"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

31 Oktober 2015

Laki-laki Tidaklah Seperti Perempuan

Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dalam dua jenis. Dan Dia juga menyebutkan bahwa kedua jenis itu berbeda satu dari yang lainnya. Allah berfirman,

وَلَيْسَ الذَكَرُ كَالأُنْثىَ

Dan laki-laki tidaklah seperti perempuan.” (QS. Alu ‘Imran ayat 36).

Laki-laki tidak seperti wanita dalam sifat dan bentuk penciptaannya.

Laki-laki memiliki kesempurnaan dalam bentuk fisik dan kekuatan karakternya, sementara wanita lebih lemah darinya karena dia harus mengalami masa haid, kehamilan, melahirkan, menyusui, mengurus anak dan membina generasi umat.

Karena itulah wanita diciptakan dari tulang rusuk Adam ‘alaihissalam; dia adalah bagian darinya, mengikuti urusannya dan menjadi perhiasan untuknya. Sementara laki-laki diamanahkan untuk mengurus wanita, menjaganya, menafkahinya dan anak-anak yang dilahirkan darinya.

Karena perbedaan itulah maka berbeda pula beberapa hukum syari’at yang dibebankan kepada kedua jenis manusia tersebut dalam urusan agama dan dunia. Laki-laki adalah “qawwâm” dalam rumah tangga dalam wujud pembinaan, penjagaan, pengayoman dan mengurusi nafkah keluarga. Laki-laki yang berkuasa dalam rumah tangga dan wanita tidak akan pernah bisa menyamainya dalam urusan itu atau lebih tinggi darinya.

Allah Ta’ala berfirman,

الرِجَالُ قَوَّامُونَ عَلىَ النِسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُم عَلىَ بَعْضٍ

Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” (QS. An-Nisa’ ayat 34).

Dan firmanNya,

وَلِلرِجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

Dan laki-laki (suami) mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada wanita (istri).” (QS. Al-Baqarah ayat 228).

Hukum-hukum yang Allah khususkan untuk wanita itu sangat banyak yang bisa didapatkan dalam penjelasan fiqh ibadah, mu’amalat, pernikahan, warisan, pengadilan dan lain-lain. Termasuk di dalamnya persoalan yang berkenaan dengan sifat dakwah kaum muslimah.

Dakwah adalah satu bagian penting dalam agama ini. Hukumnya fardhu kifayah menurut jumhur ulama. Jika telah ada sekelompok umat yang bekerja untuk mengajak orang kepada agama Allah, mengajarkan mereka Islam yang hak, maka kewajiban tersebut gugur dari yang lainnya.

Hukum kewajiban dakwah berlaku umum untuk laki-laki dan wanita. Hanya saja, dalam aplikasinya tentu terdapat perbedaan yang mencolok dalam menjalankan misi mulia tersebut. Apalagi jika “dakwah” itu dipahami sebagai sebuah lembaga yang memiliki visi dan misi dalam memperjuangkan apa yang mereka yakini atau harapkan dari pergerakan itu.


Kami tidak mengingkari pentingnya dakwah yang terorganisir rapi dalam usaha untuk mencapai sebagian tujuan yang diharapkan dari dakwah. Tapi kami ingkari jika tujuan suci itu terkotori oleh ambisi untuk mendapatkan kekuasaan, ketenaran dan kebanggaan di hadapan manusia.

Kami juga mengingkari jika tujuan suci itu akhirnya terkotori oleh usaha keras untuk mencapai kuantitas tertentu dengan mengabaikan kualitas kader dan mad’u dalam ilmu dan ibadah.

Kami juga ingkari dan sayangkan jika ternyata juga, banyak dari pergerakan (yang mengatasnamakan) dakwah itu (apalagi membawa nama “dakwah Salaf”) –sadar atau tanpa sadar- telah mengeksploitasi kaum muslimah untuk kepentingan sesaat mereka.

Benar, wanita memiliki kewajiban yang sama dengan laki-laki dalam dakwah, tapi dakwah itu bukanlah “dakwah” yang justru menghilangkan jati diri wanita itu sebagai seorang muslimah.

Allah telah memerintahkan wanita untuk berdiam di rumahnya, dan diamnya di rumahnya adalah sebagai bentuk ibadahnya kepada Allah Ta’ala. Mewajibkan seorang muslimah keluar rumah untuk “berdakwah” (baca : berorganisasi) adalah sebuah kelancangan terhadap agama Allah.

Bagaimana mungkin mewajibkan seorang muslimah keluar rumah berdakwah, sementara Allah tidak pernah memerintahkan mengeluarkan mereka dari rumah-rumahnya kecuali dalam shalat Id saja. Bahkan izin untuk shalat berjamaah di masjid bagi seorang wanita pun masih disebutkan penekanan, bahwa rumahnya lebih baik dan utama bagi dirinya.

Dari Ummu Humaid, istri Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ia datang kepada Nabi ﷺ dan berkata : Wahai Rasulullah, saya ingin shalat bersamamu.

Beliau berkata,

قَد عَلِمتُ أنكِ تُحِبِّينَ الصَلاة مَعِي وَصَلاتكِ في بَيتكِ خيرٌ لكِ مِن صَلاتكِ في حُجرَتكِ وَصَلاتكِ في حُجْرَتك خيرٌ مِن صَلاتكِ في دَاركِ وصَلاتكِ في دَاركِ خيرٌ لكِ من صَلاتكِ في مَسْجدِ قومِكِ وصَلاتكِ في مَسجدِ قومِكِ خيرٌ لكِ مِن صَلاتكِ في مَسْجِدِي

Aku tahu bahwa engkau sangat ingin shalat bersamaku, namun shalatmu di kamarmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di ruangan rumahmu. Dan shalatmu di ruangan rumahmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu. Dan shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu. Dan shalatmu di masjid kaummu jauh lebih baik daripada shalatmu di masjidku.”

Maka ia (Ummu Humaid) menyuruh dibuatkan untuknya tempat shalat di tempat yang paling dalam dan gelap di rumahnya, dan ia shalat di tempat itu hingga ia menjumpai Allah ‘azza wa jalla. (HR. Ahmad, dishahihkan Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Albani rahimahumullahu).

Dan diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa ia pernah mengomentari perbuatan para wanita di masanya. Aisyah berkata, “Andai Rasulullah ﷺ menjumpai apa yang dibuat oleh wanita, niscaya beliau akan melarang mereka sebagaimana wanita-wanita Bani Israil dilarang (ke masjid).” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Anehnya, para “aktivis dakwah muslimah” itu, benar mereka tidak keluar rumah untuk berjamaah di masjid, tapi setiap hari justru mereka keluar rumah untuk “dakwah”?! Wallâhul musta’ân.

Paling banter kita katakan bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya untuk dakwah (dakwah dalam makna sebenarnya, bukan dibungkus dengan kepentingan kelompok atau lembaga tertentu) adalah sebuah “keutamaan”. Tapi keutamaan itu semata-mata karena ada hajat penting untuk itu dan dengan syarat yang juga penting, yaitu tidak mengabaikan perkara yang lebih wajib berkait dengan hak suami dan urusan rumah tangga, dan dilakukan oleh wanita yang punya kapasitas ilmu memadai.[1]

Faktanya di banyak kelompok pergerakan Islam, semua kadernya dituntut harus keluar rumah hampir setiap harinya “atas nama dakwah”, bahkan tidak tersisa hari liburnya kecuali digunakan untuk kepentingan “dakwah”.

Miris rasanya ketika melihat para akhawat kita yang sudah terpolakan oleh tuntutan zaman atau keluarga untuk studi atau bekerja mencari penghasilan, kemudian mereka harus “dipaksa” lagi untuk menghabiskan waktu dan tenaganya mengurus “bentuk dakwah” yang Allah tidak pernah wajibkan atas mereka, bahkan tidak juga dianjurkan.

Fakta yang sangat nyata dalam pergerakan para akhawat aktivis, ketika salah seorang dari mereka mendapatkan hidayah untuk mengenal agama Allah, mereka justru didoktrin habis-habisan untuk menjadi aktivis dakwah diluar rumah, dan tidak dididik dan dibina untuk menjadi muslimah yang hebat di rumahnya.

