"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

27 Oktober 2014

Keutamaan Bulan Muharram dan Hari Asyura'

Bulan Muharram adalah salah satu dari bulan-bulan Haram yang Allah sebutkan dalam al-Quran,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan Haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (QS. At-Taubah : 36)

Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

السنة اثنا عشر شهراً منها أربعة حرم ، ثلاث متواليات : ذو القعدة ، وذو الحجة ، والمحرم ، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان

"Satu tahun terdiri dari dua belas bulan, diantaranya empat bulan Haram; tiga berurutan (yaitu) Dzulqi'dah, Dzulhijjah dan Muharram, serta Rajab Mudhar yang diantara bulan Jumada dan Sya'ban." HR. Al-Bukhary (4662) dan Muslim (1679) dari haditsnya Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu.

Yang disyari'atkan di bulan Muharram adalah berpuasa.

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata : Bersabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم

"Seutama-utama puasa setelah Ramadhan adalah bulan Allah, al-Muharram." HR. Muslim (1163).

Dari bulan Muharram tersebut, sangat ditekankan untuk berpuasa pada hari kesepuluhnya, yaitu hari Asyura'.

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma ia berkata : "Saya tidak melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sangat peduli dengan puasa pada hari tertentu yang ia utamakan dari yang selainnya kecuali di hari ini, yaitu hari Asyura', dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan." HR. Al-Bukhary (2006) dan Muslim (1132).

Keutamaan berpuasa pada hari Asyura' adalah apa yang disebutkan dalam hadits Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda,

صيام يوم عاشوراء أحتسب على الله أن يُكفّر السنة التي قبله

"Puasa pada hari Asyura', aku mengharapkan pada Allah agar Dia berkenan menghapuskan dosa setahun yang sebelumnya." HR. Muslim (1163)

Puasa pada hari itu adalah sunnah dan tidak diwajibkan. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إن عاشوراء يوم من أيام الله ، فمن شاء صامه ومن شاء تركه

"Sesungguhnya Asyura' adalah satu hari dari hari-hari Allah. Siapa yang ingin maka hendaknya dia berpuasa padanya, dan siapa yang ingin dia boleh meninggalkannya." HR. Muslim (1136) dari haditsnya Abdullah bin 'Amr radhiyallahu 'anhuma.

Dan disebutkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata : "Asyura' adalah satu hari yang orang-orang Quraisy berpuasa padanya di masa Jahiliyyah. Dahulu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa padanya. Ketika beliau datang ke Madinah, beliau berpuasa Asyura' dan menyuruh (kaum muslimin) untuk berpuasa. Ketika turun (kewajiban) puasa Ramadhan, maka siapa yang ingin ia berpuasa Asyura', dan siapa yang ingin ia boleh tidak melaksanakannya." HR. Al-Bukhary (3744)

Dan bersama dengan puasa Asyura' tersebut, disunnahkan pula berpuasa sehari sebelumnya, dengan dalil hadits Ibnu Abbas, ia berkata :

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللّهِ: إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَىٰ. فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم : «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، إِنْ شَاءَ اللّهُ، صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ». قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّىٰ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللّهِ

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari Asyura' dan menyuruh berpuasa (padanya), mereka berkata : "Wahai Rasulullah, hari itu adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Jika datang tahun depan, kita akan berpuasa pada hari kesembilan." Berkata Ibnu Abbas : Dan belum tiba tahun berikutnya hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat. HR. Muslim (2619)

Sebagian ulama menyebutkan sunnahnya untuk berpuasa pada sehari sebelum dan sehari sesudah hari Asyura (yaitu tanggal 9 dan 11 Muharram), dengan berdalilkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas secara marfu',

صوموا يوم عاشوراء وخالفوا اليهود، وصوموا قبله يوماً و بعده يوماً

"Berpuasalah pada hari Asyura' dan selisihilah orang-orang Yahudi. Berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya."

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (I/241) dan Ibnu Khuzaimah (2095) dari jalan periwayatan Muhammad bin Abi Laila.

Berkata Imam Ahmad tentang Ibnu Abi Laila : "Buruk hafalannya, guncang haditsnya. Fiqhnya lebih kami sukai daripada haditsnya."

Berkata Abu Hatim : "Kedudukannya adalah shaduq (jujur). Ia adalah orang yang buruk hafalannya. Disibukkan dengan jabatan qadhi (hakim) dan hafalannya menjadi buruk. Ia tidaklah tertuduh, hanya saja diingkari darinya banyaknya kekeliruan. Haditsnya ditulis dan tidak dijadikan hujjah."

Berkata an-Nasa'i : "Tidak kuat (laysa bil qawiyy)."

Berkata ad-Daruquthni : "Buruk hafalan dan banyak kekeliruan."

Berkata Abu Ahmad al-Hakim : "Kebanyakan hadits-haditsnya maqlub (tertukar redaksi haditsnya dengan yang lainnya)."

Dengan demikian, hadits ini sangat lemah, dan tidak kuat untuk dijadikan hujjah dalam mengamalkan sunnahnya puasa pada hari kesebelas. Wallahu a'lam.

------------------

Maraji' :

[1] Shahih Fiqh as-Sunnah wa Adillatuh

 

24 Oktober 2014

Mengucapkan Selamat Tahun Baru Islam

Kebiasaan yang umum di kalangan kaum muslimin saat ini adalah saling mengucapkan selamat berkenaan dengan datangnya tahun baru Hijriah.

