"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

31 Januari 2016

Kisah Berhala Al-Gharânîq

Setelah berhijrahnya sebagian kaum muslimin ke Habasyah, terjadilah sebuah peristiwa ketika Rasulullah sedang shalat di Masjid al-Haram, beliau membaca surat an-Najm dan bersujud pada ayat sajdah, dan ikut bersujud pula semua orang yang ada saat itu kecuali dua orang yang sombong. Dengan kejadian ini, tersebarlah berita bahwa orang-orang Quraisy telah masuk Islam.

Riwayat-riwayat mursal yang shahih menyebutkan dari para perawinya, yaitu Sa’id bin Jubair, Abu Bakr bin Abdirrahman dan Abul ‘Aliyah, bahwa syaitan telah menyelipkan kepada lisan Rasulullah  dalam bacaannya itu ungkapan,

تلك الغرانيق العلا، وإن شفاعتهن لترتجى

“Itulah al-Gharaniq yang tinggi. Dan sesungguhnya, syafaat merekalah yang diharapkan.”

Apa yang disebutkan para perawi yang tsiqah (sangat terpercaya) tersebut bertentangan dengan ‘ishmah (kema’shuman) Nabi dalam persoalan wahyu, dan bertentangan dengan tauhid yang merupakan prinsip dasar aqidah Islam.
 
Karenanya, riwayat-riwayat ini tertolak matan (isi hadits)nya walaupun andaikan datang dari jalan periwayatan yang banyak, karena ketiga perawi tersebut meriwayatkannya dari beberapa orang syaikh.

Sangat mungkin sujudnya orang-orang musyrik bersama Rasulullah dikarenakan rasa takut disebabkan oleh apa yang telah mereka dengarkan tentang kehancuran umat-umat terdahulu.

Wallahu a'lam.

(Dari kitab as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah, I/171-172 dengan ringkas)

30 Januari 2016

Kaligrafi Ayat Al-Quran dalam Bentuk Gambar Burung

Majelis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami (Lembaga Fiqh Islam) dibawah naungan Rabithah al-‘Alam al-Islami (Liga Muslim se-Dunia), dalam pertemuannya yang ke XII di Makkah al-Mukarramah pada hari Sabtu, 15 Rajab 1410/10 Februari 1990 – Sabtu, 22 Rajab 1410/17 Februari 1990, telah membahas persoalan penulisan satu ayat atau beberapa ayat al-Qur’an al-Karim dalam bentuk gambar burung.

Majelis menetapkan dengan ijma’ bahwasannya tidak boleh melakukan hal tersebut, karena hal itu mempermainkan, meremehkan dan menghinakan Kalâm (firman) Allah subhanahu wa ta’ala.


Ketua : Abdul Azîz bin Abdullâh bin Bâz (Mufti Saudi)

Wakil : Dr. Abdullâh Umar Nashîf (Saudi)

Keanggotaan : Muhammad ibn Jubair (Saudi), Abdurrahman Hamzah al-Marzûqî (Saudi), Dr. Bakr Abdullâh Abû Zaid (Saudi), Abdullâh ibn Abdurrahmân al-Bassâm (Saudi), Shâlih bin Fauzân al-Fauzân (Saudi), Muhammad ibn Abdullâh as-Subail (Saudi), Mustafâ Ahmad az-Zarqâ (Suriah), Muhammad Ahmad as-Sawwâf (Iraq), Dr. Yûsuf bin Abdullâh al-Qaradhâwi (Qatar), Dr. Muhammad Rasyîd Râghib al-Qabbâni (Mufti Lebanon), Abû Bakr Joumi (Nigeria), Dr. Ahmad Fahmî Abû Sinnah (Mesir), Dr. Muhammad al-Habîb ibnul Khaoujah (Mufti Tunisia), Mabrûk Mas’ûd al-Awâdi (Aljazair), Dr. Talâl Umar Bâfaqieh (Saudi).

(Sumber : ar.themwl.org/)

29 Januari 2016

Enggan Mengatakan Dirinya Seorang Salafy

Pertanyaan :

Sebagian ikhwah da'i kami mengatakan : "Saya enggan untuk mengatakan : Saya salafy", khawatir jika manusia akan melihat padanya dengan pandangan hizbiyyah. Apakah ucapan ini benar? Ataukah wajib bagi saya menjelaskan kepada manusia tentang Salafiyyah?

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullahu menjelaskan :

Telah terjadi diskusi antara saya dan seorang penulis Islam yang mereka itu bersama kita diatas al-Kitab dan as-Sunnah. Saya berharap saudara-saudara kami penuntut ilmu untuk mengingat diskusi ini, karena buahnya sangatlah penting.

Saya berkata padanya : "Jika seseorang bertanya kepadamu : Apakah mazhabmu? Bagaimana jawabanmu?"

Ia menjawab : "Muslim."

Saya katakan : "Jawaban itu salah!"

Ia bertanya : "Mengapa?"

Saya katakan : "Jika ada yang bertanya padamu : Apakah agamamu?"

Ia mengatakan : "Saya muslim."

Saya jelaskan : "Saya, pertama tadi tidak bertanya tentang agamamu. Saya bertanya tentang mazhabmu. Anda mengetahui bahwa di dunia Islam hari ini, terdapat mazhab-mazhab yang sangat banyak sekali. Anda bersama kami dalam menghukumi sebagiannya bukanlah bagian dari Islam ini secara mutlak, seperti (sekte-sekte) Duruz –misalkan-, Isma'iliyyah, 'Alawiyyah dan yang semacamnya. Walaupun demikian, mereka semua mengatakan : 'Kami muslim'. Disana ada saja sebagian kelompok yang tidak mengatakan bahwa sekte-sekte itu telah keluar dari Islam. Namun tidak diragukan bahwa dia masuk dalam sekte-sekte sesat yang dalam banyak persoalan telah keluar dari ajaran al-Kitab dan as-Sunnah, seperti Mu'tazilah, Khawarij, Murji'ah, Jabariyah dan yang semacamnya. Bagaimana pendapatmu, apakah yang seperti ini ada padamu pada hari ini atau tidak?"
Ia berkata : "Iya…"

Saya berkata : "Jika kita bertanya kepada seseorang dari mereka : Apa mazhabmu?; niscaya dia akan menjawab dengan hati-hati : Saya muslim! ... Anda muslim dan dia pun muslim. Jadi, kami ingin Anda menjelaskan dalam jawabanmu itu tentang mazhabmu setelah Islammu dan agamamu."

Ia menjawab : "Kalau begitu, mazhabku adalah al-Kitab adan as-Sunnah."

Saya katakan : "Jawaban ini juga tidaklah cukup!"

Ia bertanya : "Mengapa?"

Saya katakan : "Karena orang-orang yang telah kita sebutkan tadi, mereka akan mengatakan tentang diri-diri mereka bahwa mereka adalah kaum muslimin, dan tidak seorang pun akan berkata : Saya tidak berada diatas al-Kitab dan as-Sunnah! Misalkan saja, apakah Syi'ah mengatakan : 'Kami berseberangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah?' Bahkan mereka akan mengatakan : 'Kami berada diatas al-Kitab dan as-Sunnah… Kalianlah yang telah menyimpang dari al-Kitab dan as-Sunnah!'

Maka, tidak cukup, wahai Ustadz, untuk mengatakan : Saya muslim diatas al-Kitab dan as-Sunnah. Tidak boleh tidak, harus ada tambahan lain. Bagaimana pendapat Anda, apakah boleh kita memahami al-Kitab dan as-Sunnah dengan pemahaman baru, ataukah kita wajib komitmen dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah menurut pemahaman as-Salaf ash-Shalih?"

Ia menjawab : "Mesti seperti itu."

