"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

25 Januari 2015

Diantara Tanda Kebahagiaan & Keberuntungan Seorang Hamba

Diantara tanda kebahagiaan dan keberuntungan; bahwa seorang hamba setiap kali bertambah ilmunya, bertambahlah sifat tawadhu’ dan kasih sayangnya. Setiap kali bertambah amalannya, bertambahlah rasa takut dan kewaspadaannya. Setiap kali bertambah umurnya, semakin berkuranglah ketamakannya. Setiap kali bertambah hartanya, bertambahlah kedermawanan dan pemberiannya. Setiap kali bertambah kemuliaan dan kedudukannya, semakin bertambahlah kedekatannya dengan manusia, pemenuhan kebutuhan mereka dan sifat tawadhu’nya di hadapan mereka.

Dan tanda-tanda kebinasaan itu adalah ketika setiap kali bertambah ilmunya, bertambahlah kesombongan dan kepongahannya. Setiap kali bertambah amalannya, bertambah pula keangkuhannya, meremehkan manusia dan baik sangkanya terhadap diri sendiri. Setiap kali bertambah umurnya, bertambahlah ketamakannya. Setiap kali bertambah hartanya, bertambahlah kebakhilan dan kekikirinnya. Setiap kali bertambah kedudukan dan kemuliaannya, bertambahlah kesombongan dan kepongahannya.

Perkara-perkara ini adalah ujian dari Allah yang dengannya Dia menguji para hamba. Dengannya berbahagialah sebagian orang, dan binasalah sebagian yang lainnya.

Demikian pula dengan segala bentuk karamah adalah ujian, seperti kekuasaan dan harta. Allah Ta’ala berfirman tentang nabi-Nya, Sulaiman, saat ia melihat singgasana Balqis,

هذا من فضل ربي ليبلوني أأشكر أم أكفر
 

Ini termasuk karunia Rabb-ku untuk menguji aku apakah aku bersyukur atau ingkar (terhadap nikmat-Nya)”. (QS. 27:40)

Kenikmatan adalah ujian dari Allah yang dengannya akan nampak syukurnya orang yang bersyukur dan kufurnya orang yang kufur nikmat. Sebagaimana halnya keburukan adalah ujian dari-Nya subhanahu, maka Dia pun menguji dengan kenikmatan sebagaimana Dia menguji dengan berbagai musibah. Allah Ta’ala berfirman,

فأما الإنسان إذا ما ابتلاه ربه فأكرمه ونعّمه فيقول ربي أكرمن، وأما إذا ما ابتلاه فقدر عليه رزقه فيقول ربي أهانن، كلاّ
 
Adapun manusia apabila Rabb-nya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberikan-Nya kesenangan, maka dia berkata, ‘Rabb-ku telah memuliakanku!’
Adapun bila Rabb-nya mengujinya lalu membatasi rezkinya maka dia berkata, ‘Rabb-ku menghinakanku!’ Sekali-kali tidak (demikian)!!
” (QS. 15-17)

Yaitu; tidaklah setiap orang yang Aku berikan kelapangan, Aku muliakan dan Aku berikan kenikmatan, hal itu adalah wujud pemuliaan-Ku terhadap dirinya. Dan tidak setiap orang yang Aku sempitkan rezkinya dan Aku timpakan ujian terhadap dirinya sebagai wujud penghinaan dari-Ku terhadap dirinya…

(Ibnul Qayyim rahimahullahu, Al Fawaa-id, 225-226)

21 Januari 2015

Menggantungkan Jimat (Tamîmah)

Dalam istilah, tamîmah adalah segala apa yang digantungkan pada orang sakit, anak-anak, hewan dan lain-lain sebagai bentuk “perlindungan” untuk menolak atau menghilangkan bala’.

Diantara bentuk-bentuk tamîmah adalah jampi-jampi/mantera-mantera yang dituliskan oleh dukun-dukun dengan bahasa yang tidak dipahami, yang umumnya adalah ucapan-ucapan kesyirikan dan permohonan bantuan kepada syaitan, dan digantungkan pada anak-anak, hewan, atau sebagian barang atau pintu, yang mereka dakwakan bahwa hal itu merupakan sebab untuk menolak penyakit ‘ain, atau sebab untuk kesembuhan bagi orang atau hewan yang sakit.

Diantaranya juga adalah kalung-kalung yang dipakaikan sebagian orang pada anak-anak mereka dengan keyakinan bahwa hal itu akan menjaga mereka dari bahaya.

Diantaranya juga adalah mengenakan gelang perak untuk mencari keberkahan, atau cincin yang memiliki bentuk tertentu yang diyakini bisa melindungi dari gangguan jin.

Diantaranya juga adalah berbagai macam ikatan yang dituliskan padanya kata tertentu untuk –menurut mereka- mengobati sebagian penyakit.

Dan lain-lain dari berbagai macam benda yang digantungkan yang terbuat dari kulit hewan, buah-buahan, dan yang semacamnya yang mereka yakini mampu menolak ‘ain, penyakit, jin, dan diyakini merupakan sebab bagi kesembuhan dari penyakit.

Semua bentuk tamîmah ini adalah haram dan termasuk syirik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
 

إن الرقى والتمائم والتولة شرك

Sesungguhnya ruqyah (mantera-matera), tamîmah (jimat) dan tiwalah (pelet) adalah syirik.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Beliau juga bersabda,

من علّق تميمةً فقد أشرك

Siapa yang menggantungkan tamîmah maka sungguh dia telah melakukan kesyirikan.”

Perkara itu termasuk syirik karena mereka mengira bahwa yang selain Allah mampu memberikan pengaruh dalam kesembuhan, dan mereka meminta perlindungan dari keburukan kepada yang selain Allah, padahal tidak ada yang mampu menolak keburukan itu selain Dia.

Jika pelakunya meyakini bahwa tamîmah itu bermanfaat dengan sendirinya tanpa Allah Ta’ala maka ini adalah syirik akbar.

Jika dia meyakini bahwa hanya Allah saja yang memberi manfaat, akan tetapi hatinya memiliki ketergantungan dengan tamîmah itu dalam menolak keburukan, maka ini adalah syirik ashghar, karena dia bersandar kepada sebab, dan karena dia menjadikan “sebab” sesuatu yang bukan sebab yang syar’i.

Semua bentuk tamîmah yang telah disebutkan tidak memiliki manfaat sedikit pun dalam persoalan yang mereka yakini. Hal itu hanyalah khurafat jahiliyah dan kebohongan para dukun dan tukang sihir yang menyebarkannya kepada orang-orang yang jahil.

Wallâhul musta’ân.

18 Januari 2015

Kapan Seseorang Boleh Shalat tanpa Menghadap Kiblat?

Menghadap kiblat adalah salah satu syarat sah shalat. Tidak dianggap sah shalat seseorang tanpa menghadap kiblat, baik dalam shalat fardhu atau pun shalat sunnah. Kiblat untuk shalat tersebut adalah Ka'bah di al-Masjid al-Haram, Makkah.

Allah Ta'ala berfirman,

فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ المَسْجِدِ الحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ

"Palingkanlah wajahmu ke arah al-Masjid al-Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajah kamu ke arahnya." (QS. Al-Baqarah ayat 144).

Orang yang dekat dengan Ka'bah dan bisa melihatnya, wajib baginya untuk menghadap bangunan Ka'bah itu. Adapun orang yang jauh darinya, maka yang menjadi kewajibannya adalah menghadap ke arah Ka'bah tersebut.

Namun kewajiban itu gugur dalam beberapa keadaan berikut :

Pertama; ketidakmampuan.

Jika seseorang lemah dan tidak mampu untuk menghadap kiblat karena sakit atau terikat, kewajiban itu gugur darinya dan ia shalat ke arah mana pun menurut kesanggupannya. Allah Ta'ala berfirman,

فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

"Bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." (QS. At-Taghabun ayat 16).

Kedua; ketakutan.

Jika seseorang dalam kondisi sedang memerangi musuh, atau lari menghindari musuh, binatang buas atau banjir dan lain-lain, maka ia shalat dalam posisinya itu walaupun tidak menghadap kiblat.

Allah Ta'ala berfirman,

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أوْ رُكْبَانًا

"Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. (QS. Al-Baqarah ayat 239).

Ketiga; shalat sunnah dalam safar (perjalanan jauh).

Jika seseorang dalam perjalanan, maka ia boleh shalat sunnah ke arah mana pun posisinya menghadap.

Dari 'Amir bin Rabi'ah radhiyallahu 'anhu ia berkata, "Saya melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat diatas kendaraannya ke arah mana pun kendaraan itu menghadap. Dan beliau tidak melakukan itu dalam shalat wajibnya." (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Hal ini hanya berlaku untuk shalat sunnah saja. Adapun untuk shalat fardhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan turun dari kendaraannya dan shalat dengan menghadap kiblat.

Wallahu a'lam.

15 Januari 2015

Anda Ingin Membela Nabi ﷺ ?

Saudara Muslim,,, Saudari Muslimah,,,

Anda yang ingin membela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam...

- Ketahuilah, semoga Allah merahmati Anda,,, tidaklah para musuh Allah berani berlaku lancang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melainkan disebabkan oleh dosa-dosa pengikutnya dan kelemahan mereka, tidak komitmennya mereka dengan petunjuk agama yang mulia dan petunjuk kenabian yang menjamin kemuliaan mereka di dunia dan akhirat.

- Ketahuilah, bahwa pembelaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin dilakukan kecuali dengan ittiba’ yang jujur terhadap sunnahnya, mengerjakan perintahnya dan menjauhi larangannya. Jika Anda jujur dalam cinta dan pembelaan terhadapnya, mulailah dari diri Anda. Komitmenlah terhadap sunnahnya yang mulia dalam setiap urusan Anda.

- Ketahuilah bahwa Kekasih Anda shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak akan meridhainya jika Anda menyelisihi petunjuk dan sunnahnya. Hal ini bermakna, semoga Allah menguatkan langkah Anda, Anda menghentikan segala bentuk maksiat dalam kehidupan Anda dan bertaubat kepada Allah atas perbuatan tersebut.

Dan Anda berkenan untuk menerima segala apa yang diperintahkan oleh Kekasih Anda dari perintah untuk menunaikan shalat, menjaga segala bentuk ketaatan, bersemangat besar untuk berakhlak yang mulia, berbakti kepada kedua orang tua, menjalin silaturrahim, memakmurkan bumi ini dengan kebenaran, baik dalam setiap ucapan, perbuatan dan niat; sehingga Anda –dengan izin Allah- benar-benar menjadi pengikut-pengikutnya yang jujur dalam kecintaan terhadapnya, yang mereka itu adalah orang-orang yang layak mendapatkan syafaatnya.

Dan agar Anda juga bisa menjadi orang-orang yang dirindukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Telah disebutkan dalam hadits bahwa beliau bersabda : “Sungguh, aku sangat rindu jika aku telah melihat saudara-saudaraku...” Mereka berkata : “Bukankah kami ini saudara-saudaramu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda : “Kalian adalah sahabat-sahabatku. Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum datang saat ini...” (terjemah HR. Muslim)

11 Januari 2015

Islam Membenarkan Peristiwa Teror di Paris?

Sepekan ini, banyak orang membicarakan tentang peirstiwa teror yang terjadi di Paris, Perancis.
Beberapa orang bersenjata menyerang kantor sebuah surat kabar yang dikenal suka membuat karikatur provokatif dan mengejek banyak kalangan, termasuk mengejek Islam dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Serangan itu menewaskan 12 orang, termasuk redaktur surat kabar tersebut dan dua kartunis.

Sebenarnya penulis tidak terlalu suka menghabiskan waktu untuk membahas urusan seperti ini. Prinsip aqidah kita sangat jelas; bahwa siapa yang mencaci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak ada yang layak baginya kecuali hukuman mati. Tapi tentu saja menindak sebuah tindak kejahatan haruslah dengan aturan yang benar, baik secara syar’i maupun dalam hukum pidana di negara manapun. Di zaman kelemahan seperti ini tidak banyak yang bisa dilakukan, tapi paling tidak, komitmennya seorang muslim terhadap aturan-aturan Syari’at dan selalu mendahulukan hukum Allah diatas sikap kebencian dan kemarahan adalah sebuah “kemenangan” ketika banyak kalangan dari umat ini tidak memahami agamanya, atau punya pemahaman namun tidak mampu mengamalkannya secara benar.

Tulisan kecil ini kami buat semata-mata karena kesedihan kami atas kelakuan sebagian orang yang tiba-tiba menjadi “mufti” di media sosial dengan “membajak” perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam kitabnya “ash-Shârim al-Maslûl ‘alâ Syâtim ar- Rasûl”. Padahal kami yakin, orang yang mengutip perkataan itu pun tidak pernah membaca buku tersebut dan hanya “copas” sana sini tanpa memahami persoalan dari pembahasan yang sebenarnya.

