beliau sekali berpuasa Sya’ban secara penuh, dan di lain waktu  berpuasa sering dalam bulan itu, agar tidak disimpulkan kalau hal itu wajib dilakukan sebulan penuh, seperti Ramadhan." Kemudian Al-Hafiz mengomentari, "Pendapat pertama lebih tepat." 

Maksudnya bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak melakukan puasa Sya’ban sebulan penuh. Dengan dalil riwayat Muslim, no. 746 dari A'isyah radhiyallahu 'anha, beliau berkata, "Tidak aku ketahui  bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca Al-Qur’an semalam penuh, tidak juga melakukan  shalat malam sampai subuh. Dan tidak berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan."

Begitu juga berdasarkan riwayat Bukhari, no. 1971 dan Muslim, no. 1157 dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma dia berkata, "Nabi shallallahu alahi wa sallam tidak pernah berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan."

As-Sindy berkata dalam menjelaskan hadits Ummu Salamah, “Teks 'Melanjutkan (puasa) Sya’ban ke Ramadhan’  yakni berpuasa di kedua bulan. Yang tampak dari teks tersebut adalah berpuasa Sya’ban sebulan penuh. Akan tetapi terdapat riwayat yang menunjukkan sebaliknya. Oleh karena itu, yang bisa dipahami bahwa beliau berpuasa pada sebagian besar harinya, sehingga seakan-akan beliau  berpuasa  penuh  dan bersambung ke bulan Ramadhan."

Kalau dikatakan, apa hikmahnya memperbanyak berpuasa di bulan Sya’ban? Maka jawabannya adalah perkataan Al-Hafidz, “Yang lebih tepat apa yang diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan Abu Daud serta dishahihkan oleh Ibnu Huzaimah dari Usamah bin Zaid, dia berkata, saya bertanya: 'Wahai Rasulullah, aku tidak melihat engkau (sering) berpuasa dalam satu bulan seperti engkau berpuasa di bulan Sya’ban?' Beliau bersabda: 'Itu adalah bulan yang kebanyakan orang melalaikannya yaitu antara Rajab dan Ramadhan. Yaitu bulan yang di dalamnya di angkat amalan-amalan kepada Allah, Rabb seluruh alam. Maka aku ingin amalanku diangkat sementara aku dalam keadaan berpuasa.” (Dinyatakan hasan   oleh Al-Albany dalam Shahih An-Nasa’i, no. 2221) 

Wallahu’alam

Sumber : Islam Tanya-Jawab

Memotong Rambut dan Kuku Saat Haid

Apakah seorang wanita berdosa ketika memotong rambut, kuku dan membuang keduanya pada waktu haid? Apakah disela-sela waktu haid, harus dicuci terlebih dahulu sebelum dibuang. Terima kasih.

Jawab : 

Alhamdulillah. Masalah ini seringkali terjadi pada kebanyakan para wanita. Terkait dengan hukum memotong rambut, kuku dan semisalnya diantara sunnah-sunnah fitrah disela-sela haid. Hal itu muncul karena keyakinan yang salah pada sebagian orang diantara mereka, bahwa anggota tubuh manusia akan kembali kepadanya di hari kiamat nanti. Kalau dihilangkannya sementara kalau dia dalam kondisi hadats besar baik junub, haid atau nifas, maka ia akan kembali dalam kondisi najis yang belum dibersihkan. Perkataan ini keliru dan tidak ada kebenarannya. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah -sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa, (XXI/120-121)- ditanya tentang seseorang dalam kondisi junub dan dia memotong kuku, kumis atau menyisir rambutnya; apakah dia jatuh kepada sesuatu (yang diharamkan)? Sebagian kalangan mengisyaratkan akan hal ini, dengan mengatakan,"Kalau seseorang memotong rambut atau kukunya maka anggota (tubuhnya) akan kembali kepadanya di akhirat. Maka ketika dibangkitkan pada Hari Kiamat, ada bagian junub sesuai dengan apa yang berkurang darinya. Dan pada setiap rambut ada bagian dari janabah (junu) tersebut"; apakah hal itu (benar) atau tidak?

