"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

26 Juli 2015

Al-Khabar Al-Mardûd

Sebagaimana yang pernah dibahas, jika ditinjau dari sisi kekuatan dan kelemahan periwayatannya, khabar al-Ahad (baik itu yang masyhur, ‘aziz atau gharib) terbagi dua yaitu maqbûl (diterima) dan mardûd (tertolak).

Maqbul adalah apa yang dikuatkan tentang kebenaran orang yang menyampaikan berita tersebut.

Sementara mardud adalah yang tidak dipastikan tentang kebenaran orang yang menyampaikan berita tersebut, dikarenakan hilangnya sebuah atau beberapa syarat bagi diterimanya sebuah hadits sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan hadits shahih.

Para ulama membagi al-khabar al-mardûd kepada banyak bagian dan memberikan nama atau istilah tersendiri untuk kebanyakan dari pembagian tersebut. Sebagian darinya tidak diberikan nama atau istilah khusus, tapi mereka namakan dengan sebutan umum, yaitu dha’îf (lemah).

Sebab-sebab tertolaknya sebuah hadits sangatlah banyak, namun secara garis besar hal itu kembali kepada salah satu dari dua sebab utama, yaitu :

1. Perawi yang gugur (saqth) dalam sanad, dan 
2. Celaan (tha’n) pada diri sang perawi.


As-Saqth min Al-Isnâd

Yang dimaksud “as-saqth min al-isnâd” adalah terputusnya mata rantai sanad dengan gugurnya seorang perawi atau lebih, dengan kesengajaan atau tanpa sengaja dari perbuatan sebagian perawi, sejak permulaan sanad, atau diakhirnya, atau di pertengahannya, baik secara jelas (dzhâhir) maupun tersembunyi (khafiy).

Pembagiannya

a. Saqth dzhâhir

Jenis ini bisa dikenali dan diketahui oleh siapa saja, baik para imam ataupun orang yang selain mereka yang berkecimpung dalam ilmu hadits. Jenis ini bisa dketahui dengan tidak bertemunya antara perawi dengan syaikhnya, entah karena sang perawi tidak menjumpai masa syaikh tersebut, atau ia menjumpai masanya akan tetapi tidak pernah berkumpul bersamanya.

Karenanya, orang yang meneliti sanad hadits butuh kepada pengetahuan tentang masa kehidupan para perawi, karena hal itu akan memberikan penjelasan tentang tahun kelahiran mereka, tahun wafatnya, masa menuntut ilmu dan perjalanannya dalam mencari ilmu, dan lain-lain.

Para ulama hadits memberikan istilah kepada jenis saqth ini dengan empat nama, sesuai dengan tempat terjadinya saqth tersebut atau jumlah perawi yang digugurkan. Nama-nama itu adalah :

b. Saqth khafiy

Jenis ini tidak bisa dikenali dan diketahui kecuali oleh para imam yang pakar dan ahli dalam meneliti jalan-jalan periwayatan hadits dan ‘illah (penyakit tersembunyi) yang berada dalam sanad.

Jenis ini memiliki dua nama, yaitu :

1. Al Mudallas
2. Al Mursal al Khafiy

* * *


Ath-Tha’n fi Ar-Râwi

Yang dimaksud ath-tha’n fi ar-râwi adalah celaan terhadap perawi secara lisan, dan pembicaraan tentang dirinya dari sisi ‘adâlah[1] dan agamanya, atau dari sisi dhabth[2] dan hafalannya.

Sebab-sebab terjadinya celaan terhadap seorang perawi ada sepuluh. Lima bagiannya berkait dengan ‘adâlah, yaitu :

1. Al Kadzib  
2. At Tuhmah bi al Kadzib  
3. Al Fisq  
4. Al Bid’ah  
5. Al Jahâlah

Sementara lima lainnya berkait dengan dhabth, yaitu :

1. Fuhsy al Ghalath  
2. Sû-u al Hifdzh  
3. Al Ghaflah  
4. Katsrah al Auhâm
5. Mukhâlafah ats Tsiqât

Insyaallah, masing-masing istilah ini akan dibahas satu-persatu sesuai dengan urutannya pada tulisan-tulisan berikutnya.

