"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

24 Mei 2015

Al-Muhkam & Mukhtalaf Al-Hadits

1. Definisi Al-Muhkam

Al-Muhkam menurut istilah adalah hadits maqbul yang selamat dari hadits kontradiktif yang sepertinya.

Hadits-hadits pada umumnya berasal dari jenis ini. Adapun yang “kontradiktif” (muta’âridhah mukhtalifah) sangatlah sedikit jika dilihat dari jumlah hadits-hadits yang ada.

2. Definisi Mukhtalaf Al-Hadits

Yaitu hadits maqbul yang kontradiktif dengan hadits yang semisalnya, dengan kemungkinan mengumpulkan/memadukan (jam’) antara kedua hadits tersebut.

Penjelasannya : Mukhtalaf al-Hadits adalah hadits shahih atau hasan yang kemudian datang hadits lain sepertinya yang sama dalam level dan kekuatannya, akan tetapi secara lahir kontradiksi dalam makna. Dan mungkin bagi para pakar hadits mengumpulkan petunjuk dari kedua hadits tersebut dengan metode yang benar dan diterima.

Contoh :

لا عدوى ولا طيرة

Hadits :“Tidak ada penyakit menular dan tidak ada thiyarah…” (HR. Al-Bukhary dan Muslim),[1] dan hadits :

فِرّ من المجذوم فرارك من الأسد

Larilah dari orang yang berpenyakit kusta sebagaimana larimu dari singa.” (HR. Al-Bukhary)

Kedua hadits ini adalah hadits shahih yang secara lahir nampaknya bertentangan. Hadits pertama meniadakan penyakit menular (‘adwâ), dan hadits kedua menetapkan adanya hal tersebut.

Para ulama telah memadukan makna kedua hadits ini dan menjelaskan makna keduanya dengan beberapa metode, diantaranya apa yang disebutkan al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahu berikut ini :

Kita katakan bahwa penyakit menular “tidak ada” dengan dalil lain dari sabdanya,

لا يعدي شيئٌ شيئًا

Sesuatu tidak akan menularkan sesuatu yang lain.” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)

Dan sabda beliau kepada orang yang mengatakan bahwa onta kudisan yang berada dan bercampur dengan onta yang sehat, dan akhirnya menularkan penyakitnya kepada yang sehat;

فمن أعدى الأول؟

Siapakah yang menularkan penyakit kepada yang pertama?” (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

Maksudnya, bahwa Allah Ta’ala, Dia-lah yang memberikan penyakit kepada onta kedua sebagaimana Dia memberikannya kepada yang pertama.

Adapun perintah untuk lari dari orang yang berpenyakit kusta, maka ini dari sisi sadd adz-dzarâ-i’ (tindakan preventif/pencegahan), agar jangan sampai penyakit itu terjadi secara kebetulan kepada orang sehat yang bercampur dengan orang yang sakit dengan takdir/ketetapan dari Allah Ta’ala, bukan karena “penularan”. Sehingga akhirnya dia menyangka bahwa hal itu terjadi disebabkan bercampurnya dia dengan orang tersebut, dan meyakini bahwa “penularan” sebagai satu-satunya sebab terjadinya dan jatuhlah dia ke dalam dosa.

Apa yang mesti dilakukan jika mendapatkan dua hadits maqbul yang kontradiktif?
 
Dia wajib mengikuti metode berikut ini :

1. Jika memungkinkan men-jama’ (memadukan) antara kedua hadits tersebut, wajib untuk melakukannya, dan wajib diamalkan.

2. Jika tidak memungkinkan men-jama’ antara keduanya dari salah satu metode yang ada, maka,

a. Jika diketahui salah satunya nâsikh, itulah yang diambil dan diamalkan, dan kita tinggalkan yang mansûkh.

b. Jika persoalan naskh itu tidak diketahui, kita men-tarjîh salah satunya dengan salah satu dari metode tarjih yang mencapai 50 metode atau bahkan lebih, kemudian kita amalkan yang rajih.

c. Jika tidak mungkin mentarjih salah satunya atas yang lainnya, dan ini sangatlah langka, kita mengambil langkah “tawaqquf”, yaitu tidak mengamalkan keduanya sampai ada hal yang bisa merajihkan salah satunya.

(Sumber : Taysîr Mushthalah al-Hadîts, Dr. Mahmud ath-Thahhan)

—————————

[1] Thiyarah adalah merasa sial dengan sesuatu yang dilihat, didengarkan atau dikerjakan.

15 Mei 2015

Mengapa Kita tidak Merayakan Peristiwa Isra’ & Mi’raj?

Peristiwa isra’ dan mi’raj adalah salah satu peristiwa besar dalam sejarah hidup Rasulullah ﷺ dan merupakan salah satu mukjizat terbesarnya yang telah diabadikan Allah dalam Kitab-Nya,

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maha suci Allah yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’ ayat 1)

Tentunya banyak pelajaran dan hikmah yang bisa didapatkan seorang mukmin dari peristiwa tersebut, diantaranya adalah,
  1. Mengenalkan keutamaan al-Masjid al-Aqsha, negeri para nabi dan tempat diperjalankannya Rasul ﷺ pada malam mi’rajnya.
  2. Menjelaskan tentang kedudukan dan keagungan Rasulullah ﷺ, dimana Allah telah mengangkatnya ke tempat yang sangat tinggi dan mulia yang tidak seorangpun pernah sampai ke tempat tersebut hingga melewati Sidratul Muntaha.
  3. Keterkaitan risalah beliau ﷺ dengan risalah para nabi dan rasul sebelumnya dan juga pemberitahuan kepada seluruh alam tentang agamanya yang bersifat universal, keagungan pribadinya dan ajaran agamanya yang cocok untuk semua masa dan tempat.
  4. Hiburan bagi para wali Allah saat ditimpa ujian, karena peristiwa ini terjadi setelah wafatnya Abu Thalib dan Khadijah yang menjadi penyokong utama dakwah di Makkah, dan juga setelah peristiwa Tha’if yang sangat menyakitkan Rasul ﷺ.
  5. Diwajibkannya shalat lima waktu di langit dalam peristiwa tersebut yang menunjukkan arti pentingnya kewajiban shalat dalam Islam.
Namun, sedemikian besarnya pelajaran dan hikmah dari peristiwa tersebut, sangat sedikit dari kaum muslimin yang bisa mengamalkan konsekuensi dari imannya terhadap peristiwa itu.

Sangat masyhur di sebagian kalangan di dunia Islam, termasuk di negeri kita, perayaan Isra’ dan Mi’raj yang dilaksanakan setiap tahunnya pada malam 27 Rajab.

Setiap muslim yang mengimani peristiwa tersebut pasti akan mengetahui bahwa peristiwa itu adalah sebuah peristiwa agung dan luar biasa. Tapi, apakah dengan kedudukan seperti itu kemudian boleh bagi pengikut agama ini merayakannya?

Untuk menjawabnya tentu saja kita harus mengembalikannya kepada aturan syari’at Islam yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah yang shahih. Islam tegak diatas dalil dari kedua sumber yang mulia tersebut. Dan ketika Anda merujuk kepada kedua sumber yang mulia itu, sedikitpun Anda tidak akan mendapatkan tuntunan untuk memperingati atau merayakan peristiwa besar tersebut. Bahkan dalam hadits yang lemah sekalipun.

Karenanya, sangat wajar jika para ulama memandang bid’ahnya segala bentuk peringatan dan perayaan Isra’ dan Mi’raj yang dilakukan sejak lama oleh sebagian muslim. Yang menjadi rujukan dalam agama adalah dalil, bukan perbuatan orang atau kalangan tertentu yang tidak berlandaskan dalil.

