"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

29 November 2014

Hukum Pernikahan Beda Agama

Setelah menelaah dan mempelajari surat yang dikirimkan beberapa organisasi Islam di Singapura berkait penolakan mereka terhadap Piagam Hak-hak Wanita yang membolehkan pernikahan muslim/muslimah dengan non-muslim, maka Majelis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami (Dewan Fiqh Islam Internasional) dibawah naungan Rabithah al-‘Alam al-Islami (Liga Muslim se-Dunia) pada Pertemuan ke IV mereka di Makkah al-Mukarramah pada bulan Rabi’ul Akhir 1401/Februari 1981, menetapkan dengan ijma’ beberapa hal berikut ini yang kami nukilkan dari kumpulan fatwa-fatwa Majma’:

Pertama : Pernikahan seorang laki-laki kafir dengan seorang wanita muslimah adalah haram dengan kesepakatan ulama, tidak ada keraguan dalam masalah ini dengan konsekuensi dalil-dalil syar’i. Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تُنْكِحُوا المُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوا

Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.” (QS. 2:221).

Allah berfirman,

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلىَ الكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَهُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَا أنْفَقُوا

Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan.” (QS. 60:10).

Pengulangan dalam firman-Nya :”Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka” dengan penekanan akan keharamannya serta pemutusan hubungan antara wanita mukminah dengan orang musyrik; juga firman Allah : ”Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan”, merupakan perintah untuk mengembalikan mahar yang telah diberikan kepada istrinya jika sang istri masuk Islam. Jadi tidak terkumpul padanya dua kerugian; kehilangan istri dan harta.

Jika saja seorang wanita musyrik menjadi haram dan menjadi tidak halal bagi seorang laki-laki kafir dengan ke-Islaman sang istri, maka bagaimana bisa dikatakan bolehnya pernikahan seorang kafir terhadap wanita muslimah? Bahkan Allah membolehkan menikahi wanita musyrik setelah dia masuk Islam – sementara dia merupakan istri seorang kafir- karena suaminya itu tidak halal baginya setelah ke-Islamannya. Saat itulah boleh bagi seorang muslim menikahinya setelah selesai iddahnya sebagaimana yang disebutkan Allah,

وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُم أنْ تَنْكِحُوهُنَّ إذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أجُوْرَهُنَّ

Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya.” (QS. 60:10).

Kedua : Tidak boleh seorang muslim menikahi seorang wanita musyrik dengan dalil firman Allah,

وَلاَ تَنْكِحُوا المُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ

Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman.” (QS. 2 : 221), serta firman-Nya,

وَلاَ تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الكَوَافِرِ

Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (QS. 60:10)

Umar telah menceraikan dua istrinya yang musyrik ketika ayat ini turun. Berkata Ibnu Qudamah al-Hanbali :”Tidak ada perselisihan tentang haramnya menikahi wanita-wanita kafir selain Ahli Kitab bagi seorang muslim”.

Adapun wanita-wanita muhshanat (yang menjaga kehormatan diri) dari kalangan Ahli Kitab, maka seorang laki-laki muslim boleh menikahi mereka, dan tidak ada perselisihan ulama dalam masalah ini. Hanya saja sekte Imamiyah menyebutkan pengharamannya.

Yang lebih pantas bagi seorang muslim tidak menikahi wanita Ahli Kitab jika terdapat wanita muslimah yang merdeka. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : ”Makruh menikahi mereka sementara ada wanita-wanita muslimah merdeka (yang bisa dinikahi)”. Ia juga berkata dalam al-Ikhtiyârât :”Al-Qadhi dan mayoritas ulama berpendapat demikian dengan dalil perkataan Ibnu Umar kepada orang-orang yang menikahi wanita-wanita Ahli Kita : Ceraikan mereka. mereka pun melakukannya kecuali Hudzaifah, namun akhirnya ia pun melakukannya. Karena kapan seorang muslim menikahi wanita Ahli Kitab, barangkali saja hatinya akan cenderung kepada istrinya dan terfitnah dengannya, atau mereka dianugerahi anak dan anak tersebut akan cenderung kepada ibunya, wallâhu a’lam.

Sumber : Qaraaraat al-Majma' al-Fiqhi al-Islami di bawah naungan Rabithah al-'Alam al-Islami

23 November 2014

Isbal dalam Pakaian

Isbal dalam pakaian bermakna memanjangkan atau mengulurkan kain, baik itu celana, sarung atau gamis, hingga melewati mata kaki.

Yang seperti ini terlarang dalam Syari'at. Namun sangat disayangkan, karena kejahilan yang merajalela, banyak orang yang justru terjatuh pada larangan tersebut.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَا أسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ مِنَ الإزَارِ فَفِي النَارِ

"Apa yang melewati mata kaki dari pakaian, maka tempatnya adalah neraka." (HR. Al-Bukhary).

Jika mengulurkan kain tersebut disertai dengan kesombongan, maka dosanya lebih besar lagi. Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ القِيَامَةِ إلىَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاءِ

"Allah tidak akan memandang pada Hari Kiamat kepada orang yang menyeret kainnya dengan kesombongan." (Hadits muttafaq 'alaihi).

Dalam Shahih Muslim disebutkan,

مَنْ جَرَّ إزَارَهُ لا يُرِيْدُ بِذَلِكَ إلا المَخِيْلَة فَإنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إلَيْهِ يَوْمَ القِيَامَةِ

"Siapa yang menyeret kain sarungnya, dia tidak menginginkan dengan itu kecuali kesombongan, maka sungguh Allah tidak akan memandang kepadanya pada Hari Kiamat."

Maksud kedua hadits tersebut bahwa Allah tidak akan memandang kepadanya dengan pandangan rahmat pada Hari Kiamat, sebagai balasan atas kesombongannya tersebut.

Hukum larangan ini berlaku untuk kaum laki-laki. Adapun wanita, mereka diperintahkan untuk memanjangkan kainnya satu hasta dari betisnya untuk menutupi auratnya agar tidak tersingkap.

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan tentang panjang kain seseorang, Ummu Salamah radhiyallahu 'anha bertanya kepada beliau, "Lalu bagaimana dengan pakian seorang wanita, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Hendaknya ia mengulurkannya satu jengkal." Ummu Salamah berkata, "Jika demikian, maka ia akan tersingkap?!" Beliau berkata, "(Ulurkan) satu hasta saja, dan jangan lebih dari itu." (HR. At-Tirmidzi).

Wallahu a'lam.

16 November 2014

Talqin Diatas Kubur

Termasuk dalam sunnah yang diajarkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam jika selesai menguburkan jenazah adalah berdiri si sisi kubur tersebut dan mendoakan keteguhan untuk si mayit.

Diriwayatkan dari Utsman radhiyallahu 'anhu, ia berkata

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا فرغ من دفن الميت وقف عليه وقال : استغفروا لأخيكم وسألوا له التثبيت فإنه الآن يسأل

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam jika selesai menguburkan jenazah, maka beliau akan berdiri dan berkata : "Mohonkan ampunan untuk saudara kalian, dan mintakan untuknya keteguhan. Karena sungguh, dia sekarang sedang ditanya." (HR. Abu Dawud, Al-Hakim dan Al-Bazzar).

Namun, sebagian orang dari umat ini ketika selesai menguburkan mayit, maka dia akan membacakan sesuatu yang disebut sebagai "talqin", untuk "mengajarkan" si mayit menjawab pertanyaan dua malaikat.

Terdapat riwayat yang menyebutkan masalah ini, namun riwayat-riwayat tersebut sangat lemah dan perbuatan itu dianggap sebagai bid'ah.

Diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur dengan sanadnya dari Dhamrah bin Habib, seorang dari generasi tabi'in, ia berkata, "Mereka menyukai jika kubur itu telah diratakan terhadap si mayit dan manusia telah pergi darinya, untuk dibacakan di sisi kuburnya : Wahai Fulan, ucapkan La ilaha illa_llahu 3x. Wahai Fulan, ucapkan : Rabbku adalah Allah, agamaku Islam dan nabiku Muhammad."

Riwayat ini adalah perkataan seorang tabi'in dan bukan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Berkata an-Nawawi dan al-Iraqi, "Sanadnya dha'if (lemah)."

Berkata Ibnul Qayyim, "Haditsnya tidak sah."