Maka beliau rahimahullah menjawab:

“Telah ada ketetapan dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dari hadits Hudzaifah dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ’anhuma ketika disebutkan kepadanya masalah junub, maka beliau berkata : 'Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis'. Dalam Shohih al-Hakim disebutkan : 'Baik saat hidupnya maupun setelah matinya'.

Sepengetahuan saya tidak ada dalil syar’i yang melarang menghilangkan rambut orang junub dan kukunya. Bahkan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : 'Hilangkan rambut kekufuranmu dan berkhitanlah'. [HR. Abu Dawud (356) dinyatakan hasan oleh Al-Albany di Irwa-ul Ghalill (1/120)].

Beliau memerintahkan orang yang baru masuk Islam untuk mandi, dan tidak memerintahkan mengakhirkan khitan dan memotong rambut dari mandi. Keumuman perkataannya mengandung makna diperbolehkannya kedua hal tersebut. Begitu  juga orang haid diperintahkan menyisir sewaktu mandi. Padahal menyisir dapat menghilangkan sebagian rambutnya. Wallahu a'lam.”

Syaikhul Islam mengisyaratkan hal itu pada hadits Aisyah radhiyallahu ’anha ketika ia haid pada Haji Wada’, maka Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memerintahkan kepadanya "Uraikan rambutmu dan bersisirlah, serta ber-ihlal (talbiyah) dengan haji dan tinggalkan umrah." Terjemah HR. al-Bukhari, (1556) dan Muslim, (1211).

Saat bersisir, seringkali sebagian rambut akan berjatuhan. Meskipun begitu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengizinkan hal itu bagi orang yang berihram dan orang haid. Para ahli fiqih dari kalangan Mazhab Syafi’iyyah mengatakan seperti dalam kitab Tuhfatul Muhtaj, (4/56): "Yang sesuai nash, bahwa orang haid diperbolehkan mengambilnya."; yaitu mengambil kuku, rambut kemaluan, rambut ketiak. Maksud "nash" dalam perkataan beliau adalah madzhab. 

Ada pertanyaan dalam Fatawa Nurun ‘Ala Ad-Darb yang dijawab (saat itu) oleh Syaikh Ibnu Utsaimin (Fatawa Az-Ziinah Wal Mar-ah/ soal no 9) : "Saya mendengar bahwa menyisir waktu haid tidak diperbolehkan, begitu juga (tidak diperbolehkan) memotong kuku dan mandi. Apakah hal ini benar atau tidak?"
Maka beliau rahimahullah menjawab, “Ini tidak benar. Orang haid diperbolehkan memotong kuku dan menyisir rambutnya. Diperbolehkan mandi dari janabah. Seperti ketika dia bermimpi sementara dia dalam kondisi haid, maka dia mandi janabah. Atau bercumbu dengan suaminya tanpa bersenggema sampai keluar (air mani), maka dia mandi janabah. Sepengetahuan saya bahwa pendapat yang dikenal dikalangan sebagian wanita bahwa tidak boleh mandi, tidak boleh bersisir, tidak menyentuh kepala dan tidak memotong kukunya adalah pandangan yang tidak ada asalnya dalam agama.”

Dan tidak dikenal pendapat yang memakruhkan hal itu satupun dari pendapat para ahli fikih yang terkenal. Akan tetapi disebutkan pada sebagian kitab ahli bid’ah dari golongan yang menyalahi Ahlus Sunnah, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Syarkh An-Nail Wa Syifai’ ‘Alil, (1/347) karangan Muhammad bin Yusuf Al-Ibadhi (Ibadhiyah satu sekte Khawarij, pen.)

Wallahu’alam

Sumber : Islam Tanya-Jawab