Berkata Imam Abu Syamah al-Maqdisi asy-Syafi’i (wafat 665 H) rahimahullahu, “Tidak selayaknya mengkhususkan ibadah-ibadah dengan waktu-waktu tertentu yanng tidak ditetapkan oleh Syari’at. Bahkan, semua amal-amal kebajikan bersifat bebas di semua masa, tidak ada keutamaan sebagian atas sebagian lainnya kecuali apa yang disebutkan keutamaannya oleh Syari’at dan dikhususkannya sebagai sebuah jenis ibadah. Jika amalan tersebut dikhususkan dengan keutamaan itu maka itulah ibadah, bukan yang selainnya, seperti puasa hari Arafah, Asyura’, shalat di penghujung malam dan umrah di bulan Ramadhan. Dalam persoalan zaman/masa, ada yang dimana semua amal-amal kebajikan menjadi utama padanya, seperti 10 Dzulhijjah, lailatul qadr yang dia itu lebih baik daripada seribu bulan, yaitu beramal padanya lebih utama daripada beramal dalam seribu bulan yang tidak ada padanya lailatul qadr. Yang seperti ini, amalan apapun yang terlaksana padanya dari amal-amal kebajikan, maka dia memiliki keutamaan lebih atas amalan yang dilakukan pada masa yang lain. Kesimpulannya, seorang mukallaf[1] tidak memiliki otoritas untuk mengkhususkan, karena yang demikian itu dikembalikan kepada Sang Pemilik syari’at. Begitulah sifat ibadah Rasulullah ﷺ.” (Al-Bâ’its ‘alâ Inkâr al-Bida’ wa al-Hawâdits, hal. 77)

Hal itu ditambah lagi dengan beberapa perkara yang diingkari dari peringatan atau perayaan tersebut, diantaranya :

Perselisihan tentang Waktu Terjadinya Isra’ dan Mi’raj

Ulama dan para pakar sirah berselisih besar dalam persoalan ini. Mereka berselisih mengenai tahun dan bulan terjadinya peristiwa itu, sebagaimana mereka juga berselisih tentang harinya. Memastikan peristiwa itu terjadi pada malam 27 Rajab adalah perkara yang tidak ada sumbernya dalam sejarah dan dalil, bahkan para ulama mengingkarinya dengan sangat keras. Berikut adalah sebagian perkataan mereka :

Berkata Al-Hafidz Ibnu Dihyah Al-Kalbi (w. 633 H) rahimahullahu, “Sebagian tukang cerita menyebutkan bahwa isra’ terjadi pada bulan Rajab, dan yang demikian itu dalam pandangan ulama al-Jarh wa at-Ta’dil[2] adalah inti kebohongan. Berkata Imam Abu Ishaq al-Harbi : ‘Rasulullah ﷺ diperjalankan (isra’) pada malam 27 Rabi’ul Awwal’, dan kami telah sebutkan perselisihan tentang hal itu dalam kitab kami yang berjudul Al-Ibtihâj fî Ahâdîts al-Mi’râj.” (Adâ’ Mâ Wajab min Bayân Wadh’ al-Wadhdhâ’în fî Rajab, hal. 53-54)

Beliau juga berkata, “Dikatakan : isra’ terjadi pada bulan Rajab, dan pada sanad periwayatannya terdapat rawi-rawi yang terkenal dengan kedustaan.” (Al-Ibtihâj fî Ahâdîts al-Mi’râj, hal. 9)

Berkata Syaikh al-‘Allamah Abul Hasan Ali bin Ibrahim bin Dawud bin al-‘Aththar asy-Syafi’i (w. 724 H) rahimahullahu, “Rajab tidak terdapat padanya sesuatu dari yang demikian (yaitu keutamaan-keutamaan) selain apa yang sama dimiliki oleh bulan-bulan lainnya dan statusnya sebagai bulan haram. Sebagian orang mengatakan bahwa mi’raj dan isra’ terjadi padanya, dan hal itu tidak benar.” (Hukm Shaum Rajab wa Sya’bân, hal. 34)

Berkata Imam Taqiyyuddin Ali bin Abdil Kafi as-Subki asy-Syafi'i (w. 756 H) rahimahullahu, “Tidak perayaan yang padanya membaca Tadzkirah Hamduniyah bahwa dia dilaksanakan di bulan Rajab, dan (tidak pula) perayaan orang-orang Mesir pada malam 27 dari bulan Rajab untuk perkara tersebut, maka yang demikian itu adalah bid’ah yang ditambahkan kepada kebodohan.” (As-Saif al-Maslûl ‘alâ Man Sabba ar-Rasûl ﷺ, hal. 492)

Berkata Syaikh al-‘Allamah Abu Umamah Muhammad bin Ali bin an-Naqqasy al-Mishri asy-Syafi'i (w. 763 H) rahimahullahu, “Adapun malam perayaan isra’, tidak ada padanya dalam keutamaan amal sebuah hadits shahih dan tidak juga dha’if. Karenanya, Nabi ﷺ tidak pernah menetapkannya untuk para shahabatnya, dan tidak pula seorang dari para shahabat yang menyebutkannya dengan sanad yang shahih, dan tidak shahih hingga sekarang dan tidak juga hingga hari Kiamat sesuatupun! Siapa yang mengatakan sesuatu berkenaan dengannya, dia mengucapkannya dengan kepandaiannya terhadap suatu rujukan yang nampak olehnya dan dia pilih. Karenanya, pendapat-pendapat saling berbenturan dan berselisih, dan urusan itu tidak tetap diatas suatu kepastian apapun. Kalau saja urusan itu memiliki manfaat untuk umat walaupun sebiji jagung, niscaya Nabi mereka telah menjelaskannya kepada mereka, ﷺ.” (Al-Mawâhib al-Ladunniyyah, II/431)

Berkata al-Hafidz Ibnu Katsir asy-Syafi’i (w. 774 H) rahimahullahu ketika beliau menyebutkan tentang perselisihan waktu terjadinya isra’ dan mi’raj, “Beliau (yaitu Imam Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullahu) telah menyebutkan sebuah hadits yang sanadnya tidak sah. Kami telah menyebutkannya dalam fadha’il bulan Rajab bahwa peristiwa isra’ terjadi pada malam 27 Rajab, wallahu a’lam. Di antara manusia adalah yang mendakwakan bahwa isra’ terjadi pada malam Jumat pertama dari bulan Rajab, dan itu adalah malam ar-Ragha’ib yang dibuat padanya suatu shalat yang terkenal (shalat Ragha’ib) dan tidak ada sumbernya (dalam agama).” (Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, IV/270)

Berkata al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) rahimahullahu, “Adapun peristiwa isra’, katanya terjadi pada bulan Rajab, dan (pendapat itu) dilemahkan lebih dari satu ulama. Pendapat lain mengatakan di bulan Rabi’ul Awwal, dan itu adalah pendapat Ibrahim al-Harbi dan selainnya.” (Lathâif al-Ma’ârif, hal. 140)

Berkata al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani asy-Syafi'i (w. 852 H) rahimahullahu, “Telah diperselisihkan waktu terjadinya mi’raj. Dikatakan : peristiwa itu terjadi sebelum kenabian, dan ini adalah pendapat yang syâdz (bersendirian/aneh) kecuali jika dimaksudkan bahwa itu terjadi dalam tidur sebagaimana yang telah disebutkan. Mayoritas berpendapat bahwa mi’raj terjadi setelah kenabian, kemudian mereka berselisih. Dikatakan : terjadi setahun sebelum hijrah. Demikian perkata Ibnu Sa’ad dan selainnya, dan demikian yang dipastikan oleh an-Nawawi, dan Ibnu Hazm berlebihan hingga menukil ijma’ tentang waktu tersebut. Nukilan ijma’ beliau itu tertolak, karena padanya terdapat perselisihan yang sangat banyak lebih dari sepuluh pendapat. Diantaranya juga adalah apa yang disebutkan Ibnul Jauzi bahwa mi’raj terjadi 8 bulan sebelum hijrah –dan itu artinya terjadi di bulan Rajab. Pendapat lain : 6 bulan (sebelum hijrah), artinya terjadi di bulan Ramadhan. Pendapat kedua ini disebutkan oleh Abu ar-Rabi’ bin Salim dan Ibnu Hazm menyebutkan konsekuensi dari pendapat yang sebelumnya karena ia mengatakan : ‘Mi’raj terjadi di bulan Rajab tahun ke 12 dari kenabian’. Pendapat lain : 11 bulan sebelum hijrah. Pendapat ini dipastikan oleh Ibrahim al-Harbi dimana ia berkata : ‘Mi’raj pada bulan Rabi’ul Akhir setahun sebelum hijrah’. Pendapat tersebut dikuatkan oleh Ibnul Munayyir dalam Syarh as-Sîrah oleh Ibnu Abdil Barr. Pendapat lain : setahun dua bulan sebelum hijrah, demikian disebutkan Ibnu Abdil Barr. Pendapat lain : setahun tiga bulan, disebutkan oleh Ibnu Faris. Pendapat lain : setahun lima bulan, disebutkan oleh as-Suddi, dan darinya diriwayatkan juga oleh ath-Thabari dan al-Baihaqi. Dengan pendapat ini, mi’raj terjadi pada bulan Syawwal atau Ramadhan dengan menghilangkan pecahan angkanya jika dihitung darinya atau dari Rabi’ul Awwal. Demikian dipastikan oleh al-Waqidi dan secara lahir selaras dengan apa yang disebutkan Ibnu Qutaibah. Ibnu Abdil Barr juga menyebutkan bahwa mi’raj terjadi 18 bulan sebelum hijrah. Menurut Ibnu Sa’ad dari Ibnu Abi Sabrah bahwa itu terjadi di bulan Ramadhan, 18 bulan sebelum hijrah. Pendapat lain : terjadi di bulan Rajab; disebutkan Ibnu Rajab dan dikuatkan oleh an-Nawawi dalam ar-Raudhah. Pendapat lain : 3 tahun sebelum hijrah; disebutkan oleh Ibnul Atsir. Al-Qadhi ‘Iyadh menyebutkan –dan diikuti oleh al-Qurthubi dan an-Nawawi- dari az-Zuhri bahwa mi’raj terjadi 5 tahun sebelum hijrah. Pendapat tersebut dikuatkan oleh ‘Iyadh dan yang mengikutinya pendapatnya.” (Fath al-Bârî, VII/203)

Berkata Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1420/1999) rahimahullahu mengomentari perkataan Ibnu Dihyah yang telah disebutkan, “Perkataan tersebut dinukil dari penulis oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam risalahnya terdahulu dan ia membenarkannya. Bahkan yang wajib adalah menjelaskan masalah ini kepada manusia dengan segala sarana yang mungkin, dalam setiap kesempatan, wallahul musta’an.” (Takhrîj Kitâb Adâ’ Mâ Wajab, hal. 53)

Al-Albani juga mengatakan, “Pendapat-pendapat tersebut disebutkan as-Suyuthi dalam al-Âyah al-Kubrâ fî Syarh Qishshah al Isrâ hal. 34 dan al-‘Allamah al-Alusi dalam tafsirnya Rûh al-Ma’ânî (IV/469), dan mencapai 5 pendapat. Tidak ada satupun perkataan yang disandarkan kepada berita seorang shahabat yang bisa menenangkan pikiran. Karenanya, terjadi kontradiksi tentangnya dalam pendapat satu orang ulama. An-Nawawi rahimahullahu ta’ala contohnya, dalam perkara ini ia memiliki 3 pendapat yang mereka kutipkan darinya. Salah satunya sama seperti pendapat al-Harbi yang dalam kitab itu dan an-Nawawi telah memastikannya dalam Fatâwâ-nya halaman 15. Dalam kasus ini terdapat sesuatu yang bisa memahamkan seorang berakal bahwa para Salaf, mereka tidak pernah merayakan malam tersebut, tidak menjadikannya sebagai hari besar, tidak di bulan Rajab dan tidak juga pada yang selainnya. Andai mereka merayakannya sebagaimana yang dilakukan orang-orang belakangan (khalaf) pada hari ini, niscaya perayaan itu akan dinukil secara mutawatir dari mereka, kepastian malamnya menjadi jelas di kalangan khalaf dan mereka tidak akan berselisih dengan perselisihan yang aneh ini!” (Takhrîj Kitâb Adâ’ Mâ Wajab, hal. 54)

Andai Memang Peristiwa itu Terjadi pada 27 Rajab?

Setelah menyebutkan perselisihan ulama, maka seandainya benar bahwa peristiwa itu terjadi pada malam 27 Rajab, tidak seorang pun diizinkan mengkhususkan malam atau hari itu dengan ibadah atau perayaan tertentu.

Kalau saja ada kebaikan dalam mengkhususkan hari itu dengan perayaan, maka Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling pantas untuk melakukannya, jika berkait dengan peristiwa tersebut.

Jika berkait dengan pribadinya dan untuk mengingatnya sebagaimana yang dilakukan dalam perayaan Maulid, maka orang yang paling utama dan pantas merayakannya adalah Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali dan para shahabat radhiyallahu ‘anhum, serta para tokoh ulama generasi Tabi’in dan ulama-ulama umat ini yang tidak dikenal seorang pun dari mereka yang merayakannya.

Semua kebaikan ada dalam mengikuti jejak para as-Salaf ash-Shalih.

Apa Hukumnya Merayakan Isra’ dan Mi’raj?

Sebagian ulama secara jelas telah menerangkan perkara ini dan mengatakan bahwa perayaan tersebut adalah bid’ah.

Diantara para ulama tersebut adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (Majmû’ al-Fatâwâ XXV/298, Zâd al-Ma’âd I/57-59), Imam Ibnul Qayyim (Zâd al-Ma’âd I/57-59), al-‘Allamah Ibnul Hajj al-Maliki (al-Madkhal I/294-297; al-Mawâsim allatî Nasabûhâ ila asy-Syar’ wa Laisat Minhu), Taqiyyuddin as-Subki asy-Syafi’i, al-‘Allamah Ibn an-Naqqasy, Imam Ibn an-Nahhas ad-Dimasyqi (Tanbîh al-Ghâfilîn ‘an A’mâl al-Jâhilîn, hal. 398-400), Syaikh Muhammad asy-Syuqairi (As-Sunan wa al-Mubtada’ât al-Muta’alliqah bi al-Adzkâr wa ash-Shalawât, hal. 143), Syaikh Ali Mahfudz al-Azhari (Al-Ibdâ’ fi Madhâr al-Ibtidâ’, hal. 272), al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh (Fatâwâ wa Rasâil asy-Syaikh Muhammad ibn Ibrâhîm Âl asy-Syaikh, III/97-102), Syaikh Abdullah bin Zaid Alu Mahmud (Kalimah al-Haq fi al-Ihtifâl bi Maulid Sayyid al-Khalq), Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Fatâwâ Ibn Bâz, I/183-185) dan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (Majmû’ Fatâwâ wa Rasâil Ibn Utsaimîn, II/296-297).