Benar bahwa Syaikhul Islam, dan para ulama kaum muslimin, berfatwa tentang halalnya darah orang yang mencaci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dia seorang musllim atau kafir. Jika dia seorang muslim, maka dia murtad dengan perbuatan tersebut dan berhak dihukum mati. Dengan sedikit perbedaan di kalangan ulama tentang orang yang sempat bertaubat dari perbuatannya itu. Syaikhul Islam cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa si pelaku tetap dihukum mati karena cacian tersebut walaupun dia telah bertaubat dari perbuatannya.

Pembahasan ini tentu saja membutuhkan pembahasan yang lebih dari apa yang kami sebutkan. Tapi tulisan kami bukan untuk membahas masalah tersebut. Kami hanya ingin “meluruskan” kekeliruan sebagian orang yang membenarkan tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh para pelaku teror di Paris. Seakan-akan tindakan itu sudah sesuai dengan aturan Syari’at, dan parahnya mereka menukilkan pendalilan yang disebutkan Syaikhul Islam dalam kasus pembunuhan Ka’ab bin al-Asyraf dan kisah seorang shahabat yang membunuh budaknya karena mencaci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kisah-kisah yang semacamnya.

Kisah pembunuhan Ka’ab bin al-Asyraf disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan al-Bukhary dan Muslim[1]. Dalam kisah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta dari para shahabat siapa diantara mereka yang sanggup membunuh Ka’ab. Permintaan itu disanggupi Muhammad bin Maslamah dan beberapa orang lainnya. Ringkasnya, Muhammad bin Maslamah dan kawan-kawannya akhirnya bisa membunuh Ka’ab setelah mereka menampakkan padanya jaminan keamanan.

Kisah ini tidak cocok untuk diterapkan pada kasus penghinaan yang terjadi di Paris. Kisah pembunuhan Ka’ab terjadi dalam lingkup wewenang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin Madinah dan juga orang-orang Yahudi Madinah sesuai dengan konsekuensi perjanjian damai antara kaum muslimin dengan Yahudi di Madinah. Ka’ab berada dalam jaminan keamanan sesuai dengan konsekuensi perjanjian damai (al-‘ahd) dan jaminan tersebut gugur karena dia telah menghina dan mencaci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan lagi pula, peristiwa itu tidak berpengaruh buruk bagi Islam dan kaum muslimin, berbeda dengan peristiwa yang terjadi di Paris dan banyak kasus lainnya di zaman modern ini.

Dalil lainnya yang dijadikan argumen pembenaran tindakan teror tersebut adalah kisah seorang buta yang membunuh budak perempuannya karena budak itu untuk kedua kalinya mencaci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam as-Sunan.[2]

Yang nampak, wanita tersebut adalah seorang yang kafir. Karena seorang muslim tidak akan mungkin berani melakukannya. Andai pun dia seorang muslimah, dia murtad dengan perbuatannya tersebut dan tuannya tidak berhak untuk tetap melindunginya dari hukuman.

Orang-orang yang berdalil dengan hadits ini menyebutkannya begitu saja tanpa ada penjelasan tambahan sehingga seakan-akan Syaikhul Islam membenarkan perbuatan shahabat itu secara mutlak.
Tapi, marilah kita menyimak penjelasan ini :

Setelah menyebutkan persoalan itu, Syaikhul Islam berkata, “Tetap dikatakan : Hukuman had tidak dilaksanakan kecuali oleh imam (penguasa) atau wakilnya.”[3]

Kemudian bagaimana bisa shahabat itu bertindak sendiri tanpa izin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau akhirnya membenarkan tindakannya tersebut? Beliau menjelaskan kemungkinannya dari beberapa sisi, diantaranya;

- Seorang tuan boleh melaksanakan hukuman had terhadap budaknya seperti had zina atau meminum minuman keras. Ulama berselisih tentang boleh tidaknya hukuman dalam bentuk membunuh atau memotong anggota tubuh bagi tuan terhadap budaknya. Dalil-dalil shahih menguatkan pendapat yang membolehkannya.

- Paling banter perbuatan shahabat itu adalah bentuk penyelisihan terhadap imam (penguasa), dan imam boleh memaafkannya atas perbuatannya yang melangkahi wewenang imam.

- Jika perbuatan ini disebut sebagai hukuman had, maka ini adalah pembunuhan terhadap kafir harbi yang boleh dilakukan siapapun.

- Perbuatan ini seperti ini pernah terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti kisah Umar yang membunuh seorang munafik tanpa izin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena ia tidak ridha dengan hukum beliau, kemudian turunlah ayat yang membenarkan hal itu.

Apa maknanya penjelasan beliau tersebut?

Syaikhul Islam tidak pernah membolehkan perbuatan itu secara mutlak! Beliau tetap berpegang dengan hukum asal bahwa tidak ada yang berwenang menindak orang-orang yang berada dalam jaminan keamanan tersebut kecuali imam atau wakilnya.

Kalau perbuatan itu boleh dilakukan secara mutlak sebagaimana pendalilan yang mereka gunakan dalam kasus teror di Paris, niscaya Syaikhul Islam tidak akan memberi uzur kepada shahabat buta yang membunuh budaknya itu dan akan mengatakan perbuatan itu boleh tanpa harus menyebutkan permasalahan dan bantahannya.

Syaikhul Islam seorang ulama yang paling mengetahui tentang perselisihan ulama, dan beliau tidak menukil dalam masalah ini pendapat yang membolehkannya secara mutlak dari seorang pun mereka. Yang seperti ini sudah cukup memberi penjelasan bahwa urusan besar seperti ini adalah wewenang penguasa, bukan hak individu-individu tertentu dari kaum muslimin.

Hal ini dengan catatan penting yang wajib dipahami, bahwa kasus pembunuhan itu terjadi dalam wilayah negara Islam yang berdaulat, dalam wewenang penguasa muslim.

Adapun orang-orang kafir Quraisy yang mencaci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di luar Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengutus satu orang pun untuk mengeksekusi mereka di negeri mereka, baik itu dalam masa perang apalagi setelah terjalinnya kesepakatan damai di Hudaibiyah.

Demikian juga tidak ada seorang pun dari para shahabat yang melakukan perbuatan teror seperti itu di negeri-negeri yang tidak dikuasai oleh kaum muslimin.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan shahabat-shahabatnya untuk menghukum orang-orang yang menghina dan mencaci pribadi beliau sebagai seorang rasul ketika beliau menduduki Makkah pada peristiwa Penaklukan Makkah di bulan Ramadhan tahun 8 H.

Itu semua terjadi ketika kaum muslimin memiliki kekuatan dan memiliki negara berdaulat yang diisegani oleh musuh-musuhnya.

Orang-orang yang melakukan teror di Paris, atas nama siapa mereka bertindak di zaman kelemahan dan kekalahan seperti ini?

Kalau mereka melakukannya karena kemarahan dan kebencian, maka jangan pernah mengatasnamakan Islam, karena Islam tidak pernah mengajarkannya.

Mungkin akan ada yang mengatakan bahwa Perancis sejak dulu dikenal dengan kebebasan persnya yang suka menghina Islam dan Rasul Islam. Dan dalam aksi solidaritas oleh para pemimpin dunia dan puluhan ribu orang di Paris setelah kejadian tersebut, hadir pula Perdana Menteri Israel yang telah membantai saudara-saudara muslim kita di Palestina. Ini menunjukkan standar ganda Barat yang begitu peduli dengan kematian 12 orang (total yang terbunuh hingga akhir peristiwa adalah 17 orang, 12 orang tersebut tewas dalam penyerangan di surat kabar Charlie Hebdo), tapi menutup mata terhadap kebrutalan Israel!

Kami katakan, itulah Barat dan para pemimpin kafir… Semua tahu watak mereka… Setelah itu apa? Apakah dengan dalih itu kemudian kita boleh mencampakkan ajaran Islam yang hak atas nama kemarahan dan dendam?

Kami menuliskan ini bukan untuk membela orang-orang kafir. Tulisan ini semata-mata hanya ingin mengajak Anda untuk berpikir jernih; sejauh mana komitmen kita terhadap agama kita?

Kita berjuang memperjuangkan agama ini bukan semata-mata untuk balas dendam atau marah-marah. Kita ingin memperjuangkan nilai. Kalau orang-orang kafir itu berlaku zalim dan tidak adil terhadap Islam dan umatnya, setidaknya kita semua paham bahwa Islam tidak pernah mengajarkan bahwa kejahatan harus dibalas dengan kejahatan yang sama.

Marilah kita kembali mengkaji agama Allah ini dengan bimbingan para ulama Sunnah, tanpa dikotori oleh pendapat akal atau sikap emosional. Sangat berbahaya seseorang ketika berani mengutip perkataan seorang ulama, apalagi perkataan Allah dan rasulNya, sementara mereka tidak memaksudkan seperti apa yang kita inginkan dan pahami dari kutipan tersebut.

Semoga Allah memaafkan kita dan membalas orang-orang kafir dengan balasan yang setimpal. Amin.

(oleh : Ust. Taufiq Rahman, LC)

—————————

Footnotes :

[1] Shahîh al-Bukhâry (no. 2510) dan Shahîh Muslim (Kitâb al Jihâd wa as Sair)
[2] Sunan Abî Dâwûd (no. 4361), dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abî Dâwûd
[3] Silahkan rujuk ke ash-Shârim al-Maslûl hal. 285-286

05 Januari 2015

Dzikir-dzikir Setelah Shalat Fardhu

Ketika seorang muslim selesai melaksanakan shalat dengan memberi salam ke kanan dan ke kiri, maka dia telah selesai melaksanakan yang wajib baginya dalam shalat tersebut. Namun, dianjurkan baginya berdzikir dengan wirid-wirid atau dzikir-dzikir tertentu selepas salam untuk menutupi apa yang mungkin masih kurang sempurna dalam pelaksanaan shalat fardhunya. Minimal dia membaca istighfar tiga kali dan membaca,

اللَّهُمَ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

Allaahumma anta_s-salaam wa minka_s-salaam tabaarakta yaa dza_l-jalaali wa_l-ikraam.

Namun, kalau dia sempatkan dirinya untuk membaca dzikir-dzikir lainnya yang diajarkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka tentu saja itu akan lebih baik baginya dan lebih berat untuk timbangan kebaikannya.

Berikut ini adalah beberapa redaksi dzikir yang dituntunkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setelah melaksanakan shalat-shalat fardhu.

- Setelah salam, dituntunkan membaca istighfar sebanyak 3 kali,

أسْتَغْفِرُ اللهَ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ

Astaghfiru_llaah, astaghfiru_llaah, astaghfiru_llah.

Aku memohon ampun kepada Allah.” (3 kali)

اللَّهُمَ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

Allaahumma anta_s-salaam wa minka_s-salaam tabaarakta yaa dza_l-jalaali wa_l-ikraam.

Ya Allah, Engkau Maha sejahtera dan dari-Mu kesejahteraan. Maha berkah Engkau, wahai Rabb pemilik keagungan dan karunia.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad dan lain-lain dari Tsauban radhiyallahu 'anhu).

- Kemudian mengucapkan,

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Laa ilaha illa_llaah wahdahuu laa syariika lah, lahu_l-mulku wa lahu_l-hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qadiir. Allaahumma laa maani’a limaa a’thaita wa laa mu’thiya limaa mana’ta wa laa yanfa'u dza_l-jaddi minka_l-jaddu.

Tidak ada sembahan yang berhak disembah selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan pujian. Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang mampu mencegah sesuatu yang telah Engkau berikan dan tidak ada yang mampu memberi sesuatu yang Engkau cegah. Tidak bermanfaat kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya untuk (menebus) siksaan-Mu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

- Setelah itu mengucapkan tasbih (سبحان الله), tahmid (الحمد لله), dan takbir (الله أكبر) sebanyak 33 kali, dan menggenapkannya menjadi seratus dengan mengucapkan,

لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Laa ilaha illa_llah wahdahuu laa syariika lah, lahu_l-mulku wa lahu_l-hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qadiir.

Tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan pujian. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ وَكَبَّرَ اللَّهَ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ

Barangsiapa yang bertasbih 33 kali, bertahmid 33 kali dan bertakbir sebanyak 33 kali setelah melaksanakan shalat fardhu, dan itu berjumlah 99 kemudian dia membaca menggenapkannya seratus dengan ucapan (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ) , maka kesalahan-kesalahannya akan diampuni meskipun sebanyak buih lautan.” (HR. Muslim).

- Dibolehkan juga berdzikir dengan mengucapkan tasbih, takbir, dan tahmid sebanyak 10 kali.

Abdullah bin 'Amr radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

خَلَّتَانِ لَا يُحْصِيهِمَا رَجُلٌ مُسْلِمٌ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ أَلَا وَهُمَا يَسِيرٌ وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ يُسَبِّحُ اللَّهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ عَشْرًا وَيَحْمَدُهُ عَشْرًا وَيُكَبِّرُهُ عَشْرًا

“Dua perkara yang tidaklah seorang muslim senantiasa melakukannya melainkan dia akan masuk surga. Keduanya sangatlah mudah, namun sedikit yang selalu mengamalkannya. Yaitu (yang pertama) bertasbih, bertahmid, dan bertakbir masing-masing sebanyak sepuluh kali sesudah menunaikan shalat fardhu...” (HR. At-Tirmidzi).

- Kemudian membaca Ayat Kursi (QS. Al-Baqarah ayat 255) serta surat al-Ikhlash, al-Falaq, dan an-Nas.

Diriwayatkan oleh Abu Umamah radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda,

مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِي دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُوْلِ الْجَنَّةِ إِلاَّ أَنْ يَمُوْتَ

Barang siapa yang membaca Ayat Kursi setiap selesai menunaikan shalat fardhu (wajib), maka tidak ada yang menghalanginya masuk surga selain kematian.” (HR. An-Nasa'i dalam 'Amalul Yaum wal Lailah, Ibnu As-Sunni dan Ath-Thabrani).

Diriwayatkan dari shahabat yang mulia, Uqbah bin 'Amir radhiyallahu ‘anhu ia berkata,

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقْرَأَ بِالْمُعَوِّذَاتِ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruhku agar membaca surat al-Mu’awwidzat (yaitu surat-surat : al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Nas) setiap selesai menunaikan shalat.” (HR. Abu Dawud).

Masih ada beberapa dzikir shahih lainnya yang bisa dibaca dalam masalah ini, namun apa yang kami sebutkan telah cukup bagi orang yang mau mencari keutamaan.

Untuk lebih lengkapnya, kami menyarankan pembaca untuk rujuk ke buku-buku doa dan dzikir sesuai sunnah yang telah banyak diterjemahkan. Diantaranya adalah buku yang ditulis oleh Syaikh Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani hafidzhahullahu. Semoga Allah memudahkan setiap urusan kita untuk menggapai kebaikan dunia dan akhirat. Amin.

04 Januari 2015

Dalam Asuhan Kakek dan Paman

Setelah terjadinya peristiwa pembedahan dada, Muhammad kecil dikembalikan kepada ibunya. Saat itu ia berumur empat tahun.

Ia tinggal bersama ibunya hingga berumur enam tahun, dimana Aminah wafat di Abwa' (tempat antara Makkah dan Madinah) saat kembali ke Makkah setelah membawa putranya berkunjung kepada paman-pamannya dari pihak ibu dari Bani 'Adi bin an-Najjar.

Kematian ibunya tentu saja meninggalkan kesedihan yang mendalam untuk Muhammad kecil. Dalam usia yang masih belia, ia harus kehilangan ibu setelah sebelumnya lahir dalam keadaan yatim.

Imam az-Zuhri menjelaskan bahwa bahwa kakeknya, Abdul Muththalib mengambilnya dan mengasuhnya sepeninggal ibunya.

Al-Waqidi menyebutkan bahwa kakeknya menjelang wafatnya pada usia 82 tahun telah berwasiat kepada Abu Thalib untuk mengasuhnya. Saat itu Muhammad berumur delapan tahun.

Terdapat riwayat-riwayat mursal shahih yang menjelaskan tentang kasih sayang Abu Thalib kepada keponakannya itu. Diantara wujud kasih sayang itu adalah kepergiannya ke negeri Syam untuk misi dagang dan ia mengikutsertakan Muhammad.

Saat itu, Nabi  berumur sembilan, atau sepuluh, atau dua belas tahun menurut perbedaan riwayat dalam persoalan ini.

Di kota kecil Busra, seorang rahib yang bernama Buhaira mengundang kafilah Quraisy tersebut kepada jamuan makan yang telah ia siapkan.

Buhaira mempersiapkan jamuan itu karena ia telah mengenal Nabi melalui sifat-sifatnya. Ia mengetahui bahwa Muhammad adalah seorang anak yatim, memiliki "cap" kenabian diantara dua pundaknya, dan ia melihat awan menaungi anak tersebut dan pohon condong kepadanya ketika anak itu bernaung di bawahnya.

Riwayat kisah ini ditutup dengan peringatan Buhaira kepada Abu Thalib untuk mewaspadai orang-orang Yahudi dan Romawi yang mungkin akan membahayakan keponakannya.

Sanad yang paling kuat dalam riwayat kisah ini adalah apa yang diriwayatkan Imam at-Tirmidzi dalam Sunan-nya. Haditsnya secara global adalah hadits hasan walaupun terdapat sedikit kekeliruan dalam matan (isi) dari riwayat tersebut.

Wallahu a'lam.

(Sumber : As Sirah an Nabawiyyah ash Shahihah)

01 Januari 2015

Diantara Syubhat Maulid : Nabi ﷺ Mengaqiqahkan Dirinya Sendiri

Diantara syubhat yang dijadikan dalil bagi disyari'atkannya perayaan Maulid Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah apa yang diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah mengaqiqahkan dirinya sendiri[1] setelah beliau mensyari'atkan aqiqah untuk umatnya. Sementara kakeknya, Abdul Muththalib juga telah melakukan aqiqah untuk beliau. Dan aqiqah bukanlah syari'at yang berulang (bagi satu orang). Ini menunjukkan bahwa beliau melakukannya semata-mata sebagai wujud syukur kepada Allah atas anugerah kelahirannya, atau mungkin saja perbuatan ini dijadikan dalil pokok bagi diadakannya perayaan maulid.[2]

Syubhat ini sangatlah lemah. Tidak memiliki nilai. Karena ia tegak diatas sebuah "kemungkinan" bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah mengaqiqahkan dirinya sendiri atas anugerah kelahirannya. Kemungkinan seperti ini lebih lemah daripada persangkaan, dan persangkaan tidak bisa menetapkan hukum-hukum Syari'at.

Perkara lainnya dalam persoalan ini adalah; apakah benar aqiqah merupakan syari'at masyarakat Arab Jahiliyyah dan mereka mengamalkannya hingga kita bisa mengatakan bahwa Abdul Muththalib telah mengaqiqahkan cucunya? Apakah amalan masyarakat Jahiliyyah bisa dianggap dalam Islam hingga kita mengatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukan aqiqah untuk dirinya semata-mata sebagai wujud syukur bukan melaksanakan sunnah aqiqah, karena beliau sudah diaqiqahkan oleh kakeknya?

Subhanallah! Alangkah anehnya pendalilan seperti ini...

Apakah jika benar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukan aqiqah untuk dirinya sebagai wujud syukur atas keberadaannya di dunia ini kemudian hal itu boleh dijadikan alasan menjadikan hari kelahirannya sebagai perayaan untuk manusia?

Mengapa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah mengajak kepada hal tersebut dan menjelaskan kepada manusia kewajiban yang mesti mereka lakukan dan amalkan pada hari perayaan itu sebagaimana beliau menjelaskan tentang Idul Fitri dan Idul Adha?

Apakah beliau lupa atau menyembunyikannya sementara ia diperintahkan untuk menyampaikan Syari'at?

Maha Suci Engkau, ya Allah... Rasul-Mu tidak lupa dan tidak menyembunyikan, akan tetapi manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah...

(Sumber : Al Inshaaf fiima qiila fi al Maulid, Syaikh Abu Bakr al-Jazairi)

---------------------

Footnotes :

[1] Berkata Imam an-Nawawi dalam al Majmu' Syarh al Muhadzdzab (VIII/330), "Adapun hadits yang disebutkan tentang aqiqah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk dirinya sendiri diriwayatkan al-Baihaqi dengan sanadnya dari Abdullah bin Muharrar dari Qatadah dari Anas bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengaqiqahkan dirinya setelah kenabian. Hadits ini batil. Berkata al-Baihaqi : 'Ini adalah hadits munkar'. Al-Baihaqi juga meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdurrazzaq, ia berkata : 'Mereka (ahli hadits) meninggalkan Abdullah bin Muharrar disebabkan hadits ini'. Berkata al-Baihaqi : 'Hadits ini telah diriwayatkan dari jalan yang lain dari Qatadah, dan dari jalan lainnya dari Anas dan (hadits itu) bukanlah apa-apa. Dia adalah hadits yang batil. Abdullah bin Muharrar dha'if, disepakati kelemahannya'." Wallahu a'lam.

[2] Disebutkan oleh Imam as-Suyuthi dalam al Haawi fi al Fataawi