"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

19 Juni 2016

Hijrahnya Kaum Muslimin ke Madinah

Setelah bai’at Aqabah kedua, mulailah kaum muslimin berhijrah ke Yatsrib yang di kemudian hari dikenal sebagai Madinah. Beberapa orang bahkan telah berhijrah sebelum terjadinya peristiwa bai’at Aqabah.

Dalam mimpinya, Rasulullah ﷺ telah diperlihatkan negeri tempat hijrahnya beliau dan para shahabatnya. Beliau berkata, “Aku melihat diriku berhijrah dari Makkah ke sebuah negeri yang padanya terdapat kebun-kebun kurma. Perkiraanku tempat itu adalah Yamamah atau Hajar, dan ternyata dia adalah kota Yatsrib.”[1]

Dalam riwayat lain beliau mengatakan, “Sungguh telah diperlihatkan kepadaku tempat hijrah kalian, (negeri) yang memiliki kebun-kebun kurma diantara dua dataran tinggi.”[2]

Seakan-akan beliau pada permulaannya diperlihatkan tempat hijrahnya dengan sifat-sifat yang ada di Yatsrib dan kota lainnya. Tapi kemudian diperlihatkan sifat yang lebih khusus lagi sehingga beliau bisa mengenalinya.

Yang pertama kali berhijrah adalah Abu Salamah bin Abdil Asad al-Makhzumi setelah ia mendapatkan perlakuan buruk Quraisy setelah kembali dari Habasyah. Abu Salamah berhijrah bersama istri dan putranya, namun kaum dari Ummu Salamah menolak kepergiannya bersama suaminya itu. Demikian pula keluarga Abu Salamah akhirnya mengambil paksa anak Abu Salamah dari ibunya. Maka pergilah Abu Salamah seorang diri menuju Madinah, dan itu terjadi kurang lebih setahun sebelum peristiwa Aqabah. Pada akhirnya, mereka membebaskan Ummu Salamah dan anaknya untuk menyusul suaminya di Madinah setahun setelahnya.

Setelah Abu Salamah, ikut berhijrah pula Amir bin Rabi’ah dan istrinya, Laila bintu Abi Hatsmah, dan Abdullah bin Ummi Maktum.

Setelah terjadinya bai’at Aqabah kedua, mulailah kaum muslimin berhijrah secara sembunyi-sembunyi menghindari Quraisy. Maka datanglah Bilal bin Rabah, Sa’ad bin Abi Waqqash. Ammar bin Yasir dan kemudian Umar bin Khattab bersama 20 orang shahabat lainnya.

Kaum muslimin berhijrah seluruhnya dan tidak tersisa di Makkah kecuali Rasulullah ﷺ, Abu Bakr, Ali, Zaid bin Haritsah dan orang-orang tertindas yang belum mampu untuk berhijrah.

——————————–

[1] HR. Al-Bukhary dan Muslim
[2]
HR. Al-Bukhary

15 Juni 2016

Bacaan Dzikir Diantara Rakaat-rakaat Shalat Tarawih

Apa hukumnya meninggikan suara bershalawat kepada Nabi ﷺ dan mendoakan para Khulafa’ Rasyidun diantara rakaat-rakaat shalat Tarawih?

Dijawab oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu,

“Tidak ada sumbernya yang demikian dalam Syari’at yang suci ini sebatas yang kami ketahui. Bahkan itu merupakan bid’ah yang tercela. Yang wajib adalah meninggalkan perbuatan tersebut. Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan perkara yang telah menjadikan baik generasi awalnya. Yaitu dengan mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah, serta berjalan diatas jalan yang ditempuh Salaf ummat ini dan mewaspadai perkara yang menyelisihinya.”





(Majmû’ Fatâwâ Syaikh Ibn Bâz rahimahullahu, XI/369)

12 Juni 2016

Hadits Maudhû’

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hadits mardûd secara garis besar disebabkan dua hal pokok, yaitu disebabkan oleh as-saqth fi al-isnâd (السقط من الإسناد) dan ath-tha’n fi ar-râwi (الطعن فى الراوي).

Perkara-perkara yang disebabkan oleh as-saqth fi al-isnâd telah selesai dijelaskan, alhamdulillah.

Sekarang kita masuk ke pembahasan kedua, yaitu hadits mardûd disebabkan oleh ath-tha’n fi ar-râwi.

Yang dimaksudkan ath-tha’n fi ar-râwi adalah celaan terhadap diri seorang perawi dengan ungkapan-ungkapan tertentu, yang menilai kapasitas diri sang perawi dari sisi ‘adâlah dan agamanya, atau dari sisi dhabth dan hafalannya.

Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya celaan pada diri perawi ada 10 macam. Lima diantaranya berkait dengan al-‘adâlah, dan lima lainnya berkait dengan adh-dhabth.

Yang berkait dengan al-‘adâlah yaitu,
  1. Al-kadzib
  2. At-tuhmah bi al-kadzib
  3. Al-fisq
  4. Al-bid’ah
  5. Al-jahâlah, yaitu jahâlah al-‘ain
Dan yang berkait dengan adh-dhabth yaitu,
  1. Fuhsy al-ghalath
  2. Suu al-hifzh
  3. Al-ghaflah
  4. Katsrah al-auhâm
  5. Mukhâlafah at-tsiqât
Kita akan sebutkan pembahasan tersebut satu persatu dan dimulai dengan yang paling buruknya yaitu celaan yang disebabkan oleh kedustaan (الكذب).

Hadits Maudhû’

Jika sebab celaan pada diri perawi adalah karena berdusta atas nama Rasulullah ﷺ  (الكذب على رسول الله), maka haditsnya disebut al-maudhû’ (الموضوع).

Definisi

Menurut bahasa berasal dari kata (وَضَعَ الشَيْء) yaitu (حَطَّهُ) atau menjatuhkannya.

Dalam istilah, hadits maudhu’ adalah hadits yang dusta, dipalsukan, dibuat dan disandarkan kepada Rasulullah ﷺ.

Hadits maudhu’ adalah hadits dha’if yang paling buruk. Sebagian ulama bahkan menjadikannya dalam sebuah pembahasan tersendiri, bukan bagian dari hadits-hadits dha’if.

Hukum Meriwayatkan Hadits Maudhu’

Para ulama bersepakat bahwa tidak halal bagi seseorang meriwayatkan hadits maudhu’ kecuali dengan penjelasan tentang kepalsuannya.

Nabi ﷺ bersabda,

من حَدَّثَ عني بحَديثٍ يُرَى أنه كذبٌ فهو أحدُ الكَاذِبَيْنِ

Barangsiapa menyampaikan dariku sebuah hadits yang ia memperkirakan bahwa itu adalah kedustaan, maka dia salah satu dari dua pendusta.” (HR. Muslim).

Dalam membuat hadits maudhu’, para pelakunya menggunakan dua metode, yaitu; membuatkan sebuah ucapan yang datang dari dirinya sendiri, kemudian membuatkan sanadnya dan meriwayatkannya.

Atau dengan mengambil perkataan sebagian ahli hikmah atau yang selain mereka, kemudian si pemalsu hadits membuatkan sanad untuk perkataan tersebut yang sampai kepada Nabi ﷺ.

Bagaimana Mengetahui Kepalsuan sebuah Hadits?

Hadits maudhu bisa dikenali tanpa melihat kepada sanadnya dengan beberapa perkara, diantaranya,

1. Pengakuan si pemalsu hadits, seperti pengakuan Abu ‘Ishmah Nuh bin Abi Maryam bahwa ia telah memalsukan hadits-hadits tentang fadhilah surat-surat dalam al-Quran, dari Ibnu Abbas.

Atau yang setara dengan pengakuan tersebut, seperti seseorang yang menyampaikan sebuah hadits dari seorang syaikh, dan ketika ditanya tentang waktu kelahiran syaikhnya, ia menyebutkan tahun wafatnya sebelum kelahiran orang tersebut. Dan hadits itu tidak dikenali kecuali dari jalan periwayatannya.

2. Tanda atau indikator yang terdapat pada diri perawi, seperti misalkan perawi seorang penganut mazhab Rafidhah, dan ia meriwayatkan hadits tentang keutamaan ahlul bait.

3. Tanda yang terdapat pada matan (al-marwi), seperti hadits yang mengandung kerancuan makna dalam redaksinya, atau menyelisihi indera, atau menyelisihi dalil yang jelas dalam al-Quran.





(Sumber : Taysîr Musthalah Al-Hadîts, Dr. Mahmud Ath-Thahhan)

09 Juni 2016

Bai’at Al-Aqabah Kedua

Setelah peristiwa bai’at Aqabah pertama, Rasulullah ﷺ mengirim Mush’ab bin Umair bersama mereka ke Yatsrib untuk mengajarkan Islam.

Mush’ab tinggal di kediaman As’ad bin Zurarah, dan keduanya aktif mendakwahkan Islam kepada tokoh-tokoh Yatsrib.

Menjelang musim haji tahun berikutnya, Mush’ab kembali ke Makkah setelah berhasil mengislamkan sebagian besar penduduk Yatsrib.

Pada musim haji tahun ke 13 setelah kenabian, datanglah delegasi haji Yatsrib, baik yang telah memeluk Islam ataupun yang masih kafir.

Kaum muslimin telah bersepakat bahwa mereka tidak akan membiarkan Rasulullah ﷺ tertindas di Makkah. Mereka menghubungi beliau secara diam-diam dan sepakat untuk bertemu di pertengahan hari-hari Tasyriq pada malam hari di sisi Jamrah al-Aqabah.

Berkumpullah mereka pada waktu yang ditentukan sebanyak 73 orang; 62 orang dari suku Khazraj dan 11 dari suku Aus. Bersama mereka terdapat 2 orang wanita yaitu Nusaibah bintu Ka’ab dari Bani Najjar dan Asma’ bintu ‘Amr dari Bani Salamah.

Maka datanglah Rasulullah ﷺ menjumpai mereka dan hadir bersama beliau pamannya al-Abbas bin Abdil Muththalib yang saat itu masih musyrik, namun ia ingin meyakinkan dirinya tentang keamanan dan kebaikan keponakannya dalam urusan ini.

Abbas yang pertama kali berbicara. Ia berkata, “Sesungguhnya Muhammad senantiasa berada dalam kemuliaan dari kaumnya dan terlindung di negerinya. Tapi ia tidak mau kecuali bergabung dan pergi bersama kalian. Jika kalian melihat bahwa kalian hanya akan menyerahkannya (kepada musuh) dan menghinakannya, maka dari sekarang tinggalkanlah ia, karena sungguh ia berada dalam kemuliaan dan perlindungan kaumnya di negerinya.”

Seorang dari mereka pun menjawab, “Kami telah dengarkan apa yang engkau ucapkan. Berbicaralah, wahai Rasulullah. Ambillah (dari kami) apa yang engkau suka untuk dirimu dan Rabb-mu!”

Maka berbicaralah Rasulullah ﷺ. Beliau membacakan al-Quran, mengajak kepada agama Allah dan memotivasi mereka kepada ajaran Islam. Kemudian beliau berkata, “Aku membai’at kalian agar kalian melindungiku dari apa yang kalian telah melindungi darinya istri-istri dan anak-anak kalian.”

Al-Bara’ bin Ma’rur langsung mengambil tangan Rasulullah ﷺ dan berkata, “”Iya, demi Rabb yang telah mengutusmu dengan kebenaran, kami akan melindungimu dari apa yang kami melindungi darinya keluarga kami. Ambillah bai’at kami. Demi Allah, kami adalah ahli dalam perang dan ahli menggunakan senjata, yang kami wariskan turun temurun dari leluhur kami.”

Perkataan al-Bara’ itu diputus oleh Abul Haitsam bin at-Taihan, yang berkata, “Wahai Rasulullah, antara kami dan kaum itu (orang-orang Yahudi) ada perjanjian dan kami akan memutuskannya. Apakah andai saja kami melakukan itu dan kemudian Allah memenangkanmu, engkau akan kembali kepada kaummu dan meninggalkan kami?”

Rasulullah ﷺ tersenyum dan berkata, “Darah dibalas darah, kehormatan dibalas kehormatan. Aku bagian dari kalian dan kalian bagian dari diriku. Aku perangi orang yang memerangi kalian dan aku berdamai dengan orang yang berdamai dengan kalian.”

Kemudian Rasulullah ﷺ meminta mereka memilih 12 orang sebagai naqib (pemimpin) yang bertanggung jawab atas kaumnya; 9 dari Khazraj dan 3 dari Aus. Dan yang pertama kali memegang tangan Rasulullah ﷺ dalam bai’at tersebut adalah al-Bara’ bin Ma’rur –menurut sebagian pendapat- dan kemudian diikuti oleh yang lainnya.

Setelah pembai’atan selesai dan kaum tersebut hampir berpisah, salah satu syaitan menemukan mereka. Maka syaitan itu pun berteriak dengan sekeras-kerasnya, “Wahai penduduk negeri, apakah kalian memiliki urusan terhadap Muhammad sementara orang-orang murtad itu bersamanya?! Mereka telah berkumpul untuk memerangi kalian!”

Rasulullah ﷺ pun menyuruh mereka untuk bersegera kembali ke perkemahan mereka.

Berkata al-Abbas bin Ubadah bin Nadhlah, “Demi Allah yang telah mengutusmu dengan kebenaran, jika engkau mau, kami akan menyerang orang-orang di Mina besok dengan pedang kami!”

Rasulullah ﷺ bersabda, “Kami tidak diperintahkan untuk hal itu. Kembalilah ke perkemahan kalian.”

Mereka akhirnya kembali dan tidur hingga datang waktu pagi.

Di pagi hari, datanglah Quraisy ke perkemahan orang-orang Yatsrib untuk mempertanyakan berita yang mereka dengarkan tentang pertemuan sebagian orang-orang Yatsrib dengan Rasulullah ﷺ. Orang-orang musyrik Yatsrib berkata, “Itu adalah berita bohong. Tidak terjadi sesuatu pun!”, dan orang-orang yang telah masuk Islam hanya diam dan saling memandang.

Quraisy percaya dengan ucapan orang-orang musyrik tersebut dan kembali tanpa hasil.

Itulah peristiwa yang dikenal sebagai bai’at al-Aqabah kedua. Peristiwa ini adalah sebuah momentum besar dalam hidup Rasulullah ﷺ yang telah mengubah wajah sejarah perjuangan Islam di fase Makkah dan fase selanjutnya.

(Disarikan dari As-Sirah An-Nabawiyyah Ash-Shahihah dan Waqafat Tarbawiyyah fi As-Sirah An-Nabawiyyah)

08 Juni 2016

Hukum Lansia yang Tidak Mampu Berpuasa Ramadhan

Ayat yang pertama turun berkenaan dengan puasa Ramadhan adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu puasa.”; sampai pada firmanNya,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan satu orang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah ayat 184).

Dengan landasan ayat ini, pada permulaan diwajibkannya puasa, kaum muslimin memiliki pilihan di bulan Ramadhan untuk berpuasa atau berbuka (tidak berpuasa) dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk setiap satu hari yang ditinggalkan puasanya.

Dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Ketika turun firman Allah, ‘Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin’, siapa yang ingin berbuka maka ia membayar fidyah. Hingga turunlah ayat yang setelahnya,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu’; dan menghapus (nasakh) ayat tadi.” (HR. Al-Bukhary).

Hukum nasakh ayat tersebut berlaku untuk orang sehat yang sedang bermukim di negerinya.

Adapun orang tua yang telah lanjut usia dan tidak mampu lagi berpuasa, maka hukum nasakh itu tidak berlaku atas mereka. Mereka tetap boleh berbuka tanpa harus mengqadha’ puasanya di hari lain, dan wajib membayar fidyah.

Inilah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, “Diberikan keringanan bagi orang tua yang telah lanjut usia untuk tetap berbuka dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap satu hari (yang ditinggalkan puasanya), dan tidak ada kewajiban mengganti (qadha’) puasa atasnya.” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Hakim).

Riwayat ini diperkuat dengan riwayat lain oleh Imam Ahmad (21107), Abu Dawud (507) dan lain-lain dari Mu’adz bin Jabal ia berkata, “Allah telah menetapkan kewajiban puasa Ramadhan atas orang sehat yang sedang mukim, dan memberikan keringanan bagi orang sakit dan musafir. Dan telah tetap hukum memberi makan bagi orang lanjut usia yang tidak mampu berpuasa.”

Takaran makanan yang dibayarkan dalam fidyah adalah sebesar ½ shâ’ dari makanan pokok masing-masing negeri.

1 shâ’ nabawi setara dengan 4 mudd.

I mudd kurang lebih setara dengan 625 gram. Karenanya, I shâ’ nabawi kurang lebih setara dengan ukuran 2500 gram (2,5 kg).[1]

Untuk kehati-hatian, sebagian fatwa dari para ulama menggenapkan jumlah 1 shâ’ kurang lebih setara dengan 3000 gram (3 kg).[2]

Kesimpulannya, fidyah yang wajib dibayarkan dalam bentuk bahan mentah adalah beras seberat ½ shâ’ atau setara dengan 1 ½ kg.

Sangat baik kalau fidyah beras tersebut disertakan dengan lauk-pauk.

Adapun jika dibayarkan dalam bentuk makanan siap santap, maka boleh dengan mengundang orang miskin sejumlah hari yang ditinggalkan puasanya, kemudian menjamu mereka dalam sebuah jamuan makan siang atau malam.

Atau makanan tersebut diantarkan kepada orang-orang miskin untuk disantap di tempat mereka masing-masing.

Sementara memberi makan satu orang miskin untuk tiga puluh hari, kebanyakan ulama memperbolehkannya, dan ini adalah madzhab Syafi’iyah, Hanabilah dan sebagian dari Malikiyah. Dalam al-Inshâf (III/291) disebutkan: “Diperbolehkan memberikan (makanan) kepada satu orang miskin sekaligus.”[3]

Termasuk dalam kategori orang tua yang telah lanjut usia yang tidak mampu berpuasa adalah orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya dan ia tidak bisa berpuasa. Orang seperti ini boleh berbuka dan membayar fidyah dengan ijma' (kesepakatan) ulama.

Hukum fidyah ini berlaku juga untuk wanita hamil dan wanita menyusui yang tidak mampu berpuasa di bulan Ramadhan menurut pendapat yang râjih (kuat). (silahkan baca artikelnya di : Yang wajib bagi wanita hamil & menyusui di bulan Ramadhan)

Wallahu a’lam

————————

Footnotes :

[1] Mudd adalah takaran penuh dua telapak tangan normal orang dewasa. Adapun dengan timbangan, ukurannya akan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan jenis makanan yang ditakar. Karenanya, berbeda pula hitungan shâ’ dalam timbangan kilogram yang disebutkan oleh para ulama karena perbedaan ukuran mudd. Yang kami sebutkan adalah ukuran yang disebutkan Syaikh Abdullah al-Bassam dalam Syarh Bulugh al-Maram. Ulama lain menyebutkan bahwa 1 shâ’ sama dengan 2040 gram, atau 2176 gram, atau 2751 gram. (lihat jawaban fatwa dalam Islamweb)

[2] Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah oleh Syaikh Bin Baz, XIV/200, Fatwa al-Lajnah ad-Dâimah Kerajaan Saudi, IX/371, fatwa no. 12572 dan pendapat yang dipilih oleh Markaz Fatwa Islamweb-Qatar

[3] Dikutip dari Tanya-Jawab tentang Islam
 



06 Juni 2016

Yang Wajib bagi Wanita Hamil & Menyusui di Bulan Ramadhan

Hukum asalnya, seorang wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui bayinya tetap wajib berpuasa di bulan Ramadhan.

Jika wanita hamil tersebut khawatir terhadap janinnya, dan wanita yang sedang menyusui khawatir terhadap bayi susuannya yang jika berpuasa air susunya akan berkurang dan membahayakan bayinya –dengan pengalamannya atau rekomendasi seorang dokter yang terpercaya-, maka tidak ada perselisihan diantara ulama tentang bolehnya bagi kedua wanita tersebut untuk berbuka.

Ketika keduanya berbuka di bulan Ramadhan dengan alasan syar’i, apa yang wajib atas keduanya?

Para ulama berselisih tentang kewajiban yang mesti dilakukan keduanya karena meninggalkan puasa Ramadhan.

Diriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum bahwa keduanya menyuruh wanita hamil dan wanita menyusui yang berbuka puasa di bulan Ramadhan untuk membayar fidyah tanpa harus mengqadha’ puasa yang ditinggalkan. Pendapat ini juga adalah pendapat Sa’id bin Jubair rahimahullahu.

Ibnu Abbas memasukkan kedua jenis wanita tersebut ke dalam apa yang Allah maksudkan pada firmanNya,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah ayat 184).

Sisi pendalilannya memasukkan kedua wanita tersebut dalam golongan orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya lagi adalah karena akan selalu berulangnya kehamilan dan penyusuan pada umumnya kaum wanita.

Ibnu Abbas berkata, “Ayat ini adalah keringanan (rukhshah) bagi laki-laki yang telah lanjut usia dan perempuan yang telah lanjut usia, sementara mereka tidak mampu berpuasa, maka keduanya berbuka dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap satu hari yang ditinggalkan. Demikian pula wanita hamil dan wanita menyusui jika khawatir terhadap anaknya, keduanya berbuka dan memberi makan.” (Riwayat Abu Dawud).

Pendapat ini diriwayatkan juga dari Ibnu Umar dan tidak ada disebutkan riwayat yang menyelisihinya dari para Shahabat yang lain.

Jumhur ulama, termasuk para imam yang empat berpendapat wajibnya qadha’ atas kedua wanita tersebut dengan dalil firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah ayat 184).

Mereka berkata : Wanita tersebut lebih mirip dengan orang sakit yang masih bisa diharapkan kesembuhannya, maka ia wajib mengqadha’ jika ia mampu melakukannya.

Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad rahimahumallahu menambahkan kewajiban mengqadha’ tersebut dengan kewajiban memberi makan satu orang miskin (kaffarah/fidyah) untuk setiap satu hari yang ditinggalkan jika berbukanya itu karena kekhawatiran terhadap keselamatan janin atau anak yang disusui.

Adapun atsar dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, jumhur memandang bahwa hal itu adalah tambahan dari kewajiban wanita itu untuk mengqadha’ puasa yang ditinggalkan.

Sementara Atha’ bin Abi Rabah, Az-Zuhri, Al-Hasan, Sa’id bin Al-Musayyib, An-Nakha’i, Al-Auza’i dan Abu Hanifah rahimahumullahu memandang tidak ada kewajiban kaffarah atas keduanya, dan hanya wajib mengqadha’ saja.

Mereka berdalil dengan sabda Nabi ﷺ,

إن الله وضع عن المسافر شطر الصلاة وعن الحامل والمرضع الصوم

Sesungguhnya Allah telah memberi keringanan separuh shalat bagi musafir dan (keringanan) puasa bagi wanita hamil dan menyusui.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i).

Mereka berkata : Beliau tidak menyuruh untuk membayar kaffarah (fidyah), dan juga dikarenakan hal itu adalah berbuka yang diizinkan karena uzur, maka tidak wajib atasnya kaffarah sebagaimana berbukanya orang sakit.

Dari sekian pendapat ulama ini, pendapat pertama lebih dekat kepada atsar karena diriwayatkan dari pendapat dua orang shahabat yang mulia, kemudian pendapat terkuat setelahnya adalah pendapat Imam Abu Hanifah yang hanya mewajibkan qadha’, dan itulah pendapat yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Daimah yang pada saat itu diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu, dan juga fatwa yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu.

Wallahu a’lam.
----------------

Referensi :

[1] Al-Majmû’, an-Nawawi (VI/178)
[2] Shahîh Fiqh as-Sunnah, Abu Malik (II/125-127)
[3] Fatâwâ fî Ahkâm ash-Shiyâm, al-Utsaimin (hal. 159-164)
[4] Fatwa-fatwa al-Lajnah ad-Dâ’imah, Kerajaan Saudi (X/220, fatwa no. 1453)
[5] Fatwa-fatwa situs islamweb.net

 

Yang Disunnahkan Saat Berbuka Puasa

Jika matahari telah dipastikan terbenam, disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk segera berbuka dan membatalkan puasanya.

Dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,

إذا رأيتم الليل قد أقبل من هاهنا فقد أفطر الصائم

Jika kalian melihat malam telah datang dari arah ini, maka telah berbuka orang yang berpuasa.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر

Senantiasa manusia dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Kebaikan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah ittibâ’ (mengikuti) sunnah Nabi ﷺ yang merupakan sebab kebaikan dunia dan akhirat.

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi ﷺ beliau bersabda,

لا يزال الدين ظاهرًا ما عجل الناس الفطر، لأن اليهود والنصارى يؤخرون الإفطار إلى اشتباك النجوم

Agama ini akan senantiasa tegak jika manusia menyegerakan berbuka. Karena orang-orang Yahudi dan Nasrani menunda waktu berbuka hingga bermunculan bintang-bintang.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, dishahihkan Al-Albani).

Disunnahkan berbuka dengan kurma jika memungkinkan. Jika tidak ada, berbuka dengan apa yang mudah didapatkan walaupun hanya dengan air.

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata,

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفطر على رطبات قبل أن يصلي، فإن لم تكن رطبات فعلى تمرات، فإن لم تكن حسا حسوات من الماء

“Rasulullah ﷺ berbuka dengan beberapa ruthab sebelum shalat, jika tidak ada ruthab, beliau berbuka dengan beberapa tamr, jika tidak ada, beliau berbuka dengan air.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Ruthab, yaitu kurma yang masih basah, tamr adalah kurma yang telah mengering.
Dan Rasulullah ﷺ jika telah berbuka beliau membaca dzikir,

ذهب الظمأ و ابتلت العروق و ثبت الأجر إن شاء الله

Dzahaba_dzh-dzhoma-u wa_btallati_l-‘urûq wa tsabata_l-ajru in syâ-a_Llâhu

Telah hilang dahaga, telah basah tenggorokan, dan telah tetap pahala insyaallah.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dalam Al-Kubrâ dan Ibnu As-Sunni, dishahihkan oleh Al-Albani).

Para ulama bersepakat bahwa puasa berakhir dan sempurna dengan tenggelamnya matahari dan sunnah bagi orang yang berpuasa untuk segera berbuka jika matahari telah dipastikan tenggelam dengan penglihatan langsung atau berita yang disampaikan seorang yang tsiqah (terpercaya).

Mereka juga bersepakat bahwa orang yang berpuasa boleh berbuka dengan ghalabah adzh-dzhann (persangkaan yang dominan). Karena dzhann tersebut menggantikan kedudukan al-yaqîn (keyakinan yang mutlak).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, “Dengan adanya mendung yang menutupi, tidak mungkin terwujud sebuah keyakinan kecuali jika telah berlalu waktu yang panjang dari malam hingga luputlah keutamaan menyegerakan berbuka. Karenanya tidak dianjurkan segera berbuka dengan adanya mendung hingga diyakini tenggelamnya matahari. Dimakruhkan berbuka dengan landasan keraguan tentang terbenamnya matahari, dan tidak dimakruhkan sahur dengan adanya keraguan telah terbitnya fajar kecuali dalam persoalan jima’ (bersetubuh).”

Perkataan beliau berlandaskan sebuah kaedah syar’i bahwa,

الأصل بقاء ما كان على ما كان

“Hukum asalnya adalah tetapnya sesuatu sebagaimana keadaannya”.

Maka dalam sahur, hukum asalnya adalah tetapnya malam hingga diyakini terbitnya fajar, sementara dalam berbuka hukum asalnya adalah tetapnya siang hingga diyakini tenggelamnya matahari.

Wallahu a’lam.
———————

Sumber bacaan :

[1] Taudhîh al Ahkâm min Bulûgh al Marâm
[2]
Shahîh Fiqh as Sunnah

05 Juni 2016

Yang Disunnahkan dalam Sahur

Diantara adab-adab puasa adalah makan sahur.

Makan sahur adalah sunnah yang sangat ditekankan dalam Islam, walaupun puasa seorang muslim sah tanpa sahur.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

تسحروا فإن فى السحور بركة

Bersahurlah kalian, karena dalam sahur ada keberkahan.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Dan beliau ﷺ juga bersabda,

فصل ما بين صيامنا و صيام أهل الكتاب أكلة السحور

Pembeda antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim).
Dan sahur itu telah terpenuhi walaupun hanya dengan meminum seteguk air.
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

تسحروا ولو بجرعة ماء

Bersahurlah kalian walaupun hanya dengan seteguk air.” (Hadits hasan riwayat Imam Ibnu Hibban).

Dan termasuk dalam sunnah sahur adalah mengakhirkan waktu sahur.

Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu 'anhu, dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu ia berkata,

تسحرنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ثم قام إلى الصلاة، قلت : كم بين الأذان و السحور؟ قال : قدر خمسين آية

“Kami bersahur bersama Rasulullah ﷺ kemudian beliau pergi menunaikan shalat.” Aku bertanya: “Berapa jarak antara adzan dan sahur tersebut?” Ia menjawab: “Kurang lebih (bacaan) 50 ayat.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Dari Unaisah bintu Habib radhiyallahu 'anha ia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda,

إذا أذن ابن أم مكتومٍ فكلوا واشربوا، وإذا أذن بلال فلا تأكلوا ولا تشربوا

Jika Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, makan dan minumlah kalian. Dan jika Bilal mengumandangkan adzan, berhentilah makan dan minum.”

(Berkata Unaisah) : Jika salah seorang dari kami masih tersisa sesuatu dari sahurnya, ia akan berkata kepada Bilal, “Tangguhkan (adzan) hingga aku selesai dari sahurku.” (HR. An-Nasa'i, Ahmad dan Ibnu Hibban dengan sanad yang shahih).

Hadits ini memberi pelajaran kepada kita bahwa imsak untuk memulai puasa dimulai dengan masuknya waktu subuh, tidak dimajukan beberapa menit sebelumnya seperti kebiasaan imsak yang ada di masyarakat kita.

Jika seseorang mendengarkan adzan sementara makanan dan minumannya ada di tangannya, maka ia boleh menyelesaikannya. Riwayat tersebut diperkuat dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda,

إذا سمع أحدكم النداء والإناء على يده فلا يضعه حتى يقضي حاجته منه

Jika salah seorang kalian mendengarkan adzan sementara makanan ada di tangannya, janganlah ia meletakkannya hingga ia menyelesaikan hajatnya.” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim).
Sahur adalah istilah yang menunjukkan kepada waktu tertentu, yaitu waktu menjelang terbitnya fajar atau menjelang subuh. Sebagian orang makan sahur beberapa jam sebelum masuknya waktu hingga akhirnya terjatuh pada kesalahan, karena ia telah berpuasa sebelum masuk waktunya yang syar'i dan tidak mendapatkan keberkahan makan sahur yang dijanjikan.

Orang yang akan berpuasa diharuskan telah berniat puasa di malam hari sebelum terbitnya fajar. Jika dia telah berniat dan tidak terbangun saat sahur, maka dia wajib menahan diri dari makan dan minum, dan puasanya tetap sah.