"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

31 Mei 2014

Sya'ban, antara Sunnah dan Bid'ah

Sya'ban adalah salah satu bulan ibadah, menjelang datangnya bulan yang agung, yaitu bulan Ramadhan. Sayangnya, banyak diantara kaum muslimin yang mengabaikan sunnah-sunnah yang shahih berkait dengan ibadah di bulan Sya'ban, dan justru terjatuh dalam perkara-perkara bid'ah yang tercela.

Apa yang Dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di Bulan Sya'ban?

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Saya berkata : "Wahai Rasulullah, saya tidak melihatmu berpuasa pada salah satu dari bulan-bulan yang ada sebagaimana puasamu di bulan Sya'ban?"

Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab,

ذاك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم

"Itu adalah bulan yang manusia lalai darinya, antara Rajab dan Ramadhan. Bulan yang padanya amal-amal diangkat kepada Rabb semesta alam. Dan aku suka jika amalku diangkat dan aku dalam keadaan berpuasa." (HR. An-Nasa'i).

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah berpuasa yang lebih banyak daripada (puasa di bulan) Sya'ban. Beliau berpuasa (di bulan) Sya'ban seluruhnya." (HR. Al-Bukhary)

Keutamaan Malam Pertengahan (Nishfu) Sya'ban

Dari Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إن الله ليطلع في ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن

"Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya'ban, maka Dia mengampuni semua hambaNya kecuali orang yang musyrik dan suka memusuhi." (HR. Ibnu Majah, dishahihkan al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1144).

Bid'ah-bid'ah yang Masyhur di Bulan Sya'ban

1. Shalat al-Bara'ah, yaitu shalat yang dikhususkan pada malam Nishfu Sya'ban sebanyak 100 raka'at.

2. Shalat 6 raka'at yang diniatkan untuk menolak bala', panjang umur dan tercukupi dari meminta-minta kepada manusia.

3. Membaca surat Yasin dan berdoa dengan doa khusus pada malam tersebut.

4. Keyakinan sebagian mereka bahwa malam Nishfu Sya'ban adalah Lailatul Qadr.

Sejarah Terjadinya Bid'ah Tersebut

Berkata al-Maqdisi, "Yang pertama terjadi di kami pada tahun 448 H, ketika datang kepada kami di Baitul Maqdis seorang laki-laki dari Nablus yang dikenal sebagai Ibnu Abi al-Humaira', dan ia seorang yang bagus bacaannya. Ia melakukan shalat di Masjid al-Aqsha pada malam Nishfu Sya'ban, dan bermakmum di belakangnya seorang laki-laki. Kemudian bertambah orang yang ketiga, keempat... Dan tidaklah dia mengkhatamkannya hingga dia telah berkumpul bersama jamaah yang banyak..." (Al-Ba'its 'ala Inkar al-Bida' wa al-Hawadits, 124-125).

Berkata an-Najm al-Ghaithi, "Sungguh, hal itu telah diingkari banyak ulama dari penduduk Hejaz diantaranya Atha', Ibnu Abi Mulaikah, para fuqaha' Madinah dan sahabat-sahabat Malik. Mereka berkata : Semua itu adalah bid'ah!" (As-Sunan wa al-Mubtada'at, asy-Syuqairi, hal. 145)

--------------

Sumber : www.saaid.net

24 Mei 2014

Hukum Merayakan Isra dan Mi'raj

Apa hukum merayakan malam Isra dan Mi’raj, yaitu pada malam dua puluh tujuh di bulan Rajab?
 
Jawab :
 
Alhamdulillah.

Tidak diragukan lagi bahwa Isra (perjalanan dari Mekkah ke Masjidil Aqsha) dan Mi'raj (perjalanan dari Masjidil Aqsha menuju Sidratul Muntaha) merupakan salah satu tanda kebesaran  Allah yang agung dan menunjukkan kebenaran dan keagungan Rasul-Nya, Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Di sisi lain, hal itu merupakan  bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah yang menakjubkan sekaligus menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berkuasa di atas semua makhlukNya. 