Katakanlah seandainya memang para akhawat itu masih diberikan nasehat untuk menjadi muslimah yang baik dalam dirinya, hijabnya dan urusan rumahnya, tapi sangat aneh ketika nasehat itu disampaikan kemudian akhawat tersebut diberikan seabrek beban kegiatan dan aktivitas lembaga –sekali lagi mengatasnamakan Allah, Islam dan dakwah- sehingga waktunya habis hanya untuk mengurus lembaga, mengurus orang lain agar mendapatkan hidayah, dan yang menjadi korban adalah jatidirinya, rumahnya dan keluarganya. Lâ haula wa lâ quwwata illâ bi_llâh.

Sebagian aktivis dakwah berdalih untuk pembenaran aktivitas luar rumahnya dalam dakwah, bahwa para shahabiyat juga ikut berperang dan Rasulullah ﷺ tidak menegur mereka dengan perbuatan tersebut.(?!)

Pertanyaannya : siapa shahabiyah yang ikut berperang itu?

Dalam sirah nabawiyyah tidak dikenal wanita yang terlibat langsung dalam peperangan kecuali kisah Nusaibah bintu Ka’ab.

Riwayat kisah tersebut tidak sah[2]. Riwayat-riwayat shahih hanya menyebutkan tentang beberapa muslimah yang bertugas membantu mengobati dan memberi minum prajurit yang terluka.[3]

Andai para aktivis itu mau berdalih dengan kisah-kisah seperti ini, mestinya lebih layak mereka menyuruh para muslimah untuk menjadi dokter dan perawat. Tapi anehnya, mereka jadikan kisah itu untuk mengeluarkan para muslimah dari rumahnya demi “dakwah”.

Kalau pun diasumsikan riwayat tentang shahabiyah yang berperang itu shahih, maka itu terjadi karena sebuah kondisi yang darurat dan terjadi sebelum turunnya ayat perintah untuk berhijab. Rasulullah ﷺ tidak pernah mengikut sertakan wanita dalam peperangan, untuk membantu orang-orang terluka sekalipun, kecuali dalam perang Uhud. Pertimbangannya, wallahu a’lam, karena jaraknya yang dekat dari Madinah. Dan perlu diketahui, dalam perang Ahzab yang terjadi di kota Madinah beliau tidak mengikutsertakan satu orang pun dari kaum wanita dalam perang tersebut.

Allah telah menggugurkan kewajiban jihad dari kaum wanita. Karena Nabi ﷺ tidak pernah memberikan bendera perang kepada seorang wanita dan tidak pula para khalifah sesudahnya. Beliau bahkan tidak memberi sekedar anjuran bagi wanita untuk berperang dan tidak pula untuk kepentingan perang. Bahkan, memanfaatkan wanita dalam perang dan memperbanyak jumlah tentara dengan kaum wanita adalah tanda kelemahan umat dan rusaknya pemikiran mereka! (Hirâsah al-Fadhîlah, Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid rahimahullahu, hal. 77)

Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Wahai Rasulullah, kaum laki-laki berperang sementara kami tidak berperang. Dan kami hanya mendapatkan setengah warisan?!” Maka Allah menurunkan,

وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللهُ بِهِ بَعْضَكُم عَلىَ بَعْضٍ

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.” (QS. An-Nisa’ ayat 32)


Belajarlah dari Aisyah radhiyallaha ‘anha

Sebagaimana diketahui, Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah satu-satunya ummahatul mukminin, bahkan satu-satunya wanita, yang terlibat dalam fitnah perang di masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Keikutsertaan Aisyah tersebut dengan bujukan dari keponakannya, Abdullah bin Zubair dan orang-orang yang bersamanya. Dibayangkan kepadanya bahwa kepergiannya ke Basrah (Irak) itu adalah kemaslahatan bagi kaum muslimin, untuk mendamaikan perselisihan kaum muslimin dalam persoalan darah Khalifah Utsman. Aisyah turut serta dalam peristiwa itu untuk sebuah alasan yang baik dan terpuji, namun peristiwa itu akhirnya menjadi penyesalan terbesarnya dalam sisa hidupnya. Setiap kali ia membaca firman Allah,

وَقَرْنَ فيِ بُيُوتِكُنَّ

Dan berdiamlah kamu di rumahmu.” (QS. Al-Ahzab ayat 33), ia menangis hingga jilbabnya basah.

Apakah para wanita yang keluar atas nama dakwah itu lebih baik dari Aisyah? Apakah maslahat yang mereka tuntut sama seperti yang diharapkan dari keluarnya Aisyah? Aisyah keluar untuk mencegah pertumpahan darah kaum muslimin yang mereka itu adalah anak-anaknya dalam statusnya sebagai “ummul mukminin”, sementara para aktivis itu, untuk sebuah keadaan darurat seperti apa sehingga mereka halalkan wanita dikeluarkan dari rumahnya sementara Allah telah menyuruhnya untuk diam di rumah?!

Aisyah tidak pernah terlibat dalam perang. Ia hanya berharap bisa membantu mendamaikan antar kaum muslimin dan ia mengira bahwa keluarnya dia dari rumahnya adalah sebuah maslahat untuk tujuan tersebut. Tapi ia akhirnya menyadari kekeliruannya dan berharap andai saja hal itu tidak pernah terjadi. Semoga Allah merahmati Ummul Mukminin Aisyah.

Mendidik Wanita adalah Kewajiban Laki-laki

Allah telah mewajibkan kaum laki-laki untuk membina, mendidik dan mengajarkan kaum wanita dalam firmanNya,

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوا أنْفُسَكُم وَأَهْلِيْكُم نَارًا

Hai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim ayat 6).

Dan disebutkan dalam kitab ash-Shahîhain dari Abu Sa’id ia berkata : Para wanita berkata, “Wahai Rasulullah, kaum laki-laki telah mengalahkan kami terhadap dirimu. Jadikan untuk kami satu hari dari dirimu.” Maka beliau menjanjikan mereka satu hari dimana beliau menjumpai mereka dan beliau menasehati mereka dan menjelaskan perintah (agama).

Di zaman ini, para wanita yang “terpelajar” itu justru begitu mendominasi dalam semua urusan menuntut ilmu dan dakwah. Namun, disadari atau tidak, “kehebatan” banyak aktivis “dakwah” wanita itulah yang justru semakin melemahkan kaum laki-laki. Di banyak pergerakan, kaum wanitalah yang justru lebih dominan, dan terkesan para lelaki itu bergantung kepada wanita dalam banyak urusan kelompok mereka, terkhusus berkait dengan jumlah pengikut. Hingga terkesan bahwa sebagian laki-laki itu menganggap urusan ilmu dan pemahaman agama istrinya bukan lagi menjadi tanggungjawabnya, dan ia cenderung hanya sibuk saja dengan urusan pekerjaannya dan sangat lemah dalam kualitas ilmu dan ibadahnya. Sekali lagi karena bergantung kepada aktivitas dakwah wanita di luar rumah!

Shalat berjamaah di masjid adalah salah satu bentuk pendekatan diri yang sangat agung kepada Allah Ta’ala. Namun toh demikian, shalatnya seorang wanita di rumahnya jauh lebih utama daripada shalatnya di masjid bersama jamaah, walaupun masjid itu adalah masjid Nabawi. Keutamaan itu berkait dengan pentingnya seorang wanita berdiam di rumahnya. Jika demikian keadaan wanita dengan shalat di masjid, maka bagaimana lagi hanya urusan dakwah yang fardhu kifayah, yang tidak mungkin kewajiban dakwah itu bagi seorang wanita bisa menandingi wajibnya melayani suami dan berkhidmat untuk rumah tangganya.

Karenanya kita katakan, keluarnya seorang wanita dari rumahnya untuk dakwah tidak lepas dari dua keadaan,

Pertama; hal itu menjadi sunnah dan dianggap sebagai sebuah syari’at bagi kaum muslimin. Maka tidak diragukan bahwa yang seperti ini adalah bid’ah yang tercela.

Kedua; hal itu terjadi untuk sebuah urusan yang bersifat kebetulan dan tidak sering dilakukan hingga menyita begitu banyak waktu dan tenaga, dan lebih dekat kepada sebuah kondisi yang sangat penting/darurat untuk menolak mafsadah/keburukan yang besar. Yang seperti ini tidak mengapa dilakukan, bahkan terkadang menjadi sebuah hal yang wajib.

Dari sini bisa dipahami perbedaan antara status dakwah (dakwah dalam makna yang sebenarnya, bukan kepentingan lembaga dakwah itu) yang dianggap sebagai sebuah sunnah/syari’at dan statusnya untuk menolak mafsadah.

Semoga Allah menjaga para muslimah dari kepentingan tersembunyi yang ingin mengeksploitasi diri dan agama mereka atas nama dakwah.

Wallahul musta’an.

———————

Footnotes :

[1] Diantarannya adalah perkataan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu, “Hukum asalnya adalah berdiam di rumah. Itulah hukum asalnya. Dan itulah yang paling selamat dan lebih utama dengan dalil firman Allah ‘azza wa jalla. Karena (diamnya di rumahnya) itu menjauhkannya dari fitnah. Akan tetapi, keluarnya dia untuk sebuah hajat dan keluarnya dia untuk berdakwah kepada Allah, belajar, silaturrahim, menjenguk orang sakit atau memberi takziyah kepada orang yang ditimpa musibah, semua ini tidak mengapa dan disyari’atkan. Yang dbenci adalah keluarnya dia tanpa ada hajat penting…” (Fatâ Nûr ‘alâ ad-Darb, no. 128).

Dakwah yang beliau maksud adalah dakwah yang murni dakwah. Bukan aktivitas organisasi yang kemudian disebut sebagai “dakwah” yang menguras seluruh waktu, tenaga dan pikiran seorang wanita yang lemah hingga mengabaikan kewajibannya dalam rumah.

Beliau menyebut bolehnya keluar itu untuk sebuah hajat atau darurat. Dan sifat darurat ditetapkan dengan kadarnya, bukan justru dimudah-mudahkan hingga semua urusan dianggap sebagai hajat dan darurat.

[2] Disebutkan dalam Sirah Ibn Hisyam (III/32) dengan sanad munqathi’ (terputus) dan dalam Maghazi al-Waqidi (I/268), sementara al-Waqidi dha’îf jiddan (sangat lemah). Silahkan rujuk ke as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah, II/390.

[3] Fathul Bâry (VI/78, VII/366), Syarh an-Nawawî ‘alâ Shahîh Muslim (XII/189). Para ulama menjelaskan bahwa riwayat-riwayat tersebut menunjukkan bolehnya memanfaatkan jasa para wanita dalam kondisi darurat untuk mengobati dan merawat prajurit yang terluka jika keadaan aman dari fitnah mereka dengan tetap menjaga hijabnya. Dan mereka boleh mempertahankan diri dengan berperang jika musuh datang mengganggu mereka.

27 Oktober 2015

Hadits Mursal

Menurut istilah, hadits al-mursal (المُرسل) adalah hadits yang gugur pada akhir sanadnya perawi yang setelah Tabi’iy.[1]

Perawi yang setelah tabi’iy adalah shahabiy[2]. Akhir dari sebuah sanad adalah penghujungnya yang padanya terdapat nama shahabat.

Contoh

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dalam Kitâb al Buyû’, ia berkata,

حدثني محمد بن رافع، ثنا حُجين، ثنا الليث، عن عُقيل، عن ابن شهاب، عن سعيد بن المسيب، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن بيع المزابنة

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hujain, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami al-Laits, dari ‘Uqail, dari Ibnu Syihab, dari Sa’id bin al-Musayyib, bahwa Rasulullah melarang jual beli muzâbanah.[3]

Sa’id bin al-Musayyib adalah seorang Tabi’in senior. Ia telah meriwayatkan hadits ini dari Nabi tanpa menyebutkan perantara antara dirinya dengan Nabi . Ia telah menghilangkan perawi yang berada di akhir sanad, yaitu perawi yang setelah tabi’i. Minimal, as-saqth (yang gugur) dalam sanad tersebut adalah seorang shahabat, dan kemungkinan juga terdapat yang lainnya, yaitu tabi’i yang seperti Ibnul Musayyib.



Hukum Hadits Mursal

Pada asalnya, hadits mursal adalah hadits lemah yang tertolak, karena hilangnya salah satu syarat diterimanya sebuah hadits yaitu ittishâl as-sanad (sanad yang bersambung), dan juga karena ketidakjelasan (jahâlah) keadaan perawi yang gugur dari sanad, karena bisa jadi perawi tersebut adalah bukan seorang shahabat.

Akan tetapi, para ulama dari kalangan ahli hadits dan yang selain mereka berselisih tentang hukum mursal. Jenis inqithâ’ (terputusnya sanad) ini berbeda dengan yang lainnya yang terjadi dalam sanad. Karena yang hilang/gugur dari sanadnya umumnya adalah seorang shahabat, dan seluruh shahabat adalah orang-orang yang terpercaya, dan tidak disebutkannya nama mereka dalam sanad sama sekali tidak menjadi celaan bagi ‘adâlah mereka.

Perselisihan para ulama tentang hukum hadits mursal bisa disimpulkan dalam tiga pendapat berikut,

1. Dha’if dan tertolak, menurut pendapat mayoritas para ahli hadits, ulama ushul dan ahli fiqh. Alasan mereka adalah dikarenakan jahâlah pada diri perawi yang tidak dsebutkan dalam sanad, dan juga kemungkinan bahwa ia bukanlah seorang shahabat.

2. Shahih dan bisa dijadikan hujjah, menurut pendapat sebagian ulama, termasuk para imam; Abu Hanifah, Malik dan Ahmad. Tetapi dengan syarat, mursil (orang yang melakukan irsâl) adalah seorang yang tsiqah (sangat terpercaya), dan dia tidak meriwayatakan hadits mursal tersebut kecuali dari orang yang tsiqah. Alasan mereka bahwa seorang tabi’in tsiqah tidak mungkin mengatakan : “Bersabda Rasulullah ” kecuali jika dia mendengarnya dari seorang yang tsiqah.

3. Diterima dengan beberapa syarat. Ini adalah pendapat Imam asy-Syafi’i dan beberapa ulama.

Syarat-syarat tersebut ada empat; tiga pada diri perawi yang meriwayatkan mursal tersebut dan satu pada haditsnya yang mursal. Yaitu,

a. Yang meriwayatkan hadits mursal tersebut adalah dari kalangan kibâr at-tâbi’în (tabi’in senior)

b. Jika dia menyebutkan perawi yang dia riwayatkan mursal itu darinya, maka dia akan menyebutkan nama seorang yang tsiqah. Jika dia ditanya tentang perawi yang dia gugurkan dalam sanad, maka dia akan menyebutkan nama seorang yang tsiqah.

c. Jika para perawi yang huffadz dan terpercaya ikut meriwayatkan hadits bersamanya, maka mereka tidak menyelisihinya dalam riwayat tersebut. Dalam makna, bahwa perawi itu adalah seorang yang dhabth-nya sempurna.

d. Ditambahkan pada ketiga syarat tersebut hal-hal berikut ini :

- Haditsnya diriwayatkan dari jalan periwayatan yang lain secara musnad (bersambung)

- Atau, haditsnya diriwayatkan dari jalan periwayatan yang lain secara mursal, yang dia mengambilnya dari para perawi yang lain, yang bukan perawi-perawi orang yang meriwayatkan mursal pertama

- Atau, haditsnya selaras dengan perkataan/pendapat seorang shahabat

- Atau, banyak dari para ulama yang telah berfatwa dengan konsekuensi hadits tersebut

Mursal Shahâbiy (المرسل الصحابيّ)

Mursal shahâbiy adalah hadits yang diriwayatkan seorang shahabat dari perkataan Nabi atau perbuatan beliau, namun shahabat itu tidak pernah mendengarkannya secara langsung atau menyaksikannya. Entah karena usianya yang masih kecil, atau keterlambatan keislamannya, atau ketidakhadirannya pada kejadian tertentu. Yang seperti ini sangat banyak dari para shahabat kecil (shighâr ash shahâbah) semisal Ibnu Abbas, Ibnu az-Zubair dan lain-lain.

Hukum Mursal Shahâbiy

Pendapat yang paling shahih dan masyhur yang dipegang oleh jumhur ulama bahwa hadits mursal yang diriwayatkan seorang shahabat adalah hadits shahih dan bisa dijadikan hujjah (dalil). Karena, riwayat seorang shahabat dari seorang tabi’in sangatlah jarang, dan andai pun seorang shahabat meriwayatkannya dari seorang tabi’in, dia pasti akan menjelaskannya. Jika shahabat itu tidak menjelaskannya dan berkata : “Bersabda Rasulullah …”, maka hukum asalnya ia mendengarkannya dari shahabat lainnya. Dan dihapuskannya nama shahabat dari sebuah sanad tidaklah berpengaruh pada keshahihan suatu riwayat.
 
Wallahu a’lam.

———————–

Footnotes :

[1] Tabi’iy (التابعيّ) adalah orang yang berjumpa dengan shahabat Nabi  dalam keadaan muslim dan wafat diatas Islamnya. Bentuk jama’nya adalah tâbi’ûn/tâbi’în (التابعون)

[2] Shahabiy (الصحابيّ) adalah orang yang berjumpa dengan Nabi dalam keadaan muslim dan wafat diatas Islamnya, walaupun sempat diselingi oleh kemurtadan. Bentuk jama’nya adalah shahâbah (الصحابة)

[3] Muzabanah adalah jual beli sesuatu tanpa memiliki kejelasan tentang kadar takaran atau timbangannya, hanya dengan perkiraan dan persangkaan

(Sumber : Taysîr Mushthalah al Hadîts, ath-Thahhan)

24 Oktober 2015

Ujian yang Menimpa Rasul ﷺ dalam Fase Dakwah Jahriyah

Dimulainya fase dakwah secara terang-terangan telah menyebabkan kemarahan besar dari pihak Quraisy. Keyakinan batil mereka yang telah diwariskan secara turun temurun, sangat dipahami telah memberi faedah besar bagi Quraisy dalam mewujudkan kepentingan sosial dan ekonomi mereka. Kepemimpinan Quraisy terhadap Makkah dan Ka’bah yang dikelilingi oleh 360 berhala telah memberikan keuntungan besar bagi para pembesar-pembesar Quraisy melalui perdagangan dalam kedudukan Makkah sebagai jalur transit antara Syam dan Yaman, dan juga penghormatan bangsa Arab terhadap Quraisy. Karenanya, Quraisy melakukan segala cara yang mungkin untuk menghalangi berkembangnya dakwah Islam di kalangan bangsa Arab.

Penindasan Quraisy terhadap Rasulullah dan para shahabatnya dilakukan dengan berbagai macam cara, dari cacian secara terang-terangan sampai siksaan secara fisik.

Abdullah bin Mas’ud menceritakan : Ketika Rasulullah sedang berdiri shalat di sisi Ka’bah, dan sekelompok orang Quraisy sedang berada di majelis mereka, seseorang diantara mereka berkata : “Tidakkah kalian melihat kepada orang yang suka pamer itu? Siapa yang akan pergi kepada ternak keluarga fulan, mengambil kotoran, darah dan isi perutnya, dia datangkan, dan menunggu sampai orang itu sujud dan dia letakkan diantara kedua pundaknya?” Maka berdirilah orang yang paling celaka diantara mereka, dan ketika Rasulullah  bersujud, ia letakkan kotoran itu diantara pundak beliau. Nabi  diam tetap bersujud, dan mereka tertawa sampai-sampai sebagiannya miring kepada sebagian lainnya karena tertawa. Seseorang kemudian pergi kepada Fathimah, saat itu Fathimah masih gadis kecil, dan ia datang dengan bersegera. Nabi tetap dalam sujudnya sampai Fathimah menyingkirkan kotoran itu, dan kemudian Fathimah mendatangi mereka dan mencaci mereka. Ketika Rasulullah  menyelesaikan shalatnya, beliau berdoa : “Ya Allah, balaslah Quraisy.. Ya Allah, balaslah Quraisy.. Ya Allah, balaslah Quraisy!!

Kemudian beliau menyebut : “Ya Allah, balaslah ‘Amr bin Hisyam, Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, al-Walid bin Utbah, Umayyah bin Khalaf, Uqbah bin Abi Mu’ith dan Umarah bin al-Walid!

Berkata Abdullah bin Mas’ud : Demi Allah! Aku telah melihat mereka tewas pada hari perang Badar, kemudian diseret ke sumur, yaitu sumur Badar, kemudian Rasulullah bersabda : “Dan kutukan mengikut penghuni sumur.”[1]

Urwah bin az-Zubair pernah bertanya kepada Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash : Ceritakan padaku hal terburuk yang pernah dilakukan orang-orang musyrik terhadap Rasulullah .

Abdullah berkata : Ketika Rasulullah  sedang shalat di pelataran Ka’bah, tiba-tiba datanglah Uqbah bin Abi Mu’ith. Ia memegang pundak Rasulullah dan melingkarkan kainnya di lehernya dan mencekiknya dengan kuat. Datanglah Abu Bakr memegang pundak Uqbah dan mendorongnya dari Rasulullah  sambil berkata,

أتَقْتُلُونَ رَجُلاً أن يَقولَ رَبّيَ الله وقدْ جَاءَكمْ بالبَيّنَاتِ مِن رَبِّكُمْ

Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan : Rabbku adalah Allah? Padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Rabbmu.” (QS. Ghafir ayat 28).[2]

Cacian dan ejekan terhadap Rasullah dan dakwahnya juga menjadi salah satu cara yang ditempuh orang-orang musyrik dalam perang kata-kata untuk memalingkan manusia dari dakwah Islam.

Abu Jahl pernah berkata dengan mengejek : “Ya Allah, jika ini adalah kebenaran dari sisiMu, maka turunkanlah kepada kami hujan batu dari langit atau datangkan kepada kami azab yang pedih!” Maka turunlah ayat,

وَمَا كانَ الله ليُعَذِبَهُم وَأنْتَ فِيْهِمْ وَمَا كانَ اللهُ مُعَذّبَهُم وَهُمْ يَسْتغْفِرُونَ، وَمَا لَهُم ألا يُعَذِبَهمُ الله وَهُم يَصُدّونَ عَن المَسْجدِ الحَرَامِ

Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka sedang kamu berada diantara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun. Kenapa Allah tidak mengazab mereka padahal mereka menghalangi orang untuk (mendatangi) Masjidil Haram…” (QS. Al-Anfal ayat 33-34).[3]

Siksaan dan penindasan terhadap Rasulullah sampai pada usaha mereka untuk membunuhnya di akhir fase dakwah makkiyah yang merupakan sebab utama terjadinya hijrah ke Madinah.

Berkata Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma : Sekelompok Quraisy berkumpul di al-Hijr (Hijr Isma’il di Ka’bah), dan mereka bersumpah atas nama al-Lat, al-‘Uzza dan Manat yang ketiga yang “Jika kita melihat Muhammad, kita akan menyerangnya dengan sekali serang, dan kita tidak akan melepaskannya sampai membunuhnya!”
 
Fathimah datang dengan menangis dan masuk kepada ayahnya. Ia berkata : “Mereka itu dari kaummu di al-Hijr telah bersumpah jika mereka melihatmu, mereka akan menyerang dan membunuhmu. Tidak ada seorang pun dari mereka melainkan dia sudah mengetahui bagiannya dari darahmu.”

Beliau berkata : “Wahai putriku, dekatkan untuk ayah air wudhu itu!

Beliau berwudhu kemudian mendatangi mereka di Masjid (al-Haram). Ketika melihatnya, mereka berkata : “Itu dia!”, dan mereka menundukkan pandangan mereka. Mereka diam di tempat-tempat duduk mereka dan sama sekali tidak mengangkat pandangan mereka. Tidak seorang pun dari mereka yang berdiri.

Rasulullah datang sampai beliau berdiri diatas kepala-kepala mereka. Beliau mengambil segenggam tanah dan menaburkannya sambil berkata : “Wajah-wajah yang buruk!

Berkata Ibnu Abbas : Tidaklah debu menimpa salah seorang dari mereka melainkan orang itu terbunuh di hari perang Badar dalam keadaan kafir.[4] Peristiwa seperti ini -yaitu beliau menaburkan pasir ke wajah-wajah orang-orang kafir- kembali berulang di malam hijrah.


Jika saja demikian kelancangan Quraisy terhadap Rasulullah  yang sangat dihormati dan memiliki kedudukan di kaumnya, maka bagaimana lagi dengan keadaan para Shahabat yang mulia? Terutama orang-orang lemah diantara mereka.

Kami akan sebutkan –insyaallah- sebagian dari kisah mereka sebagai “hiburan” bagi para da’i yang mengajak kepada Allah di zaman yang penuh dengan ujian kemewahan hidup, yang barangkali saja mampu sedikit mengokohkan kaki-kaki mereka diatas jalan ini, dan memberikan mereka sedikit kekuatan. Wallahul musta’an.

—————————

Footnotes :
[1] HR. Al-Bukhary dan Muslim
[2]
HR. Al-Bukhary
[3]
HR. Al-Bukhary dan Muslim
[4]
HR. Ahmad dengan dua sanad yang shahih sebagaimana disebutkan Ahmad Syakir

20 Oktober 2015

Mengagungkan Tokoh Wali & Orang Shalih dengan Gambar

Sebagaimana yang telah diketahui bahwa permulaan terjadinya syirik di muka bumi ini disebabkan oleh sikap ghuluww (berlebihan) terhadap orang-orang shalih dengan menvisualisasikan mereka dalam bentuk patung dan gambar sebagaimana yang terjadi pada kaum Nuh 'alaihissalam.

Karena besarnya bahaya patung dan gambar serta besarnya dosa orang yang membuatnya, maka dalil-dalil shahih sangat keras mengecam orang-orang yang membuat gambar atau patung makhluk bernyawa yang menunjukkan haramnya perkara tersebut dengan segala bentuknya.[1]

Diantara dalilnya adalah sabda Nabi ,

إن أشد الناس عذابًا يوم القيامة المصورون

Sesungguhnya orang yang paling keras siksanya pada Hari Kiamat adalah orang-orang membuat gambar/patung.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa seorang laki-laki mendatanginya dan berkata, “Aku orang yang suka menggambar gambar-gambar ini, berilah fatwa tentang ini.” Ibnu Abbas berkata padanya, “Saya mendengar Rasulullah bersabda,

كل مصور فى النار يجعل بكل صورة صورها نفسًا فتعذبه فى جهنم

Setiap orang yang menggambar berada di Neraka. Dijadikan untuknya nyawa pada setiap gambar yang digambarnya, yang akan menyiksanya di Jahannam.’

Jika engkau mesti melakukannya, gambarlah pepohonan dan apa yang tidak memiliki nyawa.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Diriwayatkan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata kepada Abu al-Hayyaj al-Asadi, “Tidakkah aku mengutusmu dengan apa yang dahulu aku diutus oleh Rasulullah ? Jangan engkau biarkan sebuah gambar/patung melainkan engkau hancurkan, dan (jangan biarkan) sebuah kubur yang tinggi melainkan engkau ratakan.” (HR. Muslim).
 
Karenanya, selayaknya seorang muslim tidak meremehkan persoalan gambar dengan segala jenisnya, baik itu yang berbentuk tubuh seperti patung atau yang semacamnya yang memiliki bayangan atau apa yang ada pada dinding, pahatan kayu dan lain-lain. Dan lebih besar lagi dosa berkait patung atau gambar tersebut jika dia adalah patung atau gambar seorang tokoh agama yang dihormati dan diagungkan yang memiliki kedudukan di hati-hati manusia.[2]

(Disadur dari Tahdzîb Tashîl al Aqîdah al Islâmiyyah)

——————

Footnotes :

[1] Ulama di masa sekarang berbeda pendapat tentang hukum fotografi, yaitu pengambilan gambar dengan menggunakan kamera. Sebagian tetap mengharamkan kecuali apa yang dalam status darurat karena sangat dibutuhkan, sementara sebagian lainnya memandang bahwa fotografi tidak termasuk dalam jenis gambar yang diharamkan.

Demikian pula sebagian ulama berpendapat bahwa gambar film video tidaklah masuk kategori gambar yang diharamkan. Sementara sebagian lainnya tetap dengan memandang keharamannya dengan keumuman dalil pelarangan, dan sebagian mengecualikan apa yang padanya ada maslahat syar’i.

[2] Imam Ibnul Arabi al-Maliki menukil ijma’ (kesepakatan ulama) tentang haramnya gambar replika. (‘Âridhah al-Ahwadzi, VII/253, Kitab al-Libâs).

Sebagian ulama mengecualikan darinya permainan anak-anak jika gambarnya berbentuk umum, tidak digambarkan secara mendetail.

Yang menjadi patokan dalam pengharaman gambar/patung adalah kepala/wajah, dengan dalil hadits,

الصورة الرأس

Gambar (yang diharamkan) adalah kepala (wajah).” (Diriwayatkan oleh al-Isma’iliy dalam Mu’jamnya, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah)

15 Oktober 2015

Puasa di Bulan Muharram dan Hari Asyura'

Bulan Muharram adalah salah satu dari bulan-bulan Haram yang Allah maksudkan dalam firmanNya,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلاَ تَظْلِمُوا فِيْهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan Haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (QS. At-Taubah : 36).

Dan Nabi bersabda,

السنة اثنا عشر شهراً منها أربعة حرم ، ثلاث متواليات : ذو القعدة ، وذو الحجة ، والمحرم ، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان

"Satu tahun terdiri dari dua belas bulan, diantaranya empat bulan Haram; tiga berurutan (yaitu) Dzulqi'dah, Dzulhijjah dan Muharram, serta Rajab Mudhar yang diantara bulan Jumada dan Sya'ban." (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Bulan-bulan Haram adalah bulan-bulan yang dihormati dan diagungkan dalam Syari'at dan diharamkan berperang di bulan-bulan tersebut kecuali untuk menolak serangan.

Berkait dengan bulan Muharram, disyari'atkan memperbanyak puasa di bulan tersebut, dengan dalil sabda Nabi ,
أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم

"Seutama-utama puasa setelah Ramadhan adalah bulan Allah, al-Muharram." (HR. Muslim).

Dan di bulan Muharram terdapat hari Asyura', yaitu hari kesepuluhnya, yang disunnahkan dan sangat ditekankan untuk berpuasa padanya.

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma ia berkata, "Saya tidak melihat Nabi sangat peduli dengan puasa pada hari tertentu yang ia utamakan dari yang selainnya kecuali di hari ini, yaitu hari Asyura', dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan." (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Berpuasa pada hari Asyura' memiliki keutamaan yang sangat besar. Nabi bersabda,

صيام يوم عاشوراء أحتسب على الله أن يُكفّر السنة التي قبله

"Puasa pada hari Asyura', aku mengharapkan pada Allah agar Dia berkenan menghapuskan dosa setahun yang sebelumnya." (HR. Muslim).

Dan hukum puasanya adalah sunnah mu'akkadah dan tidak diwajibkan. Nabi bersabda ,

إن عاشوراء يوم من أيام الله ، فمن شاء صامه ومن شاء تركه

"Sesungguhnya Asyura' adalah satu hari dari hari-hari Allah. Siapa yang ingin maka hendaknya dia berpuasa padanya, dan siapa yang ingin dia boleh meninggalkannya." (HR. Muslim).

Dan disebutkan dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata, "Asyura' adalah satu hari yang orang-orang Quraisy berpuasa padanya di masa Jahiliyyah. Dahulu Nabi berpuasa padanya. Ketika beliau datang ke Madinah, beliau berpuasa Asyura' dan menyuruh (kaum muslimin) berpuasa. Ketika turun (kewajiban) puasa Ramadhan, maka siapa yang ingin ia berpuasa Asyura', dan siapa yang ingin ia boleh tidak melaksanakannya." (HR. Al-Bukhary).

