"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

18 April 2014

Memelihara Jenggot bagi Laki-Laki

Memelihara jenggot hukumnya wajib bagi kaum laki-laki.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk membiarkan dan memelihara jenggot. Dan hukum asal setiap perintah adalah wajib. Tidak ada dalil yang bisa memalingkan makna perintah itu kepada sunnahnya hukum tersebut.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

خالفوا المشركين، وفروا اللحى وأحفوا الشوارب

"Selisihilah orang-orang musyrik. Lebatkan jenggot dan cukurlah kumis." (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Beliau juga bersabda,

جزُّا الشوارب وأرخوا اللحى، خالفوا المجوس

"Cukurlah kumis dan panjangkan jenggot. Selisihilah orang-orang Majusi." (HR. Muslim).

Dalam kedua hadits tersebut, mencukur jenggot masuk dalam perbuatan tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir.

Mencukur jenggot juga akan membawa pada bentuk tasyabbuh dengan kaum wanita yang umum kita lihat di zaman sekarang, ketika sebagian laki-laki suka memperhalus wajahnya dan sangat mirip dengan kaum wanita. Sementara,

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم المتشبهين من الرجال بالنساء

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknat lak-laki yang suka menyerupai kaum wanita!" (HR. Al-Bukhary)

Karenanya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Haram (bagi laki-laki) mencukur jenggotnya."[1]

Imam Ibnu Hazm telah menukil ijma' tentang haramnya perbuatan tersebut.[2]

- Bolehkah Memotong Jenggot yang Memanjang melebihi Genggaman Tangan?

Sebagian ulama memandang bolehnya memotong bagian yang melebihi genggaman tangan dari jenggot seseorang dengan "berdalilkan" riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa ia jika pergi berhaji atau umrah, ia akan menggenggam jenggotnya, dan apa yang lebih darinya akan diambilnya (dipotong).[3]

Mereka mengatakan : Ibnu Umar adalah rawi hadits perintah memanjangkan jenggot, dan ia lebih tahu dengan riwayatnya!

Namun, mereka tidak memiliki argumen yang kuat dalam atsar ini dengan beberapa alasan:

1. Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu melakukannya jika bertahallul dari ihramnya dalam haji dan umrah, sementara mereka memperbolehkannya dalam setiap keadaan.

2. Perbuatan Ibnu Umar datang karena ta'wil beliau terhadap ayat,

مُحَلِّقِيْنَ رُءُوْسَكُمْ وَمُقَصِّرِيْنَ

"Dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya." (QS. Al-Fath ayat 27)

Dalam ibadah, kata al-halq (mencukur habis) untuk kepala, dan at-taqshir (memotong pendek) untuk jenggot.

3. Seorang shahabat jika mengucapkan atau melakukan sesuatu yang menyelisihi apa yang diriwayatkannya, maka yang menjadi rujukan adalah apa yang diriwayatkannya bukan dengan pemahaman dan perbuatannya, karena yang menjadi patokan adalah riwayat yang marfu' kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.[4]

Wallahu a'lam.

------------------------

Footnotes :

[1] Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah, 'Alauddin al-Ba'li, hal. 10
[2] Maratib al-Ijma', Ibnu Hazm
[3] Diriwayatkan al-Bukhary dan Muslim
[4] Disebutkan oleh Syaikh Wahid Abdussalam Bali dalam al-Iklil, I/96

Sumber : Shahih Fiqh as-Sunnah wa Adillatuhu

12 April 2014

Bepergian (ar-Rihlah) dalam Menuntut Ilmu Syar'i

Yang menjadi asal dalam tradisi ini adalah perjalanannya Nabi Musa 'alaihissalam kepada al-Khidhr 'alaihissalam yang telah Allah ceritakan dalam surat al-Kahf.

Dan para Shahabat banyak melakukan kebiasaan tersebut setelah wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika mereka telah terpencar dan bermukim di banyak negeri setelah masa-masa penaklukan Islam.

Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu yang bermukim di Madinah melakukan perjalanan ke Syam -yang memakan waktu sebulan- untuk menemui Abdullah bin Unais radhiyallahu 'anhu hanya untuk mendengarkan sebuah hadits yang tidak tersisa lagi orang yang menghafalnya selain Abdullah bin Unais.

Abu Ayyub al-Anshari bepergian kepada Uqbah bin 'Amir di Mesir. Ketika berjumpa, ia berkata, "Sampaikan padaku hadits yang engkau dengarkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang menutupi aib seorang muslim. Tidak tersisa seorang pun yang pernah mendengarnya selain aku dan engkau."

Ketika Uqbah selesai menyampaikan haditsnya, Abu Ayyub menaiki kendaraannya dan kembali ke Madinah.

Tradisi ini berlanjut di masa Tabi'in, masa dimana para Shahabat telah berpencar ke berbagai negeri dengan membawa warisan kenabian. Tidak mungkin bagi seseorang saat itu mengetahui hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tanpa melakukan perjalanan antar negeri untuk menjumpai para Shahabat yang ada di negeri-negeri tersebut.

Berkata Penghulu para Tabi'in, Sa'id bin al-Musayyib, "Sungguh, aku berjalan beberapa hari dan malam hanya untuk mendapatkan satu buah hadits."

Berkata Busr bin Abdillah al-Hadhrami, "Sungguh aku telah berkendaraan ke satu negeri untuk mendengarkan satu buah hadits."

Berkata Abul 'Aliyah ar-Riyahi, "Dahulu kami mendengarkan sebuah riwayat hadits di Bashrah dari shahabat-shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan kami tidak rela hingga kami pergi ke Madinah dan mendengarkannya langsung dari mulut-mulut mereka."

Dan benarlah Ibrahim bin Adham rahimahullahu. Ia berkata, "Sesungguhnya Allah Ta'ala menghindarkan keburukan dari umat ini dengan perjalanan para ahli hadits."

(Sumber : Tadwin as-Sunnah an-Nabawiyyah, Dr. Muhammad bin Mathar az-Zahrani)

09 April 2014

Iman terhadap Wujud Allah Ta'ala

Pengakuan terhadap wujud Allah Ta'ala adalah sebuah perkara yang ada dalam fitrah setiap manusia. Seluruh manusia mengakui perkara ini. Tidak ada yang menyelisihinya kecuali segelintir kecil dari orang-orang atheis yang mengingkarinya dengan lisan-lisan mereka.

Setiap makhluk telah diciptakan diatas fitrah  untuk meyakini adanya Pencipta tanpa harus diajarkan. Kita sering mendengarkan dan menyaksikan doa-doa para hamba yang dikabulkan, yang memberikan petunjuk yang jelas kepada kita tentang sebuah keyakinan akan adanya Sang Pencipta Yang Maha Lembut.

Sudah dimaklumi oleh setiap orang bahwa wujud alam ini mestilah memiliki Dzat yang mengadakannya. Semua makhluk yang begitu banyak di alam raya ini, yang kita saksikan pada setiap saatnya, mestilah memiliki Pencipta yang mengadakannya. Itulah Allah Yang Maha Perkasa. Mustahil ciptaan ini ada tanpa pencipta yang mengadakannya. Dan sangat mustahil bahwa mereka menciptakan dirinya sendiri.

أمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْئٍ أمْ هُمُ الخَالِقُوْنَ

"Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?" (QS. Ath-Thur ayat 35)

Keteraturan dan keserasian yang ada di jagad raya ini juga memberi petunjuk yang jelas akan adanya Dzat Yang Mulia, yang telah menciptakannya dalam sebuah keseimbangan.

صُنْعَ اللهِ الَّذِي أتْقَنَ كُلَّ شَيْئٍ

"(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu." (QS. An-Naml ayat 88)

Bintang-bintang dan planet-planet, masing-masing beredar pada porosnya dalam sebuah keseimbangan selama berjuta-juta tahun. Masing-masing tidak akan mendahului yang lainnya.

لاَ الشَمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أنْ تُدْرِكَ القَمَرَ وَلاَ اللَيْلُ سَابِقُ النَهَارِ وَكُلٌّ فىِ فَلَكٍ يَسْبَحُوْنَ

"Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan, dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya." (QS. Yasin ayat 40)

Maha Suci Allah, Dzat yang Maha Lembut, Maha Mengetahui.

05 April 2014

Nama yang Disandarkan kepada kata "Ad-Din"

Dimakruhkan memberi nama anak dengan nama atau sifat yang disandarkan kepada kata "ad-Din" atau "al-Islam", seperti Nuruddin, Dhiyauddin, Saiful Islam, Nurul Islam dan yang semacamnya, karena agungnya kedudukan dua kata tersebut.

Menyandarkan diri kepadanya dalam penamaan adalah perkara yang sangat jauh dan membawa kepada kedustaan. Karenanya, sebagian ulama menyebutkan pengharamannya. Mayoritas ulama memandang kemakruhannya. Karena nama-nama itu memberikan makna yang tidak benar, yang tidak pantas disebutkan.

Dahulu, penyandaran nama atau sifat seperti ini dimaksudkan sebagai gelar tambahan dalam sebuah nama, namun kemudian digunakan sebagai nama.

Imam an-Nawawi rahimahullahu membenci gelar yang diberikan orang-orang kepadanya, yaitu Muhyiddin (yang menghidupkan agama). Demikian pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu membenci penggelaran dirinya sebagai Taqiyyuddin (Yang bertakwa dalam agama).

Karenanya, tidak layak seorang muslim memberi nama anak-anaknya dengan nama-nama seperti ini karena unsur pensucian yang tidak layak bagi seorang manusia tidak pernah mengetahui bagaimana kedudukannya yang sebenarnya di sisi Allah dalam iman dan amal shalih. Semoga Allah mengampuni.

(Sumber : Tasmiyatul Maulud, Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullahu)