"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

29 Februari 2016

Firqah Al-Murji’ah

Al-Irjâ’ menurut bahasa memiliki beberapa makna diantaranya adalah harapan (al amal), rasa takut (al khauf), penundaan (at ta’khîr), pemberian harapan (i’thâ’ ar rajâ’).

Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat tentang makna sebenarnya dari kata al-Irja’.

Sebagian mengatakan bahwa al-irja’ menurut istilah kembali kepada makna bahasanya, yaitu bermakna penundaan, yaitu penundaan atau mengakhirkan amal dari level keimanan dan menjadikannya pada level kedua, yang bermakna bahwa amal itu bukanlah bagian dari definisi iman. Iman mencakup amalan dari sisi majaz, sementara hakikat sebenarnya adalah sekedar pembenaran (at tashdîq).

Sebagian lain berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan al-irja’ adalah menunda hukum pelaku dosa besar hingga hari Kiamat nanti, dan tidak divonis dengan hukum tertentu dalam kehidupan dunia ini.

Sebagian lagi mengaitkannya dengan fitnah yang terjadi diantara para Shahabat, yaitu menunda atau mengembalikan perkara yang terjadi antara Utsman dan Ali radhiyallahu ‘anhuma, atau antara Ali dan Mu’awiyah kepada Allah Ta’ala, serta tidak menghukumi salah satu diantara mereka dengan keimanan atau kekafiran.

Pondasi yang Dibangun diatasnya Mazhab Murji’ah

Pondasi itu adalah perselisihan tentang hakikat keimanan; iman itu terdiri dari apa, apa saja batasan maknanya, apakah iman hanya perbuatan hati saja, ataukah dia perbuatan hati dan lisan, dan amalan tidak termasuk bagian dari hakikat iman tersebut, yang konsekuensinya iman itu tidak akan bertambah dan berkurang. Itulah poin-poin terpenting yang menjadi pembahasan firqah-firqah Murji’ah.

- Sebagian besar firqah-firqah Murji’ah berpendapat bahwa iman hanyalah apa yang ada di dalam hati, dan tidak akan membahayakannya apa yang nampak dari amal perbuatannya bahkan walaupun hal itu berupa kekafiran dan pembangkangan. Inilah mazhab al-Jahm bin Shafwan. Dalam pandangannya, pengakuan dengan lisan dan amalan bukanlah perkara penting karena hal itu bukanlah bagian dari hakikat keimanan.

- Al-Karramiyyah berpendapat bahwa iman adalah ucapan dengan lisan, dan tidak akan berbahaya setelahnya menyembunyikan keyakinan apapun bahkan walaupun hal itu berupa kekafiran.

- Sementara Abu Hanifah rahimahullahu berpendapat bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan ucapan dengan lisan, satu dengan yang lainnya akan saling membutuhkan. Siapa yang membenarkan dengan hatinya dan terang-terangan mendustakan dengan lisannya, maka ia tidak disebut sebagai mukmin. Diatas keyakinan inilah tegak mazhab Hanafi, dan inilah pemahaman Murji’ah yang paling dekat kepada Ahlussunnah karena mereka sepakat dengan Ahlussunnah bahwa pelaku maksiat berada dalam kehendak (masyî-ah) Allah dan dia tidak keluar dari keimanannya.

Bagaimana Pemahaman Irja’ itu Muncul?

Al-irja’ pada permulaannya dimaksudkan –dalam sebagian definisinya- sebuah sikap yang diambil oleh orang-orang yang menginginkan keselamatan, menjauhkan perselisihan dan meninggalkan pertikaian dalam urusan-urusan politik dan keagamaan, khususnya yang berkait dengan hukum-hukum akhirat; tentang keimanan, kekafiran, surga dan neraka, demikian pula yang berkait dengan perkara tentang Ali, Utsman, Thalhah, az-Zubair, Ummul Mukminin Aisyah dan apa yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah.

Setelah terbunuhnya Utsman radhiyallahu ‘anhu dan kemunculan Khawarij dan Syi’ah, maka mulailah pemahaman irja’ berkembang secara bertahap.

Bagaimana Pemahaman Irja’ Berkembang menjadi sebuah Mazhab?

Ketika terjadi perselisihan tentang hukum pelaku dosa besar dan perselisihan tentang kedudukan amal dalam iman, maka muncullah sekelompok orang yang membawa pemahaman irja’ kepada sikap ekstrim dan melampaui batas yang tercela. Maka mulailah pemahaman irja’ terbentuk dalam sifatnya sebagai sebuah mazhab. Mereka menetapkan bahwa pelaku dosa besar memiliki iman yang sempurna, maksiat tidak akan membahayakan iman dan ketaatan tidak akan bermanfaat bagi kekafiran, iman itu tempatnya di hati sehingga tidak akan membahayakan seseorang apapun yang dilakukannya sesudah itu. Walaupun dia melafalkan kekafiran dan pembangkangan, imannya tetap sempurna dan tidak tergoyahkan.

Tidak diragukan bahwa keyakinan seperti ini adalah pemahaman yang buruk dan sikap melampaui batas. Para penganut paham irja’ dalam level ini adalah orang-orang yang sangat tercela dan mazhab mereka akan membawa manusia kepada kemalasan, menghalalkan segala cara dan bersandar secara keliru kepada sifat pengampun Allah Ta’ala tanpa mau beramal.

Siapa yang Pertama Kali Berbicara tentang Irja’?

Para ulama menyebutkan bahwa al-Hasan bin Muhammad bin al-Hanafiyyah adalah orang yang pertama kali menyebutkan tentang pemahaman irja’ di kota Madinah, khususnya yang berkait dengan Ali, Utsman, Thalhah dan az-Zubair ketika manusia memperbincang pribadi-pribadi yang mulia itu dan al-Hasan berdiam diri. Kemudian ia berkata, “Aku telah mendengarkan pembicaraan kalian, dan aku tidak melihat sesuatu yang lebih pantas selain menunda/mendiamkan (perkara) Ali, Utsman, Thalhah dan az-Zubair. Tidak memberikan wala’ (loyalitas) kepada mereka dan tidak juga berlepas diri.”

Akan tetapi, al-Hasan telah menyesali perkataannya tersebut dan berandai-andai kalau saja ia telah meninggal sebelum mengucapkannya. Perkataannya inilah yang menjadi jalan pembuka untuk tumbuhnya pemahaman irja’. Perkataannya itu sampai kepada ayahnya, Muhammad bin al-Hanafiyyah, dan ia pun memukul al-Hasan sampai melukainya dan berkata, “Engkau tidak membela ayahmu, Ali?!”

Orang-orang yang mengambil perkataan itu dari al-Hasan tidak pernah mau melihat kepada penyesalan al-Hasan. Perkataan itu menyebar di kalangan manusia dan berjumpa dengan hawa nafsu dalam jiwa-jiwa beberapa kalangan dan menjadikannya sebagai sebuah keyakinan.

Pendapat lain mengatakan bahwa yang pertama kali berbicara tentang irja’ dalam bentuk ekstrimnya adalah seseorang yang disebut Dzirr bin Abdillah al-Hamadani dari masa generasi Tabi’in. Para ulama di masa itu telah mengecam Dzirr, bahkan sebagian mereka tidak menjawab salamnya karena ia mengeluarkan amal dari definisi iman.

Pendapat lain : Yang pertama mengadakan pemikiran irja’ adalah seorang laki-laki di Irak yang bernama Qais bin ‘Amr al-Madhiri.

Pendapat lain : Yang pertama mengadakan bid’ah ini adalah Hammad bin Abi Sulaiman, guru Abu Hanifah dan murid dari Ibrahim an-Nakha’i, rahimahumullahu. Dan pemikiran itu tersebar di kalangan penduduk Kufah, Irak. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa yang pertama kali menyebutkan irja’ di kalangan penduduk Kufah adalah Hammad.

Pemahaman irja’ para imam inilah yang dikenal sebagai irja’nya para ahli fiqh (irja-ul fuqaha’).

Pendapat lainnya lagi mengatakan bahwa yang pertama kali berbicara tentang irja’ adalah seseorang yang bernama Salim al-Afthas.

Yang nampak, wallahu a’lam, pendapat-pendapat itu tidaklah saling berjauhan karena mereka hidup dalam masa yang sama.

Siapa Tokoh-Tokoh Besar Murji’ah?

Yang kami maksudkan adalah kalangan Murji’ah ekstrim yang dengannya Murji’ah dikenal sebagai sebuah firqah/sekte sesat dan keyakinannya bertolak belakang dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.

Mereka adalah al-Jahm bin Shafwan, Abul Husain ash-Shalihi, Yunus as-Samri, Abu Tsauban, al-Husain bin Muhammad an-Najjar, Ghailan ad-Dimasyqi, Muhammad bin Syabib, Bisry al-Mirrisi, Muhammad bin Karram, Muqatil bin Sulaiman yang menyerupakan Allah ‘azza wa jalla dengan makhlukNya, dan yang serupa dengannya, yaitu al-Jawaribi. Keduanya termasuk golongan musyabbihah ekstrim.

Prinsip-Prinsip Keyakinan Murji’ah

1. Iman menurut mereka adalah pembenaran (at-tashdîq) dengan ucapan, atau pengetahuan (al-ma’rifah), atau pengakuan (al-iqrâr). Amal tidaklah masuk dalam hakikat keimanan, dan bukan bagian darinya, walaupun sebenarnya mereka tidak mengabaikan sepenuhnya kedudukan amal dalam iman, kecuali pandangan sesatnya al-Jahm bin Shafwan.

2. Iman tidak bertambah dan tidak berkurang, karena pembenaran terhadap sesuatu dan pemastiannya tidak akan memberikan tambahan apapun atau pengurangan. Karenanya, menurut mereka, para pelaku maksiat memiliki iman yang sempurna dengan kesempurnaan pembenaran mereka (at-tashdiq), dan mereka dipastikan tidak akan masuk neraka di akhirat nanti.

3. Sebagian sekte mereka meyakini bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan mereka sendiri.

4. Mereka juga mengimani bahwa Allah tidak dapat dilihat di akhirat nanti.

5. Al-Imâmah (kepemimpinan) bukanlah perkara wajib dalam pandangan mereka. Kalau imamah itu mesti ditegakkan, maka ia bisa dijabat oleh siapapun walaupun bukan berasal dari Quraisy.

6. Diantara keyakinan Murji’ah bahwa kufur kepada Allah adalah kejahilan tentang Dia. Itulah perkataan al-Jahm. Dan iman itu hanyalah mengenal Allah (ma’rifah) saja dan iman itu tidak terbagi-bagi.

7. Mereka juga meyakini bahwa surga dan neraka tidaklah kekal. Demikian juga dengan penghuni keduanya, dan tidak ada keabadian pada keduanya.

8. Sebagian mereka berkeyakinan bahwa setiap maksiat adalah dosa besar, dan sebagian mereka juga berpendapat bahwa ampunan Allah terhadap dosa-dosa dengan taubat adalah bentuk keutamaan yang datang dari Allah dan sebagian mengatakannya sebagai sebuah keharusan.

9. Sebagian mereka membolehkan terjadinya perbuatan dosa besar dari para nabi ‘alaihimussalam.

10. Sebagian mereka juga menetapkan mungkinnya melihat Allah di akhirat, sementara sebagian lainnya menolaknya sebagaimana pandangan Mu’tazilah.

11. Mereka berselisih dalam pandangan tentang perkataan bahwa al-Quran adalah makhluk. Sebagian mengatakan bahwa al-Quran adalah makhluk, sebagian berpendapat bukan makhluk dan sebagian lagi mengambil sikap diam (tawaqquf).

12. Mereka juga berbeda pendapat tentang masalah takdir. Sebagian menolaknya dan sebagian menetapkannya.

13. Dan mereka juga berbeda pendapat dalam persoalan al-asmâ’ wa ash-shifât (nama-nama dan sifat-sifat Allah). Sebagian Murji’ah mengikuti pendapatnya Abdullah bin Kullab, dan sebagian lainnya mengikuti metode Mu’tazilah.

Wallahu a’lam.

----------------------

Sumber bacaan : Firaq Mu’âshirah Tantasib ilâ al Islâm, Syaikh Dr. Ghalib bin Ali ‘Awaji

21 Februari 2016

Hukum Bunga Bank

Majelis Majma’ al-Fiqh al-Islami dibawah naungan Organisasi Konferensi Islam* dalam pertemuannya yang kedua di Jeddah, 10-16 Rabi’ul Akhir 1406 H/22-28 Desember 1985 M; setelah disodorkan padanya beberapa makalah tentang transaksi perbankan modern, dan setelah menelaah dan mendiskusikannya, maka nampaklah berbagai keburukan transaksi tersebut yang berdampak pada sistem dan stabilitas perekonomian dunia, khususnya di dunia ketiga. Dan setelah menelaah akibat buruk yang ditimbulkan oleh sistem tersebut karena pengabaian terhadap aturan yang ada dalam Kitab Allah yang mengharamkan riba secara parsial maupun global, dan mengajak untuk bertaubat darinya serta mengajak kepada sistem perekonomian untuk pengembalian modal pokok pinjaman tanpa ada tambahan atau pengurangan, sedikit ataupun banyak, dan juga ancaman berupa perang terbuka dari Allah dan rasulNya terhadap orang-orang yang memakan riba, maka Majelis memutuskan beberapa hal berikut ini :

1. Setiap tambahan atau bunga terhadap pembayaran hutang yang jatuh tempo yang tidak sanggup dibayar oleh peminjam sebagai dispensasi atas penangguhan pembayaran, dan demikian juga tambahan atau bunga terhadap pinjaman yang diterapkan sejak permulaan akad kesepakatan; kedua bentuk transaksi ini adalah riba yang diharamkan.
 
2. Alternatif yang bisa menjamin perputaran uang dan membantu pergerakan ekonomi dalam bentuknya yang diridhai Islam adalah transaksi yang selaras dengan hukum-hukum Syari’at.

3. Majelis menetapkan pentingnya mengajak pemerintahan-pemerintahan Islam (kepada persoalan ini) dan membuka peluang pendirian perbankan Syari’ah di setiap negeri Islam demi untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin, agar seorang muslim tidak hidup dalam sebuah hal yang kontradiktif antara realita (yang ada) dan konsekuensi (dari berpegang terhadap) ajaran aqidahnya.

Wallahu a’lam

(Sumber : Islamtoday)

—————————

* Sekarang bernama Organisasi Kerjasama Islam (OIC)

19 Februari 2016

Bolehkah Mengulangi Pandangan Pertama?

Sebagian kalangan membolehkan seorang laki-laki memandang kembali kecantikan wanita yang menarik hatinya pada pandangan pertama, dengan dalih bahwa hal itu akan menjadi obat yang meringankan rasa suka dan penasaran yang ada dalam hatinya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu memiliki jawaban yang bagus untuk masalah tersebut. Beliau menyebutkan sepuluh perkara sebagai bantahan atas pendapat itu.

Pertama,

Allah Ta’ala menyuruh untuk menjaga pandangan, dan Dia tidak pernah menjadikan kesembuhan penyakit yang ada dalam hati dengan sesuatu yang Dia telah haramkan.

Kedua,

Nabi ﷺ pernah ditanya tentang pandangan yang terjadi secara kebetulan, dan beliau mengetahui bahwa pandangan pertama itu memiliki pengaruh di hati, namun beliau menyuruh mengobatinya dengan memalingkan pandangan bukan justru mengulanginya.

Ketiga,

Beliau ﷺ secara jelas menyebutkan bahwa pandangan pertama adalah untuk orang yang memandang, dan pandangan kedua bukanlah bagiannya. Sangat mustahil jika penyakitnya ada pada (pandangan) yang menjadi bagiannya, sementara obatnya berada dalam perkara yang bukan bagiannya.

Keempat,

Yang sangat nampak adalah bertambah kuatnya urusan itu dengan pandangan kedua, bukan justru semakin berkurang. Dan fakta membuktikan akan hal tersebut.

Kelima,

Barangkali saja dia akan melihat lebih dari apa yang ada dalam bayangan dirinya, sehingga bertambahlah rasa sakitnya.

Keenam,

Iblis akan menungganginya pada pandangan keduanya itu, dia akan menjadikan indah apa yang sebenarnya tidak indah hingga sempurnalah bencana itu.

Ketujuh,

Orang itu tidak akan ditolong dari kesulitannya jika dia berpaling dari perintah syariat dan justru mengobatinya dengan pekara yang diharamkan atasnya. Bahkan sangat layak jika pertolongan itu dipalingkan darinya.

Kedelapan,

Pandangan pertama adalah panah beracun dari panah-panah Iblis, dan sudah dimaklumi bahwa pandangan kedua lebih keras racunnya. Maka bagaimana racun akan diobati dengan racun?!

Kesembilan,

Orang yang berada dalam situasi ini (yaitu menjaga pandangan dari yang diharamkan), dia sedang berinteraksi dengan Allah ‘Azza wa Jalla untuk meninggalkan sesuatu yang dia sukai untuk mencari keridhaan Allah. Ketika dia memandang yang kedua kalinya, dia ingin memastikan kembali keadaan wanita yang dilihatnya pada pandangan pertama. Jika ternyata wanita itu tidak sebagaimana yang dia inginkan, dia akan meninggalkan pandangan tersebut. Kalau demikian keadaannya, maka pandangan yang dia tinggalkan itu semata-mata karena tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan, bukan karena Allah Ta’ala. Maka dimanakah interaksinya terhadap Allah Ta’ala dengan meninggalkan sesuatu yang disukai dirinya karena mengharapkan ridhaNya?

Kesepuluh,

Penjelasannya akan lebih terang dengan permisalan berikut ini; Jika engkau menunggang kuda baru dan dia berjalan menuju jalan sempit yang tidak bisa dimasuki dan tidak mungkin baginya berputar untuk keluar, jika kuda itu ingin memaksa masuk maka engkau harus mencegahnya. Jika dia telah masuk selangkah atau dua langkah, bersegeralah untuk menariknya mundur sebelum dia benar-benar memasukinya. Jika engkau bisa menariknya mundur, urusannya akan mudah. Jika engkau berlambat-lambat hingga dia masuk dan engkau menggiringnya lebih dalam, kemudian engkau berusaha menariknya dengan ekornya maka urusan itu akan menjadi parah dan sulit baginya keluar. Apakah orang yang berakal akan mengatakan bahwa jalan untuk membebaskannya adalah dengan menggiringnya masuk?! Demikian pula dengan pandangan jika telah memberikan pengaruh pada hati. Jika orang itu bersegera memutuskan penyakit itu semenjak awal, akan mudahlah mengobatinya. Jika dia mengulangi pandangan dan lebih dalam lagi memandangi keindahan obyeknya serta memindahkannya ke dalam hati yang kosong dan mengukir di dalamnya, maka bersemayamlah rasa cinta itu.[1]

Dan benarlah Allah Ta’ala dalam firmanNya,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ أَبْصَارِهِم وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ذَلِكَ أزْكىَ لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُوْنَ

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. An-Nur ayat 30).

Rasulullah ﷺ bersabda dalam wasiatnya kepada Ali radhiyallahu ‘anhu,

يَا عَلِيُّ لا تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الآخِرَةُ

Wahai Ali, janganlah engkau mengikutkan satu pandangan dengan pandangan (berikutnya), karena pandangan pertama untukmu dan yang kedua bukan untukmu.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Dalam kitab Ash-Shahih, beliau ﷺ bersabda,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنْ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ : فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الِاسْتِمَاعُ ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلَامُ ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا ، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى ، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

Telah ditetapkan untuk seeorang anak Adam bagiannya dari zina. Dia pasti akan mendapatkannya. Kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, kedua lisan zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang dan kaki zinanya adalah melangkah. Hati berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah yang membenarkannya atau mendustakannya.” (HR. Muslim, dan diriwayatkan Al-Bukhary dengan redaksi yang mendekati maknanya).

Nabi ﷺ memulai dengan menyebutkan zina mata, karena dari matalah bermula hingga terjadilah zina hati, tangan, kaki dan kemaluan.

Dan dalam sebuah hadits diriwayatkan,

إِنَّ النَّظْرَةَ سَهْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيسَ مَسْمُومٌ

Pandangan adalah panah beracun dari panah-panah Iblis.” (Diriwayatkan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak dengan sanad yang dha’if).

Wallahu a’lam.

————————

Footnotes :

[1] Disadur dari kitab Raudhah Al-Muhibbîn wa Nuzhah Al-Musytâqqîn, hal. 94-95

16 Februari 2016

Iman terhadap Karamah Wali

Diantara prinsip pokok aqidah Salafiyyah, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah mengimani karamah para wali Allah.

Karamah adalah perkara-perkara luar biasa yang Allah jadikan pada sebagian wali-waliNya dari kalangan orang-orang shalih yang komitmen dengan hukum-hukum Syari'at, sebagai bentuk pemuliaan dariNya terhadap mereka.

Jika hal itu terjadi tanpa disertai iman yang benar dan amal yang shalih, maka itu adalah istidrâj.

Allah Ta’ala berfirman,

ألاَ إِنَّ أولِيَاءَ اللهِ لاَ خَوفٌ عَلَيهِم وَلاَ هُم يَحْزَنُونَ، الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا يَتَقُونَ، لَهُمُ البُشْرىَ فِي الحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الفَوزُ العَظِيْمُ

Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus ‘alaihissalam ayat 62-64).

Ahlussunnah wal Jama’ah meyakini kebenaran karamah para wali, namun dengan kaedah-kaedah syar’i yang dijelaskan oleh dalil. Tidaklah setiap perkara luar biasa merupakan karamah dari Allah Ta’ala, karena bisa jadi itu merupakan bentuk istidrâj atau perbuatan para pendusta, tukang sihir atau perbuatan syaitan.

Karamah berasal dari Allah dan sebabnya adalah ketaatan dan ketakwaan. Karamah hanya berlaku khusus bagi orang-orang yang istiqamah diatas agama Allah Ta’ala. Allah berfirman,

وَمَا كَانُوا أوْلِيَاءَهُ إنْ أولِيَاؤُهُ إِلاَّ المُتَّقُونَ

Dan mereka bukanlah orang-orang yang berhak menguasainya. Orang-orang yang berhak menguasainya hanyalah orang-orang yang bertakwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-Anfal ayat 34).

Sementara sihir berasal dari syaitan yang sebabnya adalah kekufuran dan maksiat, dan hanya berlaku bagi para pelaku kesesatan. Allah Ta’ala berfirman,

وَإنَّ الشَيَاطِينَ لَيُوحُونَ إلىَ أولِيَائِهِم لِيُجَادِلُوكُم وَإنْ أطَعْتُمُوهُم أنَّكُم لَمُشْرِكُونَ

Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-An’am ayat 121).

Terjadinya karamah terhadap para wali-wali pada hakikatnya adalah sebuah bentuk mukjizat untuk para nabi 'alaihimussalâm. Karena karamah itu tidak mungkin terjadi untuk salah seorang dari mereka kecuali dengan berkah mutâba'ahnya dia terhadap nabinya dan istiqamahnya dia di atas petunjuk dan syari'at nabinya.

Di antara bentuk karamah yang disebutkan para Salaf adalah istiqamah di atas al-Kitab dan as-Sunnah, taat kepada keduanya, ridha terhadap hukum keduanya dan sejalan dengan keduanya dalam ilmu dan amal.

Tidak adanya karamah pada diri sebagian -bahkan banyak- orang-orang mukmin tidak menunjukkan akan kelemahan iman mereka, jika benar dia seorang muslim yang komitmen terhadap al-Quran dan Sunnah. Karena itu, pada banyak Shahabat radhiyall
âhu 'anhum, karamah itu tidak terlihat pada diri-diri mereka, karena kuatnya iman mereka dan sempurnanya keyakinan mereka, yang merupakan salah satu sebab munculnya karamah tersebut.

Di antara sebab lainnya datangnya karamah tersebut pada sebagian mukmin adalah untuk menegakkan hujjah/argumen terhadap musuh.

Sihir dan Ahli Sihir

Ahlussunnah juga meyakini bahwa di dunia ini terdapat sihir dan ahli sihir. Allah Ta’ala berfirman,

فَلَمَّا جَاءَ السَحَرَةُ

Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang…” (QS. Yunus ayat 80).

Dan firmanNya,

وَلَكِنَّ الشَيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِحْرَ

Akan tetapi syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah ayat 102).

Hanya saja, sihir dan para pelakunya tidak akan mampu menimpakan keburukan kepada seseorang kecuali dengan izin Allah sebagaimana dalam firmanNya,

وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِن أحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُم وَلاَ يَنْفَعُهُمْ

Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat.” (QS. Al-Baqarah ayat 102).

Siapa yang meyakini bahwa sihir itu mampu membahayakan atau memberi kebaikan dengan sendirinya maka dia kafir. Kaum muslimin telah bersepakat tentang keharaman sihir. Pelaku sihir diminta untuk bertaubat, jika dia tidak mau bertaubat maka dia berhak mendapat hukuman mati.

(Sumber : Al Wajîz fî ‘Aqîdah as Salaf ash Shâlih, dengan ringkas)

14 Februari 2016

Siapakah Mereka Para Salaf?

Berikut ini adalah seorang penanya wanita dari Riyadh, memiliki beberapa pertanyaan. Ia berkata pada pertanyaan pertama : Saya pernah mendengar tentang as-Salaf. Syaikh yang mulia, siapakah mereka para Salaf?

Jawab :

“As-Salaf” maknanya adalah orang-orang yang terdahulu. Setiap orang yang mendahului orang yang lainnya, maka itu adalah salafnya. Akan tetapi, jika disebutkan istilah “As-Salaf” secara mutlak, maka yang dimaksudkan dengannya adalah tiga generasi yang diutamakan; para Sahabat, Tabi’in dan para pengikut Tabi’in. Merekalah As-Salaf ash-Shalih.

Siapa yang datang setelah mereka, dan berjalan diatas manhaj (metode/jalan) mereka, maka dia juga seperti mereka berada diatas thariqah (jalan) para as-Salaf walaupun dia datang belakangan dari masa (kehidupan) mereka. Karena “As-Salafiyyah” dimaksudkan sebagai manhaj yang ditempuh oleh as-Salaf ash-Shalih radhiyallahu ‘anhum sebagaimana yang disabdakan Nabi ,
 
إن أمتي ستفترق على ثلاثة وسبعين فرقة كلها فى النار إلا واحدة وهي الجماعة

Sesungguhnya umatku akan terpecah kepada 73 golongan, seluruhnya di neraka kecuali satu golongan, yaitu al-Jama’ah.”

Dalam redaksi lain,

من كان على مثل ما أنا عليه و أصحابي

(Yang selamat adalah) orang yang berada diatas apa yang aku dan sahabat-sahabatku berada diatasnya.”

Dengan landasan ini, as-Salafiyyah berkait dengan makna. Setiap orang yang berada diatas manhaj para Sahabat, Tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka dia adalah “Salafy”, walaupun dia berada di masa kita sekarang, yaitu abad XIV Hijri.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu.

(Sumber : Fatâwâ Nûr ‘ala ad-Darb)

13 Februari 2016

Firqah Al-Asyâ’irah


Firqah Asyâ’irah atau sekte Asy’ari adalah sebuah firqah ahli kalam yang disandarkan kepada Abul Hasan al-Asy’ari yang membelot dari paham Mu’tazilah. Dalam menetapkan Aqidah Islam, Asya’irah menggunakan metode-metode akal dan kalam sebagai sarana untuk meruntuhkan argumen lawan-lawannya dari kalangan Mu’tazilah, ahli filsafat dan lain-lain, dengan mengikuti prinsip pemikiran Ibnu Kullab.

Sejarah Berdiri

Sekte ini didirikan oleh Abul Hasan al-Asy’ari, yaitu Ali bin Isma’il, dari keturunan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Dilahirkan di Bashrah tahun 270 H dan kehidupan ilmiahnya dilalui dalam tiga fase :

Fase pertama, ia hidup dalam asuhan Abu Ali al-Jubba’i, tokoh besar Mu’tazilah pada masanya. Abul Hasan mengambil ilmu darinya hingga menjadi orang kepercayaannya. Dan Abul Hasan terus memegang kepemimpinan Mu’tazilah selama 40 tahun.

Fase kedua, ia mulai mengkritisi pemikiran Mu’tazilah yang dibelanya selama ini. Setelah berdiam di rumahnya selama 15 hari untuk berpikir, mengkaji dan beristikharah kepada Allah, jiwanya pun tenang dan mengumumkan bahwa dirinya berlepas dari pemikiran i’tizâl, dan ia menetapkan sebuah mazhab baru dalam menta’wil nash (dalil) dengan apa yang disangkanya sesuai dengan rasio. Dalam mazhab barunya itu, Abul Hasan mengikuti metode yang dipegangi oleh Abdullah bin Sa’id bin Kullab dalam penetapan sifat-sifat Allah yang tujuh dengan metode akal, yaitu al-hayâh (kehidupan), al-‘ilm (pengetahuan), al-irâdah (kehendak), al-qudrah (kekuasaan), as-sam’u (pendengaran), al-bashar (penglihatan) dan al-kalâm (berbicara). Adapun sifat-sifat khabariyah (yang bersandar pada khabar/berita tanpa ada peluang akal dalam menetapkannya) seperti al-wajh (wajah), al-yadain (dua tangan) dan yang semacamnya, ia menta’wilnya kepada apa yang disangkanya bisa sejalan dengan akal. Inilah fase yang pemahaman Abul Hasan masih diwarisi oleh pengikut-pengikut firqah Asya’irah sampai hari ini.

Fase ketiga, menetapkan seluruh sifat-sifat Allah tanpa takyîf, tanpa tasybîh, tanpa ta’thîl dan tanpa tahrîf. Pada fase ini ia menulis kitab “Al-Ibânah ‘an Ushûl ad-Diyânah” dimana ia mengungkapkan tentang keutamaan aqidah Salaf dan manhaj mereka, yang salah satu pembawa panjinya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Tidak cukup dengan itu, bahkan ia meninggalkan tulisan yang begitu banyak untuk membela Sunnah dan menjelaskan tentang aqidah yang diperkirakan berjumlah 68 judul buku.

Abul Hasan rahimahullahu wafat pada tahun 324 H dan dimakamkan di Baghdad. Pada hari kematiannya diumumkan : Pada hari ini, telah wafat pembela Sunnah!

Sepeninggal Abul Hasan al-Asy’ari, dan dibawah kepemimpinan imam-imam mazhab dan peletak pondasi dasar pemikirannya, mazhab Asy’ari mengalami beberapa fase perubahan, yang membuat pemikiran-pemikiran dan metode-metode mereka dalam prinsip-prinsip keyakinan mazhab menjadi bermacam-macam. Hal itu terjadi karena mazhab ini memang sejak awalnya tidak dibangun diatas landasan manhaj yang kokoh, yang jelas prinsip aqidahnya, dan tidak juga memiliki prinsip bagaimana berinteraksi dengan dalil-dalil syar’i. Mazhab Asy’ari terombang-ambing pendirian dan ijtihad mereka antara penyesuaian dengan mazhab Salaf dan membantah Mu’tazilah tapi dengan menggunakan metode ilmu kalam untuk menguatkan aqidah dan menolak pemikiran Mu’tazilah. Diantara fenomena besar dalam ragam perubahan mazhab ini adalah :
 
- Dekat dengan ahli kalam dan penganut mazhab i’tizal
- Masuk kepada pemikiran tasawuf, dan bersinggungannya mazhab Asya’ri dengan tasawuf
- Masuk kepada pemikiran filsafat dan menjadikannya sebagai bagian dari mazhab

Diantara Imam-Imam Besar Mazhab Asy’ari

1. Al-Qâdhi Abu Bakr al-Bâqillâni, Muhammad bin ath-Thayyib bin Muhammad bin Ja’far (328-403 H). Seorang pembesar ulama ahli kalam. Ia meringkas tulisan-tulisan ilmiah al-Asy’ari dan berbicara tentang pengantar dalil-dalil akal dalam persoalan tauhid dan sangat ekstrim dalam pembahasannya karena perkara ini tidak pernah disebutkan dalam al-Kitab maupun Sunnah. Kemudian akhirnya ia sampai ke mazhab Salaf, kembali kepadanya dan menetapkan seluruh sifat-sifat Alah menurut hakikatnya dan menolak seluruh jenis ta’wil yang digunakan oleh ahli ta’wil dalam bukunya Tamhîd al Awâ-il wa Talkhîsh ad Dalâ-il. Ia dilahirkan di Bashrah, bermukim dan wafat di Baghdad. Diantara kitab-kitab yang ditulisnya : I’jâz al Qur-ân, al Inshâf, Manâqib al A-immah, Daqâ-iq al Kalâm, al Milal wa an Nihal, al Istibshâr dan Kasyf Asrâr al Bâthinah.

2. Abu Ishâq asy-Syîrâzi, Ibrâhim bin Ali bin Yûsuf al-Fairûz Âbâdi asy-Syîrâzi (393-476 H). Dilahirkan di Fairuzabad, Persia dan berpindah ke Syiraz, kemudian Bashrah dan darinya ke Baghdad. Terkenal dengan keahliannya dalam fiqh Syafi’i dan ilmu kalam dan menjadi rujukan bagi para penuntut ilmu dan mufti umat di masanya. Terkenal dengan kekuatan argumennya dalam berdebat. Al-Wazir Nizham al-Mulk membangunkan untuknya Madrasah Nizhamiyah di tepian Sungai Tigris, dan disitulah ia mengajar dan mengelola madrasah tersebut.

Asy-Syirazi hidup dalam kefakiran dan bersabar. Seorang yang sangat baik dalam bermajelis, murah senyum, fasih, pakar dalam debat dan menyusun sya’ir. Wafat di Baghdad dan dishalatkan oleh al-Muqtadi al-Abbasi. Diantara buku-bukunya : at Tanbîh, al-Muhadzdzab (dalam fiqh), at Tabshirah (dalam pokok-pokok mazhab Syafi’i), Thabaqât al Fuqahâ’, al Luma’ (dalam ushul fiqh dan penjelasannya) dan lain-lain.

3. Abu Ishâq al-Isfirâyîni, Ibrâhîm bin Muhammad bin Ibrâhîm bin Mihrân (w. 418 H). Abu Ishaq adalah seorang alim dalam fiqh dan ushul. Ia digelari Rukn ad-Dîn, dan ia yang pertama digelari dengannya dari kalangan ahli fiqh. Tumbuh besar di Isfirayin (antara Naisabur dan Jurjan), kemudian pergi ke Naisabur dan dibuatkan untuknya sebuah madrasah besar dan ia mengajar di sana. Kemudian ia pergi ke Khurasan dan sebagian negeri di Irak, dan mulailah namanya dikenal di penjuru dunia Islam saat itu. Ia telah menuliskan sebuah buku besar dalam ilmu kalam yang diberi judul al Jâmi’ fî Ushûl ad Dîn wa ar Radd ‘alâ al Mulhidîn. Abu Ishaq wafat pada hari Asyura’ tahun 418 H di Naisabur dalam usia lebih dari 80 tahun. Jenazahnya dipindahkan ke Isfirayin dan dimakamkan di sana.

4. Imâm al-Haramain, Abul Ma’âli al-Juwaini, Abdul Malik bin Abdillâh bin Yûsuf bin Muhammad al-Juwaini (419-478 H), seorang ahli fiqh mazhab Syafi’i. Dilahirkan di Juwain, Naisabur, kemudian berkelana ke Baghdad, kemudian ke Makkah dan berdiam di sana selama 4 tahun. Setelah itu ia pergi ke Madinah, berfatwa dan mengajar. Kemudian kembali ke Naisabur dan al-Wazir Nizham a-Mulk membuatkan untuknya Madrasah Nizhamiyah. Majelisnya dihadiri oleh pembesar-pembesar ulama. Ia tetap dengan posisinya itu selama 30 tahun tanpa ada tandingan. Menjadi pendukung kuat dan pembela mazhab Asy’ariyah dan namanya disebut di seluruh penjuru. Hanya saja, diakhir hayatnya ia kembali ke mazhab Salaf. Ia berkata dalam risalahnya, an-Nizhamiyyah, “Yang kami ridhai dalam pendapat dan kami imani Allah dengannya dalam aqidah adalah mengikuti Salaf umat ini dengan dalil yang sangat jelas bahwa ijma’ umat ini adalah hujjah.”

Abul Ma’ali rahimahullahu wafat di Naisabur dan saat itu ia memiliki 400 murid. Diantara buku-bukunya : al Aqîdah an Nizhâmiyyah fî al Arkân al Islâmiyyah, al Burhân fî Ushûl al Fiqh, Nihâyah al Mathlab fî Dirâyah al Mazhab (dalam fiqh Syafi’i) dan asy Syâmil fî Ushûl ad Dîn.

5. Abu Hâmid al-Ghazâli, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazâli ath-Thûsi (450-505 H), Hujjatul Islam. Dilahirkan dan wafat di Thabiran, daerah Thus, Khurasan. Ia berkelana ke Naisabur, kemudian ke Baghdad, Hejaz, negeri Syam dan Mesir, kemudian kembali lagi ke negerinya.

Al-Ghazali tidak menempuh metode al-Baqillani, bahkan ia menyelisihi al-Asy’ari dalam sebagian pendapat, khususnya yang berkait dengan muqaddimah ‘aqliyyah dalam berdalil. Ia mencela ilmu kalam dan menjelaskan bahwa ilmu kalam tidak memberikan keyakinan sebagaimana yang ia sebutkan dalam al Munqidz min adh Dhalâl dan at Tafriqah baina al Imân wa az Zandaqah. Ia berkata, “Kalau kami tinggalkan bermanis-manis muka, niscaya kami akan berterus terang bahwa masuk dalam ilmu kalam adalah haram!” Ia kemudian cenderung kepada tasawuf dan meyakini bahwa itulah satu-satunya jalan kepada ma’rifah. Di akhir hayatnya, ia kembali kepada Sunnah di sela-sela pengkajiannya terhadap Shahîh al-Bukhâry.

6. Al-Imam al-Fakr ar-Râzy, Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi ath-Thabaristâni ar-Râzi, digelari Fakhruddin, yang dikenal dengan nama Ibnul Khathîb al-Faqîh asy-Syâfi’i. Ialah yang menjadi “juru bicara” mazhab al-Asy’ari di fase terakhirnya, dimana ia mencampur adukkan ilmu kalam dengan filsafat. Ia sangat membela akal dan mendahulukannya di atas dalil-dalil syar’i. Hanya saja, ia akhirnya memahami tentang lemahnya akal manusia dan berwasiat dengan sebuah wasiat yang memberikan petunjuk akan baiknya aqidahnya. Di akhir hidupnya, ia menekankan pentingnya mengikuti manhaj para Salaf, dan mengumumkan bahwa itulah manhaj yang paling selamat.

Pokok Aqidah dan Pemikiran Mazhab Asy'ari

Diantara pokok-pokok aqidah yang diyakini oleh mazhab Asy’ari adalah sebagai berikut :

1. Sumber talaqqî dalam mazhab Asy’ari adalah al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan konsekuensi kaedah-kaedah ilmu Kalam. Karenanya, mereka lebih mendahulukan akal daripada dalil ketika terjadi kontradiksi.

2. Mereka tidak berhujjah dengan hadits Ahad dalam perkara aqidah karena hal itu menurut mereka tidak memberikan al-‘ilm al-yaqînî (ilmu yang yakin tanpa ada keraguan).

3. Mazhab Asy’ari menyelisihi aqidah Salaf dalam penetapan wujud Allah Ta’ala. Mereka sepakat dengan para ahli filsafat dan ahli kalam dalam berdalil tentang wujud Allah dengan perkataan mereka: “Alam ini adalah hâdits (sesuatu yang baru dan diadakan). Maka tidak boleh tidak, alam ini harus memiliki muhdits qadîm (Dzat yang mengadakannya, yang memiliki sifat qadîm/terdahulu tanpa permulaan). Dan yang terkhusus dari sifat al-Qadîm adalah mukhâlafatuhu li al-hawâdits (berbeda dari segala apa yang ada) dan tidak bercampurnya Dia pada hawâdits tersebut. Termasuk dalam sifat mukhâlafah-nya li al-hawâdits adalah : Dia bukan materi, bukan jasad, tidak berada di arah atau tempat tertentu.” (astaghfirullah!)

Konsekuensi dari perkataan ini, mereka membangun diatasnya prinsip-prinsip keyakinan yang rusak yang tidak terbatas seperti pengingkaran mereka terhadap sifat-sifat ar-ridhâ (keridhaan), al-ghadhab (marah) dan al-istiwâ’ (bersemayam diatas ‘Arsy), dengan dalih menolak bercampurnya “al-hawâdits” pada “al-Qadîm” demi untuk membantah pemahaman tentang qadîm-nya alam ini. Sementara metode para Salaf adalah metode al-Quran dalam berdalil tentang wujudnya al-Khaliq subhanahu wa ta’ala.

4. Tauhid menurut Asy’ari adalah meniadakan berbilangnya Dzat dan menolak pembagian, susunan dan potongan. Dalam perkara ini mereka mengatakan : Sesungguhnya Allah itu Esa dalam Dzat-Nya tidak ada pembagian untuk-Nya, Esa dalam sifat-sifatNya tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Esa dalam perbuatan-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya. Karenanya, mereka menafsirkan al-Ilâh sebagai al-Khâliq (Pencipta) atau al-Qâdir (Yang berkuasa) dalam penciptaan. Dan mereka mengingkari sifat-sifat wajah, dua tangan dan mata, karena hal-hal itu –menurut mereka- membawa kepada pemahaman tentang adanya susunan dan bagian-bagian. Dengan ini, mazhab Asy’ari hanya menjadikan tauhid terbatas pada penetapan tauhid rububiyah Allah ‘azza wa jalla tanpa uluhiyyah-Nya dan menta’wil sebagian sifat-sifatNya.

Mereka juga meyakini wajibnya menta’wil sifat-sifat khabariyyah seperti wajah, dua tangan, mata, tangan kanan, telapak kaki dan jari-jari, dan juga sifat al-‘uluww (ketinggian) dan al-istiwâ’. Ulama-ulama mereka yang belakangan cenderung kepada mazhab tafwîdh, yaitu menyerahkan makna-makna sifat-sifat tersebut kepada Allah Ta’ala dengan keyakinan bahwa hal itu merupakan kewajiban sebagai konsekuensi dari pensucian Allah Ta’ala. Tidak cukup dengan itu, mereka bahkan juga melebar dalam masalah ta’wil hingga mencakup sebagian besar dalil-dalil tentang keimanan, khususnya yang berkait dengan bertambah dan berkurangnya iman, serta persoalan kema’shuman para nabi.
 
5. Mazhab Asy’ari dalam persoalan iman berada diantara pemikiran Murji’ah yang mengatakan cukup mengucapkan syahadatain untuk sahnya iman seseorang tanpa perlu adanya amal, dan antara pemikiran Jahmiyah yang mengatakan cukup dengan pembenaran dalam hati. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengatakan bahwa iman adalah ucapan, amal dan keyakinan hati, dan menyelisihi dalil-dalil al-Quran yang sangat banyak.

6. Mazhab Asy’ari bimbang dalam persoalan takfîr (vonis kafir). Terkadang mereka mengatakan: Kami tidak mengkafirkan seorang pun; terkadang mereka mengatakan: Kami tidak mengkafirkan kecuali siapa yang kami kafirkan; dan terkadang mereka mengatakan tentang perkara-perkara yang mewajibkan vonis fasik dan bid’ah atau perkara-perkara yang tidak berkonsekuensi pada vonis kafir dan bid’ah.

Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah memandang bahwa takfir adalah hak Allah yang tidak dijatuhkan kecuali kepada yang berhak sesuai dengan pandangan syar’i. Dan tidak ada keraguan untuk menetapkannya kepada orang yang telah pasti kekufurannya dengan adanya syarat-syarat takfir dan hilangnya penghalang-penghalang untuk jatuhnya vonis tersebut.

7. Mereka mengatakan bahwa al-Quran bukanlah Kalâm Allah menurut hakikatnya, akan tetapi ia adalah kalâm nafsî, dan bahwa kitab-kitab yang diturunkan adalah makhluk.

8. Mereka mengatakan bahwa Allah bisa dilihat. Allah ada dan bisa dillihat dengan pandangan. Akan tetapi, mereka beranggapan bahwa pandangan tersebut tidak boleh dikaitkan dengan arah, tempat, bentuk dan saling berhadapan, karena yang demikian itu adalah perkara yang mustahil. Pendapat mereka ini meniadakan sifat ketinggian Allah dan arahnya, bahkan meniadakan penglihatan itu sendiri.

9. Pelaku dosa besar jika keluar dari dunia ini tanpa taubat maka hukumnya dikembalikan kepada Allah; Dia akan mengampuninya dengan kasih sayangNya, atau diberikan syafa’at oleh Nabi ﷺ . Hal ini selaras dengan mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah.

10. Mazhab Asy’ari meyakini bahwa kemampuan (qudrah) seorang hamba  tidak memiliki pengaruh terhadap apa yang ada dalam kemampuannya itu (perbuatannya), tidak pula pada salah satu dari sifat-sifatNya. Dan Allah memperjalankan sebuah kebiasaan (perbuatan) dengan menciptakan apa yang dalam kemampuannya itu, selaras dengannya. Dengan demikian, perbuatan hamba tersebut adalah ciptaan (khalq) dari Allah Ta’ala, dan usaha (kasb) dari hamba untuk terjadinya hal itu yang sejalan dengan kemampuannya.

11. Mazhab Asy’ari sejalan dengan Ahlussunnah dalam iman tentang alam barzakh dan perkara-perkara akhirat; mahsyar, timbangan, shirât, syafa’at, surga dan neraka.

12. Mereka juga sejalan dalam persoalan para Shahabat, urutan khilafah mereka, dan apa yang terjadi diantara mereka adalah perkara ijtihad yang bersumber dari mereka. Karenanya, wajib menahan diri untuk berbicara tentang perselisihan yang terjadi diantara para Shahabat, karena celaan terhadap mereka akan berkonsekuensi pada kekufuran, atau bid’ah atau kefasikan. Mereka juga memandang bahwa khilafah untuk Quraisy, boleh shalat di belakang imam yang baik maupun jahat, tidak boleh memberontak terhadap para penguasa yang zalim, dan perkara-perkara ibadah dan mu’amalah lainnya.

(Sumber : Al-Mausû’ah al-Muyassarah fî al-Adyân wa al-Madzâhib wa al-Ahzâb al-Mu’âshirah, WAMY, cet. tahun 1424, Saudi Arabia)

11 Februari 2016

Ta’at kepada Penguasa Muslim dalam Perkara yang Ma’ruf

Diantara prinsip aqidah as-Salaf ash-Shalih, Ahlussunnah wal Jama’ah; mereka memandang wajibnya mematuhi dan mentaati para penguasa kaum muslimin selama mereka tidak menyuruh kepada maksiat terhadap Allah Ta’ala.

Jika mereka menyuruh kepada perkara maksiat, tidak boleh mentaati perintah mereka dalam perkara tersebut, namun tetap wajib tunduk dan patuh dalam perkara-perkara lainnya.

Prinsip ini, yaitu taat kepada para penguasa muslim dalam perkara yang ma’ruf, adalah sebuah prinsip yang sangat agung dan mendasar dalam aqidah Islam. Karenanya, ulama Salaf memasukkannya dalam bagian prinsip-prinsip dasar aqidah. Hampir tidak ada satu buku aqidah yang ditulis oleh para imam, melainkan padanya terdapat penyebutan dan penjelasan dari prinsip tersebut.

Ketaatan terhadap penguasa ini adalah kewajiban syar’i bagi setiap muslim, tidak akan terwujud ketenangan dan stabilitas dalam sebuah negara tanpa adanya ketaatan terhadap penguasa.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا أطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَسُوْلَ وَأُولِى الأمْرِ مِنْكُمْ، فَإِن تَنَازَعْتُم فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلىَ اللهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَاْوِيْلاً

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ ayat 59).

Dan dalam hadits-hadits shahih;

Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

إن السلطان ظل الله فى الأرض، فمن أكرمه أكرمه الله و من أهانه أهانه الله

Sesungguhnya penguasa adalah naungan Allah di muka bumi. Siapa yang memuliakan penguasa, niscaya Allah akan memuliakannya, dan siapa yang menghinakan penguasa, niscaya Allah akan menghinakannya.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, dishahihkan Al-Albani).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda,

من أطاعني فقد أطاع الله، ومن يطع الأمير فقد أطاعني، ومن يعصى الامير فقد عصاني

Barangsiapa yang taat kepadaku, maka sungguh dia telah taat kepada Allah. Barangsiapa taat kepada penguasa, maka dia telah taat kepadaku. Dan barangsiapa yang membangkang kepada penguasa maka dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda,

ألا من ولي عليه والٍ فرآه يأتي شيئا من معصية الله فليكره الذي يأتي من معصية الله ولا ينزع يدا من طاعة

Ketahuilah, barangsiapa yang berkuasa atasnya seorang pemimpin, dan dia melihatnya melakukan sesuatu perbuatan maksiat kepada Allah, maka bencilah perbuatannya tersebut dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan!” (HR. Muslim).

Beliau ﷺ bersabda kepada Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,

تسمع وتطيع للأمير وإن ضُرب ظهرك وَأُخِذَ مالُك، فاسمعْ وأطعْ

Engkau mendengar dan taat kepada penguasa, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas. Dengar dan taatlah!” (HR. Muslim).

Dan pesan beliau ﷺ kepada para shahabatnya,

اسمعوا وأطيعوا وإن استعمل عليكم عبدٌ حبشيٌّ كأن رأسه زبيبة

Mendengar dan taatlah, walaupun berkuasa atas kalian seorang budak Habasyi seakan-akan kepalanya seperti anggur kering.” (HR. Al-Bukhary).

08 Februari 2016

Wanita yang Haram Dinikahi karena Penyusuan

Diharamkan bagi seorang laki-laki menikahi wanita yang keduanya pernah menyusu pada satu ibu susu.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأمَّهَاتُكُمُ اللاَتِي أرْضَعْنَكُم وَأخَوَاتُكُم مِنَ الرَضَاعَةِ

(Dan diharamkan atas kamu menikahi) ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara-saudara perempuanmu sepersusuan.” (QS. An-Nisa’ ayat 23).

Dan Nabi ﷺ bersabda,

الرضاعة تحرم ما تحرم الولادة

Penyusuan mengharamkan (pernikahan) seperti apa yang diharamkan oleh (sebab) kelahiran.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Dengan ini bisa dipahami, pengharaman menikahi seorang wanita karena penyusuan sama seperti diharamkannya menikahi seorang wanita disebabkan oleh pertalian nasab/garis keturunan, yaitu dengan menjadikan status wanita yang menyusui sama seperti seorang ibu.


Wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki yang disebabkan oleh penyusuan tersebut adalah sebagai berikut,

1. Wanita yang menyusui dan ibunya. (karena mereka berstatus sebagai ibunya dan neneknya)

2. Anak-anak perempuan dari ibu susu, baik yang dilahirkan sebelum kelahirannya atau sesudahnya. (karena mereka adalah saudarinya)

3. Saudara perempuan ibu susu. (karena ia adalah bibinya dari pihak ibu susunya)

4. Anak perempuan dari anak perempuan dan anak laki-laki ibu susunya. (karena mereka adalah anak saudari dan saudaranya)

5. Ibu dari suami ibu susu yang air susunya datang darinya disebabkan kehamilan yang terjadi darinya. (karena wanita itu adalah neneknya)

6. Saudara perempuan suami ibu susu. (karena ia adalah bibinya dari pihak ayah susu)

7. Anak perempuan dari suami ibu susu, walaupun dari istri lainnya. (karena ia adalah saudarinya dari pihak ayah susunya)

8. Istri lain dari bapak susunya. (karena mereka adalah istri ayahnya)

9. Istri anak susu haram dinikahi oleh suami ibu susunya. (karena ia adalah istri anaknya).

Sebab pengharaman ini adalah air susu yang keluar dari seorang ibu karena kehamilan dari suaminya. Jika bayi tumbuh dari air susu itu, maka dia menjadi bagian dari kedua pasangan suami istri tersebut.

Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi ﷺ menyuruhnya untuk mengizinkan masuk Aflah, saudara Abul Qu’ais yang merupakan paman susu Aisyah. (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ditanya tentang seorang laki-laki yang memiliki dua istri, salah satunya menyusui seorang anak laki-laki, dan yang lainnya menyusui anak perempuan. Ditanyakan padanya, “Apakah boleh anak laki-laki itu menikahi anak perempuan tersebut?” Ia menjawab, “Tidak boleh, (karena) benihnya satu.” (Riwayat Malik, At-Tirmidzi dan lain-lain dengan sanad yang shahih sampai ke Ibnu Abbas).

Maksud perkataan Ibnu Abbas, bahwa air susu yang keluar dari kedua wanita tersebut disebabkan oleh kehamilan yang berasal dari satu orang.


Jika bayi yang menyusu adalah anak perempuan, maka dia haram dinikahi oleh suami dari ibu yang menyusuinya (karena ia adalah ayahnya), saudara dari ibu susunya (karena ia adalah pamannya), bapak dari ayah dan ibu susunya (karena ia adalah kakeknya), dan seterusnya.


Hukum pengharaman ini hanya berlaku bagi si bayi yang menyusu, dan tidak berkonsekuensi pada seorang pun dari kerabatnya. Karenanya, saudari sesusuannya bukanlah saudari untuk saudara kandungnya yang lain. Kaedahnya dalam masalah ini : “semua orang yang berkumpul pada satu air susu, maka mereka semua menjadi bersaudara”.

Maka, misalkan, saudara kandung anak susu itu yang tidak ikut menyusu bersama mereka, dia boleh menikahi anak perempuan ibu susu saudaranya, karena wanita itu seorang ajnabî (bukan mahram) walaupun dia adalah saudara sesusuan bagi saudara kandungnya.

Wallahu a’lam.


(Sumber : Shahîh Fiqh as-Sunnah)

04 Februari 2016

Alangkah Indahnya Sifat Qona’ah

Alangkah indahnya sifat qonâ’ah… Yaitu merasa cukup dan ridha dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepada dirinya.

Orang yang komitmen dengan sifat ini, dia akan menggapai kebahagiaan.

Kalau saja manusia menghiasi diri mereka dengan sifat ini, niscaya akan hilang dari mereka sifat dengki dan hasad. Karena banyak perselisihan dan perpecahan yang terjadi di antara manusia disebabkan oleh dunia dan berlomba-lomba kepada dunia itu. Tidaklah melemah agama yang ada dalam hati-hati manusia melainkan disebabkan oleh terjerumusnya mereka kepada gemerlapnya dunia dan keindahannya. Benarlah Rasulullah ﷺ ketika beliau bersabda,

وَاللهِ مَا الفقرُ أخشَى عَليكم، وَلكنِي أخشَى أن تُبسَطَ الدُنيا عَليكم؛ كمَا بُسِطت علىَ مَن كانَ قَبلكم فتنافسُوهَا كمَا تَنافسُوهَا وَتُهلِككم كمَا أهْلكتهُم

Demi Allah, tidaklah kemiskinan yang aku takutkan atas kalian, akan tetapi aku khawatir jika dunia dilapangkan kepada kalian sebagaimana dahulu pernah dilapangkan kepada orang-orang sebelum kamu, kalian berlomba-lomba kepadanya sebagaimana mereka berlomba-lomba, hingga akhirnya dunia itu membinasakan kalian sebagaimana dia telah membinasakan mereka.” (HR. Al-Bukhary).

Karenanya, diantara doa Nabi ﷺ adalah,

اللهُمَّ إنِي أعُوذ بِكَ مِن قلبٍ لاَ يَخشَعُ، وَمِن دُعَاءٍ لاَ يُسْمَعُ، وَمِن نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ، وَمِن عِلمٍ لاَ يَنفعُ، أعُوذ بِكَ مِن هَؤلاَءِ الأربَع

Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari hati yang tidak khusyu’, dari doa yang tidak didengarkan, dari jiwa yang tidak pernah puas dan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Aku berlindung kepadaMu dari empat perkara itu.” (HR. At-Tirmidzi, no. 3482, dishahihkan Al-Albani).

Berkata Imam an-Nawawi rahimahullahu, “Perkataan beliau ﷺ : ‘Dari jiwa yang tidak pernah puas’, yaitu memohon perlindungan dari kerakusan, ketamakan, keserakahan dan ketergantungan jiwa dengan impian-impian yang jauh.” (Syarh Shahîh Muslim, XVII/41).

Wallahu a’lam.

01 Februari 2016

Hadits Al-Mursal Al-Khafiy

Jenis kedua dari jenis saqth khafiy dari sebab-sebab tertolaknya sebuah hadits disebabkan gugurnya seseorang atau beberapa perawi dalam sebuah sanad adalah al-mursal al-khafiy.

Menurut istilah, mursal khafiy (المرسل الخفيّ) adalah sebuah kasus dimana seorang perawi meriwayatkan sebuah riwayat dari seseorang yang pernah ia jumpai atau hidup semasa dengannya, yang riwayat itu tidak pernah ia dengarkan dari orang tersebut, dan dalam periwayatan ia menggunakan istilah yang mengandung kemungkinan pendengaran secara langsung atau yang semacamnya, seperti perkataannya: “Ia berkata.”

Contoh dari kasus ini adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari jalan periwayatan 'Umar bin 'Abdil 'Aziz, dari 'Uqbah bin ‘Amir secara marfu’,

رحم الله حارس الحرس

Semoga Allah merahmati orang yang menjaga (perkemahan) pasukan.”

'Umar bin 'Abdil 'Aziz tidak pernah berjumpa dengan 'Uqbah, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Mizzi rahimahullahu dalam kitab Al-Athrâf.


Dengan Apa Diketahui Irsal Khafiy?


Irsal khafiy bisa diketahui dengan salah satu dari tiga perkara,
  1. Pernyataan sebagian imam/ulama bahwa si perawi tidak pernah berjumpa dengan orang yang ia sampaikan hadits darinya, atau tidak pernah mendengarkannya secara mutlak
  2. Perawi tersebut mengabarkan sendiri tentang dirinya bahwa ia tidak pernah berjumpa dengan orang itu atau belum pernah mendengarkan sesuatu pun darinya
  3. Datangnya hadits tersebut dari jalan periwayatan yang lain; padanya terdapat tambahan perawi lain antara si perawi dengan orang yang ia riwayatkan darinya hadits tersebut
Bentuk ketiga diperselisihkan oleh para ulama, karena ia bisa saja masuk dalam jenis al-mazîd fî muttashil al-asânîd (insyaallah akan datang penjelasannya pada tempatnya)

Hukum Mursal Khafiy

Mursal khafiy termasuk hadits dha’if karena masuk dalam jenis hadits munqathi’. Jika telah jelas bentuk inqitha’ dalam sanadnya, maka hukumnya adalah hukum munqathi’.