Allah Ta’ala berfirman: 

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”  (QS. Al-Isra: 1)

Berdasarkan riwayat mutawatir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diangkat ke langit, lalu dibukakan pintu-pintunya hingga beliau  melewati langit ketujuh hingga Rabb-nya berbicara kepadanya apa yang diinginkanNya, lalu diwajibkan kepadanya shalat lima waktu. Sebelumnya Allah subhanahu wa Ta’ala mewajibkan lima puluh shalat, namun Nabi kita shallallahu alaihi wasalam berulangkali kembali dan mohon keringanan  hingga  menjadi lima waktu. Itulah lima waktu yang wajib, namun pahalanya lima puluh, karena kebaikan dilipatgandakan sepuluh kali. Hanya kepada Allah segala pujian dan syukur terhadap semua kenikmatan-Nya. 

Tidak ada hadits shahih yang  menunjukkan kapan terjadinya peristiwa Isra dan Mi’raj, baik di bulan Rajab maupun bulan lainnya. Seluruh riwayat yang menunjukkan penentuan waktunya tidak kuat bersumber dari Nabi shallallahu alaihi wasallam menurut para ulama ahli hadits. Allah memiliki hikmah yang tinggi dengan tidak diketahuinya perkara tersebut. Kalaupun telah ada ketetapannya, umat Islam tetap tidak dibolehkan sedikitpun melakukan ibadah khusus, tidak juga diperkenankan membuat perayaannya. Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para shahabat radhiyallahu anhum tidak (pernah) merayakannya, tidak juga mengkhususkannya dengan sesuatu (ibadah).

Seandainya merayakan perkara tersebut dianjurkan, pasti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan untuk umatnya, baik dengan perkataan atau dengan perbuatan. Kalau sekiranya hal itu terjadi, pasti akan diketahui dan dikenal, dan para shahabat radhiyallahu anhum akan meriwayatkannya kepada kita, karena mereka selalu meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam segala  sesuatu yang dibutuhkan umat dan tidak mengabaikan sedikitpun dalam masalah agama. Bahkan mereka  dikenal paling terdepan dalam semua kebaikan. Seandainya perayaan malam ini dianjurkan, pasti mereka orang yang paling dahulu melaksanakannya. Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah orang yang paling utama dalam memberikan nasehat kepada manusia. Beliau telah menyampaikan risalah dengan sebaik mungkin dan telah menunaikan amanat. 

Seandainya memuliakan malam ini dengan merayakannya adalah bagian dari agama, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak akan melupakannya dan tidak akan beliau sembunyikan. Maka, ketika tidak terdapat sedikit pun (tentang hal ini), maka diketahui bahwa perayaan dan mengagungkannya bukan sedikitpun dari Islam. Sungguh Allah telah menyempurnakan agama umat ini, disempurnakan nikmatnya dan mengingkari orang yang membuat ajaran dalam agama tanpa izin dari Allah Ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Kitab-Nya di surat Al-Maidah: 

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلامَ دِينًا

Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu  nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3)

Firman lainnya:

أمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوْا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَالَمْ يَأذَنْ بِهِ اللهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. As-Syura: 21)

Telah ada ketetapan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam hadits-hadits yang shahih akan ancaman dari perbuatan bid’ah yang nyata-nyata merupakan kesesatan, sebagai peringatan kepada umat akan bahaya besar bagi mereka menyetujuinya.

Di antara ketetapannya terdapat dalam Ash-Shahihain (Al-Bukhari dan Muslim) dari Aisyah radhiyallahu anha dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam sesungguhnya beliau bersabda:

من أحدث فى أمرنا هذا ما ليس منه فهو ردٌّ

Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama kami yang tidak ada (tuntunan) dari kami, maka ia akan tertolak.” 

Dalam riwayat Muslim:

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو ردٌّ

Barangsiapa melakukan suatu perbuatan, yang tidak ada dalam urusan (agama) kami maka ia tertolak."

Dalam Shahih Muslim dari Jabir radhiyallahu anhu, dia berkata:

“Rasulullah shallallahu alaihi  wa sallam pada khutbah hari Jum’at berkata :

أما بعد، فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم وشرّ الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة

Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu alaihi wasallam, dan seburuk-buruk urusan adalah perkara yang diada-adakan dalam agama, dan setiap bid’ah adalah sesat."

An-Nasa’i menambahkan dengan sanad yang baik,

وكل ضلالة فى النار

"Dan setiap kesesatan (akan masuk) neraka."

Dalam Kitab Sunan, dari al-Irbad bin Sariyah radhiyallahu anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi  wasallam memberi nasehat kepada kami dengan nasehat yang sangat menyentuh sehingga hati bergetar air mata bercucuran. Maka kami berkata, "Wahai Rasulullah, sepertinya ini nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat.

Beliau berkata:

أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد، فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافًا كثيرة، عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين، عضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة

"Saya wasiatkan kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pemimpin, walaupun kalian dipimpin seorang budak. Karena siapa yang di antara kalian yang masih hidup (sesudahku),dia akan menyaksikan banyak perselisihan. Hendaklah kalian  berpegang teguh terhadap sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Berpegang teguhlah kepada dan gigitlah dengan gigi geraham. Hendaklah kalian menjauhi semua  perkara baru (dalam agama), karena setiap yang baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah  itu sesat."

Hadits yang semakna dengan ini banyak. Juga terdapat riwayat dari para shahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan dari para (ulama) salaf sesudahnya yang memperingatkan dan  mengancam dari  perbuatan bid’ah. Hal itu tiada lain karena hal ini dianggap menambah agama serta menetapkan syariat yang Allah tidak izinkan dan menyerupai musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi dan Nashrani yang menambahi agama mereka dan membuat bid’ah di dalamnya yang Allah tidak izinkan. Juga karena hal tersebut bermakna bahwa masih ada yang kurang dalam agama Islam dan  menuduhnya tidak sempurna. 

Jelas diketahui bahwa hal ini merupakan kerusakan besar, kemungkaran yang tercela dan bertentangan dengan Firman Allah Azza wa Jalla

 اليَوْمَ أكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُم

Hari ini Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian.” 

Begitu juga menyalahi hadits-hadits yang dengan jelas mengancam dari perbuatan bid’ah dan perintah untuk menjauhinya. 

Saya berharap dalil-dalil yang telah kami sebutkan tadi cukup memuaskan bagi pencari kebenaran  dalam mengingkari bid’ah ini, yaitu bid’ah merayakan malam Isra dan Mi'raj serta menjauhinya  dan meyakini bahwa ia bukan dari agama Islam sedikitpun. 

Karena Allah mewajibkan kita memberikan nasehat kepada umat Islam dan memberikan  penjelasan apa yang Allah syariatkan dalam agama untuk mereka serta larangan menyembunyikan ilmu, maka  memandang harus memberikan peringatan kepada saudara-saudaraku umat Islam dari bid’ah ini yang telah menyebar di banyak negara, sehingga sebagian orang mengira bahwa hal ini bagian dari agama. Kami memohon kepada Allah untuk memperbaiki kondisi umat Islam semua, agar diberikan pemahaman dalam agama, diberikan taufik kepada kami dan mereka untuk memegang teguh dan konsisten  terhadap kebenaran dan meninggalkan apa  yang menyalahinya. Sesungguhnya Dia adalah penolong dan berkuasa untuk itu. shalawat, salam dan barokah semoga terlimpahkan kepada hamba dan utusanNya Muhammad, keluarga serta para shahabatnya. 

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu.

(Sumber : islamqa.info)
 

17 Mei 2014

Hukum Asuransi Komersial

Dalam simposium pertama yang diadakan di Mekkah pada tanggal 10 Sya’ban 1398 H, dan berlokasi di kantor Rabithah Alam Islami, Majelis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami membahas masalah asuransi dalam semua bentuknya. Setelah menelaah banyak hasil riset para ulama dalam masalah ini, dan setelah menelaah pula hasil keputusan Majelis Hai’ah Kibar Ulama di Kerajaan Saudi Arabia pada pertemuannya yang kesepuluh di kota Riyadh tanggal 4/4/1397 H, keputusan no. 55 yang mengharamkan semua bentuk asuransi komersial.

Setelah menelaah hal-hal tersebut dan setelah melakukan kajian yang cukup dan mendiskusikannya di antara anggota Majma’, maka seluruh anggota Majma’ -selain Syaikh Musthafa az-Zarqa- sepakat mengharamkan asuransi komersial dalam semua bentuknya; baik asuransi jiwa, asuransi barang dagangan atau yang lainnya. Keputusan ini diambil berdasarkan dalil-dalil berikut:

PERTAMA, akad asuransi komersial termasuk akad mu’âwadhah mâliyah (yaitu transaksi ekonomi seperti akad jual beli dan sewa-menyewa, baik terhadap barang maupun jasa) yang mengandung gharar (spekulasi) yang sangat buruk. Karena peserta asuransi tidak tahu berapa banyak yang harus ia bayarkan dan berapa yang akan ia terima, saat akad tersebut berakhir. Ia boleh jadi membayar premi sekali atau dua kali, lalu terjadi musibah sehingga mendapat dana asuransi yang dijanjikan oleh pihak asuransi. Atau membayar seluruh premi namun tidak mendapatkan apapun karena tidak terjadi musibah. Demikian pula pihak asuransi, ia tidak dapat menentukan jumlah total yang akan diberikan kepada koleganya, dan tidak pula bisa membatasi berapa jumlah maksimal premi yang harus dibayarkan. Padahal dalam hadits shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli yang bersifat gharar (spekulasi yang bersifat untung-untungan).

KEDUA, akad asuransi komersial identik dengan perjudian, karena ada unsur mengadu nasib dalam pengelolaan harta untuk mencari keuntungan. Ia juga bisa menimbulkan kerugian tanpa kesalahan apa-apa, atau sebaliknya mendatangkan keuntungan tanpa imbalan sama sekali, atau dengan imbalan yang tidak setara. Karena si peserta mungkin baru membayar premi satu kali lalu mendapat musibah sehingga yang rugi adalah pihak asuransi. Atau tidak terjadi apa-apa, sehingga pihak asuransi mengambil uang premi tanpa imbalan apa-apa. Bila suatu transaksi dilingkupi oleh jahâlah (ketidakjelasan) seperti ini, berarti ia termasuk gambling (judi), dan termasuk dalam keumuman larangan dalam firman Allah Ta’ala,

يَا أيُّهَا الذِيْنَ آمَنُوا إنَّمّا الخَمْرُ وَالمَيسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رجْسٌ مِن عَمَلِ الشَيطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لعَلكمْ تُفْلِحُونَ، إنَمَا يُريْدُ الشَيْطانُ أنْ يُوقِعَ بَيْنَكمُ العَدَاوَةَ وَالبغْضَاءَ فى الخَمْر وَالمَيسِر وَيَصُدَّكمْ عَن ذِكْر اللهِ وَعَن الصَلاَةِ فَهَلْ أنْتُم مُنْتَهُوْنَ

Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan di antara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. al Mâidah : 90-91).

KETIGA, akad asuransi mengandung unsur riba fadhl dan riba nasi’ah. Sebab ketika pihak asuransi menyerahkan uang asuransi kepada pesertanya, atau kepada ahli warisnya, atau pihak yang menerima manfaat dari asuransi tersebut; dan ia memberikannya lebih besar dari jumlah total premi yang di bayarkan, berarti termasuk riba fadhl. Lalu karena pihak asuransi tadi membayarkannya setelah jangka waktu tertentu, berarti mengandung pula riba nasi’ah. Namun jika pihak asuransi -Setelah jangka waktu tertentu- hanya memberikan uang yang sama besarnya dengan total premi yang ia terima, berarti hanya mengandung riba nasi’ah saja. Sedangkan kedua macam riba tadi diharamkan berdasarkan nash dan ijma’.

KEEMPAT, akad asuransi komersial termasuk jenis perlombaan (rihân) yang di haramkan. Sebab, baik si penjamin maupun penerima jaminan berada ada ketidakjelasan, dalam resiko besar (gharar) sekaligus gambling (berjudi/mengundi nasib). Sedangkan Islam tidak membolehkan perlombaan (rihan) kecuali dalam hal-hal yang menguntungkan Islam dan meninggikan syariatnya melalui hujjah maupun senjata. Nabi shalallâhu ‘alaihi wasallam bahkan membatasi keringanan bolehnya perlombaan (rihan) dengan imbalan hanya pada tiga hal, yaitu dalam sabda beliau,

لا سبق إلا فى خفٍّ أو حافرٍ أو نصلٍ

Tidak boleh ada perlombaan (sabaq) kecuali berupa balapan unta, balapan kuda atau lomba memanah.” (HR. Ahmad);

Sedangkan asuransi tidak memiliki kemiripan sedikitpun dengan hal tersebut, sehingga ia termasuk taruhan yang diharamkan.

KELIMA, akad asuransi komersial mengandung unsur mengambil harta tanpa imbalan apa-apa. Sedangkan mengambil harta tanpa imbalan dalam akad mu’âwadhah komersial hukumnya haram, karena ia termasuk dalam keumuman firman Allah,

يَا أيُهَا الذِيْنَ آمَنُوا لا تَأكُلوُا أمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالبَاطِلِ إلا أنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاصٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama kalian secara batil, kecuali dalam bentuk jual beli atas dasar kerelaan dari kalian.” (QS. An Nisa’: 29).

KEENAM, akad asuransi mengharuskan sesuatu yang secara syar’i tidak diharuskan. Sebab peserta asuransi tidak menciptakan musibah dari diri sendiri, dan bukan ia yang menjadi penyebabnya. Yang ia lakukan sekedar membuat akad dengan pihak asuransi untuk menjamin dirinya dari bahaya yang diprediksi akan terjadi, dengan imbalan uang yang dibayarkan kepada pihak asuransi. Sedangkan pihak asuransi sendiri tidak melakukan apa-apa bagi si pembayar, sehingga hal tersebut menjadi haram.

(Sumber : Qarârât al Majma’ al Fiqhi al Islâmi)

10 Mei 2014

Hadits Mutawatir

Al-khabar (berita/riwayat) jika ditinjau dari sampainya berita itu kepada kita, terbagi menjadi dua bagian;
  1. Jika dia memiliki jalan-jalan periwayatan yang tidak terbatas dengan jumlah tertentu, maka disebut mutawatir
  2. Jika dia memiliki jalan periwayatan yang terbatas dengan jumlah tertentu, disebut âhad
Berikut adalah penjelasannya, dan dimulai dengan al-khabar al-mutawatir.

Definisi
 
Menurut bahasa, mutawatir diambil dari kata ( التواتر ) yang bermakna “datang berurutan” atau “beruntun”.

Dalam istilah : Apa yang diriwayatkan oleh orang banyak, mustahil menurut kebiasaan mereka akan bersepakat dalam kedustaan, dan mereka menyandarkan periwayatannya itu kepada indera.

Syarat-syaratnya

Dari definisi diatas, maka mutawatir tidak mungkin terwujud dalam sebuah riwayat kecuali dengan 4 hal;
  1. Diriwayatkan oleh orang banyak. Diperselisihkan batas minimal dari jumlah yang banyak tersebut, namun yang terpilih, jumlah itu kurang lebih sepuluh orang
  2. Jumlah yang banyak itu ada pada setiap tingkatan sanad
  3. Mustahil mereka akan bersepakat dalam kedustaan
  4. Sandaran periwayatan mereka adalah indera. Seperti perkataan seorang perawi : Saya mendengar, Saya melihat, dan lain-lain. Jika berita itu bersandarkan pada akal, seperti perkataan tentang kejadian alam –misalkan-, maka saat itu tidak disebut sebagai mutawatir

Hukumnya

Khabar mutawatir memberikan kepada kita al-‘ilm adh dharûrî, yaitu ilmu yang sangat meyakinkan yang memaksa seseorang untuk membenarkan berita tersebut tanpa ada keraguan sedikit pun, sebagaimana orang yang menyaksikannya secara langsung. Karenanya, semua riwayat mutawatir pasti diterima dan shahih, dan tidak perlu membahas tentang keadaan para perawinya.

Bagian-bagiannya

Al-khabar al-mutawatir terbagi dua;

1. Mutawatir lafdzhi, yaitu riwayat yang mutawatir lafaz (redaksi hadits) dan maknanya. Contohnya adalah hadits,
من كذب عليّ متعمدًا فاليتبوأ مقعده من النار
Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka ambillah tempat duduknya di Neraka.

Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 Shahabat. Dan jumlah yang banyak itu ada pada setiap tingkatan sanad, bahkan lebih banyak lagi.

2. Mutawatir maknawi, yaitu hadits yang maknanya mutawatir tanpa lafaznya. Seperti hadits-hadits yang menyebutkan tentang mengangkat tangan dalam berdoa. Setiap hadits menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat tangan dalam berdoa, namun hadits-hadits tersebut terjadi dalam berbagai peristiwa atau kasus yang berbeda-beda.

Berapakah Jumlah Hadits Mutawatir?

Jika kita melihat kepada hadits-hadits ahad, maka akan kita pahami bahwa hadits-hadits mutawatir sangatlah sedikit dibanding hadits-hadits ahad. Diantaranya adalah hadits tentang telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, hadits membasuh khuf dan hadits ( نضّر الله امرءً )

Sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah buku tersendiri agar mudah bagi penuntut ilmu merujuk kepada hadits-hadits tersebut. Diantaranya adalah al Azhâr al Mutanâtsirah fî al Akhbâr al Mutawâtirah oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) dan Nadzhm al Mutanâtsir min al Hadîts al Mutawâtir oleh Imam Muhammad bin Ja’far al-Kattani (w. 1345 H).

03 Mei 2014

Beberapa Istilah dalam Musthalah Hadits

Untuk belajar hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seorang pemula harus mengenal dan memahami istilah-istilah berikut ini. Semoga bermanfaat.

1] Ilmu Musthalah

Ilmu Musthalah adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah, yang dengannya diketahui keadaan suatu sanad atau matan, dari sisi diterima atau ditolaknya sanad dan matan tersebut.

[2] Al-Hadits ( الحديث )

Menurut bahasa adalah  الجديد (baru). Bentuk jama’  (plural)nya adalah الأحاديث .
Menurut istilah, hadits adalah apa yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan) atau sifat.

[3] Al-Khabar ( الخبر )

Menurut bahasa adalah  النبأ (berita)
Menurut istilah, Khabar bermakna hadits. Sebagian ulama membedakan bahwa “hadits” adalah sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sementara “khabar” datang dari yang selain beliau. Sebagian mengatakan bahwa “khabar” berlaku umum untuk sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau yang selain beliau.

[4] Al-Atsar ( الأثر )

Menurut bahasa adalah sisa/bekas dari sesuatu.
Menurut istilah, atsar bermakna “hadits”.
Dalam definisi lain, atsar adalah apa yang disandarkan kepada para Shahabat dan Tabi’in baik berupa perkataan maupun perbuatan.

[5] As-Sanad ( السند )

Sanad menurut bahasa adalah yang dijadikan sandaran.
Dalam istilah, sanad adalah rangkaian para perawi (periwayat hadits) yang sampai kepada matan.

[6] Al-Isnad ( الإسناد )

Isnad adalah menyandarkan sebuah hadits kepada orang yang mengucapkannya secara musnad.
Dalam definisi yang lain, isnad juga bermakna sama dengan “sanad”.

[7] Al-Matn ( المتنُ )

Menurut bahasa adalah sesuatu yang agak tinggi dari permukaan tanah.
Menurut istilah, matan adalah perkataan yang berada di penghujung sanad.

[8] Al-Musnad ( المسنَد )

Menurut bahasa adalah yang menyandarkan sesuatu kepadanya.
Dalam istilah memiliki tiga makna :
  1. Setiap kitab yang mengumpulkan riwayat-riwayat hadits seorang Shahabat
  2. Hadits yang sanadnya marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) dan bersambung
  3. Maknanya sama dengan “sanad”
[9] Al-Musnid ( المسنِد )

Musnid adalah orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya.

[10] Al-Muhaddits ( المحدث )

Yaitu orang yang berkecimpung dalam ilmu hadits, baik dalam riwayah (periwayatan) mapun dirayah (ilmu hadits/musthalah), telah mengkaji dan menelaah sebagian besar dari riwayat-riwayat yang ada dan keadaan para perawinya.

[11] Al-Hafidzh ( الحافظ )

Ada dua pendapat tentang makna dari al-Hafidzh:
  1. Sinonim dari Muhaddits. Ini pendapat yang masyhur di kalangan ahli hadits
  2. Pendapat lain : Al-Hafidzh lebih tinggi derajatnya daripada seorang Muhaddits, dimana yang diketahuinya lebih banyak daripada yang tidak dia ketahui
[12] Al-Hakim ( الحاكم )

Yaitu orang yang ilmunya meliputi semua hadits-hadits, tidak ada yang luput darinya kecuali sedikit saja. Demikian pendapat sebagian ulama tentang makna al-Hakim.

Wallahu a’lam.