Hadits yang lain dari Abu Umamah, ia berkata : Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,

إذا مات أحد منكم فسويتم التراب على قبره فليقم أحدكم على رأس قبره ثم ليقل : يا فلان بن فلان اذكر ما كنت عليه فى الدنيا من شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدًا عبده ورسوله وأنك رضيت بالله ربًّا وبالإسلام دينًا وبمحمدٍ نبيًا وبالقرآن إمامًا

"Jika salah seorang kalian meninggal, dan kalian tutupkan tanah diatas kuburnya, hendaknya berdiri salah seorang dari kalian di sisi kepala kuburnya dan mengatakan : Wahai fulan bin fulan, sebutlah apa yang dahulu engkau yakini dalam kehidupan dunia dari persaksian tiada ilah (yang hak) selain Allah dan Muhammad adalah hambaNya dan utusanNya, dan bahwasannya engkau ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai nabi dan al-Quran sebagai imam."

Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan dilemahkan banyak ulama, diantara mereka adalah Ibnu ash-Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi, Ibnu Hajar dan ash-Shan'ani.

Berkata Ibnul Qayyim dalam al-Manar al-Munif, "Hadits talqin ini adalah hadits yang tidak diragukan oleh pakar yang mengenal hadits tentang kepalsuannya."

Berkata al-Haitsami, "Pada sanadnya terdapat orang-orang yang tidak aku kenali."

Berkata an-Nawawi, "Haditsnya dha'if."

Berkata ash-Shan'ani, "Kesimpulan dari perkataan para imam ahli tahqiq bahwa hadits ini adalah hadits dha'if, mengamalkannya adalah bid'ah dan jangan terpedaya dengan banyaknya orang yang mengamalkan."

Wallahu a'lam.

-----------

Sumber : Taudhih al Ahkam min Bulugh al Maram, II/472-474

09 November 2014

Shalat Taubat

Bagi orang tergelincir dalam dosa, ia wajib untuk segera bertaubat, memohon ampun dan kembali kepada Allah Ta'ala, karena Dia Maha Pengampun dan menerima taubat hamba-hambaNya.

Para imam mazhab yang empat bersepakat tentang disunnahkannya shalat untuk bertaubat dari suatu perbuatan dosa.

Mereka berdalil dengan hadits Abu Bakr radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

ما من رجلٍ يذنب ذنبًا ثم يقوم فيتطهر ثم يصلي ثم يستغفر الله إلا غفر الله له

"Tidaklah seseorang melakukan perbuatan dosa, kemudian dia bangun bersuci, kemudian shalat lalu memohon ampunan Allah, melainkan Allah akan mengampuninya." Kemudian beliau membaca ayat ini,

وَالَذِيْنَ إذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أوْ ظَلَمُوا أنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوْبِهِمْ

"Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka..." (QS. Alu Imran ayat 135).

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan lain-lain dengan sanad dha'if karena dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang lemah, Asma' bin al-Hakam al-Fazari. Namun hadits ini telah dishahihkan oleh sebagian ulama dengan jalan-jalan periwayatannya.

Wallahu a'lam.

(Sumber bacaan : Shahih Fiqh as-Sunnah dan artikel di situs ahlalhdeeth.com)

02 November 2014

Syi’ah Imamiyah (Itsna ‘Asyariyah)

Syi’ah Imamiyah (Al-Itsna 'Asyariyyah) adalah firqah yang menyempal dari kaum muslimin yang mendakwakan bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang paling berhak mewariskan khilafah setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Disebut “Imamiyah” karena mereka menjadikan persoalan imamah (kepemimpinan) sebagai prinsip dasar aqidah mereka. Disebut “Itsna 'Asyariyyah” karena mereka mengimani 12 imam yang imam terakhirnya bersembunyi dalam sebuah gua di Samarra, Irak, menurut dakwaan mereka.


Tokoh-tokoh Penting Syiah Imamiyah
  • Tokoh yang paling penting dan terkenal dalam sejarah Syiah Imamiyah adalah Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi Yaman yang menampakkan diri sebagai penganut Islam. Ia kemudian memindahkan beberapa aqidah Yahudinya ke dalam ajaran Tasyayyu’ (kecenderungan kepada aqidah Syiah). Diantaranya adalah perkataannya dalam aqidah Yahudi bahwa Yusya bin Nun adalah wasiat Musa ‘alaihissalam, dan dalam Islam ia mengatakan bahwa Ali adalah wasiat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Saba’ berpindah ke Madinah kemudian ke Mesir, Kufah, Fusthat dan Bashrah. Ia berkata kepada Ali, “Engkau adalah Engkau”, yaitu engkau adalah Allah, hingga menjadikan Ali berkeinginan untuk membunuhnya. Ibnu Abbas menasehatinya untuk tidak melakukan hal tersebut dan akhirnya Ali membuangnya ke Mada’in, Persia.
  • Al-Kulaini, pemilik kitab Al-Kâfî yang kedudukannya di mereka seperti Shahîh al-Bukhâry di kalangan Ahlussunnah. Mereka mengatakan bahwa padanya terdapat 16.199 hadits.
  • Al-Haaj Mirza Husain bin Muhammad Taqiy an-Nuri ath-Thibrisi (w. 1320 H), pemilik kitab Fashl al Khithâb fî Itsbât Tahrîf Kitâb Rabb al Arbâb. Dalam kitab ini ia mengatakan bahwa al-Quran telah ditambah dan dikurangi.
  • Ayatullah al-Mamaqani, pemilik kitab Tanqîh al Maqâl fî Ahwâl ar Rijâl. Tokoh ini dianggap sebagai imam al-Jarh wa at-Ta’dîl. Dalam bukunya itu ia menyebut Abu Bakr dan Umar sebagai al-Jibt wa ath-Thâghût.
  • Abu Ja’far ath-Thusi, pemilik kitab Tahdzîb al Ahkâm.
  • Muhammad bin Murtadha yang dikenal sebagai Mulla Muhsin al-Kasyi, pemilik kitab Wasâ-il asy Syî’ah ilâ Ahâdîts asy Syarî’ah.
  • Muhammad Baqir bin Asy-Syaikh Muhammad Taqiy yang dikenal sebagai al-Majlisi, pemilik kitab Bihâr al Anwâr fî Ahâdîts an Nabiy wa al A-immah al Athhâr.
  • Fathullah al-Kasyani, pemilik kitab Minhâj ash Shâdiqîn.
  • Ayatullah al-Khomeini, seorang tokoh Syiah kontemporer yang memimpin Revolusi Syiah di Iran dan memegang tampuk kekuasaan. Ia memiliki kitab Kasyf al Asrâr dan al Hukûmah al Islâmiyyah.

Siapakah 12 Imam yang diyakini Syiah Imamiyah?
  • Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang mereka gelari al-Murtadha. Ali dibunuh dengan cara khianat oleh seorang pengikut Khawarij, Abdurrahman bin Muljam di Masjid Kufah dan wafat pada 17 Ramadhan 40 H.
  • Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, digelari al-Mujtaba (3-50 H)
  • Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, yang mereka gelari asy-Syahid (4-61 H)
  • Ali Zainul Abidin bin al-Husain (38-95 H), mereka gelari as-Sajjad.
  • Muhammad (digelari : Al-Baqir) bin Ali Zainul Abidin (57-114 H)
  • Ja’far (ash-Shadiq) bin Muhammad al-Baqir (83-148 H)
  • Musa (al-Kadzhim) bin Ja’far ash-Shadiq (128-183 H)
  • Ali (ar-Ridha) bin Musa al-Kadzhim (148-203 H)
  • Muhammad al-Jawwad bin Ali ar-Ridha (195-220 H) yang mereka gelari at-Taqiy.
  • Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawwad (212-254 H) yang digelari an-Naqiy.
  • Al-Hasan al-Askari bin Ali al-Hadi (232-260 H) yang digelari az-Zakiy.
  • Muhammad al-Mahdi bin al-Hasan al-Askari (256-…) dan mereka gelari al-Hujjah al-Qa’im al-Muntadzhar. Mereka mengatakan bahwa Imam kedua belas telah bersembunyi dalam sebuah gua di rumah ayahnya dan tidak kembali. Mereka berselisih tentang umurnya saat ia bersembunyi. Sebagian mengatakan  4 tahun dan sebagian berpendapat 8 tahun. Hanya saja, banyak dari para peneliti mengatakan bahwa tokoh ini hanyalah fiktif dan tidak pernah ada. Syiah sengaja membuat tokoh fiktif ini untuk menyelamatkan konsep imamah mereka.



Beberapa Konsep Pemikiran dan Keyakinan Syiah Imamiyah
  • Al-Imamah (Kepemimpinan). Wajib bagi seorang imam sebelumnya untuk menunjuk dan menyebutkan nama imam setelahnya, bukan sekedar sifat. Mereka berdalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan tentang imamahnya Ali sepeninggal beliau pada hari Ghadir Khum. Kejadian ini diingkari kebenarannya oleh ulama-ulama hadits dan sejarawan dari kalangan Ahlussunnah.
  • Al-‘Ishmah (Kema’shuman). Imam-imam Ahlul Bait yang 12 –dalam pandangan mereka- ma’shum dari kesalahan dan lupa, dari dosa-dosa besar maupun kecil.
  • Al-‘Ilmu al-Ladunni. Setiap imam telah menerima ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dengannya Syari’at menjadi sempurna. Rasul telah menyampaikan kepada mereka rahasia-rahasia Syari’at yang akan mereka jelaskan kepada manusia sesuai dengan kondisi zamannya.
  • Ar-Raj’ah, yaitu keyakinan mereka bahwa Muhammad bin al-Hasan al-Askari akan kembali di akhir zaman ketika Allah telah izinkan dia untuk keluar.
  • Taqiyyah. Mereka meyakini bahwa taqiyyah merupakan salah satu prinsip dasar agama mereka. Siapa yang meninggalkannya ibarat orang yang meninggalkan shalat. Taqiyyah wajib dan tidak boleh dihapuskan sampai al-Qa’im keluar dari persembunyiannya. Siapa yang meninggalkannya sebelum keluarnya al-Qa’im, maka dia telah keluar dari agama Allah dan agama Imamiyah.
  • Mut’ah. Mereka memandang bahwa mut’ah terhadap wanita adalah sebaik-baik tradisi dan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling afdhal. Mereka berdalil dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 24. Mut’ah telah diharamkan dalam ajaran Islam sampai Hari Kiamat nanti.
  • Mereka meyakini adanya mushaf yang disebut sebagai Mushaf Fathimah. Al-Kulaini meriwayatkan dalam kitabnya al-Kafi (hal. 57 cet. 1278 H) dari Ja’far ash-Shadiq, “Dan sungguh pada kami ada Mushaf Fathimah ‘alaihassalam.” Ia berkata : Aku bertanya : Apakah Mushaf Fathimah itu? Beliau menjawab, “Sebuah mushaf padanya ada yang seperti Quran kalian ini tiga kali lipatnya. Demi Allah, tidak ada di dalamnya satu huruf pun dari Quran kalian!”
  • Al-Bara’ah. Yaitu berlepas diri dari tiga khalifah (Abu Bakr, Umar dan Utsman) dan mensifatkan mereka dengan seburuk-buruk sifat. Karena mereka, menurut Syi’ah, telah merampas khilafah dari Ali yang berhak dengan khilafah tersebut. Syiah Imamiyah juga mencela banyak shahabat dengan cacian dan kutukan, dan tidak segan-segan mencaci kehormatan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha.
  • Ied Ghadir Khum, yaitu hari raya mereka yang jatuh pada 18 Dzulhijjah. Mereka lebih memuliakannya daripada Idul Fitri dan Idul Adha, dan menamakannya ‘Ied al-Akbar (Hari Raya Besar). Mereka meyakini bahwa hari itu adalah hari dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan khilafah untuk Ali radhiyallahu ‘anhu.
  • Mereka juga mengagungkan ‘Ied Nairuz yang merupakan salah satu hari raya orang-orang Persia penyembah api. Sebagian mereka mengatakan bahwa mandi pada hari Nairuz adalah sunnah.
  • Mereka juga memiliki perayaan pada hari kesembilan di bulan Rabi’ul Awwal, yaitu ‘Ied Bapak mereka “Baba Syuja’uddin”, gelar yang mereka berikan untuk Abu Lu’lu’ah al-Majusi yang telah membunuh Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu.
  • Mereka juga memiliki perayaan duka cita, ratapan, menampar-nampar pipi dan dada serta perbuatan-perbuatan haram lainnya di hari kesepuluh bulan Muharram (Asyura’). Mereka meyakini bahwa hal itu adalah qurbah kepada Allah Ta’ala dan menghapuskan dosa dan kesalahan. Siapa yang melihat perbuatan mereka di tempat-tempat yang mereka sucikan di Karbala, Najaf dan Qum, niscaya ia akan melihat hal-hal yang sangat aneh dan bertentangan dengan akal sehat.


Aqidah Syiah Membahayakan Umat Islam

Syiah Imamiyah saat ini tersebar luas di Iran dan terpusat disana. Mereka juga memiliki populasi yang besar di Irak. Mereka memiliki pengikut yang kuat di Pakistan, Lebanon dan juga Suriah yang secara khusus memiliki hubungan yang sangat dekat dengan sekte Nushairiyah, sebuah sekte Syiah yang sangat ekstrim.

Saat ini, dengan kerja keras dan dukungan penuh dari perwakilan-perwakilan kedutaan Iran di berbagai negara, mereka terus berusaha menyebar luaskan pemahaman dan aqidah sesatnya dengan memanfaatkan kebodohan dan kejahilan sebagian besar umat ini. Wajib bagi setiap muslim untuk mewaspadai gerakan mereka karena setiap orang yang mau membaca sejarah Islam, maka dia akan mendapatkan bahwa hampir-hampir tidak ada revolusi atau gerakan pembangkangan terhadap sebuah negara Islam melainkan Syiah dengan bermacam-macam sektenya berada dibalik gerakan tersebut. Wallahul musta’an.

(Sumber : Al Mausû’ah al Muyassarah fî al Adyân wa al Madzâhib wa al Ahzâb al Mu’âshirah, WAMY, cet. tahun 1424 H)

01 November 2014

Bernadzar untuk Selain Allah Ta'ala

Nadzar dalam ajaran Islam adalah sebuah ibadah, yang tidak boleh dipersembahkan untuk selain Allah Ta'ala. Siapa yang mempersembahkannya untuk selain Allah; baik itu untuk malaikat, seorang nabi, salah satu dari para wali -baik yang masih hidup ataupun sudah meninggal-, atau dipersembahkan untuk gunung, lautan tertentu dan yang semacamnya seperti apa yang dilakukan para pemuja berhala, kuburan dan lain-lain, yang mereka meyakini adanya manfaat atau keburukan pada makhluk-makhluk tersebut, atau mampu memberikan hajatnya atau menolak keburukan; maka pelakunya itu telah melakukan dosa yang terbesar dan terburuk, yaitu syirik kepada Allah Ta'ala. Perbuatan-perbuatan itu sama seperti yang disebutkan Allah dalam firmanNya,

وَجَعَلُوا لِله مِمَّا ذَرَعَ مِنَ الحَرْثِ وَالأنْعَامِ نَصِيْبًا فَقَالُوا هَذَا لِلهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلاَ يَصِلُ إلىَ اللهِ وَمَا كَانَ لِلهِ فَهُوَ يَصِلُ إلىَ شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

"Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai persangkaan mereka : 'Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami'. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu." (QS. Al-An'am ayat 136).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, "Para ulama telah bersepakat bahwasannya tidak boleh bagi seorang pun bernadzar untuk selain Allah, tidak untuk seorang nabi atau yang selain nabi, dan yang seperti ini adalah syirik yang tidak akan diberikan pahalanya." (Majmu' al-Fatawa, I/286)

Berkata Imam ash-Shan'ani rahimahullahu, "Adapun nadzar yang dikenal di zaman sekarang ini (yang dipersembahkan) kepada kuburan, petilasan dan orang mati, maka tidak ada perselisihan tentang keharamannya. Karena, orang yang bernadzar meyakini sang penghuni kubur mampu memberi manfaat dan kemudharatan, memberi kebaikan dan menolak keburukan, memberi keafiatan terhadap orang yang menderita dan memberi kesembuhan kepada orang sakit. Itulah dia yang dahulu dilakukan oleh penyembah berhala, sehingga hal itu haram sebagaimana haramnya bernadzar terhadap berhala dan haram mengambilnya karena itu adalah pembenaran terhadap syirik. Wajib melarang perbuatan seperti itu dan menjelaskan bahwa hal itu termasuk keharaman yang terbesar, dan itulah yang dahulu dilakukan para penyembah patung-patung berhala. Akan tetapi, waktu yang panjang telah berlalu hingga yang ma'ruf berubah menjadi mungkar dan yang mungkar berubah menjadi ma'ruf. Dipancangkan bendera-bendera untuk para pengumpul harta-harta nadzar untuk orang-orang mati, dibuatkan tempat-tempat penyambutan untuk orang-orang yang datang kepada kubur si mayit, dan disembelihkan di pintunya qurban dari hewan-hewan ternak. Itulah dia keyakinan yang dahulu berada diatasnya para pemuja berhala. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun." (Subul as-Salam, IV/1448)

Di negeri-negeri kita, dan banyak negeri-negeri Islam, yang seperti ini masih banyak terjadi dengan berbagai macam bentuknya. Namun, semua itu tidak akan mengubah hakikat dari perbuatan syirik tersebut yang mereka lakukan.

Wallahul musta'an.