Saya bertanya : "Apakah Anda meyakini bahwa pengikut-pengikut mazhab-mazhab lain, mereka yang keluar dari Islam dan mendakwakan Islam, dan orang yang masih berada dalam lingkaran Islam akan tetapi dia menyimpang pada sebagian hukum-hukumnya; apakah Anda meyakini bahwa mereka mengatakan bersama Anda dan saya : Kita berada diatas al-Kitab dan as-Sunnah, dan diatas manhaj as-Salaf ash-Shalih?"

Ia menjawab : "Tidak. Mereka tidak bersama kita."

Saya katakan : "Kalau demikian, Anda tidak cukup mengatakan : Saya berada diatas al-Kitab dan as-Sunnah. Mesti ada tambahan lain."

Ia berkata : "Benar."

Saya berkata : "Kalau begitu, Anda akan mengatakan : 'Diatas al-Kitab dan as-Sunnah, dan diatas manhaj as-Salaf ash-Shalih'. Sekarang, kita akan datang kepada sebuah kata ringkas. Saya katakan padanya, dan ia adalah seorang sastrawan dan penulis, apakah ada satu kalimat dalam bahasa Arab yang bisa mengumpulkan untuk kita isyarat seluruh kata-kata itu; muslim, diatas al-Kitab dan as-Sunnah, dan manhaj as-Salaf ash-Shalih, misalkan : Saya Salafy?"

Ia menjawab : "Memang seperti itu…"

(Jawaban) saya pun jatuh di tangannya. Inilah jawabannya. Jika seseorang mengingkarimu, katakanlah padanya seperti ucapan ini yang telah kami sebutkan : "Engkau siapa?" Dia akan menjawabmu : "Muslim." … dan sempurnakan diskusi itu bersamanya…

Subhânaka_Llâhumma wa bihamdik, asy-hadu an lâ ilâha illâ Anta, astaghfiruka wa atûbu ilaik.


(Dari rekaman kaset berjudul : Hukm Ta'addud al Jamâ'ât al Hizbiyyah)

26 Januari 2016

Fitnah itu Buta, Tuli & Bisu


Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia didatangi dua orang pada masa terjadinya fitnah (di masa) Ibnu az-Zubair. Keduanya berkata : Sesungguhnya orang-orang telah bertindak (dalam fitnah) sementara engkau adalah Ibnu Umar dan shahabat Nabi ﷺ. Maka apakah yang menghalangimu untuk keluar (berperang)?

Ia berkata : Yang menghalangiku bahwa Allah telah mengharamkan darah saudaraku.

Keduanya berkata : Bukankah Allah telah berfirman,

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ

Dan perangilah mereka itu hingga tidak ada lagi fitnah”? (QS. Al-Baqarah : 193).

Ibnu Umar menjawab : Kami dahulu berperang hingga tidak ada lagi fitnah dan agama menjadi milik Allah. Sementara kalian ingin berperang hingga terjadi fitnah dan agama menjadi milik selain Allah! (Riwayat al-Bukhary, no. 4513).

Subhanallah! Betapa besar perbedaan antara orang yang berperang untuk menjadikan agama seluruhnya menjadi milik Allah dengan orang yang berperang untuk menimbulkan fitnah diantara kaum muslimin, mengangkat senjata dan sebagiannya memenggal leher sebagian lainnya, sehingga menjadi lemahlah wibawa mereka, hilanglah kekuatan mereka, musuh berkuasa atas mereka dan agama menjadi milik selain Allah.

Semoga Allah melindungi kita dan kaum muslimin dari fitnah, karena fitnah itu buta, tuli dan bisu.

(dari web resmi Syaikh Abdul Razzaq al-Badr hafidzhahullahu)

24 Januari 2016

Wanita yang Haram Dinikahi karena Ikatan Perkawinan

Yaitu wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki karena terjadinya ikatan pernikahan yang berkait dengan dirinya, ayahnya atau anaknya. Status pengharaman ini berlaku untuk selamanya. Dan wanita-wanita tersebut ada empat golongan;

1. Istri Ayah

Para ulama berijma’ bahwa wanita yang telah dinikahi oleh ayah dalam sebuah akad pernikahan, walaupun belum digauli, maka wanita itu tidak halal untuk anaknya untuk selamanya. Demikian juga dengan istri anak, diharamkan atas ayahnya menikahinya untuk selamanya, walaupun belum digauli.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata : Dahulu orang-orang Jahiliyah mengharamkan apa yang diharamkan (dalam pernikahan) kecuali istri ayah dan mengumpulkan antara dua bersaudari. Maka Allah ‘azza wa jalla menurunkan,

وَلاَ تَنْكِحُوْا مَا نَكَحَ آباؤُكُم مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.”

Dan (firmanNya),

وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأُخْتَيْنِ

Dan (diharamkan atas kamu) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara.” (QS. An-Nisa ayat 23, diriwayatkan oleh Imam ath-Thabari dalam tafsirnya dengan sanad yang shahih).

Dari Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhuma ia berkata : Saya menemui paman saya dan bersamanya ada bendera (perang). Aku bertanya, “Kemana engkau pergi?” Ia menjawab, “Aku diutus oleh Rasulullah ﷺ kepada seorang laki-laki yang menikahi istri ayahnya, dan beliau memerintahkan aku untuk membunuhnya dan merampas hartanya.” (HR. Abu Dawud, Ad-Darimi, Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

2. Ibu dari Istri

Ibu dari istri haram atas laki-laki tersebut hanya dengan sekedar akad nikah, walaupun istri itu belum digauli. Demikian pendapat jumhur ulama.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُم

Dan (diharamkan atas kamu) ibu-ibu istrimu (mertua).” (QS. An-Nisa’ ayat 23).

Masuk dalam kategori ini adalah ibu dari ibu istrinya dan ibu dari ayah istrinya.

3. Anak Perempuan Istri

Disyaratkan dalam pengharaman anak perempuan istri ini adalah jika ibunya telah digauli. Adapun jika telah terjadi akad dan belum digauli, anak tersebut halal untuk dinikahi jika telah terjadi perceraian.

Allah Ta’ala berfirman,

وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِى حُجُوْرِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ

Dan (diharamkan atas kamu) anak-anak perempuan istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri. Tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menikahinya.” (QS. An-Nisa’ ayat 23).

Masuk dalam pembahasan ini adalah anak perempuan dari anak-anak istri, baik  dari anak yang laki-lakinya maupun perempuan.

4. Istri Anak Kandung

Tidak dihalalkan bagi seorang laki-laki menikahi istri anak kandungnya walaupun hanya dengan sekedar terjadinya akad pernikahan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

Dan (diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu).” (QS. An-Nisa’ ayat 23).

Masuk dalam pembahasan ayat tersebut adalah istri dari anak susu, karena Nabi ﷺ bersabda,

يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب

Diharamkan dari persusuan seperti apa yang diharamkan dari nasab.” (HR. Al-Bukhary).

Untuk memudahkan permasalahan ini kaedahnya adalah : “Semua kerabat wanita yang terjalin dari pernikahan halal bagi si laki-laki kecuali empat; istri ayahnya, ibu istrinya, anak perempuan dari istri yang telah digaulinya dan istri anak kandungnya”.

Faedah :

Istri ayah dan istri anak, anak-anak perempuan mereka berdua (anak dari suami yang lain, bukan anak kandungnya) tidak diharamkan bagi seorang laki-laki. Karenanya, boleh baginya menikahi putri dari istri ayahnya, sebagaimana boleh bagi seorang laki-laki menikahi putri dari istri anaknya. Dan perkara ini adalah kesepakatan para ulama.

Wallahu a’lam.

(Sumber : Shahîh Fiqh as-Sunnah)

22 Januari 2016

Wanita yang Haram Dinikahi karena Nasab

Wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki secara garis besar terbagi dua, yaitu;

1. Yang diharamkan untuk selamanya.

2. Yang diharamkan untuk waktu tertentu. Seorang laki-laki tidak boleh menikahi wanita-wanita tersebut untuk sebuah keadaan tertentu, dan jika keadaan itu telah berakhir, dia boleh menikahi mereka.

Wanita-wanita yang diharamkan untuk selamanya disebabkan oleh satu dari tiga perkara; pengharaman karena nasab (garis keturunan), hubungan pernikahan dan karena penyusuan.

Pada pembahasan ini kita akan membahas bagian pertama dari wanita-wanita yang diharamkan dinikahi karena nasab.

Mereka adalah tujuh golongan wanita berikut ini,

1. Ibu; yaitu wanita yang memiliki keterkaitan dengan seorang laki-laki dalam hal kelahiran, baik dari sisi ibu maupun ayah, seperti ibu kandungnya, ibu dari ayahnya dan ibu dari kakeknya baik dari sisi ayah maupun ibu dan seterusnya (buyut dan yang diatasnya).

2. Anak perempuan; yaitu wanita yang disandarkan kepada seorang laki-laki karena kelahiran, seperti putri kandung, putri dari anak-anak perempuannya dan putri dari anak-anak laki-lakinya dan seterusnya ke bawah (cicit dan yang dibawahnya).

3. Saudari perempuan, baik saudari seayah seibu, saudari seayah ataupun saudari seibu.

4. Saudari ayah, dan seterusnya yang diatasnya. Sehingga masuk dalam golongan ini saudari ayah dari ayahnya dan saudari ayah dari ibunya.

5. Saudari ibu, yaitu saudari-saudari ibunya dan saudari-saudari ibu dari ayahnya (bibi ayahnya dari pihak ibu).

6. Putri saudara laki-laki, dan

7. Putri saudara perempuan; yang mencakup semua anak-anak perempuan dari saudara/saudarinya dari semua arah seterusnya hingga ke bawah (anak perempuan dari keponakan perempuan tersebut, anak perempuan dari anaknya, dan seterusnya).

Ketujuh jenis wanita ini haram dinikahi oleh seorang laki-laki untuk selamanya dengan kesepakatan para ulama.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Diharamkan karena nasab tujuh golongan dan diharamkan karena sebab pernikahan tujuh golongan.”; kemudian ia membaca firman Allah,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ … إلخ

Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan bapakmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara-saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuanmu…” (dan seterusnya dalam QS. An-Nisa’ ayat 23).

Kaedah dalam permasalahan ini adalah : “Semua kerabat wanita dari seorang laki-laki karena pertalian nasab diharamkan atasnya kecuali empat, yaitu putri saudara ayahnya, putri saudara ibunya, putri saudari ayahnya dan putri saudari ibunya”.

Keempat jenis wanita itulah yang telah Allah izinkan untuk rasul-Nya dalam firmanNya,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللَّاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالَاتِكَ اللَّاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ

Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu.” (QS. Al-Ahzab ayat 50).

—————–

(Sumber : Shahîh Fiqh as-Sunnah)

20 Januari 2016

Hadits Al-Mudallas

Telah dijelaskan pada pembahasan terdahulu, hadits mardûd (yang tertolak) secara garis besar disebabkan oleh dua hal; yang pertama adalah perawi yang gugur dalam sanad (as saqth min al isnâd), dan yang kedua adalah celaan pada diri sang perawi (ath tha’n fi ar râwi).

As-saqth min al-isnâd terbagi kepada saqth dzhâhir dan saqth khafiy.

Diantara bentuk saqth dzhâhir adalah al-mu’allaq, al-mu’dhal, al-mursal dan al-munqathi’, dan penjelasannya telah berlalu, alhamdulillah.

Adapun saqth khafiy, maka dia terbagi dua bagian yaitu al-mudallas dan al-mursal al-khafiy.

Berikut adalah penjelasannya dan kita mulai dengan pembahasan jenis pertama, al-mudallas.

Al-mudallas (المُدَلَّس) berasal dari kata “tadlîs” yang bermakna menyembunyikan aib suatu barang dari calon pembeli. Asal kata tadlîs diambil dari kata “ad-dalas” yang bermakna gelap atau campuran kegelapan. Seakan-akan al-mudallis (pelaku tadlîs) ingin menggelapkan perkara sebenarnya yang ada pada hadits sehingga hadits tersebut menjadi kabur (mudallas).

Menurut istilah, al-mudallas adalah menyembunyikan aib dalam sanad dan memperbagus lahirnya.

Penjelasannya; seorang mudallis menutupi aib dalam sanad, yaitu inqithâ’ yang terdapat dalam sanad, dengan menggugurkan nama syaikhnya dan meriwayatkannya langsung dari syaikh syaikhnya (guru dari gurunya), dan dia membuat siasat untuk menyembunyikan hal itu; membaguskan lahir sanadnya yaitu dengan menunjukkan kepada orang yang melihat sanad tersebut seakan-akan sanad itu bersambung (muttashil), tidak ada perawi yang gugur.

Pembagian Tadlîs

Tadlîs secara garis besar terbagi dua;

1. Tadlîs al-isnâd dan
2. Tadlîs asy-syuyûkh.

Tadlîs al-Isnâd (تدليس الاسناد)

Tadlîs al-isnâd adalah sebuah kasus dimana seorang perawi meriwayatkan sesuatu (hadits) yang tidak pernah dia dengarkan dari orang yang pernah dia dengarkan periwayatannya (dalam hadits-hadits lainnya), tanpa secara tegas menyebutkan bahwa dia pernah mendengarkan (hadits) itu darinya.

Untuk lebih jelasnya; seorang perawi pernah mendengarkan sebagian hadits dari seorang syaikh. Kemudian dia meriwayatkan dari syaikh tersebut sebuah hadits, yang sebenarnya hadits itu tidak pernah dia dengarkan langsung dari syaikh itu, namun dia dengarkan dari syaikh yang lain, yang mendengarkannya dari syaikh pertama tadi. Si perawi kemudian menggugurkan nama syaikh kedua dan meriwayatkannya langsung dari syaikh pertama dengan redaksi yang mengandung kemungkinan terjadinya pendengaran tersebut atau yang semacamnya, seperti perkatannya : “Berkata Syaikh” atau “Dari Syaikh”, untuk memperdayai orang lain bahwa ia telah mendengarkannya secara langsung. Akan tetapi ia tidak secara jelas menyebutkan bahwa ia mendengarkan hadits itu dari syaikh tersebut. Dia tidak mengatakan dengan redaksi periwayatan yang jelas seperti : “Saya mendengar” atau “Telah menceritakan kepadaku”, yang tujuannya agar jangan sampai ia menjadi seorang perawi yang berstatus “kadzdzâb” (pendusta). Syaikh yang digugurkan dalam sanad bisa satu atau lebih dari satu orang.

Contoh dari mudallas adalah apa yang diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya sampai kepada Ali bin Khasyram ia berkata : “Telah berkata kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari az-Zuhri…” Ditanyakan pada Ibnu ‘Uyainah : “Engkau mendengarnya dari az-Zuhri?” Ia menjawab : “Tidak, dan tidak juga dari orang yang mendengarkannya dari az-Zuhri… Telah menceritakan kepadaku Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari az-Zuhri…”

Dalam contoh sanad tersebut, Ibnu ‘Uyainah telah menggugurkan dua perawi antara dirinya dengan az-Zuhri.

Tadlîs at-Taswiyah (تدليس التسوية)

Jenis tadlîs seperti ini sebenarnya termasuk dalam jenis tadlîs al-isnâd.

Tadlîs at-taswiyah[1] adalah riwayat seorang perawi dari syaikhnya, kemudian ia menggugurkan nama seorang perawi dha’if (lemah) diantara dua perawi tsiqah (terpercaya) yang salah satunya pernah berjumpa dengan yang lainnya.

Gambarannya : seorang tsiqah meriwayatkan sebuah hadits dari seorang perawi dha’if, dari seorang yang tsiqah. Dan kedua perawi tsiqah tersebut pernah saling berjumpa. Maka datanglah perawi mudallis yang telah mendengarkan hadits dari tsiqah pertama, ia menghilangkan/menggugurkan perawi dha’if yang berada dalam sanad dan menyambungkan sanad dari syaikhnya yang tsiqah tadi meriwayatkan dari tsiqah yang kedua dengan menggunakan redaksi periwayatan yang mengandung kemungkinan tersebut. Maka jadilah seluruh sanad diriwayatkan semuanya oleh perawi-perawi yang tsiqah.

Jenis tadlis seperti ini adalah jenis yang paling buruk, karena tsiqah yang pertama bisa saja orang yang tidak dikenali sebagai orang yang suka melakukan tadlis, sehingga orang yang melihat sanad itu akan mengira bahwa tsiqah tersebut benar-benar meriwayatkannya dari orang yang tsiqah juga, sehingga akhirnya dihukumi sebagai hadits shahih. Yang seperti ini adalah bentuk penipuan yang sangat buruk.

Diantara para perawi yang terkenal suka melakukan tadlis seperti ini adalah Baqiyyah ibnul Walid dan al-Walid bin Muslim.

Contohnya :

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dalam al-‘Ilal, ia berkata : Saya mendengar ayahku –dan ia menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ishaq ibnu Rahoyah, dari Baqiyyah ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Wahb al-Asadi, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, hadits,

لا تحمدوا إسلام المرء حتى تعرفوا عقدة رأيه

Janganlah kamu memuji Islam seseorang hingga kamu mengetahui tentang pokok pemikirannya

Ibnu Abi Hatim berkata : Ayahku berkata : Hadits ini memiliki perkara yang sedikit orang memahaminya. Hadits ini diriwayatkan oleh Ubaidullah bin ‘Amr, dari Ishaq bin Abi Farwah[2], dari Nafi’[3], dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ.

Ubaidullah bin ‘Amr tsiqah. Kuniyahnya Abu Wahb, berasal dari Bani Asad (al-Asadi). Maka Baqiyyah menggunakan kuniyahnya dan menisbatkannya kepada Bani Asad agar tidak ada yang mengenalinya, sehingga ketika Baqiyyah menggugurkan Ishaq bin Abi Farwah (yang dha’if), tidak ada yang menyadarinya.

Tadlîs asy-Syuyûkh (تدليس الشيوخ)

Tadlîs asy-syuyûkh adalah seorang perawi meriwayatkan dari syaikhnya sebuah hadits yang ia dengarkan langsung darinya, dan ia menyebutkan nama syaikhnya tersebut, atau kuniyahnya, atau menisbatkannya atau mensifatkannya dengan nama, kuniyah, penisbatan atau sifat yang syaikh tersebut tidak terkenal dengannya yang memang tujuannya agar ia tidak dikenali.

Jadi pada hakikatnya, dalam kasus ini tidak ada perawi yang digugurkan dan sanad tetap bersambung, namun ada usaha untuk menutupi nama syaikh yang sebenarnya, kuniyahnya atau sifatnya.

Itulah yang diinginkan oleh mudallis (pelaku tadlîs); mensifatkan gurunya dengan sesuatu yang tidak atau kurang dikenali agar tidak dikenali.

Hal ini ia lakukan dikarenakan aib yang bisa merusak reputasinya sebagai perawi hadits, seperti status “lemah” (dha’f) yang ada pada diri syaikh, atau karena usia syaikhnya yang lebih muda dari si perawi dan lain-lain.

Contohnya adalah perkataan Abu Bakr bin Mujahid, seorang imam ahli qira’ah. Ia meriwayatkan dari Abu Bakr Abdullah bin Abu Dawud as-Sijistani dan berkata, “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abi Abdillah…”; dan ia meriwayatkan dari Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan an-Naqqasy dan berkata, “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sanad…”, dengan menisbatkannya kepada nama kakeknya.



Hukum Tadlîs

Tadlîs al-isnâd sangatlah dibenci. Banyak ulama yang mencelanya. Syu’bah adalah salah satu imam yang sangat membenci perbuatan tersebut. Diantara perkataan Syu’bah tentang tadlîs adalah : “Tadlîs adalah saudara kedustaan.”

Tadlîs at-taswiyah lebih buruk statusnya dari tadlîs al-isnâd. Al-Iraqi mengatakan tentang perbuatan ini : “Tadlîs taswiyah merupakan cela/aib bagi orang yang sengaja melakukannya.”

Adapun tadlîs asy-syuyûkh, maka statusnya lebih ringan daripada tadlîs al-isnâd, karena mudallis tidak menggugurkan seorang pun dari sanad. Para ulama membenci tadlîs jenis ini disebabkan pengabaian terhadap riwayat dengan menyembunyikan hakikat sebenarnya dari sanad terhadap orang yang mendengarkan riwayat tersebut. Berat tidaknya status ketidak-sukaan ulama terhadap tadlîs jenis ini akan berbeda sesuai dengan motif si pelaku tadlîs.

(Taysîr Mushthalah al Hadîts, ath-Thahhan)

————————

Footnotes :
[1] Dari kata ( سَوَّى/يُسَوِّي ) yang bermakna menyama-ratakan
[2] Dha’if
[3] Ubaidullah tsiqah sebagaimana disebutkan, Nafi’ seorang tabi’i yang tsiqah.

17 Januari 2016

Hijrah ke Habasyah

Hijrah ke Habasyah pertama kali terjadi pada bulan Rajab tahun kelima setelah kenabian menurut pendapat banyak ulama.

Jumlah mereka yang berhijrah adalah 12 orang laki-laki dan 4 wanita. Pemimpin mereka adalah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dan ikut besertanya juga istrinya, Ruqayyah putri Rasulullah ﷺ.

Ikut dalam rombongan tersebut; Abu Salamah dan istrinya, Ummu Salamah; Abu Sabrah bin Abi Ruhm dan istrinya, Ummu Kultsum; Amir bin Rabi’ah dan istrinya, Laila; Abu Hudzaifah bin Utbah bin Rabi’ah dan istrinya, Sahlah bintu Suhail; Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Mazh’un, Mush’ab bin Umair, Suhail bin al-Baidha’ dan az-Zubair bin al-Awwam. Sebagian besar mereka berasal dari Quraisy.

Ketika tiba di pantai Laut Merah, mereka menyewa sebuah kapal yang menyeberangkan mereka ke tempat tujuan, dan berdiam di Habasyah dalam damai dan aman dari penindasan orang-orang musyrik di bawah perlindungan seorang raja Nasrani yang adil dan kemudian masuk Islam, an-Najasyi.


Termasuk shahabat yang berniat hijrah ke Habasyah adalah Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu.

Ketika ia sampai di Bark al-Ghimad, ia berjumpa dengan Ibnu ad-Daghinnah, penghulu suku al-Qârrah. Ibnu ad-Daghinnah bertanya, “Akan kemana engkau, wahai Abu Bakr?”

Abu Bakr menjawab, “Kaumku telah mengusirku dan aku ingin berjalan di muka bumi agar bisa beribadah kepada Rabb-ku.”

Ibnu ad-Daghinnah berkata, “Orang yang sepertimu tidak boleh keluar dan tidak layak dikeluarkan. Engkau suka membantu orang yang susah, menjalin silaturrahim, menanggung beban, menjamu tamu dan membantu dalam kebenaran. Aku memberimu jaminan keamanan. Kembalilah, dan beribadahlah kepada Rabb-mu di negerimu!”

Kembalilah Abu Bakr bersama Ibnu ad-Daghinnah yang mengumumkan jaminannya untuk Abu Bakr kepada Quraisy. Orang-orang Quraisy sepakat dengan jaminan itu dengan syarat Abu Bakr beribadah dalam rumahnya dan tidak terang-terangan.

Waktu pun berlalu, dan mulailah Abu Bakr membaca al-Quran di halaman rumahnya. Para wanita dan anak-anak berkumpul mengagumi bacaannya dan memperhatikannya. Abu Bakr adalah seorang yang lembut dan mudah menangis. Ia tidak akan sanggup menahan air matanya saat membaca al-Quran.

Quraisy pun panik dengan kejadian itu dan meminta Ibnu ad-Daghinnah untuk mencegahnya. Ibnu ad-Daghinnah memberikannya pilihan untuk menyembunyikan ibadahnya atau mengembalikan jaminannya. Abu Bakr akhirnya mengembalikan jaminannya dan berkata, “Aku kembalikan jaminanmu, dan aku ridha dengan perlindungan Allah.”

Semoga Allah meridhainya, dan meridhai para shahabat Nabi ﷺ.
 
(Disadur dari as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah, Dr. Akram Dhiya' al-'Umari)

16 Januari 2016

Suka Ketenaran dan Pujian

Mencari ketenaran dan popularitas tercela dalam semua keadaannya. Seorang mukmin adalah orang yang rendah hati, tidak menyukai ketenaran. Termasuk perkara yang sangat merusak pribadi seseorang dalam usahanya untuk menuju kepada Rabb-nya adalah cintanya terhadap popularitas, ingin dimuliakan manusia dan suka jika pribadinya memiliki ketokohan di kalangan mereka.

At-Tirmidzi meriwayatkan dalam kitab Al-Jâmi’ dari Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda,

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

Tidaklah dua serigala lapar yang dilepaskan dalam kumpulan kambing lebih berbahaya untuk kambing-kambing itu daripada ketamakan seseorang terhadap harta dan kedudukan dalam agamanya.” (Dishahihkan Al-Albani dalam Shahîh Al-Jâmi’ no. 5620).

Dan diantara peyakit besar dalam cinta ketenaran dan kemuliaan tersebut adalah mencari-cari pujian manusia untuk dirinya, entah itu dalam persoalan kebenaran atau kebatilan.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالتَّمَادُحَ فَإِنَّهُ الذَّبْحُ

Jauhilah oleh kalian saling memuji, karena pujian itu adalah sembelihan.” (Dihasankan Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahîhah no. 1196 dan 1284).

Cinta ketenaran dan popularitas adalah penyakit yang sangat halus dan tersembunyi dalam jiwa. Penyakit yang akan menghancurkan hati yang sering tidak disadari oleh seorang hamba kecuali setelah ia melangkah jauh di dalamnya hingga akhirnya sulit baginya memperbaiki apa yang telah dirusak oleh penyakit tersebut.

Berkata Bisyr bin al-Harits rahimahullahu, “Tidak akan mendapatkan manisnya akhirat seseorang yang suka dikenali oleh manusia.” (At-Tawâdhu’ wa Al-Khumûl, Ibn Abi ad-Dunia, hal. 72).

Berkata Ayyub as-Sakhtiyani rahimahullahu, “Tidak mungkin seorang hamba benar-benar jujur, dan dia masih suka ketenaran.” (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, adz-Dzahabi, VI/20).

Berkata Imam adz-Dzahabi rahimahullahu, “Selayaknya seorang berilmu berbicara dengan niat dan tujuan yang benar. Jika ucapannya membuatnya kagum, hendaknya dia diam. Jika diam membuat kagum, hendaknya dia berbicara. Dan jangan pernah berhenti untuk introspeksi diri, karena diri itu menyukai popularitas dan pujian.” (Siyar A’lâm An-Nubalâ’, IV/494).

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Ash-Shahîh, dari ‘Âmir bin Sa’ad, ia berkata : Dahulu Sa’ad bin Abi Waqqash menggembala unta-untanya. Ia didatangi oleh putranya, Umar. Ketika Sa’ad melihatnya, ia berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari keburukan penunggang ini.” Umar turun dari tunggangannya dan berkata, “Engkau diam bersama unta dan kambingmu, dan engkau biarkan manusia memperebutkan kekuasaan di antara mereka?” Sa’ad memukulnya di dadanya dan berkata, “Diamlah! Aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ

Sesungguhnya Allah menyukai seorang hamba yang bertakwa, kaya dan tersembunyi.”

Syaikh Muhammad Al-Utsaimin rahimahullahu berkata “Al-Khafiy adalah orang yang tidak menampakkan dirinya. Tidak mempedulikan untuk menampilkan dirinya di hadapan manusia, ditunjuk dengan jari atau diperbincangkan manusia. Engkau akan dapatkan dia dari rumahnya ke masjid, dari masjidnya ke rumah, dari rumahnya ke kerabat atau saudaranya, dia menyembunyikan dirinya.” (Syarh Riyâdh Ash-Shâlihîn, hal. 629).

Al-Fudhail bin 'Iyadh bernasehat untuk diri-diri kita, “Jika engkau mampu untuk tidak dikenali, lakukanlah. Apa bebanmu jika engkau tidak dikenal? Apa bebanmu jika engkau tidak dipuji? Apa bebanmu hina dalam pandangan manusia jika engkau terpuji di sisi Allah ‘azza wa jalla?” (At-Tawâdhu’ wa Al-Khumûl oleh Abu Bakr Al-Qurasyi, hal. 43).

Semoga Allah menjaga kita dari keburukan syaitan dan keburukan diri-diri kita sendiri.

13 Januari 2016

Makna As-Salaf & As-Salafiyyah

As-Salaf menurut bahasa adalah apa yang sudah berlalu. As-Salaf adalah kelompok orang yang terdahulu, yaitu satu kaum yang sudah mendahului dalam kehidupan ini.

Dalam kamus, as-Salaf yaitu siapa yang telah mendahuluimu dari bapak-bapakmu dan kerabatmu yang mereka itu lebih tua darimu dalam usia dan keutamaan. [1]

Dalam istilah, jika disebutkan as-Salaf dalam pandangan ulama aqidah maka definisi mereka akan beredar pada makna Shahabat, atau Shahabat dan Tabi’in, atau Shahabat, Tabi’in dan para pengikut mereka dari kalangan generasi terbaik; para imam yang dipersaksikan imamahnya mereka, keutamaan, ittiba’ kepada Sunnah dan ketokohannya dalam Sunnah, menjauhi bid’ah dan kewaspadaan mereka darinya, yang telah disepakati oleh umat ini akan kepemimpinan mereka dan agungnya urusan mereka dalam agama ini. Karena itu, generasi awal umat ini disebut as-Salaf ash-Shalih.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يُشاقِقِ الرَسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لهُ الهُدَى وَيَتّبعْ غَيْرَ سَبِيْلِ المُؤْمِنِيْنَ نُوَلّهِ مَا تَوَلىَّ وَنُصْلِهِ جَهَنّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa ayat 115)

Juga firmanNya,

وَالسَابِقُونَ الأوَّلُوْنَ مِنَ المُهَاجِريْنَ وَالأنْصَارِ وَالذِيْنَ اتّبَعُوهُمْ بإحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ تَحْتهَا الأنْهَارُ خالِدِيْنَ فِيْهَا أبَدًا ذلِكَ الفَوْزُ العَظِيْمُ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah ayat 100)

Dan Rasulullah bersabda,

خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم

Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang datang setelah mereka, kemudian yang datang setelah mereka.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Rasulullah , para Shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, merekalah Salaf umat ini. Dan setiap orang yang mengajak kepada seperti apa yang didakwahkan oleh Rasulullah , para Shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka dia berada diatas manhaj (metode/jalan) para Salaf.


Batasan zaman bukanlah syarat dalam masalah ini. Bahkan, yang menjadi syarat adalah keselarasan dengan al-Kitab dan as-Sunnah dalam aqidah, hukum dan akhlak sesuai dengan pemahaman Salaf. Siapa saja yang sejalan dengan al-Kitab dan as-Sunnah maka dia termasuk pengikut as-Salaf, walaupun berjauhan tempat dan zaman antara dirinya dengan mereka. Siapa yang menyelisihi mereka, maka dia bukan bagian mereka walaupun dia hidup diantara mereka.

Makna istilah Salaf dimaksudkan atas siapa saja yang mengikuti dan meneladani as-Salaf ash-Shalih, yang berjalan diatas jalan mereka pada sepanjang masa. “Salafy” adalah penisbatan kepada mereka, untuk membedakan antara dirinya dengan siapa saja yang menyelisihi manhaj para Salaf dan mengikuti yang selain jalan mereka.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَن يُشاقِقِ الرَسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لهُ الهُدَى وَيَتّبعْ غَيْرَ سَبِيْلِ المُؤْمِنِيْنَ نُوَلّهِ مَا تَوَلىَّ وَنُصْلِهِ جَهَنّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa ayat 115).
Dan tidak ada kelapangan bagi seorang muslim kecuali berbangga dengan penisbatan dirinya kepada mereka.

Kata “As-Salafiyyah” telah menjadi sebuah nama untuk thariqah (jalan/metode)nya para as-Salaf ash-Shalih dalam mempelajari Islam ini, memahami dan mengamalkannya. Dengan ini, paham as-Salafiyyah dimaksudkan atas setiap orang yang komitmen dengan Kitab Allah, dan apa yang shahih dari Sunnah Rasul , komitmen yang sempurna menurut pemahaman para Salaf. [2]

———————

[1] Silahkan rujuk ke Tâjul ‘Arûs, Lisânul ‘Arab dan al-Qâmûs al-Muhîth
[2]
Disadur dari al-Wajîz fî Aqîdah as-Salaf ash-Shâlih, Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah

12 Januari 2016

Iman kepada Takdir Allah

Iman kepada takdir (al-qadha' wa al-qadar) adalah meyakini dengan keyakinan yang kuat dan kokoh bahwa setiap kebaikan dan keburukan terjadi dengan ketentuan dan ketetapan Allah Ta’ala, dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. Segala sesuatu dengan irâdah (kehendak)Nya dan tidak ada yang keluar dari keinginan dan pengaturanNya. Dia mengetahui setiap apa yang telah terjadi, dan segala apa yang akan terjadi sebelum hal itu terjadi dalam ilmuNya yang azali (ada tanpa permulaan). Dia menetapkan takdir segala sesuatu di alam ini sesuai dengan dengan apa yang ada dalam pengetahuanNya dan konsekuensi dari hikmahNya. Dia mengetahui keadaan para hamba, rezki-rezki mereka, ajal-ajal mereka, perbuatan mereka dan lain-lain dari urusan-urusan mereka. Allah Ta’ala berfirman,

وَكانَ أمْرُ اللهِ قَدَرًا مَقْدُورًا

Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (QS. Al-Ahzab ayat 38).

Dia juga berfirman,

إنّا كُلَّ شَيْئٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut kadarnya.” (QS. Al-Qamar ayat 49).

Dan Nabi bersabda,

لا يؤمن عبدٌ حتى يؤمن بالقدر خيره وشرّه من الله وحتى يعلم أن ما أصابه لم يكن ليخطئه وأنّ ما أخطأه لم يكن ليصيبه

Tidaklah seorang hamba beriman hingga dia beriman kepada takdir, baik dan buruknya berasal dari Allah. Dan hingga dia mengetahui bahwa apa yang akan menimpanya tidak akan pernah meleset darinya, dan apa yang dihindarkan darinya tidak akan bakal menimpanya.” (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan Al-Albani).

Iman kepada takdir tidak akan sempurna tanpa empat perkara yang disebut tingkatan takdir atau rukun-rukunnya. Perkara-perkara ini adalah pengantar untuk memahami persoalan takdir. Tidak akan sempurna iman terhadap takdir kecuali dengan mewujudkan seluruh rukun-rukunnya tersebut, karena sebagiannya akan berkait dengan sebagian lainnya.

Pertama : Ilmu (al-‘ilm)

Yaitu mengimani bahwa Allah Maha Mengetahui segala apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi, apa yang belum terjadi dan bagaimana kalau hal itu terjadi, secara global maupun terperinci. Dia Maha Mengetahui apa yang bakal dilakukan para hamba sebelum penciptaan mereka, mengetahui rezki, ajal dan perbuatan mereka, mengetahui gerak dan diamnya mereka, mengetahui yang celaka dan bahagia diantara mereka, dan yang demikian itu dengan ilmuNya yang qadîm, yang Dia disifatkan dengannya semenjak azali. Allah Ta’ala berfirman,

إنَّ اللهَ بِكُلِّ شَيْئٍ عَلِيْمٌ

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taubah ayat 115).

Kedua : Penulisan (al-kitâbah)

Yaitu mengimani bahwa Allah telah menuliskan segala apa yang ada dalam ilmuNya dari ketetapan takdir para hamba di al-Lauh al-Mahfuzh, sebuah kitab yang tidak ada kelalaian sedikit pun padanya. Segala apa yang terjadi dan bakal terjadi di alam ini hingga Hari Kiamat, telah tertulis di sisi Allah Ta’ala dalam Ummul Kitâb, dan dinamakan juga adz-Dzikr, al-Imâm dan al-Kitâb al-Mubîn. Allah Ta’ala berfirman,

وَكُلّ شَيْئٍ أحْصَيْنَاهُ فى إمَامٍ مُبِيْنٍ

Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata.” (QS. Yasin ayat 12)

Dan Nabi bersabda,

إن أول ما خلق الله القلم فقال : اكتب، فقال : ما أكتب؟ قال : اكتب القدر ما كان وما هو كائنُ إلى الأبد

Sesungguhnya yang pertama Allah ciptakan adalah al-Qalam (pena). Dia berfirman : Tulislah! Al-Qalam berkata : Apa yang aku tulis? Allah berfirman : Tulislah takdir, apa yang terjadi dan apa yang bakal terjadi untuk seterusnya.” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Al-Albani).

Ketiga : Kehendak (al-irâdah wa al-masyî’ah)

Bahwa setiap apa yang terjadi di alam ini, maka itu terjadi dengan kehendak Allah dan keinginanNya yang beredar antara kasih sayang dan hikmahNya. Dia memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki dengan kasih sayangNya, dan menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dengan hikmahNya, dan Dia tidak ditanya atas apa yang diperbuatNya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaanNya tersebut. Semua itu terjadi selaras dengan pengetahuanNya yang qadim, yang tercatat dalam al-Lauh al-Mahfuzh. KehendakNya pasti terwujud. Tidak ada sesuatu pun yang lepas dari kehendakNya. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا تشاءُونَ إلاّ أنْ يَشاءَ الله رَبُّ العَالمِيْنَ

Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (QS. At-Takwir ayat 29).

Nabi bersabda,

إن قلوب بني آدم كلها بين إصبعين من أصابع الرحمن كقلب واحد يصرّفه حيث يشاء

Sesungguhnya hati-hati anak-anak Adam seluruhnya berada diantara dua jari dari jari-jari Ar-Rahman, seperti sebuah hati yang satu. Dia mengaturnya bagaimana saja Dia kehendaki.” (HR. Muslim).

Keempat : Penciptaan (al-khalq)

Yaitu mengimani bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu. Tidak ada khâliq (pencipta) selain Dia, dan tidak ada Rabb selain Dia. Segala sesuatu yang selain Dia adalah makhluk (yang diciptakan). Dia-lah pencipta setiap yang berbuat dan perbuatannya, setiap yang bergerak dan gerakannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَخَلَقَ كلَّ شَيْئٍ فَقَدّرَهُ تقْدِيْرًا

Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan ayat 2)

Segala apa yang terjadi dari kebaikan dan keburukan, kekafiran dan keimanan, ketaatan dan maksiat, semuanya telah dikehendakiNya, ditetapkanNya dan diciptakanNya. Allah Ta’ala berfirman,
 
وَمَا كانَ لِنَفْسٍ أنْ تؤْمِنَ إلا بإذْنِ اللهِ

Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah.” (QS. Yunus ‘alaihissalam ayat 100).

قُل لَن يُصِيْبَنَا إلا مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا

Katakanlah : Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.” (QS. At-Taubah ayat 51).

Allah menyukai ketaatan dan membenci maksiat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki dengan keutamaan yang datang dariNya, dan Dia menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dengan keadilanNya.

إنْ تكفُرٌوا فَإنّ الله غنيٌّ عَنْكمْ وَلا يَرْضىَ لِعِبَادِهِ الكُفْرَ وَإنْ تَشْكرُوا يَرْضَهُ لَكمْ وَلا تزرُ وَازرَةٌ وزْرَ أخْرىَ

Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hambaNya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. Az-Zumar ayat 7).

Tidak ada argumen dan uzur bagi orang yang telah Dia sesatkan, karena Allah telah mengutus para rasul untuk menyampaikan hujjahNya. Dan Dia telah menyandarkan pekerjaan seorang hamba kepada dirinya sendiri dan menjadikannya sebagai usahanya sendiri, Dia tidak membebankan kecuali apa yang dalam kemampuan hamba tersebut.

اليَوْمَ تُجْزَى كلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ لا ظُلْمَ اليَوْمَ

Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini.” (QS. Ghafir ayat 17).

لا يُكلفُ اللهُ نَفْسًا إلاّ وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah ayat 286)

Akan tetapi, keburukan tidak dinisbatkan/disandarkan kepada Allah karena kesempurnaan kasih sayangNya. Karena Dia telah menyuruh kepada kebaikan dan melarang dari keburukan. Keburukan itu hanyalah ada pada konsekuensinya dan juga terjadi dengan hikmah dan kebijaksanaanNya.

مَا أصَابَكَ مِن حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَفْسِكَ

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa’ ayat 79).

Allah Ta’ala disucikan dari segala bentuk kezaliman, disifatkan dengan keadilan. Dia tidak menzalimi seorang pun dengan kezaliman sekecil apapun. Seluruh perbuatanNya adalah keadilan dan kasih sayang. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أنَا بظلاّمٍ للعَبِيْدِ

Dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hambaKu.” (QS. Qaf ayat 29).

وَلا يَظْلِمُ رَبّكَ أحَدًا

Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang jua pun.” (QS. Al-Kahf ayat 49).

إنَّ اللهَ لاَ يَظلِمُ مِثقَالَ ذَرَّةٍ

Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah.” (QS. An-Nisa’ ayat 40).

Dan Allah tidak ditanya atas apa yang Dia perbuat dan apa yang Dia kehendaki.

لاَ يُسْألُ عَمّا يَفْعَلُ وَهُوْ يُسْألُونَ

Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-Anbiya’ ayat 23).

Allah telah menciptakan manusia dan perbuatannya. Dia menjadikan untuknya kehendak, kemampuan dan pilihan, sebagai anugerah dariNya agar seluruh perbuatannya itu benar-benar berasal darinya secara hakiki dan bukan majaz (kiasan). Dia juga memberikan manusia itu akal untuk memilah antara yang baik dan buruk, dan tidak menghisabnya kecuali sesuai dengan kadar amalan-amalannya yang terjadi dengan keinginan dan pilihannya sendiri. Seorang manusia tidak dalam keadaan terpaksa. Dia memiliki keinginan dan pilihan, dan dialah yang memilih perbuatannya dan keyakinannya. Hanya saja, dalam kehendaknya itu dia mengikuti kehendak Allah. Apa saja yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendakinya tidak bakal terjadi. Allah Ta’ala, Dia-lah pencipta perbuatan para hamba, dan merekalah yang melakukan perbuatannya sendiri. Perbuatan itu berasal dari Allah dalam bentuk ciptaan dan ketetapan takdir, dan berasal dari hamba dalam bentuk pekerjaan dan usaha.

وَمَا تشاءُونَ إلاّ أنْ يَشاءَ الله رَبُّ العَالمِيْنَ

Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (QS. At-Takwir ayat 29).

Takdir adalah rahasia Allah pada mahkluk ciptaanNya. Tidak ada yang mengetahuinya, tidak malaikat yang didekatkan, dan tidak juga rasul yang diutus. Berlebihan dalam mengkaji dan menyelidiki persoalan ini adalah kesesatan, karena Allah telah melipat ilmu tentang takdir ini dari para hamba, dan Dia melarang mereka untuk menyingkap hakikatnya. Alla berfirman,

لاَ يُسْألُ عَمّا يَفْعَلُ وَهُوْ يُسْألُونَ

Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuatNya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (QS. Al-Anbiya’ ayat 23).

———————–

(Sumber : al Wajîz fî ‘Aqîdah as Salaf ash Shâlih, Ahl as Sunnah wa al Jamâ’ah)

08 Januari 2016

Iman Seorang Mukmin kepada Hari Akhir

Iman kepada hari Akhir adalah keyakinan yang kokoh dan pembenaran yang sepenuhnya terhadap Hari Kiamat serta mengimani seluruh apa yang dikabarkan Allah ‘azza wa jalla dalam KitabNya dan dikabarkan rasulNya ﷺ tentang perkara-perkara yang bakal terjadi setelah kematian hingga masuknya penduduk Surga ke dalam Surga dan masuknya penghuni Neraka ke dalam Neraka.

Allah Ta’ala berfirman tentang sifat-sifat orang yang bertakwa,

وَالذِيْنَ يُؤْمِنُونَ بمَا أنْزلَ إلَيْكَ وَمَا أنزلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبالآخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ

Dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Quran) yang diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) Akhirat.” (QS. Al-Baqarah ayat 4).

Termasuk dalam iman kepada Hari Akhir adalah mengimani segala apa yang telah, sedang dan akan terjadi dari tanda-tanda Kiamat.

Tanda-tanda kecil Kiamat

Tanda-tanda kecil Kiamat adalah tanda-tanda yang mendahului Kiamat itu sebelum terjadinya untuk rentang waktu yang agak panjang. Sebagiannya telah terjadi dan sebagiannya masih terjadi dan akan terjadi sebagai pengantar datangnya tanda-tanda besar terjadinya Hari Kiamat.

Tanda-tanda kecil ini sangatlah banyak, dan akan kami sebutkan sebagiannya dari apa yang disebutkan dalam dalil yang shahih. Diantaranya :
 
Diutusnya Nabi Muhammad ﷺ, kematian beliau, penaklukan Baitul Maqdis, munculnya fitnah peperangan dan munculnya para pendusta yang mendakwakan kenabian.

Diantaranya juga adalah pembuatan hadits-hadits palsu atas nama Rasulullah ﷺ dan penolakan terhadap sunnahnya, tersebarnya kedustaan, diangkatnya ilmu, tersebarnya kebodohan dan kerusakan, wafatnya orang-orang shalih, dan terasingnya Islam dan umatnya.

Diantaranya juga yang masih masih terus berlangsung pada masa kita sekarang dan makin memburuk;  banyaknya pembunuhan, tersebarnya zina, minuman keras dan riba, sedikitnya jumlah laki-laki dan banyaknya jumlah wanita serta keluarnya para wanita dalam keadaan berpakaian tapi telanjang.

Demikian juga termasuk dalam tanda-tanda kecilnya adalah banyaknya pengabaian terhadap amanah, berlomba-lomba dalam meninggikan bangunan, berbangga-bangga dengan menghiasi masjid-masjid, perubahan zaman hingga berhala kembali disembah dan muncullah kesyirikan di umat ini.

Diantara tanda-tandanya yang disebutkan dalam riwayat-riwayat yang shahih; memberi salam hanya kepada orang yang dikenali, ramainya perdagangan, banyaknya pasar dan harta yang berada di tangan manusia tanpa disertai rasa syukur, semakin banyaknya sifat rakus dan kikir, banyaknya persaksian palsu, menyembunyikan persaksian yang benar, permusuhan, diputusnya silaturrahim dan sikap buruk dalam bertetangga. Demikian juga semakin berdekatannya zaman, hilangnya keberkahan waktu, terjadinya fitnah seperti penggalan malam yang gelap gulita, meremehkan sunnah yang dianjurkan dalam Islam dan orang-orang tua yang suka berlagak seperti anak-anak muda.


Tanda-tanda besar Kiamat

Yaitu tanda-tanda yang menunjukkan semakin dekatnya Kiamat tersebut. Jika tanda-tanda ini muncul, maka Kiamat akan segera terjadi. Diantaranya :

Datangnya al-Mahdi, yaitu Muhammad bin Abdillah, dari keluarga Nabi ﷺ. Ia datang dari arah Timur dan berkuasa selama tujuh tahun dengan penuh keadilan setelah sebelumnya bumi ini diliputi oleh kezaliman.

Keluarnya al-Masih ad-Dajjal dan turunnya Isa putra Maryam ‘alaihissalam di menara putih sebelah timur Damaskus. Ia turun sebagai hakim yang memutuskan perkara dengan Syariat Muhammad ﷺ, membunuh Dajjal dan menerapkan hukum di muka bumi dengan hukum Islam.

Diantara tanda-tanda besar lainnya adalah keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, pembenaman di tiga tempat; di Timur, Barat dan di Jazirah Arab; keluarnya asap/kabut, terbitnya matahari dari tempat terbenamnya, keluarnya hewan melata (dâbbah al ardh) yang berbicara kepada manusia dan keluarnya api yang menggiring manusia ke mahsyar (tempat berkumpul).

Termasuk iman kepada Hari Akhir adalah mengimani setiap perkara ghaib yang terjadi setelah kematian, yang dikabarkan Allah dan rasulNya ﷺ yang berkait dengan sakaratul maut, datangnya Malaikat Maut, hadirnya syaitan saat kematian, tidak diterimanya iman seorang kafir saat kematian, alam barzakh, pertanyaan dua malaikat, kenikmatan dan siksa kubur, dan lain-lain.

Dan juga perkara-perkara yang terjadi pada Hari Kiamat Kubra, dimana Allah menghidupkan orang-orang mati, membangkitkan mereka dari kuburnya dan kemudian menghisab mereka.

Mengimani tentang tiga tiupan, kebangkitan dari kubur, dikumpulkannya manusia di mahsyar dalam keadaan telanjang, tidak beralas kaki dan tidak berkhitan, matahari di dekatkan kepada mereka dan diantara mereka ada yang ditenggelamkan keringatnya sendiri.

Pada hari yang sangat agung itu, manusia keluar dari kuburnya seakan-akan mereka adalah belalang yang bertebaran, bersegera menuju kepada Rabb Yang Maha Perkasa. Manusia diliputi oleh rasa takut yang luar biasa, terdiam, dimana lembaran catatan akan dibuka, segala yang tersembunyi akan disingkap, dan Allah berbicara langsung kepada para hambaNya tanpa perantara. Manusia akan dipanggil dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka.

Demikian pula Ahlussunnah beriman tentang timbangan (mîzân) yang dengannya ditimbang amal-amal para hamba, dibukanya catatan-catatan amal, shirât (jembatan) yang dibentangkan diatas Jahannam, Surga dan Neraka yang kekal abadi, telaga Rasulullah ﷺ yang panjangnya sejauh perjalanan sebulan dan lebarnya sejauh perjalan sebulan. Orang yang minum darinya tidak akan haus untuk selamanya. Dan Rasulullah akan memberikan syafaat para hamba, demikian juga para nabi, malaikat dan orang-orang shalih lainnya.

(Disadur dari al Wajîz fî ‘Aqîdah as Salaf ash Shâlih, Ahlu as Sunnah wa al Jamâ’ah)

02 Januari 2016

Adab Tidur dalam Islam

Diantara adab dan sunnah Nabi ﷺ dalam tidur adalah perkara-perkara berikut ini,

1. Bersegera tidur malam dan tidak begadang kecuali untuk hajat yang penting. Dari Abu Barzah bahwa Rasulullah ﷺ benci tidur sebelum Isya dan bercakap-cakap setelahnya. (HR. Al-Bukhary).

2. Berwudhu sebelum tidur. Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim bahwa Nabi ﷺ bersabda,

إذا أتيت مضجعك فتوضأ وضوءك للصلاة ثم اضطجع على شقك الأيمن

Jika engkau mendatangimu tempat tidurmu, maka berwudhulah seperti wudhumu untuk shalat, kemudian berbaringlah dengan sisi badan kananmu…

3. Membersihkan tempat tidur dengan kain. Al-Bukhary meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda,

إذا أوى أحدكم إلى فراشه فلينفض فراشه بداخلة إزاره فإنه لا يدري ما خلفه عليه

Jika salah seorang kamu mendatangi ranjangnya, maka hendaknya ia mengibas ranjangnya dengan bagian dalam kainnya[1], karena ia tidak tahu apa yang ia tinggalkan padanya[2].”

4. Berbaring dengan sisi kanan badan.

5. Berzikir sebelum tidur;

- Diantaranya dengan mengumpulkan dua telapak tangannya, meniup pada keduanya dan membaca al-Mu’awwidzatain[3] dan Qul huwallâhu ahad masing-masing tiga kali serta mengusapkan kedua tangan itu ke wajahnya dan bagian tubuh yang mampu dijangkau. (HR. Al-Bukhary & Muslim).

- Membaca ayat Kursi. (HR. Al-Bukhary).

- Membaca doa,

باسمك اللهم أموت وأحيا

Bismika_llâhumma amûtu wa ahyâ.

Dengan nama-Mu ya Allah, aku mati dan hidup.” (HR. Al-Bukhary & Muslim).

- Membaca doa,

اللهم إني أسلمت وجهي إليك وفوضت أمري إليك والجأت ظهري إليك رغبة ورهبة إليك لا ملجأ ولا منجا منك إلا إليك، اللهم آمنت بكتابك الذي أنزلت وبنبيك الذي أرسلت

Allâhumma aslamtu wajhî ilaik, wa fawwadhtu amrî ilaik, wa alja”tu dzhahrî ilaik, raghbatan wa rahbatan ilaik, lâ malja-a wa lâ manjâ minka illâ ilaik. Allâhumma âmantu bi kitâbika_lladzî anzalta, wa bi nabiyyika_lladzî arsalta.

Ya Allah, sesungguhnya aku memasrahkan wajahku kepadaMu menyerahkan urusanku kepadaMu, menyandarkan punggungku kepadaMu, karena berharap dan takut kepadaMu, tidak ada tempat berlindung dan keselamatan dari (azab dan murka)-Mu kecuali (kembali) kepadaMu. Ya Allah, aku beriman kepada Kitab-Mu yang Engkau turunkan dan kepada nabi-Mu yang Engkau utus.” (HR. A-Bukhary & Muslim)

Dan zikir-zikir lainnya yang shahih[4] diriwayatkan dari Nabi ﷺ .

————————————

Footnotes :

[1] Para ulama menyebutkan bahwa perintah beliau untuk menggunakan bagian dalam kain sarung agar bagian luarnya tetap bersih. Karena pakaian di masa itu sangat sedikit, dan umumnya seseorang hanya memiliki satu pasang pakaian untuk menutupi tubuh bagian atas dan bagian bawahnya.

[2] Yaitu dia tidak tahu hal-hal berbahaya apa yang mungkin ada di ranjang itu saat dia pergi darinya seperti ular, kalajengking dan hewan-hewan kecil lainnya.

[3] Al-mu’awwidzatain yaitu surat an-Nas dan al-Falaq.

[4] Silahkan rujuk ke buku doa dan zikir yang sesuai sunnah seperti buku saku yang ditulis oleh Syaikh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani.