"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

27 Desember 2013

Melakukan Akad Nikah Melalui Telepon

Jika telah terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat pernikahan, hanya saja, wali dan mempelai laki-laki, masing-masing berada di kota yang berbeda, apakah boleh melakukan akad nikah melalui telepon?

Jawab :

Melihat banyaknya tipu daya dan penipuan pada masa ini, dan kemahiran sebagian orang dalam meniru suara orang lain dalam berbicara atau atau menyisipkan pembicaraan orang lain dalam suara, sampai-sampai salah seorang dari mereka mampu meniru kelompok laki-laki dan perempuan, anak kecil maupun orang dewasa, meniru dalam suara mereka dan dialog mereka yang berbeda-beda dengan pembicaraan yang memunculkan dalam hati orang yang mendengarkan bahwa yang berbicara adalah beberapa orang, padahal dia hanyalah satu orang saja; dan juga memandang kepada perhatian Syari'at Islam dalam menjaga kemaluan dan kehormatan, dan kaedah kehatian-hatian yang diterapkan dalam masalah ini jauh lebih ketat daripada apa yang diterapkan dalam persoalan akad muamalah lainnya; maka Lajnah memandang tidak selayaknya bersandar kepada pembicaraan telepon dalam akad pernikahan, dalam ijab qabul dan mewakilkannya. Demi untuk mewujudkan maqashid asy-syari'ah (tujuan-tujuan pensyariatan) dan memperketat perhatian dalam menjaga kemaluan dan kehormatan. Sehingga para pemuas hawa nafsu tidak mempermainkan masalah ini, dan juga orang-orang yang diajak jiwanya untuk mengadakan penipuan. Wa billahi at-taufiq.

Wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa 'ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

Al-Lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta' (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia)

Ketua :
Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz

Wakil :
Abdul Razzaq Afifi

Anggota :
Abdullah bin Ghudayyan
Abdullah bin Mani'

-------------------------

Sumber : Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah,XVIII/91, fatwa no. 1216

23 Desember 2013

Tidak Hadir Kerja dan Terlambat Tanpa Uzur

Saya bekerja di salah satu instansi pemerintah. Sebagaimana Anda ketahui, gaji saya tidak mencukupi untuk biaya hidup dan saya bekerja jam 5 sore sampai jam 11 malam. Saya bekerja (sebagai tambahan) pada siang hari dan saya berangkat kerja (ke kantor) pada jam 6 atau 6.30. Akan tetapi saya melaksanakan tugas yang dibebankan dengan sebaik mungkin. Pertanyaannya : Apakah haram "mencuri" waktu kerja resmi pemerintah sebagaimana yang dikatakan pimpinan saya? Dan apakah gaji yang saya ambil itu haram dan tidak ada keberkahan padanya? Saya berharap kesediaan Anda untuk memberikan faedah kepada saya tentang persoalan penting ini, dimana saya bingung dan khawatir jika gaji saya, walaupun kecil, adalah gaji yang haram dengan keadaan yang saya sebutkan, saya menunaikan pekerjaan saya dan bekerja tambahan dari pekerjaan resmi itu.

Jawab :

Anda wajib hadir di tempat kerja Anda sesuai dengan waktu-waktu resmi yang ditetapkan, dan tidak selayaknya Anda meninggalkan pekerjaan Anda tanpa izin dari pimpinan sesuai dengan aturan yang berlaku. Wa bi_llahi at-taufiq.

Wa shallallahu 'ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.

Al-Lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta'

22 Desember 2013

Adakah Dalil Mengucapkan Niat sebelum Shalat?

Adakah dalil mengucapkan niat sebelum shalat? Jika tidak ada, apakah termasuk bid'ah? Jika tidak ada, bagaimana saya menjelaskan kepada keluarga agar tidak mengucapkannya? Karena kami semua mempelajari niat tersebut dari buku Tuntunan Shalat.

Eka Yuliana (ekayuliana@xxxxx.com)

Jawab :

Tidak ada dalil satu pun dari al-Quran atau Sunnah yang memerintahkan atau menganjurkan untuk mengucapkan niat sebelum shalat atau ibadah-ibadah lainnya. Hal itu tidak pernah juga dinukil dari para Shahabat, Tabi'in, bahkan dari para Imam mazhab yang empat. Perbuatan ini termasuk bid'ah yang mungkar, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan,

من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردّ

"Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan darinya, maka perkara itu tertolak." (HR. al-Bukhary dan Muslim)

Dalam riwayat lain,

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو ردّ

"Barangsiapa mengerjakan satu amalan (ibadah) yang tidak ada perintah kami padanya, maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim)

Kewajiban kita terhadap orang yang masih mengamalkannya adalah bernasehat dengan cara yang baik. Sampaikan persoalan ini kepada keluarga dengan mencari kesempatan yang tepat, dengan diskusi yang baik dan ajaklah mereka untuk berpikir sederhana bahwa agama ini milik Allah. Dia yang berhak mengatur tentang urusan agama ini. Itulah keistimewaan Allah yang tidak bisa ditandingi oleh siapapun. Kalau setiap orang bebas untuk berbicara tentang agama Allah ini tanpa ilmu, menambah atau mengurangi ibadah dengan semau hawa nafsunya, apalagi keistimewaan yang tersisa Rabb semesta alam?

Kaedah umumnya bahwa hukum asal ibadah adalah haram kecuali apa yang diperintahkan. Adapun dalam urusan duniawi, maka hukum asalnya adalah mubah (boleh/halal) kecuali apa yang dilarang. Barangkali saja dengan logika sederhana ini mereka bisa menerima argumen yang Saudari sampaikan tentang masalah ini.

Semoga Allah memberkahi Saudari dan keluarga.

17 Desember 2013

Berpartisipasi dalam Perayaan Keagamaan Orang Kafir

Ditanyakan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu :

Sebagian muslim ikut berpartisipasi bersama orang-orang Nasrani dalam hari-hari perayaan keagamaan mereka. Apa nasehat Anda untuk hal ini?

Beliau menjawab :

Tidak boleh bagi seorang muslim atau muslimah ikut serta bersama orang-orang Nasrani atau Yahudi atau selain mereka dari orang-orang kafir dalam perayaan hari-hari besar mereka. Bahkan yang wajib adalah meninggalkan hal tersebut. Karena, siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka. Rasul 'alaihisshalatu was salam telah memperingatkan kita dari menyerupai mereka dan berakhlak dengan akhlak mereka.

Wajib bagi seorang mukmin dan mukminah untuk waspada dengan perkara ini, dan tidak boleh bagi keduanya membantu mereka dalam bentuk apapun karena hari raya mereka itu menyelisihi Syariat sehingga tidak dibolehkan ikut serta di dalamnya, tidak juga tolong menolong bersama mereka dan tidak membantu mereka dalam bentuk apapun. Tidak dengan memberikan teh, kopi atau yang selainnya seperti perkakas dan lain-lain. Karena Allah subhanahu berfirman,

وَتَعَاوَنُوا عَلىَ البِرِّ وَالتقْوىَ وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلىَ الإثْمِ وَالعُدْوَانِ واتّقُوا اللهَ إنَّ اللهَ شَدِيْدُ العِقَابِ

"Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Berat siksaNya." (QS. Al-Maidah ayat 2)

Berpartisipasi bersama orang-orang kafir dalam hari-hari raya mereka tergolong tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.

(Sumber : Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, VI/405)

12 Desember 2013

Melafazkan Niat dalam Ibadah

Apa hukumnya melafazkan niat dalam shalat dan ibadah lainnya?

Dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu :

Melafazkan niat tidak pernah dikenal di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan masa para as-Salaf ash-Shalih. Ini termasuk perkara yang diada-adakan manusia dan tidak ada perlunya melakukan hal tersebut. Karena niat tempatnya di hati dan Allah Maha Mengetahui apa yang dalam hati para hamba. Anda tidak berdiri di hadapan Dzat yang tidak mengetahui sehingga harus mengatakan : Saya akan mengucapkan apa yang saya niatkan agar Dia mengetahuinya. Anda berdiri di hadapan Dzat yang mengetahui apa yang dibisikkan oleh jiwamu, mengetahui keadaanmu, masa lalumu dan saat ini.

Mengucapkan niat termasuk perkara yang tidak pernah dikenal oleh para as-Salaf ash-Shalih. Jika perkara itu baik, niscaya mereka akan mendahului kita dalam perkara tersebut. Maka tidak selayaknya seseorang mengucapkan niatnya, tidak dalam shalat dan tidak pada yang selainnya dari ibadah-ibadah, tidak secara sirr maupun jahr.

(Majmu' Fatawa wa Rasa-il asy Syaikh Muhammad ibn Shalih al Utsaimin rahimahullahu, jilid XII, bab tentang niat)

08 Desember 2013

Ketika Kata Cerai Terucap dalam Kemarahan

Kondisi kemarahan dalam persoalan talak (perceraian) secara umum dapat dibagi menjadi tiga bagian;

Pertama, kemarahan yang menghilangkan akal sehingga orang yang mengucapkannya tidak mengetahui apa yang telah dia ucapkan saat marahnya. Dalam kasus seperti ini, talak itu tidak jatuh tanpa ada perselisihan di kalangan ulama.

Kedua, kemarahan yang terjadi pada permulaannya, dimana akal dan pikirannya tidak berubah, yang tidak menghalangi pelakunya untuk memahami apa yang dia ucapkan dan tujuan dari ucapannya itu. Kasus kedua ini, talak itu jatuh tanpa ada perselisihan.

Ketiga, pertengahan antara keadaan yang pertama dan kedua, dimana kemarahan itu sangat memuncak dan menguasai dirinya tapi tidak sampai menghilangkan akal sehatnya untuk berpikir. Hanya saja, kemarahan itu telah menghalangi antara dirinya dan niat asalnya dimana dia akan merasakan penyesalan mendalam atas kelalaian dan kekeliruannya itu ketika marahnya hilang. Dia mengetahui dan memahami apa yang dia ucapkan, tahu bahwa dialah yang menikahi istrinya atau menceraikannya, akan tetapi kemarahan telah menguasai dirinya dengan satu kemarahan yang membuatnya mengucapkan kata cerai.

Kasus ketiga ini diperselisihkan oleh para ulama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim, memandang bahwa talak tidak jatuh dalam kondisi kemarahan demikian. Itu pula pendapat yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad al-Utsaimin, rahimahumullahu.

Wallahu a'lam.

------------------------

Silahkan dirujuk Zad al-Ma'ad (V/195), Ighatsah al-Lahafan fi Hukmi Thalaq al-Ghadhban (hal. 38), Fatawa Ibn Baz (XXI/373) dan asy-Syarh al-Mumti' (XIII/27)