"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

28 Agustus 2016

Wajibnya Mahram bagi Wanita yang Menunaikan Haji

Wanita sama seperti laki-laki dalam syarat wajib haji, yaitu Islam, berakal, baligh, merdeka dan memiliki kemampuan. Namun, ada syarat tambahan yang wajib bagi seorang wanita jika dia melaksanakan ibadah haji yaitu memiliki mahram yang akan menemaninya dalam perjalanan menuju tanah suci

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,

لا يخلونَّ رجلٌ بامرأةٍ إلا ومعها ذو محرمٍ، ولا تسافر المرأة إلا مع ذي محرمٍ

Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita kecuali bersamanya ada mahram. Dan jangan sekali-kali seorang wanita melakukan safar kecuali bersama mahram.”

Maka berdirilah seorang laki-laki dan berkata, “Wahai Rasulullah, istriku telah pergi untuk berhaji, sementara aku telah mendaftarkan diriku pada perang ini dan itu.”

Beliau ﷺ bersabda,

انطلقْ فحُجَّ مع امرأتك

Pergilah, berhajilah bersama istrimu.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu Nabi ﷺ bersabda,

لا يحل لامرأةٍ تسافر مسيرةَ يومٍ وليلةٍ ليس معها محرمٌ

Tidak halal bagi seorang wanita melakukan safar sehari semalam tidak ada bersamanya mahram.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Mahram seorang wanita adalah suaminya atau laki-laki yang haram menikahinya untuk selamanya disebabkan oleh pertalian nasab seperti saudaranya, saudara ayah atau ibunya (paman) atau anak saudara/saudarinya; atau oleh sebab persusuan seperti saudara sepersusuannya, atau oleh sebab perkawinan seperti suami ibunya (ayat tiri) atau anak suaminya (anak tiri).

Nafkah bagi mahram tersebut adalah tanggungan si wanita. Dan disyaratkan dalam kewajiban haji seorang wanita adalah memiliki harta yang cukup untuk membiayai diri dan mahramnya dalam perjalanan haji sejak pergi hingga kembali.

Wallahu a’lam.


24 Agustus 2016

Kewajiban Menunaikan Haji & Umrah

Ibadah haji adalah salah satu rukun Islam.

Hukumnya wajib dengan ijmâ’ (konsensus) kaum muslimin.

Kewajiban haji wajib sekali dalam umur seorang muslim bagi yang telah mampu melakukannya. Adapun haji yang selain haji wajib tersebut maka hukumnya adalah sunnah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلهِ عَلىَ النًاسِ حِجُّ البَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إلَيْهِ سَبِيْلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ العَالَمِيْنَ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”(QS. Alu Imran ayat 97).

Rasulullah ﷺ bersabda,

بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدًا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصوم رمضان وحج البيت من استطاع إليه سبيلاً

Islam dibangun diatas lima perkara; persaksian bahwa tiada ilâh (yang hak) kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan berhaji bagi yang mampu.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Dan diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah ﷺ menyampaikan khutbah kepada kami dan bersabda,

يا أيها الناس قد فرض الله عليكم الحج فحجوا

Wahai manusia, sungguh Allah telah mewajibkan atas kalian haji, maka berhajilah.”

Seorang laki-laki berkata, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Beliau diam hingga orang itu menanyakannya tiga kali. Maka Rasulullah ﷺ bersabda,

لو قلت نعم لوجبت ولما استطعتم

Kalau saja aku mengatakannya ‘iya’, niscaya kalian tidak akan mampu melakukannya.” (HR. Muslim).

Adapun umrah termasuk ibadah yang disyari’atkan dalam Islam. Terlepas dari perbedaan ulama tentang wajib tidaknya hukum menunaikan umrah, namu selayaknya seorang muslim mengerjakannya jika dia memiliki kemampuan sebagai bentuk kehati-hatian. Terlebih umrah sangatlah mudah dan bisa digandengkan dengan ibadah haji dalam jenis haji tamattu’.

Ketika Nabi ﷺ ditanya : Apakah wanita memiliki kewajiban berjihad? Beliau bersabda,

نعم، عليهن جهاد لا قتال فيه : الحج والعمرة

Iya, mereka memiliki kewajiban jihad yang tidak ada perang padanya, yaitu haji dan umrah.” (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan Ibnu Majah dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha).

Jika kewajiban itu berlaku untuk kaum wanita, maka laki-laki lebih pantas dan layak untuk kewajiban tersebut.

Syarat Wajib Haji

Ibadah haji menjadi wajib dengan lima syarat, yaitu Islam, berakal, baligh, merdeka dan memiliki kemampuan.

Siapa yang telah terpenuhi padanya syarat-syarat tersebut, wajib atasnya untuk bersegera menunaikan haji.

Para ulama bersepakat bahwa haji sah jika dilakukan oleh anak kecil dan budak. Namun jika anak kecil menunaikan haji sebelum baligh atau budak sebelum dimerdekakan, maka haji keduanya tidak mencukupi dari haji wajib dalam Islam (hajjatul islam) dan wajib baginya untuk kembali menunaikan haji jika telah dewasa bagi anak-anak atau telah dimerdekakan bagi seorang budak.

Jika anak tersebut masih sangat kecil dan belum mumayyiz, walinya yang meniatkan ihram untuknya, menjauhkannya dari larangan-larangan haji, membawanya/menggendongnya dalam thawaf dan sa’i, menemaninya di Arafah, Muzdalifah dan Mina serta melontarkan untuknya Jamarat.

Orang yang memiliki kemampuan dalam haji adalah orang yang memiliki kesanggupan untuk mengerjakannya baik secara fisik maupun materi.

Yaitu ia sanggup melakukan perjalanan, memiliki atau mendapatkan kendaraan yang akan mengantarkannya, memiliki harta yang akan mencukupi kebutuhannya sejak pergi hingga kembali, juga memiliki kecukupan harta untuk nafkah istri, anak-anak dan orang-orang yang ditinggalkan yang berada dalam tanggungannya, melunasi hutang dan menunaikan hak-hak orang yang ada padanya, dan jalan yang akan ditempuhnya menuju tanah suci aman bagi diri dan hartanya.

Hendaknya seorang muslim bersegera untuk  menunaikan haji jika dia telah memiliki kemampuan, karena dia tidak pernah tahu barangkali saja umurnya tidak akan panjang hingga tidak sempat lagi melaksanakan ibadah wajib tersebut.

Semoga Allah memudahkan urusan-urusan kita dan kaum muslimin. Amin. 

19 Agustus 2016

Ibadah Haji & Mentauhidkan Allah Ta'ala

Haji adalah salah satu rukun Islam dan telah diwajibkan semenjak masa Ibrahim ‘alaihissalam.

Akan tetapi, setelah berlalu masa yang panjang, manusia mencampur-adukkan ibadah agung ini dengan ritual-ritual kesyirikan hingga mereka membuatkan patung-patung dan berhala-berhala di Baitullah Al-Haram, yang mereka tuju dalam doa-doa mereka dan mereka jadikan sebagai wasilah (perantara) antara mereka dengan Allah Tabaraka wa ta’ala.

Keadaan itu berlangsung hingga Allah mengutus rasul-Nya, Muhammad ﷺ, yang membersihkan Baitullah dari noda-noda kesyirikan pada tahun ke 8 H.

Sebagian besar manasik haji berpusat di di Baitullah Al-Haram yang merupakan rumah pertama yang dibangun untuk beribadah hanya kepada Allah saja. Namun, masih ada tempat-tempat lainnya yang dilalui seorang muslim dalam hajinya seperti Shafa dan Marwah, Mina, Muzdalifah dan Arafat. Semuanya juga adalah tempat-tempat untuk mentauhidkan Allah, untuk mengingat dan menyebut namaNya, jauh dari segala bentuk kesyirikan.

Syi’ar-syi’ar tauhid sangat jelas nampak dalam ibadah haji. Tidak ada satu nusuk (ibadah) atau rukun dalam haji melainkan padanya terdapat tanda atau isyarat kepada mentauhidkan Al-Khaliq ‘Azza wa Jalla, baik dalam ucapan maupun perbuatan.

Bahkan pondasi yang dibangun diatasnya Ka’bah adalah pondasi tauhid dan mencampakkan syirik dengan segala macam bentuknya. Karenanya, Allah berfirman tentang nabiNya, Ibrahim ‘alaihissalam,

وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَن لّا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُود

Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan) : Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat, dan orang-orang yang ruku dan sujud!” (QS. Al-Hajj ayat 25).

Bahkan perintah itu sampai pada level dimana Allah tidak mengizinkan orang musyrik memasuki Al-Masjid Al-Haram.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلاَ يَقْرَبُواْ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَـذَا

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati al-Masjid al-Haram sesudah tahun ini.” (QS. At-Taubah ayat 28).

Dari sini bisa dipahami, bahwa perintah kewajiban haji tegak diatas asas mentauhidkan Allah Ta’ala dan memurnikan segala bentuk dan jenis ibadah hanya untukNya semata; semenjak dibangunnya Ka’bah Baitullah Al-Haram hingga diutusnya Muhammad ﷺ.

Untuk memahami lebih jelasnya tentang masalah ini, Allah telah menjelaskan kepada para hamba tujuan dari pelaksanaan ibadah haji dalam surat Al-Hajj ketika Dia menyuruh Ibrahim untuk membangun Ka’bah dan menyeru manusia untuk berhaji kepadanya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ، لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ، ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ، ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الأَنْعَامُ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ، حُنَفَاء لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاء فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ، ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta, dengan ikhlas beribadah hanya kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh. Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj ayat 27-32).

Perhatikanlah bagaimana Allah Ta’ala memerintahkan orang-orang yang berhaji di akhir ayat tersebut untuk menjauhi kotoran syirik, memurnikan tauhid memberi gambaran tentang buruknya akibat dari kesyirikan itu.

Alangkah indahnya Islam yang mengajarkan umatnya untuk bertauhid dan menyelamatkan mereka dari dosa syirik, namun sayang, sangat sedikit dari umat ini yang mau mengambil pelajaran dari Al-Quran, dan dari ibadah-ibadah yang dilaksanakannya.

 

07 Agustus 2016

Ibadah tanpa Tauhid tidak Disebut "Ibadah"

Ibadah yang diperintahkan Allah Ta’ala tidaklah mungkin disebut ibadah kecuali dengan tauhid. Tidak akan mungkin sah sebuah ibadah bersama syirik. Seseorang tidak disifatkan sebagai hamba Allah yang sesungguhnya kecuali dengan mengaplikasikan tauhid dan meng-Esa-kan Allah dalam ibadahnya. Siapa yang menyembah Allah dan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain, maka dia bukanlah hamba Allah yang sesungguhnya.

Mentauhidkan Allah, mengikhlaskan ibadah semata-mata untuk Allah dan tidak mempersekutukan-Nya adalah syarat utama bagi diterimanya amal di sisi Allah Ta’ala. Ditambah lagi, ibadah tersebut mustahil bernilai dan diterima kecuali jika sesuai dengan aturan syari’at dan berada diatas Sunnah Rasulullah .
 
Dua syarat diterimanya amal ibadah di sisi Allah adalah;

1. Tidak disembah dan diibadahi kecuali Allah Ta’ala (tauhîd), dan

2. Dia tidak disembah dan diibadahi kecuali dengan apa yang diperintahkan-Nya melalui lisan rasul-Nya (ittibâ’).

Allah Ta’ala berfirman,

بَلىَ مَنْ أسْلَمَ وَجْهَهُ لِلهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَليْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ

Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabb-nya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah ayat 112)

Makna (أسلم وجهه); yaitu mengaplikasikan tauhid dan mengikhlaskan ibadahnya hanya untuk Allah semata.
Dan makna (وهو محسن); yaitu ber-ittiba’ (mengikuti petunjuk) Rasulullah .

02 Agustus 2016

Darah Istihadhah

Darah istihadhah adalah darah yang keluar di luar kebiasaan, yaitu tidak pada masa haid dan bukan pula karena melahirkan, dan umumnya darah ini keluar ketika sakit, sehingga sering disebut sebagai darah penyakit.

Sifat darah istihadhah umumnya berwarna merah segar seperti darah pada umumnya, encer, dan tidak berbau. Keluarnya darah ini tidak diketahui batasannya, dan ia hanya akan berhenti setelah keadaan normal atau darahnya mengering.

Wanita yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci, sehingga ia tetap wajib mengerjakan shalat, puasa, dan suaminya boleh menggaulinya.

Al-Bukhary dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,

جَاءت فاطمةُ بنت اَبِى حبيش اِلى النَبِيُّ صلى الله علَيه وسلم وقالَت ياَرسول الله انِى امراَة اُسْتَحاض فلا اَطْهر، اَفَأدَع الصلاَةَ؟ فقال رسول الله صلّى اللهُ علَيه وسلّم: لاَ، اِنَما ذلك عِرْقٌ ولَيس بِالْحَيْضة فاِذَا اَقبلتِ الْحيضةُ فاتركى الصلاَة، فإذَا ذهب قدرها فاَغسلى عنْكِ الدَّم وصلِّى

Fatimah binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang mengalami istihadhah sehingga aku tidak dalam keadaan suci, apakah aku mesti meninggalkan shalat?” Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak, sesungguhnya itu hanyalah urat (pada rahim yang terbuka) dan bukan haid. Karenanya, jika haid itu datang maka tinggalkanlah shalat. Lalu apabila ukuran waktunya telah habis, cucilah darah dari tubuhmu lalu shalatlah.”

Keluarnya darah istihadah pada seorang wanita terjadi secara terus-menerus. Bisa terjadi selamanya, bisa pula berhenti dalam beberapa waktu.

Jika darah itu keluar terus-menerus dalam masa yang lama, apakah yang bisa dijadikan patokan dalam membedakan darah haid dengan darah istihadhah?

Kasus istihadhah pada seorang wanita bisa dibagi dalam tiga kondisi;

Pertama ; wanita tersebut memiliki masa haid yang jelas sebelum mengalami istihadhah. Kondisi yang seperti ini dikembalikan kepada masa haidnya yang sudah dikenalinya pada masa sebelum terjadinya istihadhah; dia menjalani masa haidnya pada hari-hari itu, dan selebihnya darah yang masih keluar setelah masa kebiasaan haidnya dianggap sebagai istihadhah.

Nabi ﷺ berkata Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha,

امكثي قدر ما كانت تحبسكِ حيضتك ثم اغتسلي وصلي

Berdiamlah dalam kadar masa yang dahulu engkau haid, kemudian (jika telah selesai) mandi dan shalatlah.” (HR. Muslim).

Kedua; dia tidak memiliki kebiasaan masa haid yang dikenali, akan tetapi dia bisa membedakan antara darah haid dengan darah istihadhah. Darah haidnya kental, kehitaman dan berbau, sementara darah lainnya berwarna merah cerah, encer dan tidak berbau. Dalam kondisi ini, wanita tersebut melalui masa haidnya sesuai dengan keadaan darah haid yang keluar dan selebihnya darah yang tidak memiliki sifat-sifat darah haid dianggap sebagai darah istihadhah, dia tetap wajib shalat, puasa dan suami boleh menggaulinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Fatimah bintu Abi Hubaisy,

إذا كان دم الحيض فإنه أسود يعرف، فأمسكي عن الصلاة، فإذا كان الآخر فتوضئي وصلي

“Jika darah itu darah haid, maka darahnya kehitaman dan dikenali, tahanlah dirimu dari melakukan shalat. Sedangkan jika keadaan darahnya yang selain itu, maka berwudhulah dan kerjakan shalat.” (HR. Abu Dawud dam An-Nasa’i, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim).

Pada sanad dan matan hadist ini terdapat kelemahan, akan tetapi para ulama telah mengamalkan makna hadits tersebut. Yang seperti ini lebih utama daripada mengembalikan hukum wanita tersebut kepada kebiasaan yang umum terjadi pada kaum wanita.

Ketiga; seorang wanita yang tidak memiliki kebiasaan haid yang jelas dan juga tidak ada sesuatu yang membantunya untuk membedakan antara darah haid dengan darah lainnya.

Dalam kasus ini, wanita tersebut menjalani masa haidnya selama enam atau tujuh hari setiap bulannya, mengikuti kebiasaan haid umumnya kaum wanita di negerinya. Nabi ﷺ bersabda kepada Hamnah bintu Jahsy,

إنما هي ركضة من الشيطان فتحيضي ستة أيام أو سبعة أيام ثم اغتسلي، فإذا استنقأتِ فصلي أربعةً وعشرين أو ثلاثةً وعشرين، وصومي وصلي فإن ذلك يجزئك، وكذلك فافعلي كما تحيض النساء

“Sesungguhnya darah tersebut adalah dari syaitan, maka jalanilah masa haidmu enam atau tujuh hari kemudian mandilah. Jika engkau telah bersih (selesai dari haid), shalatlah (dalam masa) 24 atau 23 hari, puasa dan shalatlah, karena yang demikian itu telah mencukupimu. Lakukan seperti itu sebagaimana (umumnya) para wanita menjalani masa haid.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Hadits ini diriwayatkan An-Nasa’i dari kisahnya Ummu Habibah).


Apa yang mesti dilakukan seorang wanita yang mengalami istihadhah dalam masa sucinya?

1. Wajib baginya mandi setelah selesai masa haidnya sesuai dengan perbedaan masa haid dalam penjelasan yang telah disebutkan.

2. Membersihkan dan mencuci kemaluannya setiap kali akan melaksanakan shalat, memakai pembalut untuk mencegah jatuhnya darah dan berwudhu pada setiap shalat.

Nabi ﷺ bersabda tentang wanita yang mengalami istihadhah,

تدع الصلاة أيام أقرائها ثم تغتسل وتتوضأ عند كل صلاة

“Dia meninggalkan shalat selama masa keluarnya darah, kemudian mandi dan berwudhu pada setiap shalat.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Berkata At-Tirmidzi, “Hadits hasan”).

Beliau ﷺ juga bersabda,
أنعت لك الكرسف فإنه يذهب الدم

“Aku nasehatkan untuk menggunakan kapas, karena hal itu bisa membersihkan darah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Sayangnya, nasehat beliau ini sudah ditinggalkan oleh sebagian wanita-wanita muslimah di zaman sekarang.

Wallahu a’lam.