Berikut kami kutipkan beberapa perkataan ulama yang tidak berkait dengan Saudi atau Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab agar tidak ada yang mengatakan bahwa perkataan ini hanya pendapat kaum “wahabi” :

- Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Ahmad bin Abdussalam asy-Syuqairi al-Hawamidi al-Mishri rahimahullahu[3], seorang ulama Mesir.

Beliau berkata dalam bukunya As-Sunan wa al-Mubtada’ât al-Muta’alliqah bi al-Adzkâr wa ash-Shalawât, hal. 143 dalam pembahasan “fî Bida’ Syahr Rajab” : “Membaca kisah mi’raj dan merayakannya pada malam 27 Rajab adalah bid’ah, dan pengkhususan sebagian orang pada malam itu dengan dzikir dan ibadah adalah bid’ah. Doa-doa yang dibaca di bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan, semuanya adalah perkara yang baru dan diada-adakan. Kalau perkara itu baik, niscaya mereka (para shahabat) akan mendahului kita dalam perkara tersebut. Peristiwa isra’, tidak ada dalil yang menunjukkan tentang malam (tertentu) dan tidak juga bulannya. Permasalahan perginya beliau serta kembalinya pada malam isra’ sementara kasurnya belum dingin tidaklah sah[4]. Bahkan itu adalah salah satu dari kedustaan yang dibuat manusia.”

- Syaikh Ali Mahfudz al-Azhari rahimahullahu, seorang ulama al-Azhar, wafat pada tahun1361 H/1942 M.

Beliau berkata dalam bukunya Al-Ibdâ’ fi Madhâr al-Ibtidâ’, hal. 272, dalam pembahasan “al-Mawâsim allatî Nasabûhâ ila asy-Syar’ wa Laisat Minhu” : “Diantaranya adalah malam mi’raj yang Allah telah memuliakan umat ini dengan apa yang Dia syari’atkan pada malam tersebut. Orang-orang di zaman ini telah mendatangkan pada malam itu berbagai macam kemungkaran dan mengada-adakan padanya berbagai jenis bid’ah yang banyak, seperti berkumpul di masjid-masjid, menyalakan lilin dan pelita padanya dan diatas menara-menara, dan berlaku boros dalam acara itu. Juga berkumpulnya mereka untuk dzikir dan membaca kisah mi’raj. Yang demikian itu baik kalau saja benar sebagai peringatan, membaca dan mempelajari ilmu. Akan tetapi mereka bermain-main dalam agama Allah. Orang yang berdzikir sebagaimana yang engkau ketahui, dan orang yang membaca sebagaimana yang engkau ketahui, lalu ia menambahkan padanya apa yang bukan bagian darinya dan mengurangkan darinya apa yang ada padanya. Alangkah indahnya perjalanan hidup para Salaf, karena mereka sangat antusias untuk menjaga komitmen diatas apa yang berada diatasnya Rasul ﷺ. Mereka tidak keluar dari apa yang shahih sehelai rambut pun dan meyakini bahwa keluar dari perkara itu adalah sebuah kesesatan. Terutama generasi shahabat dan yang setelah mereka dari tiga generasi yang dipersaksikan akan kebaikan mereka, semoga Allah meridhai mereka seluruhnya.”

- Syaikh Abdullah bin Zaid Alu Mahmud rahimahullahu, ketua Mahkamah Syar’iyyah di Qatar, wafat tahun 1417 H/1997 M.

Beliau berkata dalam bukunya Kalimah al-Haq fi al-Ihtifâl bi Maulid Sayyid al-Khalq, hal 491 : “Adapun perayaan atas anugerah kenikmatan atau kelahiran Nabi ﷺ atau peristiwa isra’ beliau, maka semuanya itu termasuk bid’ah yang Allah tidak pernah menurunkan hujjah atasnya. Semua itu termasuk perkara-perkara baru yang telah dilarang Rasulullah ﷺ.”

Beliau juga berkata (hal. 535) : “Karenanya, tidak sah dari Khulafa’ Rasyidin, tidak pula dari para shahabat dan tabi’in, dan tidak dari para imam mazhab yang diikuti seperti Imam Ahmad, asy-Syafi’i, Malik dan Abu Hanifah serta sahabat-sahabat mereka; tidak sah riwayat dari mereka berkenaan dengan pengagungan maulid Rasul ﷺ dan berkumpul pada hari tersebut, dan tidak juga hari isra’ dan mi’raj. Kalau saja perkara itu baik, niscaya mereka telah mendahului kita dalam kebaikan tersebut.”

Demikian yang bisa kami terjemahkan dan kutipkan untuk pembaca. Masih banyak perkataan lainnya dari para ulama, semoga Allah memberi kemudahan untuk bisa disampaikan kepada kaum muslimin.
Mudah-mudahan apa yang sedikit ini bisa memberikan pencerahan kepada kita untuk kembali kepada ajaran agama yang hak, yang merupakan syarat penting bagi terwujudnya kemenangan umat ini.
Wa bi_llahi at-taufiq.

(Sumber tulisan ini berasal dari sebuah artikel di saaid.net oleh Syaikh Abdullah al-Husaini)

------------------

Footnotes :

[1] Mukallaf  adalah muslim yang telah dibebani kewajiban syari’at

[2] Al-Jarh wa at-Ta'dil adalah salah satu cabang ilmu dalam hadits untuk menilai status seorang perawi

[3] Kami belum dapatkan tahun wafatnya beliau. Namun dalam buku "As-Sunan wa al-Mubtada’ât", beliau menyebutkan tahun selesainya penulisan buku tersebut, yaitu tahun 1351 H, dan selesai disusun kembali pada tahun 1352 H.
 
[4]  Yaitu; kasurnya masih hangat bekas diduduki sebelum berangkatnya beliau untuk diperjalankan

13 Mei 2015

Komitmen terhadap Perjanjian dan Kesepakatan

Diantara sifat yang ditanamkan Islam, dipuji al-Quran dan berkonsekuensi pada pahala yang besar adalah setia dan komitmen terhadap perjanjian dan kesepakatan yang telah dibuat.

Imam ar-Raghib al-Ishfahani rahimahullahu menjelaskan bahwa kesetiaan adalah sebuah sifat yang mesti ada bagi kemanusiaan, yang menunjukkan pada kemuliaan pribadi seseorang. Ia juga berkata, “Kesetiaan adalah kekhususan bagi manusia. Siapa yang hilang darinya sifat tersebut maka ia telah lepas dari sifat kemanusiaannya sebagaimana halnya kejujuran. Allah telah menjadikan (sikap komitmen terhadap) perjanjian termasuk bagian keimanan, dan menjadikannya sebagai penopang bagi urusan-urusan manusia. Manusia butuh kepada kerjasama. Dan kerjasama itu tidak mungkin terwujud kecuali dengan menjaga kesepakatan dan kesetiaan. Kalau bukan karena hal itu, niscaya hati-hati manusia akan lari dan rusaklah penghidupan. Karena itulah Allah memperingatkan tentang pentingnya urusan ini…” (Adz Dzarî’ah ilâ Makârim asy Syarî’ah, hal. 292)

Ia kemudian mengutip beberapa dalil diantaranya firman Allah Ta’ala,

والموفون بعهدهم إذا عاهدوا

Dan orang-orang yang menepati janjinya jika ia berjanji.” (QS. Al-Baqarah : 177).

FirmanNya tentang sifat-sifat orang-orang mukmin yang beruntung,

والذين لأماناتهم وعهدهم راعون

Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (QS. Al-Mukminun : 8).

Dan firmanNya tentang penduduk negeri-negeri yang dibinasakan,

وما وجدنا لأكثرهم من عهد

Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji.” (QS. Al-A’raf : 102).

Diantara hadits yang sangat penting dalam perkara ini adalah hadits yang diriwayatkan ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

المسلمون على شروطهم، إلا شرطا حرم حلالا أو أحل حراما

Kaum muslimin wajib menunaikan persyaratan yang telah disepakati. Kecuali persyaratan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

Sabda beliau : “Kaum muslimin wajib menunaikan persyaratan yang telah disepakati”, yaitu komitmen diatasnya dan tidak mangkir darinya. Seorang muslim menunaikan seluruh hak dan kewajibannya, dan tidak lari darinya. Tidak mencari-cari alasan untuk menggugurkannya atau lepas darinya. Bahkan, agama dan imannya mengajarkan dia untuk menunaikan hak-hak dan setia dengan perjanjian dan kesepakatan.

Sabda beliau tersebut merupakan kaedah yang mengumpulkan antara muru’ah, amanah, agama dan kejujuran seseorang. Sebagaimana dikatakan dalam pepatah Arab : “Manusia diikat dengan ucapan lisannya, dan hewan diikiat dengan tali”. Jika seorang manusia mengucapkan satu kata perjanjian, dia wajib komitmen dengannya. Jika dia menetapkan atau menyepakati persyaratan tertentu pada saat ini, kemudian dia abaikan kemudian, maka yang seperti ini haram. Kalau setiap manusia boleh seenaknya mengabaikan persyaratan-persyaratan yang dibuat atau disepakati antar mereka, niscaya tidak akan pernah tegak urusan-urusan kehidupan ini.

Maka selayaknya seorang muslim memperhatikan dirinya, untuk menjaga hak-hak dan komitmen terhadap kesepakatan yang telah dibuat, baik dalam rumahnya, lingkungannya, tempat kerjanya, jama’ah dakwahnya, kampungnya dan di negerinya.

Waspadalah dari sifat khianat karena hal itu merupakan sebab masuknya seseorang ke dalam neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

المكر والخديعة والخيانة في النار

Perbuatan makar, tipu daya dan pengkhianatan tempatnya di neraka.” (Shahih al-Jami’, no. 6726).

Wallahul musta’an.

11 Mei 2015

Ayat-Ayat Makkiyah & Madaniyyah

Ayat-ayat al-Quran terbagi dalam dua bagian;

Pertama, al-Makki, yaitu apa yang turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum hijrahnya ke Madinah, walaupun ayat itu turun di luar Makkah.

Kedua, al-Madani, yaitu apa yang turun setelah hijrah ke Madinah, walaupun turunnya diluar Madinah.

Ayat-ayat Makkiyah umumnya berbicara tentang perbaikan aqidah, akhlak yang mulia, dan memberantas segala macam bentuk syirik dan paganisme serta akhlak-akhlak jahiliyah. Demikian pula ayat-ayat Makkiyah banyak berbicara tentang kisah-kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, dengan tujuan untuk mengokohkan hati orang-orang mukmin dan menjelaskan bahwa akhir yang baik untuk orang-orang bertakwa dan keburukan akan menimpa orang-orang yang kafir dan membangkang.
 
Adapun ayat-ayat Madaniyah didominasi oleh perincian hukum-hukum syar’i dengan segala konsekuensinya, baik yang berkait dengan ibadah, mu’amalah dan segala hal yang diperlukan dalam pembinaan masyarakat Islam dan urusan-urusan internal maupun eksternal.

Yang perlu dipahami, walaupun ada ciri-ciri tertentu yang menjadi pembeda antara ayat-ayat Makkiyah atau Madaniyah, akan tetapi data akurat dalam membedakan keduanya adalah melalui jalan periwayatan, yaitu apa yang dinukil kepada kita dari hadits-hadits nabawi dan perkataan para Shahabat dan Tabi’in.

09 Mei 2015

Dimana Wanita Meletakkan Kedua Tangannya saat Berdiri dalam Shalat?

Pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu :

"Saudari kami bertanya dalam pertanyaannya tentang kedua tangan wanita, dimana ia meletakkan keduanya dalam shalat?"

Syaikh menjawab,

Sama seperti laki-laki. Sunnahnya ia meletakkan kedua tangannya di dadanya sebagaimana yang disebutkan dalam sunnah. Karena hukum asalnya laki-laki dan wanita sama dalam shalat kecuali apa yang dikhususkan oleh dalil.

Dia mengerjakan sebagaimana yang dikerjakan seorang laki-laki dalam shalatnya. Ia bertakbir, membaca doa istiftah, membaca al-Fatihah dan apa yang mudah (dibaca) bersama al-Fatihah tersebut, ruku dan tuma'ninah (dalam ruku'), bangun dari ruku', berdiri tegak dan tuma'ninah, dan meletakkan kedua tangannya saat berdiri di dadanya sebelum ruku' dan setelahnya[1], sama seperti laki-laki. Karena Rasul 'alaihishshalatu wassalam bersabda,

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

"Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat."[2];

dan itu berlaku untuk laki-laki dan wanita.

(Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu)

-----------------

[1] Meletakkan tangan kembali di dada setelah bangun dari ruku' adalah pendapat yang diperselisihkan, dan Syaikh Bin Baz rahimahullahu adalah salah satu ulama yang menguatkan pendapat tersebut. (baca : Dimana Posisi Tangan saat Berdiri dalam Shalat?)

[2] HR. Al-Bukhary dalam Shahih-nya dari hadits Malik bin Huwairits radhiyallahu 'anhu

08 Mei 2015

Nâsikh & Mansûkh dalam Hadits

Definisi an-Naskh

Menurut bahasa, an-naskh memiliki makna “menghilangkan” atau “menyalin/memindahkan”.

Menurut istilah, an-naskh adalah mengangkat/menghilangkan hukum syari’at yang terdahulu dengan sebuah hukum syari’at yang datang belakangan.

Mengenal nâsikh dan mansûkh dalam hadits termasuk pengetahuan yang sangat penting dan rumit. Imam az-Zuhri rahimahullahu pernah mengatakan : “Yang paling menyulitkan dan menyusahkan bagi para fuqaha’ adalah mengetahui nasikh sebuah hadits dari yang mansukhnya.”

Dengan apa diketahui hadits nasikh dari yang mansukh?

Perkara ini bisa diketahui dengan beberapa hal berikut ini :

1. Dengan penjelasan langsung dari Rasulullah ﷺ. Seperti hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim,

كنت نهيتكم عن زيارة القبور، فزوروها فإنها تذكر الآخرة

Dahulu aku melarang kamu menziarahi kubur, maka sekarang ziarahilah kubur karena sungguh hal itu akan mengingatkan kepada akhirat.”

2. Dengan perkataan seorang shahabat. Seperti perkataan Jabir radhiyallahu ‘anhu,

كان آخر الأمرين من رسول الله صلى الله عليه وسلم ترك الوضوء مما مسّت النار

“Yang terakhir dari dua perkara dari (sunnah) Rasulullah ﷺ adalah tidak berwudhu dari sesuatu yang disentuh api (dimasak).” (HR. Abu Dawud dan lain-lain)

3. Dengan mengetahui masa/waktu kejadian. Seperti hadits Syaddad bin Aus radhiyallahu 'anhu secara marfu’,

أفطر الحاجم والمحجوم

Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam.” (HR. Abu Dawud).

Hadits ini dinasakh dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma,

أن النبي صلى الله عليه وسلم احتجم وهو محرم، واحتجم وهو صائم



“Bahwa Nabi ﷺ berbekam sementara beliau dalam keadaan berihram, dan berbekam dalam keadaan puasa.” (HR. Al-Bukhary)


Disebutkan pada sebagian jalan periwayatan bahwa hadits Syaddad terjadi pada masa penaklukan Makkah, sementara Ibnu Abbas menemani Rasulullah ﷺ pada haji Wada’.

4. Dengan petunjuk ijma’ (dalâlah al ijmâ). Seperti hadits,

من شرب الخمر فاجلدوه، فإن عاد فى الرابعة فاقتلوه

Siapa yang meminum arak, cambuklah dia. Jika dia mengulanginya yang keempat kali, bunuhlah!” (HR. Abu Dawud).

Berkata an-Nawawi rahimahullahu, “Ijma’ telah menunjukkan bahwa hadits itu telah dinasakh.”

Ijma’ tidak bisa menasakh, dan tidak dinasakh. Akan tetapi menunjukkan kepada nasakh (yadullu 'alâ nâsikh).

(Taysîr Mushthalah al Hadîts)

06 Mei 2015

Dimana Posisi Tangan saat Berdiri dalam Shalat?

Termasuk sunnah dalam shalat adalah meletakkan telapak tangan kanan di atas telapak atau pergelangan tangan kiri dan menaruh keduanya di dada (di antara dua payudara).

Dari Wa’il bin Hujr radhiyallahu ‘anhu ia berkata,

صليت مع رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم فوضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره

“Aku shalat bersama Nabi dan beliau meletakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya di dadanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya).

Hadits ini adalah penjelasan dari keumuman riwayat dalam Shahih Muslim yang tidak menyebutkan kata “di dadanya” dan juga hadits Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih al-Bukhary,

كان الناس يؤمرون أن يضع الرجل يده اليمنى على ذراعه اليسرى فى الصلاة

“Dahulu manusia diperintahkan agar seseorang itu meletakkan tangan kanannya di pergelangan tangan kirinya dalam shalat.”

Terdapat riwayat lain dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyebutkan cara lain dalam masalah ini.

Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,

إن من السنة في الصلاة وضع الأكف على الأكف تحت السرة

“Termasuk sunnah meletakkan telapak tangan diatas telapak tangan lainnya di bawah pusar.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Atsar dari Ali ini adalah riwayat yang lemah, karena seluruh jalan-jalan periwayatannya melalui Abdurrahman al-Wasithi. Rawi ini dilemahkan oleh para ulama. Berkata an-Nawawi rahimahullahu dalam Syarh Shahîh Muslim, “Ia dha’îf dengan kesepakatan (ulama hadits).”

Namun, walaupun demikian, atsar Ali inilah yang diamalkan di kalangan mazhab Hanafi dan mazhab Hanbali. Adapun dalam mazhab Syafi’iyah, berkata an-Nawawi dalam al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, “Tangan diletakkan di bawah dadanya diatas pusar. Inilah mazhab kami yang masyhur, dan demikian pendapat jumhur.”

Semoga Allah merahmati para ulama, dan mazhab yang paling benar dalam masalah ini dari sisi dalil adalah meletakkan kedua tangan tersebut di dada.

Posisi Tangan saat I’tidal setelah Bangkit dari Ruku’

Terdapat perselisihan di sebagian ulama tentang posisi tangan seorang yang shalat saat i’tidal setelah ia bangkit dari ruku’.

Sebagian ulama memandang bahwa tangan diletakkan di dada sebagaimana halnya saat berdiri sebelum ruku’.

Pendapat ini pendapat yang didukung oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dan juga Syaikh Badi’uddin Syah as-Sindi rahimahumullahu.

Mereka berdalil dengan hadits Wa’il dan hadits Sahl yang telah disebutkan dan mengatakan bahwa kedua hadits tersebut bersifat umum dalam persoalan bersedekap saat berdiri, baik sebelum ruku atau setelahnya. Siapa yang membedakannya maka ia harus mendatangkan dalil.

Sementara jumhur ulama memandang bahwa kedua tangan dilepaskan dan tidak disunnahkan untuk bersedekap kembali dan meletakkannya di dada atau di bawah pusar, karena perintah tersebut hanya berlaku sebelum ruku’.

Adapun setelah ruku’, tidak ada satu dalil pun yang menyebutkannya. Andai hal itu sunnah, niscaya akan dinukil kepada kita walaupun hanya dari satu jalan. Bahkan Syaikh Nashiruddin al-Albani rahimahullahu berlebihan hingga beliau mengatakan bahwa bersedekap setelah ruku’ adalah bid’ah yang sesat. Dan beliau satu-satunya ulama yang menganggapnya sebagai bid’ah sebatas yang kami ketahui.

Persoalan ini termasuk persoalan ijtihad yang lapang. Karenanya disebutkan dari Imam Ahmad rahimahullahu, bahwa beliau membolehkan memilih antara mengamalkannya atau meninggalkannya, yaitu dalam persoalan bersedekap setelah ruku’.

Wallahu a’lam.

(Oleh : Taufiq Rahman, Lc)

———————–

Bahan bacaan :

1. Al Minhâj Syarh Shahîh Muslim, an-Nawawi
2. Al Majmû’ Syarh al Muhadzdzab, an-Nawawi
3. Tsalâts Rasâ-il fi ash Shalâh, Ibn Baz
4. Asy Syarh al Mumti’, Ibn Utsaimin
5. Sifah Shalât an Nabî ﷺ, al-Albani
6. Ziyâdah al Khusyû’ bi Wadh’ al Yadain fî al Qiyâm ba’da ar Rukû’, Badi’uddin as-Sindi

Visualisasi Para Wali dan Orang-orang Shalih

Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa syirik yang pertama terjadi disebabkan oleh sikap ghuluw terhadap orang-orang shalih dengan menvisualisasikan mereka dalam bentuk patung dan gambar.
Karena itulah, dalil-dalil shahih sangat keras mengecam orang-orang yang membuat gambar atau patung makhluk bernyawa yang menunjukkan haramnya perkara tersebut dengan segala bentuknya.[1]

Diantara dalilnya adalah sabda beliau ,

إن أشد الناس عذابًا يوم القيامة المصورون

Sesungguhnya orang yang paling keras siksanya pada Hari Kiamat adalah orang-orang membuat gambar/patung.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa seorang laki-laki mendatanginya dan berkata, “Aku orang yang suka membuat gambar-gambar ini, berilah fatwa tentang ini.” Ibnu Abbas berkata padanya, “Saya mendengar Rasulullah bersabda,

كل مصور فى النار يجعل بكل صورة صورها نفسًا فتعذبه فى جهنم

Setiap orang yang menggambar berada di Neraka. Dijadikan untuknya nyawa pada setiap gambar yang digambarnya, yang akan menyiksanya di Jahannam.’

Jika engkau mesti melakukannya, gambarlah pepohonan dan apa yang tidak memiliki nyawa.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Diriwayatkan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata kepada Abu al-Hayyaj al-Asadi, “Tidakkan aku mengutusmu dengan apa yang dahulu aku diutus oleh Rasulullah ? Jangan engkau biarkan sebuah gambar/patung melainkan engkau hancurkan, dan (jangan biarkan) sebuah kubur yang tinggi melainkan engkau ratakan.” (HR. Muslim).
 
Karenanya, selayaknya seorang muslim tidak meremehkan persoalan gambar dengan segala jenisnya, baik itu yang berbentuk seperti patung atau yang selainnya yang tidak memiliki bayangan atau apa yang ada pada dinding, pahatan kayu dan lain-lain.[2]

——————

Footnotes :

[1] Ulama di masa sekarang berbeda pendapat tentang hukum fotografi, yaitu pengambilan gambar dengan menggunakan kamera. Sebagian tetap mengharamkan kecuali apa yang dalam status darurat karena sangat dibutuhkan, sementara sebagian lainnya memandang bahwa fotografi tidak termasuk dalam jenis gambar yang diharamkan.

Demikian pula sebagian ulama berpendapat bahwa gambar film video tidaklah masuk kategori gambar yang diharamkan. Sementara sebagian lainnya tetap memandang keharamannya dengan keumuman dalil pelarangan, dan sebagian mengecualikan apa yang padanya terdapat maslahat syar’i.

[2] Imam Ibnul Arabi al-Maliki rahimahullahu menukil ijma’ (kesepakatan ulama) tentang haramnya gambar replika. (‘Âridhah al-Ahwadzi, VII/253, Kitab al-Libâs)

Sebagian ulama mengecualikan darinya permainan anak-anak jika gambarnya berbentuk umum, tidak digambarkan secara mendetail.

Yang menjadi patokan dalam pengharaman gambar/patung adalah kepala/wajah, dengan dalil hadits,

الصورة الرأس

Gambar (yang diharamkan) adalah kepala (wajah).” (Diriwayatkan oleh al-Isma’iliy dalam Mu’jamnya, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah)

(Disadur dari Tahdzîb Tashîl al Aqîdah al Islâmiyyah)

05 Mei 2015

Diutusnya Nabi ﷺ & Permulaan Turunnya Wahyu

Rasulullah ﷺ diutus pada umur 40 tahun. (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Dan riwayat yang shahih menyebutkan bahwa wahyu pertama turun kepadanya pada hari Senin. (HR. Muslim dan Abu Dawud).

Pendapat yang masyhur mengatakan bahwa wahyu pertama itu bermula di bulan Ramadhan.

Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha meriwayatkan kepada kita bagaimana peristiwa turunnya wahyu tersebut kepada Rasulullah ﷺ. Aisyah berkata :

Permulaan turunnya wahyu kepada Rasulullah ﷺ berupa mimpi yang baik saat tidur. Beliau tidak melihat mimpi kecuali mimpi itu datang seperti cahaya pagi. Kemudian dijadikan rasa senang (dalam dirinya untuk) menyendiri dan beliau memilih tempat di gua Hira’, beribadah padanya pada beberapa bilangan malam sebelum akhirnya kembali ke keluarganya untuk pergi membawa bekal. Kemudian beliau kembali lagi kepada Khadijah dan mengambil bekal yang sepertinya. Hingga tiba-tiba beliau didatangi oleh al-haq (wahyu) ketika beliau sedang berada di gua Hira’. Beliau didatangi oleh satu malaikat dan malaikat itu berkata, “Bacalah!”

Beliau menjawab, “Aku tidak bisa membaca!”

Beliau berkata : “Aku pun direngkuhnya dan ia memelukku sampai aku kepayahan dan akhirnya ia lepaskan. Ia berkata lagi : Bacalah! Aku berkata : Aku tidak bisa membaca. Maka ia pun kembali merengkuh diriku, memelukku kedua kalinya sampai aku kepayahan dan kembali dilepaskan. Ia berkata lagi : Bacalah! Aku berkata : Aku tidak bisa membaca. Ia pun kembali merengkuh diriku, memelukku ketiga kalinya dan dilepaskan. Ia berkata :

اقْرَاْ بِاسْمِ رَبّكَ الَذِيْ خَلَقَ، خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ، اقْرَأ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ

Bacalah dengan nama Rabb-mu yang menciptakan. Yang manusia dari segumpal darah beku. Bacalah! dan Rabb-mulah yang maha pengasih.”

Rasulullah ﷺ pulang dengan ayat-ayat tersebut dan hatinya bergetar.  Ia masuk kepada Khadijah bintu Khuwailid dan berkata, “Selimuti aku, selimuti aku!” dan mereka pun menyelimutinya sampai rasa takutnya hilang. Beliau lalu berkata kepada Khadijah dan menceritakan kejadian yang dialaminya, “Sungguh, aku sangat khawatir  terhadap diriku.”

Khadijah berkata, “Sekali-kali tidak, Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu untuk selama-lamanya. Engkau biasa menjalin silaturrahim, menanggung kesulitan, membantu orang yang susah, memuliakan tamu, dan membantu dalam membela kebenaran.”

Maka pergilah Khadijah membawa Rasulullah ﷺ menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdil Uzza, anak paman Khadijah yang telah memeluk Nasrani pada masa Jahiliyah. Dia pandai menulis bahasa Ibrani, dan menerjemahkan dari Injil yang berbahasa Ibrani apa yang Allah kehendaki untuk ditulisnya. Dia seorang yang sudah tua dan buta. Khadijah berkata kepadanya, “Wahai anak pamanku! Dengarkanlah kisah dari anak saudaramu ini!” Berkata Waraqah kepadanya, “Wahai anak saudaraku, apa yang telah engkau lihat?”
 
Maka Rasulullah ﷺ menceritakan semua kejadian yang telah ia lihat.

Waraqah berkata, “Itu adalah Nâmûs (pemilik rahasia, Jibril) yang telah Allah turunkan kepada Musa. Andai saja aku masih muda dan kuat pada saat itu, atau aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu kelak…”

Berkata Rasulullah ﷺ, “Apakah mereka akan mengusirku?”

Waraqah menjawab, “Tidaklah seseorang datang dengan seperti apa yang engkau bawa melainkan ia pasti akan diusir. Seandainya saja aku bisa menjumpai harimu itu, pasti aku akan membelamu dengan sekuat tenaga.”

Kemudian, tidak berapa lama setelah itu, Waraqah pun meninggal dan wahyu terputus. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dalam Kitâb Bad’ al Wahy, dan Muslim dalam Kitâb al Îmân).

Hadits ini menjelaskan bahwa Iqra' adalah yang pertama turun dari al-Quran dan Rasul ﷺ dikejutkan oleh wahyu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya sehingga situasi itu membuatnya takut.

Hadits ini juga menjelaskan tentang sikap dan keteguhan Khadijah radhiyallahu 'anha dalam menenangkan suaminya dan membantunya untuk mengetahui hakikat sebenarnya dari kejadian tersebut.

Demikian juga dijelaskan tentang pengetahuan Waraqah bin Naufal mengenai para nabi dan nasehatnya tentang bahaya yang akan menyertai Rasul ﷺ. Akan tetapi Waraqah meninggal sebelum turunnya wahyu secara beruntun setelah peristiwa itu dan untuk beberapa waktu wahyu terputus.

Tidak diketahui dengan pasti berapa lama wahyu itu terputus setelah peristiwa di gua Hira', tapi yang nampak hal itu tidak berlangsung lama.

Ketika jiwa Rasul ﷺ telah tenang dan siap untuk menerima wahyu, maka turunlah wahyu secara beruntun. Dan yang pertama turun setelah Iqra adalah lima ayat pertama dalam permulaan surat al-Mudatstsir.

Rasulullah ﷺ mendapatkan kesulitan setiap kali wahyu turun kepadanya. Dahinya berpeluh bahkan di hari yang sangat dingin sekalipun, wajahnya berubah dan tubuhnya menjadi berat.

Zaid bin Tsabit menceritakan kisahnya, “Diturunkan wahyu kepada Rasulullah ﷺ sementara paha beliau berada diatas pahaku, maka paha itu menjadi berat hingga aku khawatir pahaku akan hancur.” (HR. Al-Bukhary).

Rasulullah ﷺ pernah ditanya : Bagaimana wahyu itu mendatangimu? Beliau menjawab, “Terkadang wahyu itu datang dalam bentuk gemerincing lonceng, dan itulah yang paling berat untukku. Tiba-tiba dia terlepas dariku dan aku telah memahami darinya apa yang ia ucapkan. Dan terkadang malaikat datang kepadaku dalam wujud seorang laki-laki, ia berbicara kepadaku dan aku memahami apa yang ia ucapkan.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Wahyu turun kepada Rasulullah ﷺ selama 23 tahun; tiga belas tahun di Makkah menurut pendapat yang masyhur dan sepuluh tahun di Madinah menurut kesepakatan para ulama.

Wallahu a'lam.

04 Mei 2015

Asbabun Nuzul

Sabab an-Nuzûl adalah suatu perkara yang turun berkenaan dengannya satu atau beberapa ayat yang berbicara tentangnya dan menjelaskan tentang hukumnya.

Dengan definisi ini maka sabab an-nuzul adalah kejadian yang terjadi di zaman Nabi ﷺ, atau pertanyaan yang ditujukan pada beliau, maka turunlah satu ayat atau beberapa ayat dari Allah Ta’ala menjelaskan apa yang berkait dengan kejadian tersebut, atau jawaban dari pertanyaan.

Mengetahui sebab turunnya ayat memiliki beberapa manfaat, diantaranya yang terpenting;
  • Mengetahui secara pasti hikmah Allah dalam apa yang Dia syari’atkan dengan turunnya ayat tersebut. Ketika melihat peristiwa yang menyebabkan turunnya ayat itu, memberikan faedah untuk komitmen dengan tasyri’ (pensyari’atan) yang menjadi sebab turunnya ayat dan tidak berpaling darinya.
  • Membantu dalam memahami makna ayat dan menolak syubhat tentangnya.
  • Mengenali orang-orang yang turun pada mereka ayat-ayat tersebut, yang dengannya akan menjadi sebab mulianya kedudukan orang baik dan rendahnya kedudukan orang jahat.
Memudahkan menghafalkan ayat karena terkaitnya makna ayat dalam hafalan seseorang dengan peristiwa tertentu.

03 Mei 2015

Wanita adalah Aurat

Dalam sebuah hadits shahih, Nabi ﷺ bersabda,

المرأة عورة وإنها إذا خرجت استشرفها الشيطان، وإنها لا تكون أقرب إلى الله منها فى قعر بيتها

Wanita adalah aurat, dan sungguh jika ia keluar maka syaitan akan ‘menjadikannya indah’. Dan tidaklah wanita itu lebih dekat kepada Rabb-nya daripada keadaannya ketika ia berada dalam rumahnya.” (HR. Ath-Thabrani dan lain-lain, dihasankan oleh Al-Albani).

Maksud kata ( استشرفها الشيطان ) adalah syaitan akan mengangkat pandangan orang kepada wanita tersebut untuk memperdayai wanita itu atau memperdayai orang lain, sehingga salah satunya atau keduanya akan jatuh dalam fitnah.

Berkata ath-Thîbî rahimahullahu menjelaskan makna hadits ini, “Makna yang bisa ditangkap adalah bahwa wanita itu selama dia berada di rumahnya maka syaitan tidak akan menginginkannya dalam hal dirinya atau untuk memperdayai manusia. Namun jika dia keluar, maka syaitan akan menginginkannya dan membuat (orang) memiliki keinginan (terhadapnya), karena wanita adalah tali dan perangkap terbesarnya.” (Faidh al Qadîr Syarh al Jâmi’ ash Shaghîr, VI/266).

Sebagian akhawat mengira bahwa hadits ini hanya berlaku untuk wanita yang keluar rumah dengan berhias dan tidak berhijab syar’i. Persangkaan mereka tersebut adalah kekeliruan besar, karena fitnah yang diinginkan syaitan dalam hadits tersebut bukanlah persoalan berhiasnya wanita di hadapan kaum laki-laki namun lebih ke persoalan keluarnya dia dari rumahnya.
 
Karenanya Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengomentari hadits tersebut dengan perkataannya, “Termasuk perkara yang tidak diragukan, bahwa makna kata ‘al-istisyraf’ yang disebutkan mencakup seorang wanita walaupun dia menutup wajahnya. Wanita adalah aurat dalam semua keadaan saat dia keluar.” (Silsilah al Ahâdits ash Shahîhah, hadits no. 2688).

Dengan penjelasan ini semoga para akhawat bisa sadar bahwa berhijabnya mereka diluar rumah pun bisa mendatangkan fitnah, terutama fitnah bagi para ikhwah yang telah mengenal dakwah.

Ada saatnya wanita boleh keluar rumah untuk sebuah hajat yang memang perlu, tapi tujuan kami dari semua ini adalah : JANGAN PERNAH MEMUDAH-MEMUDAHKAN PERSOALAN KELUAR RUMAH, WALAUPUN ATAS NAMA DAKWAH!

Berdiam di rumah adalah sebuah ibadah agung bagi seorang wanita, karena Allah telah memerintahkan hal itu dalam Kitab Sucinya.

Allah Ta’ala berfirman,

وقَرْنَ فى بُيُوْتِكُنَّ وَلا تَبَرّجْنَ تَبَرّجَ الجَاهِلِيّةِ الأوْلىَ

Dan berdiamlah kamu di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu.” (QS. Al-Ahzab ayat 33).

(Sumber bacaan : Hukm Khurûj al Mar-ah li ad Da’wah, Sukainah bintu Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani)

01 Mei 2015

Kekayaan Hakiki itu Bukan dengan Banyaknya Harta

Banyak orang mengira bahwa kekayaan hanyalah dinilai dengan banyaknya harta, dan orang yang tidak memiliki harta bukanlah orang yang kaya.

Akan tetapi Rasul ﷺ telah menjelaskan makna dari kekayaan yang hakiki itu dengan sabdanya,

ليس الغنى عن كثرة العرض، ولكن الغنى غنى النفس

Bukanlah kekayaan dengan banyaknya perbendaharaan, akan tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa.” (hadits muttafaq ‘alaih)

Berapa banyak orang yang memiliki uang dan kekayaan, namun dia sebenarnya hidup dalam “kefakiran” yang hakiki. Anda akan dapatkan orang tersebut senantiasa dalam kegundahan, selalu bekerja untuk menambah hartanya karena takut kemiskinan, kikir terhadap kebaikan agar tidak berkurang harta yang dimilikinya, bahkan mungkin terkadang memutuskan jalinan kekerabatan karena sebab-sebab tersebut.

Dia selalu memandang bahwa dia berada dalam kekurangan dan akan senantiasa menuntut tambahan. Orang yang seperti ini tidak akan pernah damai karena dunia telah bercokol dalam hatinya.

Berkata Khubaib bin ‘Adi radhiyallahu ‘anhu : Kami berada dalam sebuah majelis, kemudian datanglah Nabi ﷺ dan di kepalanya ada bekas air (basah). Sebagian kami berkata : “Kami melihat jiwamu bahagia pada hari ini.” Beliau menjawab : “Tentu saja, alhamdulillah.” Kemudian orang-orang pun mulai berbicara tentang kekayaan. Rasulullah ﷺ pun bersabda,

لا بأس بالغنى لمن اتقى ، والصحة لمن اتقى خير من الغنى ، وطيب النفس من النعيم

Tidak mengapa dengan kekayaan bagi orang yang bertakwa, kesehatan bagi orang yang bertakwa lebih baik daripada kekayaan, dan jiwa yang damai termasuk kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah)