"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

28 Juni 2015

Islam Tidak Mengajarkan Kekerasan

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu dalam penjelasannya terhadap Ushul Tasir dalam firman Allah,

لأُنذِرَكُم بِهِ وَمَن بَلَغَ

Supaya dengannya (Al-Quran) aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).” (QS. Al-An’am ayat 19);

“Ketika muncul persoalan Ikhwan (Al-Muslimin) yang bergerak (dalam pergerakan mereka) tanpa hikmah, bertambah buruklah nama Islam dalam pandangan orang-orang Barat dan yang selain mereka. Yang saya maksudkan adalah orang-orang yang menaruh bahan peledak di tempat-tempat umum dengan dakwaan bahwa perbuatan itu adalah termasuk jihad di jalan Allah.

Akan tetapi hakikatnya, mereka sesungguhnya telah merusak nama Islam dan kaum muslimin lebih besar daripada memperbaiki.

Apa yang mereka telah hasilkan?

Saya bertanya kepada kalian, apakah orang-orang kafir akhirnya masuk ke dalam Islam? Atau justru bertambah jauh darinya?… Mereka justru bertambah jauh darinya!

Sementara para pemeluk Islam, hampir-hampir seorang manusia akan menutup wajahnya agar tidak dikait-kaitkan dengan kelompok yang membuat ketakutan dan teror tersebut. Islam berlepas diri dari mereka… Islam berlepas diri dari mereka…

Bahkan setelah diwajibkannya jihad, para Shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah pergi ke sebuah komunitas kafir untuk membunuhi mereka. Tidak sama sekali!… Kecuali jihad yang memiliki bendera dari seorang pemimpin yang memiliki kemampuan untuk berjihad…

Adapun bentuk terorisme seperti ini, demi Allah, aib untuk kaum muslimin. Saya bersumpah atas nama Allah! Kita tidak pernah mendapatkan hasilnya. Tidak ada hasilnya sama sekali! Bahkan sebaliknya, hal itu semakin merusak citra (Islam).

Andai kita mau menempuh jalan hikmah, bertakwa kepada Allah terhadap diri-diri kita, memperbaiki diri kita terlebih dahulu, kemudian kita berusaha memperbaiki orang lain dengan cara-cara yang syar’i, niscaya hasilnya adalah hasil yang baik.”

(Rekaman dari Syarh Ushul at Tafsir, tahun 1419 H)

21 Juni 2015

Lansia & Orang Sakit yang Tidak Mampu Berpuasa

Ayat yang pertama turun berkenaan dengan puasa Ramadhan adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu puasa.”; sampai pada firmanNya,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah ayat 184).

Maka pada permulaannya, kaum muslimin memiliki pilihan di bulan Ramadhan untuk berpuasa atau berbuka (tidak berpuasa) dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap satu hari yang ditinggalkan puasanya.

Dari Salamah bin al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Ketika turun firman Allah, ‘Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin’, siapa yang ingin berbuka maka ia membayar fidyah. Hingga turunlah ayat yang setelahnya,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu’; dan menghapus (nasakh) ayat tadi.” (HR. Al-Bukhary).

Hukum nasakh ayat tersebut berlaku untuk orang sehat yang sedang bermukim di negerinya.

Adapun orang tua yang telah lanjut usia dan tidak mampu lagi berpuasa, maka hukum nasakh itu tidak berlaku atas mereka. Mereka tetap boleh berbuka tanpa harus mengqadha’ puasanya di hari lain, dan wajib membayar fidyah. Inilah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Diberikan keringanan bagi orang tua yang telah lanjut usia untuk tetap berbuka dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap satu hari (yang ditinggalkan puasanya), dan tidak ada kewajiban mengganti (qadha’) puasa atasnya.” (HR. Ad-Daruquthni dan al-Hakim).

Riwayat ini diperkuat dengan riwayat lain oleh Imam Ahmad (21107), Abu Dawud (507) dan lain-lain dari Mu’adz bin Jabal ia berkata, “Allah telah menetapkan kewajiban puasa Ramadhan atas orang sehat yang bermukim, dan memberikan keringanan bagi orang sakit dan musafir. Dan telah tetap hukum memberi makan bagi orang lanjut usia yang tidak mampu berpuasa.”

Termasuk dalam kategori orang tua yang telah lanjut usia yang tidak mampu berpuasa adalah orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya dan ia tidak mungkin berpuasa. Orang seperti ini boleh berbuka dan membayar fidyah.

Takaran makanan yang dibayarkan dalam fidyah adalah sebesar ½ shâ’ dari makanan pokok masing-masing negeri.

1 shâ’ nabawi setara dengan 4 mudd.

I mudd kurang lebih setara dengan 625 gram. Karenanya, I shâ’ nabawi kurang lebih setara dengan ukuran 2500 gram (2,5 kg).[1]

Untuk kehati-hatian, sebagian fatwa dari para ulama menggenapkan jumlah 1 shâ’ kurang lebih setara dengan 3000 gram (3 kg). [2]

Kesimpulannya, fidyah yang wajib dibayarkan dalam bentuk bahan mentah adalah beras seberat ½ shâ’ atau setara dengan 1 ½ kg.

Sangat baik kalau fidyah beras tersebut disertakan dengan lauk-pauk.

Adapun jika dibayarkan dalam bentuk makanan siap santap, maka boleh dengan mengundang orang miskin sejumlah hari yang ditinggalkan puasanya, kemudian menjamu mereka dalam sebuah jamuan makan siang atau malam.

Atau makanan tersebut diantarkan kepada orang-orang miskin untuk disantap di tempat mereka masing-masing.

Sementara memberi makan satu orang miskin untuk tiga puluh hari, kebanyakan ulama memperbolehkannya, dan ini adalah madzhab Syafi’iyah, Hanabilah dan sebagian dari Malikiyah. Dalam al-Inshâf (III/291) disebutkan: “Diperbolehkan memberikan (makanan) kepada satu orang miskin sekaligus.” [3]

Hukum fidyah ini berlaku juga untuk wanita hamil dan wanita menyusui yang tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan. (silahkan baca artikelnya di : Wanita hamil & menyusui yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan)

Wallahu a’lam

————————

[1] Mudd adalah takaran penuh dua telapak tangan normal orang dewasa. Adapun dengan timbangan, ukurannya akan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan jenis makanan yang ditakar. Karenanya, berbeda pula hitungan shâ’ dalam timbangan kilogram yang disebutkan oleh para ulama karena perbedaan ukuran mudd. Yang kami sebutkan adalah ukuran yang disebutkan Syaikh Abdullah al-Bassam dalam Syarh Bulugh al-Maram. Ulama lain menyebutkan bahwa 1 shâ’ sama dengan 2040 gram, atau 2176 gram, atau 2751 gram. (lihat jawaban fatwa dalam Islamweb)

[2] Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah oleh Syaikh Bin Baz, XIV/200, Fatwa al-Lajnah ad-Dâimah Kerajaan Saudi, IX/371, fatwa no. 12572 dan pendapat yang dipilih oleh Markaz Fatwa Islamweb-Qatar

[3] Dikutip dari Tanya-Jawab tentang Islam

19 Juni 2015

Sunnah dan Adab Berbuka Puasa

Jika matahari telah dipastikan terbenam, disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk segera berbuka dan membatalkan puasanya.

Dalam hadits Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

إذا رأيتم الليل قد أقبل من هاهنا فقد أفطر الصائم

Jika kalian melihat malam telah datang dari arah ini, maka (tiba saatnya) orang berpuasa berbuka.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر

Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Kebaikan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah ittibâ’ (mengikuti) sunnah Nabi ﷺ yang merupakan sebab kebaikan dunia dan akhirat.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ beliau bersabda,

لا يزال الدين ظاهرًا ما عجل الناس الفطر، لأن اليهود والنصارى يؤخرون الإفطار إلى اشتباك النجوم

Agama ini akan senantiasa tegak jika manusia menyegerakan berbuka. Karena orang-orang Yahudi dan Nasrani menunda waktu berbuka hingga bermunculan bintang-bintang.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dishahihkan al-Albani).

Disunnahkan saat berbuka untuk berbuka dengan kurma.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفطر على رطبات قبل أن يصلي، فإن لم تكن رطبات فعلى تمرات، فإن لم تكن حسا حسوات من الماء

“Rasulullah ﷺ berbuka dengan beberapa ruthab sebelum shalat, jika tidak ada ruthab, beliau berbuka dengan beberapa tamr, jika tidak ada, beliau berbuka dengan air.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, hadits hasan).

Ruthab, yaitu kurma yang masih basah, tamr adalah kurma yang telah mengering.

Dan Rasulullah ﷺ jika telah berbuka beliau akan membaca,

ذهب الظمأ و ابتلت العروق و ثبت الأجر إن شاء الله

Dzahaba_dzh-dzhoma-u wa_btallati_l-‘urûq wa tsabata_l-ajru in syâ-a_Llâhu

Telah hilang dahaga, telah basah tenggorokan, dan telah tetap pahala insyaallah.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i dalam al-Kubrâ dan Ibnu as-Sunni, dishahihkan oleh al-Albani).

Para ulama bersepakat bahwa puasa berakhir dan sempurna dengan tenggelamnya matahari dan sunnah bagi orang yang berpuasa untuk segera berbuka jika telah dipastikan tenggelamnya matahari dengan penglihatan langsung atau berita yang disampaikan seorang yang tsiqah (terpercaya).

Mereka juga bersepakat bahwa orang yang berpuasa boleh berbuka dengan ghalabah adzh-dzhann (persangkaan yang dominan). Karena dzhann tersebut menggantikan kedudukan al-yaqîn (keyakinan yang mutlak).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, “Dengan adanya mendung yang menutupi, tidak mungkin terwujud sebuah keyakinan kecuali jika telah berlalu waktu yang panjang dari malam hingga luputlah keutamaan menyegerakan berbuka. Karenanya tidak dianjurkan segera berbuka dengan adanya mendung hingga diyakini tenggelamnya matahari. Dimakruhkan berbuka dengan landasan keraguan tentang terbenamnya matahari, dan tidak dimakruhkan sahur dengan adanya keraguan telah terbitnya fakar kecuali dalam persoalan jima’ (bersetubuh).”

Perkataan beliau berlandaskan sebuah kaedah syar’i bahwa,

الأصل بقاء ما كان على ما كان

“Hukum asalnya adalah tetapnya sesuatu sebagaimana keadaannya”.

Maka dalam sahur, hukum asalnya tetapnya malam hingga diyakini terbitnya fajar, sementara dalam berbuka hukum asalnya adalah tetapnya siang hingga diyakini tenggelamnya matahari.

Wallahu a’lam.

———————

Sumber bacaan :

[1] Taudhîh al Ahkâm min Bulûgh al Marâm
[2]
Shahîh Fiqh as Sunnah

18 Juni 2015

Hukum Puasa bagi Seorang Musafir

Pertanyaan, “Manakah yang lebih utama bagi musafir, berbuka atau puasa? Khususnya safar yang tidak ada keberatan adanya seperti safar dengan pesawat atau alat-alat transportasi modern lainnya.”

Dijawab oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullâhu :

Yang paling utama bagi orang yang berpuasa adalah berbuka dalam safar secara mutlak. Dan siapa yang berpuasa, tidak ada dosa atasnya. Karena telah sah riwayat dari Nabi ﷺ dalam perkara yang ini dan itu. Demikian pula (perbuatan) para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Akan tetapi, jika cuaca sangat panas dan beban semakin berat, berbuka lebih ditekankan dan dibenci berpuasa bagi musafir. Karena Nabi ﷺ saat melihat seorang laki-laki telah dipayungi dalam sebuah safar karena cuaca yang sangat panas sementara dia dalam keadaan berpuasa, beliau ﷺ bersabda,

ليس من البرّ الصوم فى السفر

Bukanlah termasuk kebajikan berpuasa dalam safar.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Dan juga dengan apa yang telah sah dari beliau ﷺ dalam sabdanya,

إن الله يحب أن تُؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته

Sesungguhnya Allah suka jika dikerjakan keringanan-keringanan (yang diberikan)-Nya, sebagaimana Dia benci dikerjakan maksiat (terhadap)-Nya.”

Dalam redaksi lain,

كما يحب أن تؤتى عزائمه

Sebagaimana Dia suka dikerjakan perintah-perintah-Nya.” (HR. Ahmad dan ath-Thabrani, dishahihkan oleh al-Albani).

Tidak ada perbedaan dalam masalah ini antara orang yang mengadakan perjalanan dengan menggunakan mobil, onta, dan kapal laut atau orang yang mengadakan perjalanan dengan menggunakan pesawat. Karena istilah “safar” telah mencakupi mereka semuanya, dan mereka  boleh mengambil keringanan-keringanannya.

Allah subhânahu telah menetapkan bagi para hamba hukum-hukum safar dan mukim di masa Nabi ﷺ dan (berlaku) bagi orang yang datang sesudahnya sampai hari Kiamat. Dia subhânahu mengetahui apa yang bakal terjadi dari perubahan keadaan dan berbagai macam bentuk sarana transportasi. Kalau seandainya hukum tersebut berbeda, niscaya Dia akan menyebutkan tentang hal itu sebagaimana Dia ‘azza wa jalla berfirman dalam surat an-Nahl,

وَنَزَّلنَا عَلَيكَ الكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْئٍ وَهُدىً وَرَحْمَةً وَبُشْرىَ لِلمُسلِمِينَ

Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. 16 : 89).

Dan Dia subhânahu juga berfirman dalam surat an-Nahl,

وَالخَيلَ وَالبِغَالَ وَالحَمِيْرَ لِتَركَبُوهَا وَزِيْنَةً وَيَخْلُقُ مَالا تَعْلَمُونَ

“Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bighal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. 16 : 8)

—————

Sumber : As-ilah Muhimmah Tata’allaq bi ash Shiyâm, hal. 12-14

17 Juni 2015

Hukum-hukum yang Berkait dengan Sahur

Makan sahur adalah sunnah yang sangat ditekankan dalam Islam, walaupun seseorang puasanya dianggap sah tanpa sahur.

Dalam hadits-hadits shahih, Rasulullah ﷺ menganjurkan makan sahur dan memberikan teladan yang dalam amalan tersebut.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

تسحروا فإن فى السحور بركة

Bersahurlah kalian, karena dalam sahur ada keberkahan.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Rasulullah ﷺ juga bersabda,

فصل ما بين صيامنا و صيام أهل الكتاب أكلة السحور

Pembeda antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim).

Bahkan saking pentingnya persoalan sahur tersebut, beliau memerintahkan sahur walaupun hanya dengan seteguk air.

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

تسحروا ولو بجرعة ماء

Bersahurlah kalian walaupun hanya dengan seteguk air.” (Hadits hasan riwayat Imam Ibnu Hibban).

Dan termasuk dalam sunnah sahur adalah mengakhirkan waktu sahur.

Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu ia berkata,

تسحرنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ثم قام إلى الصلاة، قلت : كم بين الأذان و السحور؟ قال : قدر خمسين آية

“Kami bersahur bersama Rasulullah ﷺ kemudian beliau pergi menunaikan shalat.” Aku bertanya: “Berapa jarak antara adzan dan (permulaan) sahur tersebut?” Ia menjawab: “Kurang lebih (bacaan) 50 ayat.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Dari Unaisah bintu Habib radhiyallahu ‘anha ia berkata : Bersabda Rasulullah ﷺ,

إذا أذن ابن أم مكتومٍ فكلوا واشربوا، وإذا أذن بلال فلا تأكلوا ولا تشربوا

Jika Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, makan dan minumlah kalian. Dan jika Bila mengumandangkan adzan, berhentilah makan dan minum.”

(Berkata Unaisah) : Jika salah seorang dari kami masih tersisa sesuatu dari sahurnya, ia akan berkata kepada Bilal, “Tangguhkan (adzan) hingga aku selesai dari sahurku.” (HR. an-Nasa’i, Ahmad dan Ibnu Hibban dengan sanad yang shahih).

Hadits ini memberi pelajaran kepada kita bahwa imsak untuk memulai puasa dimulai dengan masuknya waktu subuh, tidak diundurkan beberapa saat sebelumnya. Bahkan jika seseorang mendengarkan adzan sementara makanan dan minumannya ada di tangannya, maka ia boleh menyelesaikannya. Riwayat tersebut diperkuat dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Bersabda Rasulullah ﷺ,

إذا سمع أحدكم النداء والإناء على يده فلا يضعه حتى يقضي حاجته منه

Jika salah seorang kalian mendengarkan adzan sementara makanan ada di tangannya, janganlah ia meletakkannya hingga ia menyelesaikan hajatnya.” (HR. Abu Dawud).


Sahur adalah istilah yang menunjukkan kepada waktu tertentu, yaitu waktu menjelang terbitnya fajar atau menjelang subuh. Sayangnya sebagian orang justru makan sahur beberapa jam sebelum masuknya waktu hingga akhirnya terjatuh pada kesalahan. Ia telah berpuasa sebelum masuk waktu syar’inya dan tidak mendapatkan keberkahan makan sahur yang dijanjikan.

Orang yang akan berpuasa diharuskan telah berniat puasa di malam hari sebelum terbitnya fajar. Jika dia telah berniat dan tidak terbangun saat sahur, maka dia wajib menahan diri dari makan dan minum, dan puasanya tetap sah.

Demikian sebagian pembahasan yang berkait dengan adab-adab puasa dalam persoalan sahur. Selayaknya seorang muslim mempelajari sunnah Rasulullah ﷺ dalam sahurnya dan dalam semua amalan-amalan ibadahnya, agar ia bisa mengamalkannya sesuai dengan petunjuk syari'at dan diterima di sisi Allah Ta'ala.

Wanita Hamil & Menyusui yang Tidak Berpuasa di Bulan Ramadhan

Pada asalnya, seorang wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui bayinya tetap wajib berpuasa di bulan Ramadhan.

Jika wanita hamil tersebut khawatir terhadap janinnya, dan wanita yang sedang menyusui khawatir akan bayi susuannya yang jika berpuasa air susunya akan berkurang dan sebagainya disebabkan oleh puasa –dengan pengalamannya atau rekomendasi seorang dokter yang terpercaya-, maka tidak ada perselisihan diantara ulama tentang bolehnya bagi kedua wanita tersebut untuk berbuka.

Saat kedua wanita tersebut berbuka di bulan Ramadhan dengan alasan syar’i, apa yang wajib atas keduanya?

Para ulama berselisih tentang kewajiban yang mesti dilakukan keduanya karena meninggalkan puasa Ramadhan.

Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum bahwa keduanya menyuruh wanita hamil dan wanita menyusui yang berbuka puasa di bulan Ramadhan untuk membayar fidyah tanpa harus mengqadha’ puasa yang ditinggalkan. Pendapat ini juga adalah pendapat Sa’id bin Jubair.

Ibnu Abbas memasukkan kedua jenis wanita tersebut ke dalam apa yang Allah maksudkan pada firmanNya,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah ayat 184)

Sisi pendalilannya memasukkan kedua wanita tersebut dalam golongan orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya lagi adalah karena akan selalu berulangnya kehamilan dan penyusuan pada umumnya kaum wanita.

Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini adalah keringanan (rukhshah) bagi laki-laki yang telah lanjut usia dan perempuan yang telah lanjut usia, sementara mereka tidak mampu berpuasa, maka keduanya berbuka dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap satu hari yang ditinggalkan. Demikian pula wanita hamil dan wanita menyusui jika khawatir terhadap anaknya, keduanya berbuka dan memberi makan.” (Riwayat Abu Dawud)

Pendapat ini diriwayatkan juga dari Ibnu Umar dan tidak ada yang menyelisihinya dari para Shahabat.

Jumhur ulama, termasuk para imam yang empat berpendapat wajibnya qadha’ atas kedua wanita tersebut dengan dalil firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah ayat 184)

Mereka berkata : Wanita tersebut lebih mirip dengan orang sakit yang masih bisa diharapkan kesembuhannya, maka ia wajib mengqadha’ jika ia mampu melakukannya.

Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad menambahkan kewajiban mengqadha’ tersebut dengan kewajiban memberi makan satu orang miskin (kaffarah/fidyah) untuk setiap satu hari yang ditinggalkan jika berbukanya itu karena kekhawatiran terhadap keselamatan janin atau anak yang disusui.

Adapun atsar dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, jumhur memandang bahwa hal itu adalah tambahan dari kewajiban wanita itu untuk mengqadha’ puasa yang ditinggalkan.

Sementara al-Laits dan satu riwayat dari Imam Malik berpendapat bahwa kaffarah (fidyah) hanya berlaku untuk wanita menyusui, bukan untuk wanita hamil, karena wanita menyusui memungkinkan baginya untuk menyusukan anaknya pada wanita lain, tidak seperti wanita hamil. Dikarenakan juga karena kehamilan berkait langsung dengan wanita hamil, sehingga kekhawatiran terhadap janin yang ada dalam perutnya sama seperti kekhawatiran terhadap anggota tubuhnya sendiri yang sakit, sehingga dia dihukumi seperti orang sakit yang wajib mengqadha’ puasanya di hari yang lain.

Sementara Atha’ bin Abi Rabah, az-Zuhri, al-Hasan, Sa’id bin al-Musayyib, an-Nakha’i, al-Auza’i dan Abu Hanifah memandang tidak ada kewajiban kaffarah atas keduanya, dan hanya wajib mengqadha’ saja.

Mereka berdalil dengan sabda Nabi ﷺ,

إن الله وضع عن المسافر شطر الصلاة وعن الحامل والمرضع الصوم

Sesungguhnya Allah telah memberi keringanan separuh shalat bagi musafir dan (keringanan) puasa bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. At-Tirmidzi dan an-Nasa’i).

Mereka berkata : Beliau tidak menyuruh untuk membayar kaffarah (fidyah), dan juga dikarenakan hal itu adalah berbuka yang diizinkan karena uzur, maka tidak wajib atasnya kaffarah sebagaimana berbukanya orang sakit.

Dari sekian pendapat ulama ini, pendapat pertama lebih dekat kepada atsar karena diriwayatkan dari pendapat dua orang shahabat yang mulia, kemudian pendapat terkuat setelahnya adalah pendapat Imam Abu Hanifah yang hanya mewajibkan qadha’, dan itulah pendapat yang difatwakan oleh al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz pada saat itu, dan juga fatwa yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Wallahu a’lam.

Untuk lebih rinci tentang pendapat para ulama silahkan dibaca artikel : Apa yang wajib bagi wanita hamil dan menyusui ketika berbuka di bulan Ramadhan?

Inilah pendapat yang kami pilih dan cenderung padanya. Kami sangat menghargai pendapat yang berbeda dalam persoalan ini.

Tapi yang perlu diketahui, bahwa seorang muslim harus memilih salah satu dari pendapat-pendapat tersebut dengan dalilnya dan mengamalkannya tanpa ada keraguan atau kebimbangan. Jangan sampai ada seseorang yang sesuka hatinya memilih dan mengamalkan pendapat yang berbeda-beda setiap tahunnya sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan dirinya tanpa meyakini kebenaran salah satu dari pendapat tersebut untuk diamalkan.

(Ust. Taufiq Rahman)

————————

Bahan rujukan :

[1] Al-Majmû’, an-Nawawi (VI/178)
[2] Shahîh Fiqh as-Sunnah, Abu Malik (II/125-127)
[3] Fatâwâ fî Ahkâm ash-Shiyâm, al-Utsaimin (hal. 159-164)
[4] Fatwa-fatwa al-Lajnah ad-Dâ’imah, Kerajaan Saudi (X/220, fatwa no. 1453)
[5] Fatwa-fatwa situs islamweb.net

14 Juni 2015

Mengamalkan Ru’yah dalam Penetapan Hilal Ramadhan

Majelis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami* dalam simposiumnya yang ke IV bertempat di Kantor Pusat Rabithah al-Alam al-Islami di Makkah al-Mukarramah pada 7-17 Rabi’ul Akhir 1401 H telah menelaah surat Lembaga Dakwah Islam di Singapura yang bertanggal 16 Syawwal 1399 bertepatan dengan 8 Agustus 1979 yang ditujukan kepada Pelaksana tugas Kedutaan Besar Kerajaan Saudi Arabia di sana yang isinya menyebutkan tentang perselisihan antara Lembaga tersebut dengan Majelis Islam Singapura tentang penentuan permulaan dan akhir Ramadhan pada tahun 1399 H bertepatan dengan tahun 1979 M, dimana Lembaga memandang bahwa permulaan dan akhir Ramadhan ditetapkan berdasarkan ru’yah syar’i yang selaras dengan keumuman dalil-dalil syar’i, sementara Majelis Islam Singapura memandang bahwa hal itu ditetapkan dengan perhitungan hisab astronomi. Mereka beralasan dengan perkataannya : “berkait dengan negara-negara di wilayah Asia, dimana langitnya selalu tertutup awan –dan secara khusus Singapura-, maka tempat-tempat untuk melihat hilal sebagian besarnya akan terhalang dari ru’yah tersebut. Yang seperti ini tergolong sebagai uzur yang mesti terjadi, dan karenanya wajib untuk memperkirakannya dengan jalan hisab”.

Setelah para anggota Majelis al-Fiqhi al-Islami mempelajari persoalan ini diatas landasan dalil-dalil syar’i, maka Majelis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami mendukung pendapat Lembaga Dakwah Islam karena jelasnya dalil-dalil syar’i dalam pendapat tersebut.

Majelis juga menetapkan bahwa untuk kondisi yang ada di tempat-tempat seperti Singapura dan sebagian wilayah Asia dan yang lainnya, dimana langitnya tertutup mendung yang menghalangi dari ru’yah, maka kaum muslimin di daerah-daerah tersebut dan yang semacamnya hendaknya mengambil perkataan orang yang mereka percayai dari negeri-negeri Islam yang bertumpu pada ru’yah hilal dengan pandangan mata dan tidak menggunakan hisab dalam bentuk apapun, demi untuk mengamalkan sabdanya ﷺ,

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين

Berpuasalah dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah (menyelesaikan Ramadhan) dengan melihatnya. Jika (penglihatan) kalian tertutupi oleh awan, sempurnakanlah hitungan menjadi tigapuluh.”

Dan sabdanya ﷺ,

لا تصوموا حتى تروا الهلال أو تكملوا العدة، ولا تفطروا حتى تروا الهلال أو تكملوا العدة

Jangan berpuasa hingga kalian melihat hilal atau kalian menyempurnakan hitungan (Sya’ban menjadi tigapuluh). Dan janganlah kalian berbuka (menyelesaikan puasa Ramadhan) hingga kalian melihat hilal atau kalian menyempurnakan hitungan (Ramadhan menjadi tigapuluh).”;
Dan hadits-hadits lain yang semakna dengan keduanya.


(Sumber : Taudhîh al-Ahkâm min Bulûgh al-Marâm, II/650-651)


————————

* Al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami adalah sebuah lembaga fiqh Islam internasional di bawah naungan Rabithah al-‘Alam al-Islami (Liga Muslim se-Dunia) yang berkantor pusat di Kota Makkah, Saudi Arabia

07 Juni 2015

Adab Buang Hajat dalam Islam

Agama kita adalah agama yang sempurna. Tidaklah dia meninggalkan sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam urusan agama atau dunianya melainkan telah dijelaskan. Diantaranya adalah adab-adab dalam buang hajat, yang dengannya Allah memuliakan manusia dari hewan.


Diantara adab-adab buang hajat adalah sebagai berikut :


- Jika seorang muslim akan memasuki kamar kecil maka disunnahkan baginya untuk mengucapkan :

بسم الله، أعوذ بالله من الخبث والخبائث

Bismi_Llâh, a’ûdzu bi_Llâhi min_alkhubutsi wa_lkhabâ-its


(Dengan menyebut nama Allah, aku berlindung kepada Allah dari setan laki-laki maupun setan perempuan).


Saat masuk, dia mendahulukan kaki kiri, dan saat keluar mendahulukan kaki kanan sambil mengucapkan :

غفرانك

Ghufrânaka


(Aku memohon ampunan-Mu ya Allah).

Jika seorang muslim buang hajat di tempat terbuka (bukan di tempat yang disediakan khusus untuk kamar kecil), maka dia harus menjauhi orang-orang untuk berada di tempat yang sepi dan menutup dirinya dari pandangan manusia baik dengan tembok, pohon dan lain-lain. Tidak dibolehkan baginya menghadap kiblat atau membelakanginya karena Nabi ﷺ melarang hal tersebut[1]. Wajib juga baginya menjaga diri, badan dan pakaiannya dari percikan air kencing agar dipastikan bahwa muslim tersebut melaksanakan shalat dalam keadaan suci dan bebas dari najis. Tidak menjaga diri dari dari najis air kencing ini merupakan salah satu dari sebab-sebab terjadinya azab kubur.[2]
 
Tidak dibolehkan juga menyentuh kemaluannya dengan tangan kanannya, dan juga tidak boleh buang air di jalan-jalan manusia, tempat bernaung mereka dan tempat-tempat sumber air dan penampungan air mereka. Nabi ﷺ melarang keras hal tersebut[3] karena akan menyakiti dan membahayakan kesehatan manusia.


Tidak selayaknya pula seorang muslim masuk kamar kecil dengan membawa sesuatu yang berisi tulisan al-Quran atau dzikir. Jika dia khawatir barang itu akan hilang, boleh membawanya masuk dan ditutupi dengan sesuatu (dimasukkan dalam kantongan, tas dan sebagainya).


Demikian pula tidak boleh bercakap-cakap saat buang hajat. Disebutkan dalam hadits bahwa Allah sangat murka dengan perbuatan itu[4]. Begitu juga haram membaca al-Quran dalam kamar kecil.


- Jika telah telah menyelesaikan hajatnya, maka dia wajib membersihkan tempat keluarnya kotoran dengan air (istinja’) atau batu dan yang semacamnya (istijmar).


Istijmar adalah bersuci dengan menggunakan batu atau yang semacamnya seperti tisu, kain kasar dan lain-lain yang bisa membersihkan tempat keluarnya kotoran tersebut. Disyaratkan tiga kali usapan dalam istijmar atau lebih dari itu jika diperlukan. Tidak boleh beristijmar dengan tulang atau kotoran binatang ternak (yang telah mengering) karena Nabi ﷺ melarangnya.[5]


Demikianlah beberapa perkara yang mesti diperhatikan berkait dengan adab dalam buang hajat. Segala puji bagi Allah atas karunia agama yang sempurna ini. Semoga Allah berkenan menguatkan kita diatas agama ini menganugerahkan kesabaran dalam mempelajari hukum-hukumnya dan mengamalkan syari’atnya. Amin!

----------------------------------------


Footnotes :


[1] Hadits muttafaq ‘alaihi 
[2] Hadits muttafaq ‘alaihi 
[3] HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah 
[4] HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah 
[5] HR. Muslim


Sumber : al-Mulakhkhash al-Fiqhi, Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan

04 Juni 2015

Definisi Iman menurut Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah

Iman menurut Aqidah para Salaf, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembenaran dengan hati, ucapan dengan lisan dan perbuatan dengan anggota tubuh, yang bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.

Iman adalah ucapan dan perbuatan. Yaitu ucapan hati dan lisan, serta perbuatan hati, lisan dan anggota tubuh.

Ucapan hati adalah pembenaran, pengakuan dan keyakinannya.

Ucapan lisan adalah pengakuan dalam bentuk amalan, yaitu dengan mengucapkan syahadatain dan mengamalkan segala konsekuensinya.

Perbuatan hati adalah niat, kepasrahan, keikhlasan, ketundukan, cinta dan kehendaknya untuk beramal shalih.

Sementara perbuatan lisan dan anggota tubuh adalah dengan mengerjakan segala perintah dan meninggalkan larangan-larangan.

Tidak ada iman tanpa amalan. Tidak ada ucapan dan perbuatan tanpa niat. Dan tidak ada ucapan, perbuatan dan niat tanpa kesesuaian dengan Sunnah.


Allah telah menyebutkan sifat orang mukmin yang hak adalah untuk orang-orang yang beriman dan mengamalkan konsekuensi dari iman mereka terhadap prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya, yang lahir maupun yang batin. Konsekuensi dari iman itu akan nampak pada keyakinan-keyakinan mereka, ucapan-ucapan mereka dan perbuatan-perbuatan mereka yang lahir maupun yang batin.Allah Ta’ala berfirman, 


إنَّمَا المؤْمِنُونَ الذِيْنَ إذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قلوبُهُم وَإذا تُلِيَتْ عَلَيْهِم آيَاتُهُ زَادَتْهُم إيْمَانًا وعَلىَ رَبِّهِم يَتَوَكَّلونَ، الذِيْنَ يُقِيمونَ الصَلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهم يُنْفِقُونَ، أولَئِكَ هُمُ المُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُم دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِم وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيْمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-nya mereka bertawakkal. (Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabb-nya dan ampunan serta rezki yang mulia.” (QS. Al-Anfal ayat 2-4).

Allah telah menggandengkan antara iman dengan amalan dalam banyak ayat al-Quran. Diantaranya adalah firmanNya,

إنَّ الَّذِيْنَ آمنُوا وَعَمِلُوا الصَالِحَاتِ كانَتْ لَهُم جَنَّاتُ الفِرْدَوسَ نُزُلاً

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan bermamal shalih, bagi mereka Surga Firdaus yang menjadi tempat tinggal.” (QS. Al-Kahf ayat 107).

Dan firmanNya,

وَتِلْكَ الجَنَّةُ أوْرِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُم تَعْمَلُونَ

Dan itulah Surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan.” (QS. Az-Zukhruf ayat 72).

Dan Nabi  bersabda,

الإيمان بضعٌ وسبعون شعبةً فأفضلها قول لا إله إلا الله وأدناها إماطة الأذى عن الطريق والحياء شعبةٌ من الإيمان

Iman itu tujuh puluh sekian cabang. Yang paling utamanya adalah ucapan La ilaha illa_Llahu. Yang paling rendahnya menyingkirkan duri dari jalan. Dan sifat malu adalah cabang dari keimanan.” (HR. Al-Bukhary).

Telah disebutkan dalam dalil-dalil yang banyak bahwa iman itu memiliki derajat dan cabang, yang bisa bertambah dan berkurang, dan bahwa pemiliknya bertingkat-tingkat. Diantaranya adalah firman Allah Ta’ala,

إنَّمَا المؤْمِنُونَ الذِيْنَ إذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قلوبُهُم وَإذا تُلِيَتْ عَلَيْهِم آيَاتُهُ زَادَتْهُم إيْمَانًا وعَلىَ رَبِّهِم يَتَوَكَّلونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabb-nya mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal ayat 2).

Dan sabda Nabi ,

من رأى منكم منكرًا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان

Siapa diantara kamu yang melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).

Demikianlah apa yang dipelajari dan dipahami oleh para Shahabat dari Rasulullah , bahwa iman itu adalah keyakinan, ucapan dan perbuatan, yang bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan maksiat.
 
Berkata Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, “Kesabaran dalam keimanan ibarat kepala bagi tubuh. Siapa yang tidak memiliki kesabaran, tidak iman baginya.”

Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Ya Allah, tambahkan untuk kami keimanan, keyakinan dan fiqh.”

Berkata Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah dan Abu ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhum, “Iman itu bertambah dan berkurang.”

Berkata Waki’ bin al-Jarrah rahimahullahu, “Ahlussunnah mengatakan : Iman adalah ucapan dan perbuatan.”

Dan berkata Imam Ahlussunnah wal Jama’ah, Ahmad bin Hanbal rahimahullahu, “Iman itu bertambah dan berkurang. Bertambahnya itu dengan amalan, dan berkurangnya dengan meninggalkan amal.”[1]

Berkata al-Hasan al-Bashri rahimahullahu, “Bukanlah iman itu hiasan dan angan-angan semata, akan tetapi apa yang bersemayam dalam hati dan dibenarkan oleh amalan.”[2]

Ahlussunnah juga mengatakan : Siapa yang mengeluarkan amalan dari keimanan maka dia adalah seorang Murji’ah, ahli bid’ah yang sesat.

Dan siapa yang menetapkan syahadatain dengan lisannya serta meyakini keesaan Allah dengan hatinya, akan tetapi dia memiliki kelalaian dalam mengamalkan sebagian dari rukun-rukun Islam dengan anggota tubuhnya, maka imannya tidak sempurna. Siapa yang tidak pernah menetapkan syahadatain, tidak akan pernah ada padanya nama iman dan islam.

(Sumber : al Wajîz fî ‘Aqîdah as Salaf ash Shâlih, Ahlu as Sunnah wa al Jamâ’ah)

——————————

[1] Seluruh atsar yang disebutkan diriwayatkan dengan jalan-jalan periwayatan yang shahih oleh Imam al-Lâlikâ’i rahimahullahu dalam bukunya Syarh Ushûl I’tiqâd Ahl as Sunnah wa al Jamâ’ah.

[2] Kitâb al Îmân, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu.

01 Juni 2015

Tabarruk dengan Tempat, Masa atau Sesuatu yang Tidak Disyari’atkan

Diantara bentuk tabarruk terlarang yang bid’ah dan banyak dilakukan oleh kalangan awam dari kaum muslimin adalah bertabarruk dengan tempat-tempat, zaman/masa atau sesuatu yang tidak pernah disebutkan dalil tentang disyari’atkannya perkara tersebut.

Diantara contoh-contoh tabarruk bid’ah tersebut adalah hal-hal berikut ini :

1. Tempat-tempat yang kebetulan pernah dilalui Nabi atau beliau pernah beribadah kepada Allah di tempat tersebut tanpa sengaja memaksudkannya. Hanya kebetulan beliau berada di tempat itu saat datangnya waktu untuk beribadah, dan tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan akan keutamaannya.

Diantara tempat-tempat tersebut yang diagungkan orang-orang awam dan dituju untuk melakukan ibadah padanya atau meyakini keutamaannya adalah bukit Tsaur, gua Hira’, bukit Arafah, tempat-tempat yang pernah dilewati Nabi dalam perjalannya, tujuh masjid yang dekat khandaq (bekas parit saat perang Khandaq), tempat yang diklaim oleh sebagian orang bahwa Nabi dilahirkan di tempat itu, padahal hal seperti ini banyak diperselisihkan, dan juga tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat lahirnya atau hidupnya seorang nabi atau wali, tanpa ada yang bisa memastikan tentang kebenarannya.

Karenanya, tidak boleh seorang muslim sengaja mengunjungi tempat-tempat tersebut untuk beribadah kepada Allah padanya dengan memanjatkan doa, melaksanakan shalat dan yang semacamnya, sebagaimana tidak boleh juga mengusap-usap tempat-tempat itu untuk mencari keberkahan. Tidak disyari’atkan pula untuk memanjat naik ke bukit-bukit pada hari Arafah, bahkan tidak juga untuk mendaki bukit Arafah pada hari Arafah atau yang selainnya. Tidak juga disyari’atkan mengusap batu yang berada di puncak bukit tersebut. Yang disyari’atkan hanyalah wuquf di batu-batu yang dekat darinya jika memungkinkan. Jika tidak, seorang yang berhaji boleh wukuf di mana saja dari tanah Arafah.

Tidak pernah dinukil dari seorang Shahabat pun bahwa mereka sengaja datang ke tempat-tempat itu untuk bertabarruk dengan menciumnya atau mengusapnya atau sengaja untuk beribadah padanya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (II/84) bahwa Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu saat kembali dari berhaji, ia melihat orang-orang berbondong-bondong mendatangi dan shalat di sebuah masjid. Ia bertanya tentang hal tersebut, maka mereka menjelaskan, “(Itu adalah) masjid yang dahulu Nabi pernah shalat di tempat itu.” Maka Umar berkata, “Sungguh, yang membinasakan orang-orang sebelum kalian karena mereka menjadikan bekas-bekas peninggalan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah. Siapa yang menjumpai salah satu dari masjid-masjid ini dan tiba waktu shalat, maka ia boleh shalat. Jika tidak, hendaknya ia lanjutkan (perjalanannya).”

2. Tabarruk dengan sebagian pohon, batu, pilar, sumur dan mata air yang disangka oleh sebagian orang awam bahwa benda itu memiliki keutamaan, entah dengan keyakinan mereka bahwa seorang nabi atau wali pernah berdiam di batu tersebut, atau keyakinan mereka bahwa seorang nabi pernah tidur di bawah pohon itu, atau salah seorang dari orang-orang awam itu melihat mimpi bahwa pohon itu atau batu itu memiliki keberkahan, atau keyakinan bahwa seorang nabi pernah mandi di sebuah sumur atau mata air, atau seseorang pernah mandi padanya dan sembuh dari penyakitnya, dan yang semacamnya. Mereka pun akhirnya mendatanginya dan mencari keberkahan padanya dengan mengusap-usap batu atau pohon, dan mandi dengan air dari sumur atau mata air tersebut dan menggantungkan kertas, paku atau kain di pohon-pohon itu. Terkadang, perbuatan ini membawa sebagian mereka pada peribadatan kepada benda-benda itu, dengan meyakini bahwa benda-benda itu dapat memberi manfaat atau menolak keburukan.

Tidak diragukan bahwa semua bentuk tabarruk yang seperti ini adalah haram dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama dan hal itu tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang jahil. Yang demikian itu adalah termasuk mengada-adakan ibadah yang tidak memiliki landasan dalam Syari’at, dan merupakan sebab terbesar bagi bagi jatuhnya umat ini dalam syirik akbar.

Diriwayatkan oleh Imam al Bukhary dan Imam Muslim dari Abu Waqid al Laitsi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Kami pergi bersama Rasulullah menuju Hunain, sementara kami belum lama lepas dari kekufuran. Orang-orang musyrik memiliki sebuah sidrah (pohon bidara) yang mereka beri’tikaf di sekelilingnya dan menggantungkan padanya senjata-senjata dan barang-barangnya, yang dinamakan Dzât Anwâth. Kami pun melewati pohon tersebut. Kami berkata : “Wahai Rasullullah, buatkan untuk kami Dzât Anwâth sebagaimana mereka memiliki Dzât Anwâth.”

Beliau bersabda :

الله أكبر!! هذا كما قالت بنو إسرائيل : { اجعل لنا إلها كما لهم آلهة، قال إنكم قوم تجهلون } لتركبن سنن من كان قبلكم

Allâhu akbar!! Perkataan ini sebagaimana yang dikatakan oleh Bani Israil: ‘Buatkan untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan!’. Musa berkata: ‘Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang bodoh!’. Sesungguhnya kalian pasti akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian.

Termasuk perkara yang mesti diketahui oleh setiap muslim dalam Islam ini bahwa tidak ada batu dan yang semacamnya yang disyari’atkan untuk diusap atau dicium demi untuk mendapatkan keberkahan. Bahkan, Maqam Ibrahim ‘alaihissalam tidak disyari’atkan untuk dicium walaupun beliau pernah berdiri diatasnya dan bekas kedua kakinya ada diatasnya.

Adapun mengusap dan mencium Hajar Aswad atau mengusap Rukun Yamani saat thawaf, maka perbuatan ini semata-mata bentuk ibadah kepada Allah dan mengikuti sunnah Nabi . Karenanya, saat mencium Hajar Aswad, Umar radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Sungguh, aku mengetahui bahwa engkau hanya sebuah batu yang tidak memberi keburukan atau memberi manfaat. Kalau bukan karena aku melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” (HR. al-Bukhary dan Muslim).

Wajib bagi pemerintah dan orang-orang yang memiliki wewenang dan kemampuan untuk menebang setiap pohon, menghancurkan setiap sumur dan mata air, serta menyingkirkan setiap batu yang dituju orang-orang awam untuk bertabarruk dengannnya sebagaimana yang dilakukan Umar radhiyallahu ‘anhu ketika ia menebang pohon Bai’atur Ridhwan.

3. Tabarruk dengan sebagian malam atau hari yang dikatakan bahwa pada malam atau hari itu terjadi sebuah peristiwa besar dan luar biasa. Seperti malam yang dikatakan padanya terjadi peristiwa Isra’ & Mi’raj, atau hari yang diklaim sebagai hari kelahiran Nabi . Semua ini tidak memiliki landasan sejarah yang kuat karena diperselisihkan oleh para ulama dan bahkan tidak memiliki riwayat yang sah dari Nabi tentang penetapan hari kejadiannya. Perkara-perkara seperti ini adalah buatan manusia yang tidak pernah disebutkan dalam dalil syar’i akan keutamaannya atau keutamaan beribadah padanya.

Sumber : Tahdzîb Tashîl al Aqîdah al Islâmiyyah