Kebiasaan seperti ini sebenarnya bukanlah suatu sunnah yang dianjurkan, dan bukan pula sebuah ibadah yang akan berpahala jika dilakukan.

Penanggalan yang kita kenal sebagai Penanggalan Hijriah belum ada di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, walaupun bangsa Arab sudah sejak lama memiliki bulan-bulan yang kita kenal sebagai bulan-bulan Hijriah (Muharram, Shafar, Rabi'ul Awwal, dan seterusnya).

Penanggalan Hijriah dalam sejarah Islam baru dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibnul Khattab radhiyallahu 'anhu, dan itupun semata-mata untuk tujuan administrasi, bukan untuk dirayakan atau dijadikan sebagai hari peringatan.

Umar dan para shahabat radhiyallahu 'anhum menetapkan tahun terjadinya hijrah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai permulaan tahun Islam (dengan memulainya dari bulan Muharram walaupun sebenarnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berhijrah pada bulan Rabi'ul Awwal), dan mereka tidak pernah memperingati dan merayakan hari hijrahnya beliau, tidak juga hari hari kelahiran beliau, hari terjadinya Isra' Mi'raj atau hari kemenangan pada perang Badar.

Peringatan-peringatan seperti ini adalah perkara baru yang diada-adakan dalam agama Allah dan sama sekali tidak memberikan manfaat sedikitpun untuk Islam dan kaum muslimin kecuali hanya perkara seremonial atau sebuah ritual yang tidak memiliki makna yang besar. Faktanya, banyak dari orang awam dari kaum muslimin yang begitu peduli dengan perayaan-perayaan tersebut, tapi di sisi lain, mayoritas mereka tidak menjaga shalatnya wajibnya, tidak mengenal al-Quran kecuali pada saat-saat tertentu dan tidak mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang hak kecuali sedikit. Itupun ditambah lagi dengan sebagian ritual yang jelas-jelas mengandung unsur kesyirikan dan khurafat, seperti kirab kerbau di Solo atau berebut tumpeng raksasa yang diyakini memiliki berkah di beberapa daerah.

Sudah saatnya setiap aktivis Islam, tokoh-tokoh agama dan setiap individu yang memiliki kepedulian terhadap agama ini untuk kembali mengoreksi cara beragama mereka dan masyarakatnya. Agar jangan sampai ajaran Islam yang hak justru menjadi asing di tengah-tengah para pemeluknya, berganti dengan ritual-ritual baru yang tidak dikenal oleh para pendahulunya. Benarlah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan,

 بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ كَمَا بَدَأَ غَرِيْبًا فَطُوْبىَ لِلغُرَبَاءِ

"Islam bermula dalam keadaan asing, dan dia akan kembali menjadi asing sebagaimana permulaannya. Maka berbahagialah orang-orang yang asing." (HR. Muslim).

Hukum Mengucapkan Selamat Tahun Baru

Lembaga Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia ditanya : Apakah boleh mengucapkan selamat untuk non-muslim dengan datangnya tahun baru Masehi, dan (apakah boleh mengucapkan selamat) untuk tahun baru Hijriah dan hari kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam?

Mereka menjawab : Tidak boleh mengucapkan selamat untuk peringatan-peringatan tersebut, karena memperingatinya bukanlah perkara yang disyari'atkan. (fatwa no. 20795)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu ditanya tentang hukum mengucapkan selamat tahun baru Hijriah dan jawaban apa yang mesti disampaikan sebagai balasan; beliau menjawab :

Jika seseorang mengucapkan selamat padamu, balaslah ucapan itu, dan jangan engkau mendahului seseorang untuk mengucapkan selamat tersebut. Inilah sikap yang benar dalam masalah ini.  Jika misalkan seseorang mengucapkan padamu : "Kami ucapkan selamat untukmu dengan datangnya tahun baru ini", katakan padanya : "Semoga Allah menganugerahkanmu kebaikan dan menjadikan tahun ini sebagai tahun kebaikan dan keberkahan". Akan tetapi, jangan engkau memulai (mengucapkannya kepada) orang-orang. Karena saya tidak mengetahui bahwa para Salaf dahulu mengucapkan selamat dengan datangnya tahun baru. Bahkan selayaknya diketahui bahwa para Salaf tidak menjadikan Muharram sebagai awal tahun baru kecuali di masa Khilafahnya Umar ibnu Khattab radhiyallahu 'anhu. (CD al-Liqa' asy-Syahri wa al-Bab al-Maftuh, pertanyaan no. 835, melalui website Islam Tanya-Jawab Syaikh al-Munajjid hafidzhahullahu)

Menjawab tersebut dibolehkan karena menjawab ucapan selamat adalah perkara yang tidak mengapa selama hal itu hanya dimaksudkan sebagai doa secara mutlak, bukan lafaz ucapan yang dianggap ibadah dalam melakukannya.

Wallahu a'lam.

 .

22 Oktober 2014

Kewajiban Setia dan Patuh terhadap Penguasa Muslim

Termasuk dalam prinsip dasar aqidah dan manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah dalam interaksi mereka bersama para penguasa muslim adalah pandangan mereka tentang wajibnya mendengar dan taat kepada para penguasa, yang baik maupun yang jahat. Ketaatan tersebut semata-mata hanya dalam perkara yang ma'ruf. Jika para penguasa itu menyuruh bermaksiat kepada Allah, maka tidak ada ketaatan terhadap hamba dalam perkara maksiat kepada al-Khaliq. Wajib bernasehat kepada para penguasa dalam masalah itu dan tidak boleh mendoakan kejelekan untuk mereka. Bahkan sebaliknya, mendoakan kebaikan untuk mereka.

Ahlussunnah juga tidak memandang bolehnya melepaskan bai'at, memberontak atau memerangi mereka, walaupun mereka berlaku aniaya dan zalim. Bahkan justru Ahlussunnah memandang bahwa menolak bai'at dan pemberontakan termasuk bid'ah yang diada-adakan.

Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu, "Ini adalah mazhab-mazhab para ahlul ilmi, Ashabul Atsar dan Ahlussunnah yang berpegang teguh terhadap prinsip-prinsipnya dan mereka dikenali dengannya, yang diteladani dalam persoalan itu, sejak masa para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hingga masa kita sekarang, dan aku telah menjumpai orang-orang yang aku jumpai dari para ulama penduduk Hejaz, Syam dan yang selain mereka berada diatas prinsip tersebut. Siapa yang menyelisihi sesuatu dari mazhab ini, atau mencelanya, atau mencela orang yang berpendapat dengannya, maka dia adalah ahli bid'ah yang keluar dari al-Jama'ah, tergelincir dari manhaj as-Sunnah dan jalan kebenaran!"

Beliau kemudian menyebutkan beberapa perkara dari prinsip-prinsip aqidah dan diantaranya beliau berkata, "... Dan patuh kepada orang yang Allah jadikan penguasa atas urusan kalian. Jangan melepaskan tangan dari ketaatan. Jangan memberontak terhadapnya dengan senjatamu hingga Allah menjadikan bagimu kelapangan dan jalan keluar. Jangan memberontak terhadap penguasa. Engkau wajib mendengar dan taat, dan jangan melepaskan bai'at. Siapa yang melakukan itu maka dia adalah ahli bid'ah, menyelisihi dan berpisah dari al-Jama'ah. Jika penguasa itu menyuruhmu pada suatu perkara yang merupakan maksiat kepada Allah maka tidak ada kewajibanmu sedikitpun untuk mematuhinya, dan tidak boleh bagimu memberontak terhadapnya dan jangan menghalangi haknya (sebagai penguasa)..."[1]

Berkata Imam Muhammad bin Isma'il al-Bukhary rahimahullahu, "Aku telah menjumpai lebih dari 1000 tokoh dari para ulama dari penduduk Hejaz, Makkah, Madinah, Kufah, Basrah, Wasith, Baghdad, Syam, Mesir...", dan ia menyebutkan beberapa nama dari mereka, kemudian berkata, "Aku tidak melihat seorang pun dari mereka berselisih dalam prinsip-prinsip ini..."

Dan Imam al-Bukhary mulai menyebutkan beberapa perkara, diantaranya, "Dan kami tidak merampas urusan (kekuasaan) ini dari ahlinya, dengan dalil sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

ثلاثٌ لا يغلُّ عليهن قلب امرئ مسلمٍ : إخلاص العمل لله وطاعة ولاة الأمر ولزوم جماعتهم فإن دعوتهم تحيط من ورائهم

'Tiga perkara yang tidak akan mendengki hati seorang muslim diatasnya : mengikhlaskan amal untuk Allah semata, mentaati para penguasa dan komitmen dengan jama'ah mereka; karena sungguh doa mereka melingkupi dari arah belakang mereka.'[2]

Dan lebih ditekankan lagi dengan firman-Nya,

أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم

'Taatlah kepada Allah, taatlah kepada rasul dan pemimpin diantara kalian.'[3],

dan tidak memandang halalnya menghunus senjata terhadap umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

Berkata al-Fudhail : Andai saja aku memiliki doa yang dikabulkan, aku tidak akan menjadikannya kecuali untuk penguasa. Karena jika penguasa baik, maka amanlah negeri dan para hamba."[4]

Berkata Sahl bin Abdillah at-Tusturi rahimahullahu, dan beliau telah ditanya : Kapan seseorang mengetahui bahwa ia berada diatas Sunnah dan Jama'ah?

Ia menjawab, "Jika ia mengetahui dari dirinya sepuluh perkara : Tidak meninggalkan Jama'ah, tidak mencaci para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tidak memberontak terhadap umat ini dengan senjatanya, tidak mendustakan takdir, tidak ragu dalam persoalan iman, tidak berdebat dalam agama, tidak meninggalkan shalat terhadap orang yang mati dari kalangan Ahli Kiblat disebabkan oleh dosa, tidak meninggalkan (sunnahnya) mengusap dua khuff, dan tidak meninggalkan shalat berjamaah di belakang setiap penguasa, baik dia berlaku zalim atau adil."[5]

Berkata Imam Abu Ja'far ath-Thahawi rahimahullahu, "Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak terhadap para imam dan para pemimpin kami, walaupun mereka berlaku zalim. Kami tidak mendoakan keburukan atas mereka dan tidak melepaskan tangan dari ketaatan terhadap mereka. Kami memandang bahwa ketaatan terhadap mereka termasuk ketaatan terhadap Allah 'Azza wa Jalla, selama mereka tidak menyuruh kepada maksiat. Dan kami mendoakan kebaikan dan keafiatan untuk mereka."[6]

Dan berkata Imam Abu Muhammad al-Barbahary rahimahullahu, "Ketahuilah bahwa kezaliman seorang penguasa tidaklah mengurangi sebuah kewajiban dari kewajiban-kewajiban Allah yang telah Dia wajibkan melalui lisan nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Kezalimannya untuk dirinya sendiri, sementara kepatuhan dan kebajikanmu bersamanya tetap sempurna insyaallahu ta'ala, yaitu dalam shalat berjamaah, Jumat dan jihad bersama mereka. Segala sesuatu dari ketaatan-ketaatan, maka berpartisipasilah bersama mereka padanya.

Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan untuk penguasa, ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa nafsu (ahli bid'ah). Dan jika engkau mendengar seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa, ketahuilah bahwa ia adalah pengikut Sunnah insyaallahu. Berkata al-Fudhail bin 'Iyadh : 'Andai aku memiliki doa (yang dikabulkan) niscaya aku tidak menjadikannya kecuali untuk penguasa'. Kami diperintahkan untuk mendoakan kebaikan untuk mereka, dan kami tidak diperintahkan untuk mendoakan keburukan atas mereka walaupun mereka bersikap aniaya dan zalim. Karena sikap aniaya dan kezaliman mereka untuk diri-diri mereka sendiri, sementara kebaikan mereka untuk diri-diri mereka dan kaum muslimin."[7]

Demikianlah sebagian kecil dari perkataan para imam yang bisa kami tuliskan untuk Anda dalam kesempatan ini. Kami mengajak para pemuda dan kaum muslimin secara umum untuk memahami manhaj ini dengan baik, agar manisnya kemenangan itu bisa segera terwujudkan tanpa harus mengorbankan pikiran, tenaga dan bahkan nyawa dalam sebuah kesia-siaan yang tidak membawa pada kemenangan, satu langkah pun, hanya karena niat baik untuk memperjuangkan Islam dengan cara yang tidak sejalan dengan tuntunan para as-Salaf ash-Shalih, semoga Allah merahmati kita dan mereka.[8]

-----------------

Footnotes :

[1] Thabaqat al-Hanabilah oleh Ibnu Abi Ya'la (I/24-27)

[2] Diriwayatkan oleh asy-Syafi'i, at-Tirmidzi, Ibnu Abdil Barr dan al-Baghawi dari haditsnya Abdullah bin Mas'ud, dan diriwayatkan oleh Ahmad, ad-Darimi dan Ibnu Hibban dari haditsnya Zaid bin Tsabit. Perkataan beliau : "Karena sungguh doa mereka melingkupi dari arah belakang mereka", maknanya bahwa doa-doa jama'ah tersebut (yaitu kaum muslimin dan penguasa mereka) ibaratnya benteng yang mengelilingi mereka, yang menghalangi dari masuknya musuh kedalam barisan mereka. (Miftah Dar as-Sa'adah, I/71)

[3] QS. An-Nisa' ayat 59

[4] Syarh al-I'tiqad, Imam al-Lalika'i (I/172-176)

[5] Syarh al-I'tiqad, Imam al-Lalika'i (I/183)

[6] Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyyah (hal. 368)

[7] Thabaqat al-Hanabilah oleh Ibnu Abi Ya'la (II/36)

[8] Kutipan perkataan para imam diatas kami ambilkan dari mukaddimah yang dituliskan oleh Syaikh Dr. Abdul Razzaq bin Abdil Muhsin al-'Abbad untuk tahqiq kitab Qaa'idah Mukhtasharah fi Wujuub Thaa'ati_Llaahi wa Rasuulihi wa Wulaatil Umuur oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu.

18 Oktober 2014

Firqah Khawârij

Khawarij adalah sebuah firqah besar yang berwujud gerakan pemberontakan yang sangat ekstrim dalam sejarah Islam, yang telah cukup menyibukkan negeri-negeri Islam dalam masa yang panjang, bahkan mereka masih memiliki wujud kekuatan di masa sekarang. Mereka telah berhasil menancapkan kekuatan politiknya di beberapa bagian dunia Islam, di Oman, Hadramaut, Zanjibar (di Tanzania saat ini) dan daerah tetangganya di barat Afrika. Prinsip pemikiran mereka masih eksis hingga saat dalam wujud mazhab firqah/sekte Ibadhiyah yang tersebar di daerah-daerah tersebut. Dan bukan rahasia lagi bahwa sebagian pemikiran Khawarij yanng berkait dengan pengkafiran para pelaku dosa dan pengkafiran para penguasa muslim masih dianut dan diyakini sebagian kalangan hingga saat ini.

Definisi Khawarij

Asy-Syahrastani mendefiniskan Khawarij dengan definisi yang sangat umum dengan perkataannya : “Setiap orang yang memberontak kepada imam yang hak yang telah disepakati oleh jamaah (kaum muslimin) dinamakan Khârijî, baik pemberontakan itu terjadi di masa Shahabat terhadap para Khulafa Rasyidun, atau setelahnya terhadap orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik dan para penguasa di setiap masa.”

Khawarij muncul pertama kali sebagai sebuah kelompok yang memiliki kekuatan pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, dengan membai’at Abdullah bin Wahb ar-Rasiby sebagai Amirul Mu’minin tandingan pada tanggal 10 Syawwal tahun 37 H di Harura’, Irak. Berkata Syaikhul Islam, ”Bid’ah yang pertama kali muncul dalam Islam dan yang paling jelas celaan terhadapnya dalam sunnah dan atsar adalah bid’ah Haruriyyah (Khawarij) yang membangkang…”. (Majmu’ Fatawa, XIX/ 71)

Beliau juga berkata :”Merekalah yang pertama kali mengkafirkan Ahli Kiblat dengan alasan dosa, bahkan dengan sesuatu yang mereka anggap sebagai dosa. Mereka halalkan darah-darah Ahli Kiblat dengan perkara tersebut…”. (lihat juga : Majmu’ Fataawa, XIII/ 20, 32; al Milal wan Nihal oleh Ibnu Hazm, I/ 91)

Nama-nama Khawarij

Khawarij memiliki banyak nama dan gelar, baik yang berasal dari mereka sendiri atau dari lawan-lawan mereka. Diantara nama-nama yang disebutkan para Salaf yaitu :

1. Khawârij. Nama yang paling dikenal dan paling sering digunakan. Hampir-hampir nama atau gelar yang selain ini tidak dikenal kecuali dengan nama “Khawarij”. Dan nama ini mencakup semua sektenya.

2. Al-Harûriyah. Nisbat kepada sebuah tempat dimana generasi pertama mereka berpisah untuk pertama kali dari kaum muslimin dibawah kepemimpinan Amirul Mukminin Ali radhiyallahu ‘anhu dan mereka menuju ke tempat ini, yaitu sebuah kampung di dekat Kufah yang disebut Harura’.

3. Al-Mâriqah, yang bermakna pembangkang, dikarenakan pembangkangan dan pemberontakan mereka terhadap Imam Ali.

4. Al-Muhakkimah. Termasuk nama yang disematkan kepada mereka di awal kemunculannya. Nama ini muncul disebabkan pengingkaran mereka terhadap pengangkatan dua orang sebagai hakim pemutus perkara antara pihak Ali dan Mu’awiyah, dan juga slogan yang sering mereka dengungkan : “Tidak ada hukum kecuali milik Allah!”

Firqah-firqah Khawarij

Secara garis besar, Imam Ibnul Jauzi telah menyebutkannya dengan perkataan beliau,

Harûriyah (Khawarij) terbagi menjadi dua belas kelompok. Pertama; al-Azâriqah, mereka berkata : Kami tidak tahu seorangpun yang mukmin. Dan mereka mengkafirkan kaum muslimin (ahli kiblat), kecuali orang yang sepaham dengan mereka. Kedua : al-Ibâdhiyah, mereka berkata : Siapa yang menerima pendapat kita adalah orang mukmin dan siapa yang berpaling adalah orang munafik. Ketiga : ats-Tsa`labiyah, mereka berkata : Sesungguhnya Allah tidak menetapkan qadha’ dan qadar. Keempat : al-Hâzimiyyah, mereka berkata: Kami tidak tahu apa iman itu. Dan semua makhluk akan diberi uzur (dimaafkan karena ketidaktahuannya). Kelima : Khalafiyah, mereka berkata : Pria dan wanita yang meninggalkan jihad berarti telah kafir. Keenam : al-Mujarromiyah, mereka berpendapat : Seseorang tidak boleh menyentuh orang lain , karena dia tidak tahu yang suci dengan najis. Dan janganlah dia makan bersama orang itu hingga orang itu bertaubat dan mandi. Ketujuh: al-Kanziyah, mereka berpendapat : Tidak pantas bagi seseorang untuk memberikan hartanya kepada orang lain, karena mungkin dia bukan orang yang berhak menerimanya. Dan hendaklah dia menyimpan harta itu hingga muncul para pengikut kebenaran. Kedelapan: asy-Syimrakiyah, mereka berpendapat : Tidak mengapa menyentuh wanita yang bukan mahram, karena mereka adalah rahmat. Kesembilan: al-Akhnasiyah, mereka berpendapat : Orang yang mati tidak akan mendapat kebaikan dan kejelekan setelah matinya. Kesepuluh: al-Muhakkimah, mereka berpendapat ; siapa yang berhukum kepada makhluk adalah kafir. Kesebelas : Mu`tazilah dari kalangan Khawarij, mereka berkata: Samar bagi kami masalah Ali dan Muawiyah, maka kami berlepas diri dari dua kelompok itu. Kedua belas: al-Maimuniyah, mereka berpendapat: Tidak ada imam kecuali dengan restu orang-orang yang kami cintai.” (Talbis Iblis hal. 32-33).
 
Sebab Pemberontakan Khawarij

Pendapat yang paling kuat bahwa sebab utama pembangkangan dan pemberontakan mereka terkumpul pada perkara-perkara berikut :

1. Perselisihan seputar persoalan Khilafah

Inilah yang bisa dikatakan sebagai sebab utama pembangkangan mereka. Khawarij memiliki pandangan tersendiri tentang imam (penguasa) dan syarat-syarat yang mereka tetapkan sangatlah ketat dan kaku. Penguasa-penguasa yang ada dalam pandangan mereka tidak berhak dengan khilafah (atau kekuasaan secara umum) karena tidak terpenuhinya syarat-syarat mereka tersebut.

2. Persoalan Tahkim

Mereka telah memaksa Amirul Mukminin Ali radhiyallahu ‘anhu untuk menerima tahkim. Ketika tahkim itu telah terjadi, mereka justru meminta Ali untuk rujuk dari perkara tersebut, bahkan mengharuskannya untuk mengumumkan kembali keislamannya karena dianggap telah murtad. Permintaan mereka ini ditolak oleh Ali radhiyallahu ‘anhu.

3. Kezaliman Penguasa dan Tersebarnya Kemungkaran

Inilah yang selalu didengung-dengungkan Khawarij dalam ceramah-ceramah dan tulisan-tulisan mereka; para penguasa telah berlaku zalim dan kemungkaran telah merajalela. Kenyataannya, ketika mereka memberontak dan mengangkat senjata, mereka justru lebih memperburuk keadaan dari kemungkaran yang sudah ada.

Masih ada hal lain yang melatarbelakangi pemberontakan Khawarij, yaitu faktor ekonomi. Seperti kisahnya Dzul Khuwaishirah bersama Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam yang mempertanyakan keadilan beliau dalam pembagian emas, dan juga pemberontakan mereka terhadap Utsman, dimana mereka mencuri harta baitul mal setelah membunuh Utsman radhiyallahu ‘anhu.

Beberapa Keyakinan Khawarij dalam Timbangan

1. Ghuluw (Ekstrim) dalam Beragama

Tidak diragukan bahwa Khawarij adalah orang-orang yang taat dan ahli ibadah. Mereka sangat keras dalam memegang prinsip agama (yang sebagiannya menurut penafsiran mereka sendiri) dan ketat dalam menjaga diri untuk tidak jatuh kepada maksiat dan segala hal yang menyelisihi Islam. Bahkan hal itu telah menjadi ciri khas mereka. Yang menunjukkan hal ini adalah perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

يقرءون القرآن ليس قراءتكم إلى قراءتهم بشىء، ولا صيامكم إلى صيامهم بشىء

Mereka membaca al-Quran, tidaklah bacaan kalian itu lebih bernilai dibanding bacaan mereka, demikian pula puasa kalian dibanding puasa mereka.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Ahmad)

Dari Jundub al-Azdi ia berkata, “Ketika kami pergi kepada Khawarij dan kami bersama  Ali bin Abi Thalib, kami sampai ke perkemahan mereka dan mereka berdengung seperti dengungan lebah (yang datang) dari bacaan Quran (mereka).” (Talbis Iblis, oleh Ibnul Jauzi, hal. 93)

Demikianlah keadaan Khawarij. Orang-orang yang ahli puasa, shalat dan membaca al-Quran, akan tetapi mereka melampaui sikap pertengahan dan sampai ke level yang sangat ekstrim yang menjadikan mereka menyelisihi prinsip-prinsip Islam, seperti mengkafirkan pelaku dosa besar. Berkata Imam al-Bukhary dalam Shahihnya : Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma memandang mereka sebagai seburuk-buruk makhluk. Ia berkata, “Mereka pergi (mengambil) ayat-ayat yang diturunkan kepada orang-orang kafir, kemudian mereka jadikan (terapkan) kepada orang-orang mukmin.” (Shahih al-Bukhary, bab : Qatlu al Khawârij wa al Mulhidîn ba’da Iqâmah al Hujjah ‘alaihim)

Diantara mereka ada yang sampai kepada level memvonis orang yang melakukan dosa, walaupun dosa kecil, sebagai seorang yang kafir, murtad dan kekal di Neraka. Begitu pula dengan pandangan mereka tentang pemberontakan terhadap penguasa walaupun dengan sebab yang sangat sepele dan menganggap pemberontakan tersebut sebagai bentuk penegakan syari’at Allah.

Termasuk dalam penyimpangan yang disebabkan sikap ekstrim dalam beragama ini yang mengeluarkan mereka dari batasan-batasan agama dan tujuannya yang mulia adalah ketika mereka mengkafirkan setiap orang yang menyelisihi pendapat mereka, menghalalkan darahnya, dan bahkan sebagian mereka –seperti sekte Azariqah- menghalalkan membunuh wanita dan anak-anak.

2. Berlepas diri dari Ketaatan dan Menghalalkan Darah Kaum Muslimin

Ketika Khawarij berpisah dari kaum muslimin, maka mereka memiliki ciri tersendiri dalam pandangan-pandangan mereka yang dengannya mereka berpisah dari kaum muslimin. Dan mereka menganggapnya sebagai agama yang tidak akan diterima di sisi Allah selain itu. Siapa yang menyelisihi mereka dalam hal itu maka dia telah keluar dari agama dan mereka mewajibkan berlepas diri dari orang tersebut. Sebagian mereka sampai pada level memerangi serta menghalalkan darah. Diantara contohnya adalah ketika mereka membunuh Abdullah bin Khabbab bin al-Arats tanpa sebab apapun selain bahwa dia menyelisihi mereka dalam pendapat.

3. Keteguhan dan Semangat Mereka dalam Membela Mazhabnya

Inilah salah satu ciri Khawarij yang patut dipuji. Hanya saja, mereka tidak membatasi sifat itu pada batasan yang masuk akal. Mereka melampauinya hingga terjatuh pada perkara yang justru berlawanan dengan prinsip tersebut.

Karena fanatisme dan semangat mereka yang begitu tinggi, mereka tidak peduli dengan segala resiko yang mesti diterima dalam memperjuangkan dan membela keyakinannya. Semua ini tumbuh dari keyakinan bahwa mazhabnya adalah kebenaran hakiki yang tidak boleh berpaling darinya dan Allah tidak menerima yang selain itu. Perkara yang membuat mereka mustahil untuk bisa bertemu dengan seorang pun dari kaum muslimin dalam pemikiran tersebut. Karenanya, menerima uzur dari orang yang menyelisihi mereka adalah perkara yang sangat aneh dalam manhaj dan tabiat mereka. Karena itu pula mereka sibuk membunuhi orang Islam, namun membiarkan penyembah berhala sebagaimana yang disebutkan dalam hadits.

Penutup

Sebagai penutup tulisan ringkas tentang firqah ini, berikut adalah sebuah kisah tentang taubatnya seorang Khawarij. Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al Lâlika`i, setelah beliau membawakan sanadnya, beliau berkata: Muhammad bin Ya`qub al-Hasham berkata : Pernah ada dua orang Khawarij thawaf di Baitullah, maka salah seorang berkata kepada temannya, “Tidak ada yang masuk Surga dari semua yang ada ini kecuali hanya aku dan engkau saja”. Maka temannya berkata, “Apakah Surga diciptakan Allah seluas langit dan bumi hanya akan ditempati oleh aku dan engkau?” Temannya berkata, “Betul”. Maka temannya tadi berkata, ”Kalau begitu, ambillah Surga itu untukmu”. Maka orang itupun meninggalkan paham Khawarijnya. (Syarh Ushûl I`tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ`ah, VII, no. 2317)

11 Oktober 2014

Hadits Shahîh

Kita telah memahami bahwa jika ditinjau dari sisi jumlah jalan periwayatankhabar al-Âhâd terbagi tiga, yaitu masyhur, ‘aziz dan gharib.

Sementara ditinjau dari sisi kekuatan dan kelemahan periwayatannyakhabar al-Âhâd (baik itu yang masyhur, ‘aziz atau gharib) terbagi dua yaitu maqbûl (diterima) dan mardûd (tertolak).

Al-Khabar al-Maqbul dari sisi perbedaan tingkatannya terbagi kepada dua bagian pokok, yaitu shahîh dan hasan. Dan keduanya terbagi lagi masing-masingnya pada dua bagian, yaitu lidzâtihi dan ligharihi.


Berikut adalah penjelasannya dan kita mulai dengan pembahasan tentang hadits shahih.

Pengertian Hadits Shahîh

Ash-shahih ( الصحيح ) menurut bahasa lawan kata dari ( السقيم ) yaitu sakit.

Menurut istilah :

ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط، عن مثله إلى منتهاه، من غير شذوذ ولا علة

Apa yang bersambung sanadnya dengan nukilan periwayatan seorang yang ‘adl dan dhâbith, dari orang yang sepertinya hingga ke penghujung sanad, tanpa adanya syudzûdz dan ‘illah.

Penjelasan :

Definisi diatas mengandung lima perkara yang wajib ada sehingga sebuah hadits dapat dihukumi sebagai hadits shahih, yaitu :

1. Sanad yang bersambung. Maknanya adalah bahwa setiap perawi dari perawi-perawi hadist itu telah mengambilnya secara langsung dari orang yang diatasnya, sejak permulaan sanad sampai akhirnya.

2. ‘Adâlah para perawi. Yaitu bahwa setiap perawinya memiliki sifat-sifat sebagai seorang muslim, baligh, berakal, tidak fasik dan tidak melanggar murû-ah (hal-hal yang berkait dengan etika dan kepantasan)

3. Dhabth para perawi. Yaitu bahwa setiap perawinya memiliki dhabth yang sempurna, entah dhabth shadr ataupun dhabth kitab.

Dhabth shadr adalah kemampuan seorang perawi menyebutkan hafalannya kapan saja dia inginkan atau kapan diminta.

Dhabth kitab adalah ketelitian seorang perawi dalam menjaga bukunya sampai dia menyampaikan hadits-haditsnya.

4. Tidak adanya syudzûdz, yaitu haditsnya tidak syâdz. Syudzûdz maknanya adalah seorang perawi tsiqah (yang sangat terpercaya) menyelisihi orang yang lebih tsiqah darinya.

5. Tidak adanya ‘illah. Dan ‘illah adalah suatu sebab tersembunyi, yang menyebabkan cacat dalam suatu hadits, walaupun secara lahir hadits itu terlihat sebagai hadits yang baik.

Demikian lima syarat untuk shahihnya sebuah hadits. Jika salah satu syarat tersebut hilang, maka sebuah hadits tidak disebut sebagai hadits shahih.

Contoh :

Al-Bukhary meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dan berkata :

حدثنا عبد الله بن يوسف، قال : أخبرنا مالك، عن ابن شهاب، عن محمد بن جبير بن مطعم، عن أبيه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ فى المغرب بالطور

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, ia berkata : Telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah membaca surat ath-Thur dalam shalat Maghrib.” (Hadits no. 765)

Hadits ini shahih, karena;

1. Sanadnya bersambung, karena setiap perawinya mendengarkan langsung dari syaikh (guru)nya. Adapun ‘an’anah[1] Malik, Ibnu Syihab dan Ibnu Jubair, maka hal itu dibawa kepada kemungkinan bersambungnya sanad disebabkan keadaan mereka yang tidak dikenal sebagai mudallis.

2. Para perawi adalah orang-orang yang dikenal dengan ‘adâlah dan dhabth dalam periwayatan hadits, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama yang berkecimpung dalam ilmu al-Jarh wa at-Ta’dîl.

3. Tidak syâdz, karena tidak berbenturan dengan sesuatu yang lebih kuat darinya.

4. Tidak terdapat padanya sesuatu ‘illah pun.

Hukumnya

Hadits shahih wajib diamalkan dengan ijma’ ahli hadits serta para ulama ushul dan fiqh, yang merupakan hujjah (argumen) Syari’at, dan tidak ada kelapangan bagi seorang muslim kecuali menerima dan mengamalkannya.

(Sumber: Taysîr Mushthalah al Hadîts, ath-Thahhan)

—————————

[1] ‘An’anah adalah riwayat hadits dari seorang syaikh dengan menggunakan ungkapan عن (dari). Insyaallah akan ada perinciannya pada pembahasannya.

04 Oktober 2014

Hari Arafah Ditetapkan dengan Ru'yatul Hilal

Perbedaan pendapat dalam soal berpuasa pada Hari Arafah dengan berpatokan pada terjadinya wukuf di Arafah (Makkah, Kerajaan Saudi) dan bukannya dengan ru'yatul hilal (terlihatnya hilal) sebenarnya adalah persoalan baru yang tidak pernah dikenal sebelum zaman modern ini karena ketiadaan sarana di masa lalu untuk mengetahui berita yang terjadi di Makkah. 


Karenanya, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Masruq rahimahullahu bahwa ia datang kepada Aisyah radhiyallahu 'anha di hari yang diragukan jika hari itu adalah hari Idul Adha. Aisyah berkata (kepada pembantunya) : "Hidangkan untuk anakku kurma dan minumnya. Kalau bukan karena aku puasa, niscaya aku akan ikut mencicipinya." Ditanyakan padanya : "Wahai Ummul Mukminin, manusia memandang bahwa hari ini adalah hari Idul Adha." Aisyah berkata : "Hari Idul Adha adalah hari berqurbannya penguasa dan masyarakat umum."

Atsar ini shahih diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha. Tidak dikenal ada yang menyelisihi Aisyah dari kalangan Shahabat dalam masalah ini. Aisyah mengabarkan bahwa hukum asalnya bahwa hari yang diragukan itu adalah hari Arafah, dan hari Idul Adha adalah hari berkumpulnya manusia bersama pemimpinnya untuk menyembelih qurban.

Apapun itu, perselisihan soal penetapan puasa Hari Arafah telah terjadi perbedaan di zaman ini di kalangan para ulama, walaupun kami condong kepada pendapat yang tetap mengikuti ru'yatul hilal.

Adapun persoalan Idul Adha dan berqurban, ulama-ulama Sunnah tetap bersepakat bahwa tidak boleh menyelisihi para penguasa karena hal itu akan memecah belah jama'ah kaum muslimin, mencerai beraikan kalimat mereka dan menyerupai ahli bid'ah dari kalangan Rafidhah dan yang semacamnya.
Berkata al-Hasan al-Bashri tentang firman Allah,


يآ أيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَي اللهِ وَرَسُولِهِ


"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan rasul-Nya.",

ia berkata : "Jangan menyembelih sebelum imam/penguasa." Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.

Dan dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,


الصوم يوم يصوم الناس والفطر يوم يفطرون والأضحى يوم يضحّون


"Puasa adalah hari dimana manusia berpuasa, Idul Fitri adalah adalah hari dimana manusia berbuka (setelah Ramadhan), dan Idul Adha adalah hari dimana manusia berqurban." (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Karenanya, bagi Anda yang berpuasa hari ini, jangan ragu bahwa hari ini adalah hari Arafah bagi wilayah Indonesia dengan penetapan ru'yatul hilal. Dan bagi Anda yang berpuasa di hari Jumat dengan alasan wuquf, Anda memiliki argumen dari sebagian ulama Sunnah kontemporer, dan kewajiban Anda adalah menjaga persatuan umat di hari raya mereka, dengan tetap berhari raya bersama pemerintah dan mayoritas kaum muslimin.

Wallahul musta'an.

(Sumber bacaan : Risâlah fî Ru’yah Hilâl Dzil Hijjah, Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullahu)

03 Oktober 2014

Memberi Daging Qurban untuk Tetangga yang Kafir

Jika tetangga seorang yang kafir, bukan muslim, tidak mengganggumu dalam ibadahmu sedikit pun, apakah boleh memberikannya dari daging hewan qurban, atau dari kambing yang disembelih karena istrimu yang melahirkan? Kami memohon dari Anda penjelasannya.

Jawab :

Boleh memberikan hadiah kepada orang kafir dari daging qurban atau aqiqah. Yang demikian itu sebagai bentuk perbuatan baik kepada tetangga dan menunaikan hak bertetangga.

Wa bi_llahi at-taufiq.

Al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta'

Abdul Aziz bin Baz
Abdul Razzaq Afifi
Abdullah bin Ghudayyan