Dan bersama dengan puasa Asyura' tersebut, disunnahkan pula berpuasa sehari sebelumnya, di hari kesembilan, dengan dalil hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata,

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللّهِ: إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَىٰ. فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم : فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، إِنْ شَاءَ اللّهُ، صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ . قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّىٰ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللّه صلى الله عليه وسلم

Ketika Rasulullah berpuasa pada hari Asyura' dan menyuruh berpuasa (padanya), mereka berkata, "Wahai Rasulullah, hari itu adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani." Maka Rasulullah bersabda, "Jika datang tahun depan, kita akan berpuasa pada hari kesembilan." Berkata Ibnu Abbas : Dan belum tiba tahun berikutnya hingga Rasulullah wafat. (HR. Muslim).

Hukum puasa pada hari kesembilan itu juga sunnah. Jika seseorang luput darinya puasa hari kesembilan, dan ia hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja, hal itu tidak mengapa dan bukan perkara yang makruh (dibenci) dalam agama Allah.



Sebagian ulama menyebutkan sunnahnya untuk berpuasa pada sehari sebelum dan sehari sesudah hari Asyura' (yaitu tanggal 9 dan 11 Muharram), dengan berdalilkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas secara marfu',

صوموا يوم عاشوراء وخالفوا اليهود، وصوموا قبله يوماً و بعده يوماً

"Berpuasalah pada hari Asyura' dan selisihilah orang-orang Yahudi. Berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya." (HR. Ahmad dan Ibnu Khuzaimah).

Hadits ini diperselisihkan keshahihannya oleh para ulama. Syaikh Ahmad Syakir menilainya sebagai hadits hasan. Tapi para pen-tahqiq Musnad Imam Ahmad menganggapnya lemah (dha'if).

Imam Ibnu Khuzaimah juga meriwayatkannya dengan redaksi yang sama, dan Syaikh Al-Albani berkata, "Sanadnya lemah, karena buruknya hafalan Ibnu Abi Laila. Atha' dan yang lainnya menyelisinya dan meriwayatkannya dari Ibnu Abbas dengan jalan periwayatan yang mauquf, dan sanadnya shahih dalam riwayat ath-Thahawi dan al-Baihaqi."

Sangat baik jika kita mencukupkan amalan dengan apa yang telah disepakati keshahihannya, namun jika ada yang ingin mengamalkan puasa pada hari kesembilan dan kesebelas bersama dengan puasa hari Asyura', maka -wallahu a'lam- hadits lemah yang seperti ini termasuk hadits-hadits yang diberikan toleransi oleh para ulama untuk mengamalkannya, karena kelemahannya relatif ringan dan masuk dalam keutamaan amal (fadha-il al a'mal).

Tidak mengapa orang yang berpuasa pada hari kesebelas meniatkannya sebagai puasa mutlak pada bulan Muharram karena Rasulullah
telah menganjurkan berpuasa pada bulan Muharram, atau mengamalkannya untuk kehati-hatian sebagaimana yang disebutkan sebagian ulama. Terlebih di zaman sekarang banyak dari kita yang tidak mengetahui hasil ru'yah hilal Muharram kecuali melalui hitungan kalender. Imam Ahmad rahimahullahu berkata, "Siapa yang ingin berpuasa Asyura' maka berpuasalah pada hari kesembilan dan kesepuluh. Kecuali jika bulan itu bermasalah (buatnya), maka dia berpuasa tiga hari. Ibnu Sirin menyebutkan hal tersebut." (Al-Mughni, IV/441).

Wallahu a'lam.

12 Oktober 2015

Firqah Al-Mu'tazilah

Sebelum munculnya Mu’tazilah sebagai sebuah firqah (sekte) pemikiran di tangan Washil bin Atha’, telah terjadi perdebatan yang merupakan bibit awal pemikiran Mu’tazilah. Perdebatan tersebut beredar pada persoalan-persoalan berikut,
  1. Perkataan bahwa manusia sepenuhnya bebas dan dialah yang menciptakan perbuatannya sendiri. Pendapat ini dimunculkan oleh Ma’bad al-Juhani yang ikut dalam pemberontakan Abdurrahman bin al-Asy’ats terhadap pemerintahan Abdul Malik bin Marwan. Ma’bad dibunuh oleh al-Hajjaj pada tahun 80 H setelah gagalnya pemberontakan tersebut. Pendapat ini pula yang disebutkan oleh Ghailan ad-Dimasyqi pada masa Umar bin Abdil Aziz, dan ia dibunuh oleh Hisyam bin Abdil Malik.
  2. Perkataan bahwa al-Quran adalah makhluk dan penolakan terhadap sifat-sifat Allah Ta’ala. Pemikiran ini dibawa oleh al-Jahm bin Shofwan, dan ia dibunuh oleh Salim bin Ahwaz di Merv pada tahun 128 H.
  3. Diantara orang-orang yang mendakwakan penolakannya terhadap sifat-sifat Allah adalah al-Ja’ad bin Dirham yang dibunuh oleh Khalid bin Abdillah al-Qusari, gubernur Bani Umayyah di Kufah.
Setelah itu, muncullah Mu’tazilah sebagai sebuah sekte pemikiran melalui Washil bin ‘Atha al-Ghazzal (80-131 H) yang dahulunya merupakan murid al-Hasan al-Bashri, kemudian ia berpisah dari majelis al-Hasan setelah mengemukakan pendapatnya bahwa pelaku dosa besar berada pada satu diantara dua kedudukan/status (manzilah baina al manzilatain) yaitu bukan mukmin dan bukan pula kafir, dan dia kekal di Neraka jika belum bertaubat sebelum kematiannya. Firqah Mu’tazilah yang dinisbatkan pada Washil bin 'Atha disebut al-Washiliyah.

Karena prinsipnya yang sangat mengagungkan akal dalam memahami persoalan-persoalan aqidah, Mu’tazilah terpecah ke dalam banyak sekte walaupun semuanya sepakat dalam 5 prinsip pokoknya yang akan dijelaskan. Setiap sekte akan datang dengan bid’ah baru yang membuatnya berbeda dari sekte lainnya, dan menisbatkan dirinya dengan tokohnya.

Pada masa pemerintahan Abbasiyah, Mu’tazilah muncul di masa pemerintahan al-Ma’mun, ketika ia menganut paham tersebut melalui Bisyr al-Mirrisi, Tsumamah bin Asyras dan Ahmad bin Abi Du’ad. Nama terakhir ini merupakan seorang tokoh bid’ah mazhab i’tizâl di zamannya, biang dari munculnya fitnah perkataan bahwa al-Quran adalah makhluk dan menjabat hakim agung di masa al-Mu’tashim.

Di masa fitnah tersebut, Imam Ahmad telah menolak perintah al-Ma’mun untuk mengakui bid’ah ini. Ia akhirnya dipenjara, disiksa dan dicambuk pada masa al-Mu’tashim setelah wafatnya al-Ma’mun. Imam Ahmad berdiam di penjara selama dua setengah tahun dan kemudian dikembalikan ke rumahnya. Beliau berstatus sebagai "tahanan rumah" sepanjang pemerintahan al-Mu’tashim dan putranya, al-Watsiq.

Ketika al-Mutawakkil memangku jabatan khilafah (232 H), ia membela Ahlussunnah, memuliakan Imam Ahmad dan menghentikan masa kekuasaan Mu’tazilah dalam pemerintahan dan usaha mereka untuk memaksakan aqidahnya dengan kekuatan selama masa 14 tahun.

Pada masa kerajaan Syiah, Bani Buwaih tahun 334 H di Persia, semakin eratlah hubungan antara Syiah dan Mu’tazilah. Mu’tazilah semakin mendapatkan tempat di bawah naungan kerajaan ini. Ditunjuklah al-Qadhi Abdul Jabbar, tokoh senior Mu’tazilah di masanya sebagai qadhi (hakim) Ray pada tahun 360 H dengan perintah ash-Shahib bin Abbad, perdana menteri Mu’ayyid ad-Daulah al-Buwaihi, dan ia tergolong penganut Rafidhah dan sekaligus penganut paham Mu'tazilah.

Setelah itu, hampir saja pemikiran i’tizâl hilang sebagai sebuah pemikiran tersendiri, selain apa yang diambil dan diyakini oleh sebagian sekte-sekte Syiah dan lainnya dari pemikiran-pemikiran mereka.

Pada masa sekarang, pemikiran i’tizal kembali dihidupkan oleh sebagian penulis dan pemikir yang tergolong dalam neo-Mu’tazilah yang sangat mengagungkan dan memuliakan akal/logika.

Pokok Utama Keyakinan Mu'tazilah

Pada permulaannya, Mu’tazilah datang dengan dua pemikiran bid’ah;

Pertama, perkataan bahwa seorang manusia memiliki pilihan secara mutlak  dalam setiap perbuatannya, dan dialah yang menciptakan perbuatannya itu. Diantara tokoh yang sangat menonjol dalam pemikiran ini pada permulaannya adalah Ghailan ad-Dimasyqi di masa pemerintahan Umar bin Abdil Aziz hingga masa Hisyam bin Abdil Malik. Ia dibunuh oleh Hisyam disebabkan bid’ahnya tersebut.

Kedua, perkataan bahwa pelaku dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, akan tetapi fasik. Dia berada diantara dua kedudukan (manzilah baina al-manzilatain). Demikianlah keadaannya di dunia. Adapun di Akhirat, maka dia tidak akan pernah masuk Surga karena dia tidak beramal dengan amal ahli Surga, bahkan dia kekal dalam Neraka. Menurut mereka, tidak ada halangan untuk menyebut orang itu “muslim” dari sisi lahirnya dan mengucapkan syahadatain, akan tetapi dia tidak bisa disebut “mukmin”.

Kemudian setelah itu, Mu’tazilah menetapkan dan menyepakati mazhab mereka dalam lima prisip dasar yaitu at-tauhîd, al-‘adl (keadilan), al-wa’d wa al-wa’îd (janji dan ancaman), al-manzilah baina al-manzilatain dan al-amr bil ma’rûf wa an-nahy ‘anil munkar.

1. At-Tauhîd

Ringkasnya menurut pandangan bid’ah mereka; Allah Ta’ala harus disucikan dari penyerupaan dengan makhlukNya, tidak ada seorang pun yang menandingi Dia dalam kekuasaanNya dan tidak berlaku baginya apa yang berlaku bagi para hamba. Ungkapan seperti ini adalah kebenaran, akan tetapi mereka membangun diatasnya keyakinan yang batil, diantaranya bahwa Allah tidak bisa dilihat pada Hari Kiamat karena konsekuensinya adalah menafikan (meniadakan) sifat, dan sifat itu bukanlah sesuatu selain Dzat-Nya, karena –menurut mereka- jika tidak demikian, maka Dzat yang qadim (terdahulu tanpa permulaan) tersebut akan berbilang. Karenanya mereka tergolong kelompok yang mengingkari sifat-sifat Allah Ta’ala. Demikian juga, dengan pemikiran batilnya itu mereka mengambil kesimpulan bahwa al-Quran adalah makhluk ciptaan Allah karena mereka menafikan dariNya sifat al-Kalam (berbicara).

2. Al-‘Adl

Maknanya menurut mereka bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan para hamba, dan Dia juga tidak menyukai kerusakan. Bahkan, para hamba itu melakukan apa yang mereka perintahkan sendiri dan berhenti dari apa yang mereka larang sendiri dengan qudrah (kemampuan) yang Allah jadikan dan adakan dalam diri-diri mereka. Dia tidak memerintahkan kecuali dengan apa yang Dia inginkan dan tidak melarang kecuali dari apa yang Dia benci. Dia adalah pelindung bagi setiap kebaikan yang diperintahkanNya dan berlepas dari setiap keburukan yang dilarangNya. Dia tidak membebankan kepada para hamba kecuali apa yang mereka mampu dan Dia tidak menginginkan dari mereka selain apa yang ada dalam upaya dan kemampuan mereka. Pendapat seperti ini muncul karena rancunya mereka dalam membedakan antara iradah (kehendak) Allah al-kauniyyah dan iradahNya yang syar'i (al-iradah as-syar’iyyah).

3. Al-Wa’d wa Al-Wa’îd

Yang mereka maksudkan dengan prinsip ini bahwa Allah akan memberi balasan kebaikan kepada orang yang melakukan kebaikan dan membalas pelaku keburukan dengan keburukan, dan Dia sekali-kali tidak akan mengampuni bagi pelaku dosa besar kecuali jika dia bertaubat.

4. Al-Manzilah baina Al-Manzilatain

Yaitu keyakinan mereka bahwa pelaku dosa besar berada pada satu kedudukan antara iman dan kekafiran, bukan mukmin dan bukan pula seorang yang kafir. Aqidah ini telah ditetapkan sejak permulaan oleh syaikh Mu’tazilah, Washil bin Atha’.

5. A-Amr bi Al-Ma’rûf wa An-Nahy ‘an Al-Munkar

Mereka telah menetapkan wajibnya perkara ini bagi orang-orang mukmin dalam rangka menyebarkan dakwah Islam, hidayah bagi orang yang sesat dan petunjuk bagi orang yang lalai, setiap orang sesuai dengan kemampuannya; yang memiliki penjelasan dengan penjelasannya, seorang alim dengan ilmunya, yang memiliki senjata dengan senjatanya, dan seterusnya. Akan tetapi, hakikat dari prinsip ini sebenarnya adalah perkataan mereka tentang wajibnya memberontak terhadap penguasa muslim jika dia telah menyelisihi dan menyimpang dari kebenaran!

Diantara prinsip pokok aqidah Mu’tazilah adalah bersandar sepenuhnya kepada akal dalam berargumen terhadap aqidah yang mereka yakini. Dan diantara akibat buruknya dari perkara ini, mereka menghukumi baik buruknya sesuatu dengan akal mereka. Demikian pula mereka menta’wil (menafsirkan) sifat-sifat Allah dengan apa yang mereka anggap cocok dengan akalnya. Dan sudah dimaklumi bahwa Mu’tazilah menafikan seluruh sifat-sifat Allah Ta’ala.
 
Karena pengagungan terhadap akal itu juga sehingga tokoh-tokoh mereka berani mencaci para pembesar Shahabat dan menuduh mereka berdusta. Washil bin Atha’ mendakwakan bahwa salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam perang Jamal adalah fasik. Entah kelompok Ali bin Abi Thalib, Ammar bin Yasir, al-Hasan, al-Husain dan Abu Ayyub, atau kelompok Aisyah, Thalhah dan az-Zubair. Mereka bahkan menolak persaksian para Shahabat yang mulia tersebut dengan mengatakan, “Persaksian mereka tidak diterima!”.

Disebabkan oleh ketergantungan mereka kepada akal dan jauhnya mereka dari dalil-dalil shahih yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah, mereka pun terpecah kedalam banyak firqah (sekte).

Demikianlah Mu’tazilah, mereka telah mengubah agama ini kepada kumpulan persoalan rasio dan argumen-argumen mantiq, disebabkan pengaruh besar yang masuk dalam keyakinan mereka yang berasal dari filsafat Yunani, terkhusus mantiq Arsitoteles.

Wallahu a’lam.

------------------------

Sumber tulisan : Al Mausû’ah al Muyassarah fî al Adyân wa al Madzâhib wa al Ahzâb al Mu’âshirah, WAMY, cet. tahun 1424.

09 Oktober 2015

Ketika Muslimah Keluar Rumah untuk “Dakwah”

Seorang wanita ketika benar ia telah mendapat hidayah dan berubah menjadi salah seorang “akhawat muslimah”, maka yang mesti menjadi obsesinya adalah berdiam di rumahnya, belajar untuk menjadi wanita sejati yang profesional dalam rumahnya (bukan justru lebih hebat di luar) serta melayani dan mengurus suami dan anak-anaknya jika ia sudah menikah sebagai wujud ibadah dan kepatuhannya kepada perintah Allah Ta’ala.

Tapi sebuah fakta yang sangat aneh di zaman ini dari banyak pergerakan Islam, hampir tidak ada perbedaan antara wanita yang awam dengan wanita yang “telah mendapatkan hidayah” itu. Kecuali sedikit saja “perbedaan” dalam pemahaman dan gaya berpakaian saat keluar rumah.

Wanita “yang telah mendapatkan hidayah” itu justru lebih semangat keluar rumah, sangat aktif di luar rumah dan rela menyibukkan diri mengurus orang lain –dan anehnya- dengan anggapan dan keyakinan bahwa itu adalah sebuah “pengorbanan” yang mengatasnamakan Allah, Islam dan dakwah (?!).

Sebagian suami “yang tertipu” bahkan berbangga dengan aktivitas istrinya itu dan mendorong orang lain melakukannya –juga katanya- untuk kebaikan Islam dan dakwah.

Kalau benar mereka taat kepada aturan Allah, maka Allah telah menyuruh wanita untuk berdiam di rumah. Bagaimana bisa kemudian ada “pemikiran” atau “dalih” yang lebih baik dari perintah Allah dan –hebatnya lagi- mengatasnamakan agama Allah.

Berdiam di rumah adalah sebuah ibadah agung bagi seorang wanita, karena Allah telah memerintahkan hal itu dalam Kitab Suci-Nya. Sementara pemikiran sebagian orang, entah dia seorang ustadz atau siapapun, adalah sekedar pemikiran yang tidak bisa dibenturkan dengan dalil.

Allah Ta’ala berfirman,

وقَرْنَ فى بُيُوْتِكُنَّ وَلا تَبَرّجْنَ تَبَرّجَ الجَاهِلِيّةِ الأوْلىَ

Dan berdiamlah kamu di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al-Ahzab ayat 33).

Benar apa yang dikatakan Syaikh Al-Albani rahimahullahu, “Karena kaum lelaki tidak menunaikan kewajibannya, hingga akhirnya medan perjuangan itu kosong, dan kemudian dibayangkan pada sebagian wanita bahwa tidak boleh tidak, kita mesti mengisi kekosongan tersebut”. (Az Zawâj fi al Islâm).

Ya, “kehebatan” banyak aktivis “dakwah” wanita di zaman ini justru semakin melemahkan kaum laki-laki. Di banyak pergerakan, kaum wanitalah yang justru lebih dominan, dan terkesan para lelaki itu bergantung kepada wanita dalam urusan jumlah pengikut dakwah mereka.


Dakwah adalah kewajiban setiap muslim, laki-laki maupun wanita. Tapi secara sengaja mengorganisir atau memobilisasi kaum wanita untuk keluar rumah atas nama dakwah (baca : lembaga/organisasi) adalah bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dan para Salaf radhiyallahu ‘anhum.


Jangan tertipu dengan “manfaat” tersebarnya dakwah dan terselamatkannya banyak wanita dengan dakwah tersebut yang sering mereka dengungkan, karena mendatangkan manfaat tidak dengan cara yang bertentangan dengan aturan Allah Ta’ala dan petunjuk rasul-Nya.

Terimalah kebenaran, walaupun pahit terasa.

Wallahul musta’an.

06 Oktober 2015

Asuransi Kesehatan

Nadwah (simposium) Majma’ al-Fiqh al-Islami di India (Islamic Fiqh Academy India) memutuskan dalam persoalan asuransi kesehatan sebagai berikut,

Syari’at tidak membolehkan perjudian (qimâr) dengan segala bentuknya. Dan asuransi kesehatan yang berkembang pada hari ini masuk dalam kategori perjudian ditinjau dari hasil akhir (sistem tersebut), yaitu mengubah maksud pengobatan dari bentuk pelayanan kepada komersialisasi yang mendatangkan keuntungan. Dengan kenyataan ini maka al-Majma’ menetapkan hal-hal berikut ini,

Pertama; Asuransi kesehatan sama seperti jenis-jenis asuransi lainnya, yang mengandung perkara-perkara yang diharamkan dalam tinjauan syar’i. Tidak boleh memanfaatkannya dalam kondisi normal. Dan tidak ada perbedaan hukum antara lembaga-lembaga asuransi pemerintah atau swasta.

Kedua; Dalam kondisi terpaksa yang diatur oleh undang-undang (negara), asuransi kesehatan itu boleh, akan tetapi wajib bagi orang yang mampu jika mengambil manfaat pengobatan melebihi dana (premi yang dibayarkan) untuk bersedekah sesuai dengan nilai dana tersebut tanpa meniatkan pahala (dari sedekah itu).

Ketiga; Memungkinkan untuk menyediakan alternatif islami bagi asuransi kesehatan. Maka wajib bagi kaum muslimin untuk mendirikan lembaga yang seperti itu, yang bertujuan untuk mengobati dan membantu orang-orang yang membutuhkan.

Ketetapan no. 64 (15/2), tahun 1427 H/2006 M

03 Oktober 2015

Hadits Mu’allaq

Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, hadits mardûd (yang tertolak) secara garis besar disebabkan oleh dua hal; yang pertama adalah perawi yang gugur dalam sanad (as saqth min al isnâd), dan yang kedua adalah celaan pada diri sang perawi (ath tha’n fi ar râwi).

As-saqth min al-isnâd terbagi kepada saqth dzhâhir dan saqth khafiy. Dan diantara bentuk saqth dzhâhir adalah al-mu’allaq.

Hadits al-mu’allaq (المعلق) adalah hadits yang gugur sejak permulaan sanadnya seorang perawi atau lebih secara berurutan.

Permulaan sanad adalah ujung yang terdekatnya dari arah kita, yaitu syaikh (guru) dari penulis buku. Disebut “permulaan sanad” karena kita memulai membaca hadits dengannya.

Diantara bentuk-bentuk hadits mu’allaq adalah;

1. Dihapus seluruh sanad kemudian dikatakan –misalkan- : Bersabda Rasulullah

2. Diantaranya juga adalah dengan menghapus/menggugurkan seluruh sanad kecuali nama shahabat atau shahabat dan tabi’i.

Contoh hadits mu’allaq adalah hadits yang diriwayatkan al-Bukhary dalam permulaan bâb mâ yudzkar fî al fakhidz (bab : Apa yang Disebutkan tentang Paha). Al-Bukhary berkata : "Dan berkata Abu Musa : Nabi menutup kedua lututnya ketika Utsman datang."

Hadits ini disebut mu’allaq karena al-Bukhary menghapus seluruh sanadnya kecuali nama shahabat, yaitu Abu Musa al-Asy’ari.

Hukum Hadits Mu'allaq

Hadits mu’allaq tertolak karena ia kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat diterimanya sebuah hadits, yaitu bersambungnya sanad (ittishâl as sanad), dengan hilangnya/gugurnya penyebutan seorang perawi atau lebih dari sanad sementara kita tidak mengetahui keadaan/status dari perawi tersebut.

Hadits-hadits Mu'allaq dalam Kitab ash-Shahihain

Hukum tertolaknya hadits mu'allaq berlaku untuk hadits-hadits secara mutlak. Namun, jika kasus itu ada pada sebuah kitab yang penulisnya komitmen hanya menuliskan hadits-hadits shahih saja seperti kitab Shahih al-Bukhary atau Shahih Muslim, maka yang seperti ini memiliki hukum tersendiri.

1. Hadits yang disebutkan dengan redaksi "al-jazm" (memastikan) seperti "berkata" ( قاَل ), "menyebutkan" ( ذَكر ), "menceritakan" ( حَكى ), maka yang seperti ini dipastikan keshahihannya dari orang yang mengucapkannya.

2. Jika disebutkan dengan redaksi "at-tamridh" (bentuk pasif) seperti "dikatakan" ( قِيلَ ), "disebutkan" ( ذُكِرَ ), "diceritakan" ( حُكِيَ ), maka ini tidak dihukumi keshahihannya kepada orang yang mengucapkannya. Perkataan itu bisa saja shahih, hasan atau dha'if, namun tidak ada hadits yang sangat lemah karena keberadaannya dalam kitab yang disebut sebagai "ash-shahih". Untuk memastikan keshahihannya adalah dengan mencari sanad dari riwayat tersebut dan menghukuminya dengan kekuatan atau kelemahan sanad itu.

Wallahu a'lam.

(Syaikh Dr. Muhammad ath-Thahhan, Taysir al-Mushthalah)