——————–

[1] ‘Adâlah perawi, yaitu bahwa seorang perawi memiliki sifat-sifat sebagai seorang muslim, baligh, berakal, tidak fasik dan tidak melanggar murû’ah (hal-hal yang berkait dengan etika dan kepantasan)

[2] Dhabth perawi, yaitu bahwa seorang perawi memiliki dhabth yang sempurna, entah dhabth shadr ataupun dhabth kitab.

Dhabth shadr adalah kemampuan seorang perawi menyebutkan hafalannya kapan saja dia inginkan atau kapan diminta.

Dhabth kitab adalah ketelitian seorang perawi dalam menjaga bukunya sampai dia menyampaikan hadits-haditsnya.

18 Juli 2015

Sunnahnya Berpuasa Enam Hari di Bulan Syawwal

Disunnahkan untuk berpuasa enam hari di bulan Syawwal selepas puasa Ramadhan dengan dalil hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

من صام رمضان ثم أتبعه ستًا من شوال كان كصيام الدهر

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dan diikuti dengan (puasa) enam hari di bulan Syawwal, maka itu seperti shiyaam ad dahr (puasa sepanjang tahun)”. (HR. Muslim).

Pendapat ini adalah mazhab jumhur ulama yang terdahulu dan belakangan, termasuk para imam yang empat; Abu Hanifah, asy-Syafi'i dan Ahmad.

Adapun Imam Malik rahimahullahu memandang bahwa puasa tersebut makruh agar jangan sampai orang awam mengira puasa itu wajib karena waktunya yang dekat dengan bulan Ramadhan.

Namun pendapat sangatlah lemah jika diperhadapkan dengan hadits yang shahih dari Nabi .

Sebagian ulama mazhab Maliki memberikan uzur kepada Imam Malik atas "kekeliruan" pendapatnya tersebut dengan mengatakan bahwa hadits itu belum sampai kepada beliau. Andai itu hadits itu telah sampai kepadanya, niscaya ia pun akan berpendapat tentang sunnahnya puasa tersebut.

Puasa enam hari ini tidak disyaratkan untuk dilakukan secara berurutan. Walaupun sebagian ulama menganjurkan untuk menyegerakannya setelah 'Id demi untuk memelihara beberapa hal diantaranya untuk bersegera kepada kebaikan dan jangan sampai datang kepadanya urusan-urusan yang akan menghalanginya dari puasa tersebut jika ia menundanya di hari-hari yang lain dari bulan Syawwal.

Puasa ini disunnahkan karena pahalanya dengan puasa Ramadhan sama seperti puasa sepanjang tahun.

Yang demikian karena setiap kebaikan bernilai sepuluh kali lipatnya. Puasa Ramadhan (30 hari) setara dengan sepuluh bulan (300 hari) dan puasa enam hari Syawwal setara dengan dua bulan (60 hari, yang totalnya 360 hari penanggalan bulan).

Dalam hadits Tsauban radhiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ bersabda,

من صام رمضان فشهر بعشرة أشهرٍ وصيام ستةِ أيامٍ بعد الفطر فذلك تمام صيام السنة

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan -sebulan setara dengan sepuluh bulan-, dan berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka itu adalah puasa selama setahun penuh”. (HR. Ahmad)

Orang yang Belum Mengqadha’ Puasa Ramadhan, Apakah Boleh baginya Berpuasa Enam Hari Syawwal?

Ulama berselisih tentang bolehnya berpuasa sunnah sementara orang tersebut masih memiliki tanggungan puasa wajib yang belum diselesaikan.
 
Para imam yang tiga membolehkannya. Sementara yang masyhur dalam mazhab Imam Ahmad bahwa hal itu diharamkan dan puasanya tidak sah selama dia masih memiliki kewajiban puasa wajib yang belum diqadha' (diganti)

Mereka juga berselisih apakah puasa enam hari tersebut boleh diqadha' diluar bulan Syawwal?

Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini dan yang rajih bahwa puasa tersebut tidak bisa diqadha' karena dia adalah puasa sunnah yang telah luput waktunya.

Wallahu a’lam.

15 Juli 2015

Tata Cara Shalat 'Ied

Shalat Ied dilaksanakan dua rakaat dengan dalil hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

صلاة السفر ركعتان، وصلاة الأضحى ركعتان، وصلاة الفطر ركعتان، تمام غير قصر على لسان نبيكم صلى الله عليه وسلم

“Shalat dalam perjalanan dua rakaat, shalat Idul Adha dua rakaat, shalat Idul Fitri dua rakaat; sempurna tanpa dikurangi dengan ucapan lisan Nabi kalian, ﷺ .” (HR. An-Nasa’i dan Ahmad).

Berikut tata cara pelaksanaan shalat Ied secara ringkas,

1. Rakaat pertama sebagaimana shalat-shalat lainnya dimulai dengan takbiratul ihram.

2. Bertakbir dengan tujuh kali takbir sebelum memulai bacaan. Tidak ada riwayat yang sah dari Nabi ﷺ bahwa beliau mengangkat tangan pada setiap takbir, namun Imam Ibnul Qayyim berkata, “Ibnu Umar –dengan semangatnya yang besar dalam mengikuti sunnah- mengangkat tangannya pada setiap takbir.” (Zâd al Ma’âd, I/ 441).

3. Tidak juga ada riwayat yang sah dari Nabi ﷺ tentang bacaan zikir tertentu saat diam diantara takbir-takbir tersebut. Akan tetapi Ibnu Mas’ud berkata, “Diantara dua takbir ada pujian untuk Allah ‘azza wa jalla dan sanjungan untuk Allah.” (Riwayat Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih).

4. Setelah takbir-takbir tersebut, membaca Al-Fatihah dan surat. Disunnahkan membaca surat Qâf pada rakaat pertama dan membaca surat Al-Qamar pada rakaat kedua sebagaimana disebutkan dari Nabi ﷺ dalam hadits riwayat Imam Muslim dan lain-lain. Terkadang beliau juga membaca surat Al-A’lâ dan surat Al-Ghâsyiyah (HR. Muslim dan lainnya).

5. Selesai membaca surat, dilaksanakan shalat sebagaimana biasa dengan ruku’, sujud dan duduk diantara dua sujud.

6. Berdiri ke rakaat kedua dengan bertakbir.

7. Setelah itu bertakbir dengan lima kali takbir dengan sifat yang dilakukan pada rakaat pertama.

8. Membaca Al-Fatihah dan surat sebagaimana yang sudah dijelaskan.

9. Kemudian menyempurnakan shalatnya dan memberi salam.

Inilah pendapat mayoritas para ulama dari kalangan shahabat radhiyallahu 'anhum dan orang-orang yang datang sesudah mereka tentang tata cara shalat Ied.

Mendengarkan Khutbah

Disunnahkan imam untuk menyampaikan khutbah dengan sekali khutbah, berdiri diatas tanah bukan diatas mimbar. Demikianlah yang dilakukan oleh Nabi ﷺ dan para Khulafa’ Rasyidun setelahnya.
Menghadiri dan mendengarkan khutbah ini tidak wajib, bahkan disunnahkan bagi imam untuk memberikan pillihan bagi jamaah yang hadir untuk boleh memilih tinggal atau pergi.

Khutbah Ied ini sama dengan khutbah-khutbah lainnya, dibuka dengan pujian dan sanjungan untuk Allah Ta’ala. Tidak ada hadits yang sah dari Nabi ﷺ bahwa beliau membuka khutbahnya dengan takbir. Wallahu a’lam.

(Sumber : Shahîh Fiqh as Sunnah wa Adillatuhu)

13 Juli 2015

Hukum Seputar Zakat Fithri

Zakat fithri pertama kali diwajibkan bersamaan dengan kewajiban puasa Ramadhan, yaitu pada tahun ke 2 Hijri.

Hikmah disyari’atkannya zakat ini adalah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas berikut ini,

فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث وطعمة للمساكين

“Rasulullah ﷺ telah mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari kotoran dan dosa, dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain dengan sanad yang hasan).

Zakat fithri wajib bagi setiap muslim dengan dalil hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر صاعًا من تمر، أو صاعًا من شعير، على العبد والحر والذكر والأنثى والصغير والكبير، وأمر بها أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة

“Rasulullah ﷺ telah mewajibkan zakat fithri dalam bentuk satu shâ’ kurma atau satu shâ’ gandum terhadap budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin. Dan beliau memerintahkannya untuk ditunaikan sebelum keluarnya manusia menuju shalat Id.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Zakat ini tidak wajib atas janin yang masih dalam kandungan, namun banyak ulama menganjurkan untuk mengeluarkan zakat fithri untuk janin dengan dalil perbuatan Utsman radhiyallahu ‘anhu dan sebagian shahabat.

Zakat fithri ditunaikan dari makanan pokok kaum muslimin, tidak terbatas pada apa yang disebutkan dalam dalil (gandum, kurma dan kismis/anggur yang dikeringkan), akan tetapi dikeluarkan juga dari beras, sagu, jagung dan yang semacamnya yang umum dikonsumsi sebagai makanan pokok di masing-masing negeri yang berbeda.

Takaran yang Wajib Dikeluarkan Setiap Muslim dalam Zakat Fithri

Jumhur ulama menyebutkan bahwa takaran yang wajib dalam zakat fithri adalah satu shâ’ bagi setiap jenis makanan yang disebutkan dalam hadits yaitu gandum, kurma dan kismis (termasuk juga beras dan jenis-jenis makanan pokok lainnya).

1 shâ’ nabawi setara dengan 4 mudd.

1 mudd kurang lebih 625 gram.

Maka takaran 1 shâ’ nabawi kurang lebih 2500 gram (2,5 kg).

Untuk kehati-hatian, sebagian fatwa menggenapkan jumlah 1 shâ’ kurang lebih setara dengan 3000 gram atau 3 kg. (Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah oleh Syaikh Bin Baz, XIV/200, Fatwa al-Lajnah ad-Dâimah Kerajaan Saudi, IX/371, fatwa no. 12572 dan pendapat yang dipilih oleh Markaz Fatwa Islamweb-Qatar)

Waktu Wajib Menunaikan Zakat Fithri

Zakat fithri wajib dikeluarkan sebelum shalat Id dan diharamkan menundanya sampai selesai shalat Id.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah ﷺ memerintahkan zakat fithri untuk ditunaikan sebelum keluarnya manusia menuju shalat Ied.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata,

فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث وطعمة للمساكين، فمن أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة، ومن أداها بعد الصلاة فهي صدقة من الصدقات

“Rasulullah ﷺ telah mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari kotoran dan dosa, dan sebagai makanan untuk orang-orang miskin. Siapa yang menunaikannya sebelum shalat maka itu adalah zakat yang diterima, dan siapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu adalah sedekah dari sedekah-sedekah biasa.” (HR. Abu Dawud dan lain-lain).

Permulaan waktu wajibnya zakat fithri adalah terbenamnya matahari di hari terakhir Ramadhan menurut mazhab jumhur ulama, termasuk Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad.

Karenanya, orang yang meninggal dunia setelah terbenam matahari, zakat tersebut telah wajib atasnya dan wajib ditunaikan oleh walinya. Dan bayi yang baru lahir atau orang yang masuk Islam setelah terbenamnya matahari tidak wajib atasnya zakat fithri karena tidak adanya sebab yang menjadikan perkara itu wajib atasnya.

Boleh Menunaikan Zakat Fithri sebelum Waktu Wajibnya

Afdhalnya zakat fithri dibayarkan pada pagi hari Idul Fithri sebelum pelaksanaan shalat Id. Namun, dibolehkan menyegerakan pembayaran zakat fitri sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri, dan tidak boleh lebih lama dari waktu tersebut.

Dari Nafi’ rahimahullahu ia berkata, “Ibnu Umar memberikan zakat fithrinya kepada orang-orang yang berhak menerimanya, dan mereka diberikan zakat tersebut sehari atau dua hari (sebelum Idul Fithri).” (HR. Al- Bukhary dan Muslim).

Kepada Siapa Zakat Fithri Diberikan?

Zakat fitri tidak disalurkan dan diberikan kecuali kepada orang-orang yang membutuhkan dari kalangan orang-orang fakir dan miskin saja. Ini adalah pendapatnya mazhab Maliki dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan inilah pendapat yang rajih karena zakat fitri disyariatkan dalam kedudukannya sebagai “makanan bagi orang-orang fakir” sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Wallahu a’lam.

-------------------

Baca juga : Tatacara membayar fidyah bagi lansia dan orang sakit yang tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan.

09 Juli 2015

Malam Kemuliaan (Lailatul Qadr)

Kata “al-qadr” atau “al-qadar” bermakna kemuliaan dan keagungan. Kata “al-qadar” juga bermakna ketetapan Allah Ta’ala yang ada pada hamba-hambaNya.

Kedua makna ini ada pada lailatul qadr tersebut.

Dia adalah malam yang penuh dengan kemuliaan sebagaimana firman Allah,

إنا أنزلناه فى ليلة القدر، و ما أدراك ما ليلة القدر، ليلة القدر خير من ألف شهر

Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr ayat 1-3).

Dan Allah berfirman,

إنا أنزلناه فى ليلة مباركة

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” (QS. Ad-Dukhan ayat 3).

Dan malam itu juga adalah malam ditetapkannya perincian takdir segala sesuatu yang akan terjadi dalam setahun. Allah Ta’ala berfirman,

فيها يفرق كل أمر حكيم، أمرا من عندنا

Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Yaitu) urusan yang benar dari sisi kami.” (QS. Ad-Dukhan ayat 4-5).

Lailatul qadr adalah malam yang memiliki keistimewaan di sisi Allah Ta’ala. Diantaranya adalah,

1. Allah menurunkan para malaikat ke bumi dan mereka turun dengan membawa kebaikan, keberkahan, kasih sayang dan kedamaian. Bersama mereka penghulu para malaikat, Jibril ‘alaihissalam.

2. Malam itu dipenuhi dengan kedamaian dan ketenangan sejak permulaan malam hingga pagi hari. Allah Ta’ala berfirman,

سلام هي حتى مطلع الفجر

Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr ayat 5).

3. Ibadah pada malam itu lebih baik daripada ibadahnya seseorang selama seribu bulan dari waktu-waktu yang selain malam itu. Allah berfirman,

ليلة القدر خير من ألف شهر

Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr ayat 1-3).

4. Disebutkan dalam Shahih al-Bukhary dan Shahih Muslim bahwa Nabi ﷺ bersabda,

من قام ليلة القدر إيمانا و احتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Barangsiapa beribadah pada malam kemuliaan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, akan diampuni baginya dosa-dosanya yang telah berlalu.”

Di Malam Apakah Lailatul Qadr?

Tidak diragukan bahwa lailatul qadr berada di bulan Ramadhan.

Adapun kepastian harinya diperselisihkan oleh para ulama. Imam Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bary (IV/309) menyebutkan lebih dari 40 pendapat dalam masalah tersebut.

Mayoritas ulama mengatakan bahwa malam tersebut berada di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan berdasarkan sabda Nabi ﷺ,

فابتغوها فى العشر الأواخر

Carilah dia di sepuluh hari terakhir.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Dari pendapat tersebut, sebagian besarnya lagi mengatakan bahwa malam itu berada pada yang ganjil dari sepuluh malam terakhir dengan dalil sabdanya,

تحروا ليلة القدر فى الوتر من العشر الأواخر

Carilah lailatul qadr pada yang ganjil dari sepuluh malam yang terakhir.” (HR. Al-Bukhary).

Dan sebagian besarnya lagi dari pendapat ini menyebutkan bahwa malam itu adalah malam ke 27, dan ini adalah perkataan sebagian shahabat seperti Umar bin al-Khattab, Hudzaifah ibnul Yaman dan disebutkan dalam Shahih Imam Muslim bahwa Ubay bin Ka’ab bersumpah bahwa malam itu adalah malam ke 27.

Yang nampak dari dalil-dalil tersebut bahwa malam itu dipastikan berada pada yang ganjil dari sepuluh malam yang terakhir dan mungkin saja dia selalu berpindah pada setiap tahunnya. Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab di malam ke 27 mungkin saja terjadi pada tahun tersebut namun tidak berarti itu terjadi setiap tahun. Karena Nabi ﷺ pernah mendapatkan lailatul qadr dan saat itu bertepatan dengan malam ke 21.

Dalam hadits Abu Sa’id disebutkan bahwa Nabi ﷺ berkhutbah dan berkata,

إني أريت ليلة القدر ثم أنسيتها، فالتمسوها فى العشر الأواخر فى الوتر، وإني رأيت أني أسجد فى ماء وطين

Aku telah melihat lailatul qadr kemudian dijadikan lupa tentangnya. Carilah dia pada yang ganjil dari sepuluh malam terakhir. Sungguh aku melihat diriku bersujud di tanah dan air…” Berkata Abu Sa’id, “Kami dianugerahi hujan pada malam 21. Masjid pun menjadi becek di tempat shalat Rasulullah ﷺ. Aku melihat beliau selesai dari shalat subuh sementara wajahnya berlumuran tanah dan air.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Hikmah disembunyikannya kepastian malam tersebut agar setiap muslim bekerja keras dan bersungguh-sungguh dalam ibadah kepada Allah pada setiap malamnya, dengan harapan salah satu dari malam-malam tersebut adalah lailatul qadr. Nabi ﷺ bersabda,

إني خرجت لأخبركم بليلة القدر، فتلاحى فلان وفلان، فرفعت (يعني رُفع علمها)، وعسى أن يكون خيرًا لكم، فالتمسوها

Sesungguhnya aku telah keluar kepada kalian untuk mengabarkan tentang Lailatul Qadr. Fulan dan fulan pun telah melihatnya. Namun diangkat dariku (ingatan tentang malam tersebut), barangkali saja itu lebih baik buat kalian. Maka carilah dia…” (HR. Al-Bukhary).

Doa saat Lailatul Qadr

Sangat dianjurkan untuk memperbanyak doa terutama doa yang disebutkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ia berkata : Aku bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku beramal pada malam mana saja saat lailatul qadr; apa yang aku ucapkan saat itu?” Beliau ﷺ bersabda, “Ucapkanlah,

اللهم إنَّـكَ عَفُـوٌّ تـُحِبُّ العَـفْوَ فَاعْفُ عَنِّـي

Ya Allah, sesungguhnya Engkau Pemaaf, suka memaafkan, maafkanlah aku.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Wallahu a’lam.

———————

Sumber : Shahîh Fiqh as-Sunnah dan Taudhîh al-Ahkâm

07 Juli 2015

Syarat-Syarat Lâ ilâha illa_Llâhu

Kalimat Lâ ilâha illa_Llâhu bukanlah ucapan manis di bibir saja. Akan tetapi, dia memiliki tujuh syarat yang harus terpenuhi hingga bisa bermanfaat bagi orang yang mengucapkannya…

1. Berilmu/mengetahui makna Lâ ilâha illa_Llâhu, sebagaimana dalam firman-Nya,

فاعلم أنه لا إله إلا الله

Ketahuilah bahwasannya tiada ilâh (yang hak) selain Allah.” (QS. Muhammad : 19).

2. Keyakinan; orang yang mengucapkannya harus meyakini makna yang terkandung dalam kalimat tersebut. Jika dia ragu-ragu akan hal itu, maka kalimat tersebut tidak akan bermanfaat untuknya. Allah Ta’ala berfirman,

إنما المؤمنون الذين آمنوا بالله ورسوله ثم لم يرتابوا

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu.” (QS. Al-Hujurat : 15).

3. Menerima makna yang terkandung dalam kalimat tersebut, yaitu beribadah dan menghambakan diri hanya kepada-Nya dan meninggalkan segala bentuk peribatan/penghambaan kepada yang selain Dia. Siapa yang mengucapkannya, namun tidak mau menerima perkara tersebut, maka dia termasuk orang-orang yang disebutkan dalam firman-Nya,

إنهم كانوا إذا قيل لهم لا إله إلا الله يستكبرون، ويقولون أئنا لتاركوا آلهتنا لشاعر مجنون

Sesungguhnya, mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, ‘Lâ ilâha illa_Llâhu’, mereka menyombongkan diri. Dan mereka berkata, ‘Apakah kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?’.” (QS. Ash-Shaaffaat : 35-36).

4. Ketundukan. Allah Ta’ala berfirman,

ومن يسلم وجهه إلى الله وهو محسن فقد استمسك بالعروة الوثقى

Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (QS. Luqman : 22).

Firman-Nya ( يسلم وجهه ) yaitu tunduk patuh, dan ( العروة الوثقى ) adalah Lâ ilâha illa_Llâhu.

5. Benar dan jujur; yaitu dia mengucapkan kalimat ini dengan benar dari dalam hatinya, sebagaimana dalam sabda Nabi ,

ما من أحد يشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صدقا من قلبه إلا حرمه الله على النار

Tidaklah seseorang mempersaksikan bahwa tiada ilâh yang hak kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, dengan benar (penuh kejujuran) dari dalam hatinya, melainkan Allah akan mengharamkan dirinya dari neraka.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

6. Keikhlasan; yaitu memurnikan amal dari segala macam kotoran syirik, dengan tidak mengucapkannya semata-mata untuk mencari kenikmatan duniawi. Nabi bersabda,

إن الله حرم على النار من قال لا إله إلا الله يبتغي بذلك وجه الله

Sesungguhnya Allah mengharamkan atas neraka orang yang mengucapkan Lâ ilâha illa_Llâhu, yang dengannya dia mengharapkan Wajah Allah.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

7. Kecintaan terhadap kalimat ini dan makna yang terkandung di dalamnya, serta mencintai orang-orang yang mengamalkannya. Allah Ta’ala berfirman,

ومن الناس من يتخذ من دون الله أندادًا يحبونهم كحب الله، والذين آمنوا أشدّ حبًّا لله

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah : 165).

Pengikut setia Lâ ilâha illa_Llâhu mencintai Allah dengan cinta yang sebenarnya, sementara pengikut kesyirikan telah mempersekutukan-Nya dan mencintai sesembahan dan pujaan yang lainnya bersama-Nya. Perbuatan itu tentu saja merusak makna Lâ ilâha illa_Llâhu.

03 Juli 2015

Berhubungan Intim di Siang Hari Ramadhan

Diantara perkara yang bisa merusak puasa seseorang adalah menggauli istri di siang hari Ramadhan.

Perbuatan ini hukumnya haram dan termasuk dosa besar yang membinasakan.

Orang yang melakukan persetubuhan di siang hari Ramadhan dengan sengaja, maka puasanya batal dan ia dikenakan sanksi kaffarah yang sangat berat yaitu membebaskan seorang budak yang mukmin, jika dia tidak mendapatkan budak atau tidak mendapatkan nilainya maka wajib berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu melakukannya karena uzur yang syar’i, dia wajib memberi makan 60 orang miskin. Setiap satu orang miskin diberikan ½ sha’ (1 ½ kg) dari makanan pokok negeri tersebut.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

جاء رجلٌ إلى النبيِّ صلى الله عليه وسلم فقال: هلكتُ يا رسول الله! قال: وما أهلكك؟ قال: وقعتُ على امرأتي فى رمضان، فقال: هل تجد ما تُعتق رقبةً؟ قال: لا، قال: فهل تستطيع أن تصوم شهرين متتابعين؟ قال: لا، قال: فهل تجدُ ما تُطعم ستينَ مسكينًا؟ قال: لا، ثم جلس فأتي النبيُ صلى الله عليه وسلم بعرقٍ فيه تمرٌ فقال: تصدقْ بهذا! فقال: أعلىَ أفقرِ منَّا؟ فما بين لابيتها أهل بيتٍ أحوجُ إليه منا، فضحك النبيُّ صلى الله عليه وسلم حتى بدتْ أنيابه ثم قال: اذهبْ فأطعمه أهلكَ

Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah binasa!” Beliau bertanya, “Apa yang telah membinasakanmu?

“Aku menyetubuhi istriku di bulan Ramadhan!”

Apakah engkau bisa mendapatkan sesuatu yang engkau bisa membebaskan seorang budak?

“Tidak ada.”

Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?

“Tidak.”

Apakah engkau bisa mendapatkan sesuatu untuk memberi makan 60 orang miskin?

“Tidak.”

Ia kemudian duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi ﷺ sebuah tempat berisi kurma dan beliau berkata, “Bersedekahlah dengan ini!

Orang itu berkata, “Apakah untuk orang yang lebih miskin dari kami?! Tidak ada penghuni rumah diantara dua sisi Madinah yang lebih miskin dari kami.”

Nabi ﷺ pun tertawa sampai nampak gigi taringnya. Beliau akhirnya berkata, “Pergilah dan berikan kurma ini sebagai makanan untuk keluargamu.” (HR. Al-Bukhary, Muslim dan lain-lain, redaksi oleh Muslim)

Dengan dalil hadits ini, jumhur ulama termasuk para Imam yang empat berpendapat bahwa seorang yang berpuasa Ramadhan dan melakukan persetubuhan di siang hari dengan sengaja, maka puasanya rusak dan dia wajib membayar kaffarah dan mengqadha’ puasanya. Persetubuhan yang dimaksud adalah melakukan penetrasi di kemaluan walaupun tidak sampai mengeluarkan air mani.

Sementara Imam Abu Muhammad ibnu Hazm rahimahullah berpendapat bahwa yang wajib baginya hanyalah kaffarah dan tidak mengqadha’, karena ibadah-ibadah yang memiliki waktu-waktu yang ditentukan, jika ditinggalkan tanpa uzur (alasan) yang dibenarkan, maka tidak disyariatkan mengqadha’. Karena wajib baginya untuk bertaubat atas kelalaian tersebut. Wallahu a’lam.

Apakah kaffarah itu wajib juga untuk wanita?

Dalam hadits Abu Hurairah diatas, Rasulullah ﷺ memerintahkan laki-laki tersebut untuk membayar kaffarah dan beliau tidak menyebutkan apa-apa tentang wanita. Karena itulah ulama berselisih tentang istri yang digauli suaminya tersebut, apakah dia wajib membayar kaffarah sebagaimana halnya laki-laki?

Pendapat pertama; tidak ada kaffarah untuknya secara mutlak. Ini adalah mazhab Imam asy-Syafi’i dan satu pendapat Imam Ahmad.

Kedua; wanita tersebut membayar kaffarah sebagaimana halnya suami. Ini adalah pendapat jumhur ulama; Abu Hanifah, Malik, satu pendapat dari asy-Syafi’i dan riwayat yang paling shahih dari Imam Ahmad dengan sedikit perbedaan dalam hal jika wanita tersebut seorang wanita merdeka, budak atau dalam keadaan dipaksa.

Ketiga; cukup bagi mereka berdua satu kaffarah kecuali jika kaffarahnya dalam bentuk puasa, maka itu wajib untuk keduanya. Dan ini adalah mazhab Imam al-Auza’i rahimahullah.

Diantara ketiga pendapat tersebut, pendapat jumhur lebih kuat dan pendapat pertama tidak jauh dari kebenaran. Dengannya dapat diperinci bahwa jika wanita yang digauli melakukannya dengan keridhaan maka wajib baginya seperti apa yang wajib bagi laki-laki. Adapun jika ia melakukannya karena dipaksa, maka puasanya tetap sah dan tidak ada kewajiban apa pun atas dirinya. Wallahu a’lam.

Kaffarah wajib secara berurutan

Jumhur ulama mewajibkan kaffarah tersebut secara berurutan. Maka tidak boleh seseorang membayar kaffarah dengan berpuasa 2 bulan berturut-turut kecuali setelah dia tidak mampu untuk membebaskan budak atau membayarkan nilainya, dan tidak boleh memberi makan 60 orang miskin kecuali setelah dia tidak mampu untuk berpuasa 2 bulan tersebut.

Apakah kaffarah berulang dengan berulangnya persetubuhan?

1.  Siapa yang menggauli istri di siang hari bulan Ramadhan, kemudian membayar kaffarah, kemudian menggauli istrinya lagi di hari yang lain, maka wajibnya baginya kaffarah yang baru dengan kesepakatan ulama.

2.  Siapa yang menggauli istrinya beberapa kali dalam satu hari, maka dia wajib membayar satu kaffarah saja dengan kesepakatan ulama.

3.  Siapa yang menggauli istrinya di siang hari Ramadhan dan belum sempat membayar kaffarah, kemudian dia menggauli istrinya lagi di hari yang lain, maka menurut pendapat jumhur, dia wajib membayar kaffarah untuk setiap hari tersebut, karena setiap satu hari Ramadhan adalah ibadah yang berdiri sendiri sehingga mewajibkan kaffarah untuk masing-masing hari tersebut.

Kaffarah tidak gugur dari orang yang miskin

Kaffarah tetap wajib atas orang yang menggauli istri di bulan Ramadhan dan kaffarah itu tidak gugur kewajibannya disebabkan oleh kemiskinan atau ketidakmampuan pelakunya untuk membayar kaffarah tersebut.

Kaffarah tersebut bisa ditebus oleh orang lain dengan syarat orang yang membayarkan kaffarah mengetahui perkaranya itu karena setiap ibadah membutuhkan niat.

Hadits Abu Hurairah juga memberikan faedah bahwa orang yang dibayarkan kaffarahnya dan keluarganya boleh makan dari makanan tersebut selama kaffarah itu datang dari orang lain. Adapun jika dia yang mengeluarkannya sendiri, maka tidak sah jika dia menginfakkannya untuk dirinya sendiri dan keluarganya.

——————–

Sumber :

- Shahîh Fiqh as-Sunnah
– Taudhîh al-Ahkâm

Baca juga :