"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

10 Desember 2016

Jika Andai Mencintainya, Amalkan Sunnahnya

Dalam Shahih Muslim, dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Nabi yang tercinta ﷺ ditanya tentang puasa hari Senin? Maka beliau menjawab,

ذَلِكَ يَوْمَ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمَ بُعِثْتُ أوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ

Itu adalah hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus atau diturunkannya wahyu kepadaku.”

Beliau ﷺ mengabarkan bahwa dirinya dilahirkan pada hari Senin, walaupun sebenarnya beliau tidak ditanya tentang hal itu. Akan tetapi beliau tidak menyebutkan tanggal lahirnya dan para shahabat pun tidak bertanya tentang tanggal tersebut, sementara mereka adalah orang-orang yang sangat antusias untuk mengerjakan kebaikan, karena pengetahuan tentang tanggal lahir itu tidak berkonsekuensi pada apapun.

Andai pengetahuan tentang hal itu memiliki konsekuensi syar’i dan kebaikan untuk umatnya, niscaya beliau tidak akan pernah menyembunyikannya dari umatnya.

Kalau memang seorang muslim benar-benar mencintai Nabi ﷺ, maka amalkan sunnahnya dengan berpuasa pada hari Senin, karena beliau ﷺ menyukai puasa pada hari tersebut, dengan dua alasan yang disebutkan dalam hadits Muslim di atas dan juga alasan ketiga, bahwa hari Senin –dan juga Kamis- adalah hari dimana amal-amal dihadapkan kepada Allah Ta’ala.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ beliau bersabda,

تُعْرَضُ الأعْمَالُ يَوْمَ الإثْنَيْنِ وَالخَمِيْس، فَأُحِبُّ أنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأنَا صَائِمٌ

Amal-amal dihadapkan (kepada Allah) pada hari Senin dan Kamis, dan aku suka jika amalku diperlihatkan sementara aku sedang berpuasa.” (HR. At-Tirmidzi, dan diriwayatkan Abu Dawud dan An-Nasa’i dari haditsnya Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, dan diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i dari Ummul Mukminin Hafshah radhiyallahu ‘anha).

Semoga Allah menguatkan hati kita di atas sunnah nabi-Nya dan mewafatkan kita di atas sunnah tersebut.

Allâhumma shalli wa sallim wa bârik ‘alâ Muhammad, wa ‘alâ âlihi wa shahihbihi ‘ajma’în.

06 Desember 2016

Inilah Alasan Penyelenggaraan Maulid Nabawi

Orang-orang yang merayakan Maulid Nabi telah melegalkan perbuatan mereka tersebut dengan alasan-alasan berikut ini,

1. Penyelenggaraan Maulid yang dilakukan setiap tahunnya, dengannya kaum muslimin akan kembali mengingat Nabi-nya ﷺ, sehingga bertambahlah kecintaan dan pengagungan mereka terhadap beliau.

2. Mendengarkan asy-Syama’il al-Muhammadiyyah (adab dan akhlak Nabi ﷺ) dan mengenal nasab beliau yang mulia.

3. Menampakkan kegembiraan dengan kelahiran Rasulullah ﷺ yang menunjukkan akan kecintaan terhadap diri beliau dan kesempurnaan iman terhadapnya.

4. Memberi makan, dan ini adalah perkara yang diperintahkan. Padanya ada ganjaran yang besar terutama dengan niat syukur kepada Allah Ta’ala.

5. Berkumpul untuk berzikir kepada Allah dengan membaca Al-Quran dan bershalawat kepada Nabi ﷺ.

Ini lima perkara yang dijadikan alasan pembenaran untuk merayakan Maulid oleh sebagian pendukungnya. Alasan-alasan ini tidaklah memuaskan dan sangat nampak kebatilannya karena kelancangan terhadap Syari’at dengan membuat sesuatu yang tidak pernah disyari’atkan walaupun ada hajat kepada hal tersebut.

Berikut ini adalah penjelasan tentang kebatilan alasan-alasan tersebut,


Pertama; 

Perkara Maulid yang dijadikan sebagai peringatan tahunan; hal ini layak untuk dijadikan alasan jika seorang muslim tidak menyebut dan mengingat Nabi ﷺ puluhan kali pada setiap harinya, sehingga dibuatkanlah peringatan tahunan atau bulanan untuk mengingatnya yang dengan itu akan bertambahlah iman dan kecintaan muslim tersebut terhadap diri beliau.


Adapun seorang muslim; tidaklah dia shalat pada malam dan siang kecuali dia akan menyebut padanya nama Rasul ﷺ, dan tidak masuk waktu shalat dan tidak pula ditegakkan shalat tersebut kecuali akan disebut nama Rasul ﷺ dan dibacakan shalawat untuknya.

Yang pantas untuk dibuatkan perayaan karena khawatir akan dilupakan adalah orang-orang yang tidak menyebut dan mengingatnya. Adapun orang yang selalu menyebut, mengingat dan tidak lupa, apa pentingnya dibuatkan acara tersebut agar dia tidak lupa? Bukankah hal ini mencari sesuatu yang sebenarnya sudah ada pada diri setiap muslim?

Kedua; 

Mendengarkan sebagian dari asy-Syama’il al-Muhammadiyyah dan nasabnya yang mulia; ini juga adalah alasan yang tidak kuat. Karena mengenal asy-Syama’il al-Muhammadiyah dan nasab beliau yang mulia tidaklah cukup hanya untuk didengarkan setahun sekali. Apa yang bisa mencukupi seorang muslim dengan hanya mendengarkannya sekali dalam setahun sementara hal itu adalah bagian dari aqidah Islam?!

Yang wajib bagi setiap muslim dan muslimah adalah mengenal nasab Nabinya ﷺ dan sifat-sifatnya sebagaimana dia mengenal Allah Ta’ala dengan nama-nama dan sifat-sifatNya. Yang seperti ini mesti dengan pengajaran, tidak cukup hanya dengan mendengarkan bacaan kisahnya setahun sekali.

Ketiga; 

Menunjukkan kegembiraan adalah alasan yang sangat-sangat lemah, karena kegembiraan itu entah karena pribadi Rasul ﷺ atau karena hari yang beliau dilahirkan padanya. Kalau memang karena pribadinya, maka itu harus berlangsung kontinyu pada setiap kali disebutkan Rasul ﷺ dan tidak khusus pada waktu-waktu tertentu saja. Jika kegembiraan itu karena hari yang beliau dilahirkan padanya, maka sungguh, hari itu adalah juga adalah hari wafatnya beliau –ﷺ. Saya tidak mengira seorang yang berakal akan mengadakan perayaan kegembiraan di satu hari yang pada hari itu telah meninggal dunia kekasih yang dicintainya. Kematian beliau –ﷺ– adalah musibah terbesar yang pernah menimpa umat ini.

Keempat; 

Memberi makan adalah alasan yang jauh lebih lemah dari alasan-alasan yang sebelumnya. Karena memberi makan adalah perkara yang sunnah dan sangat dianjurkan pada setiap kali ada kebutuhan untuk hal itu. Seorang muslim akan selalu menjamu tamu, memberi makan orang yang lapar dan bersedekah sepanjang tahun, dan tidak perlu kepada satu hari tertentu pada satu tahunnya untuk memberi makan. Karenanya, perkara ini bukanlah alasan yang layak untuk bolehnya membuat bid’ah dalam agama.

Kelima; 

Berkumpul untuk zikir; ini adalah alasan yang rusak dan batil, karena berkumpul untuk berzikir dengan satu suara tidaklah dikenal di kalangan para Salaf. Adapun puji-pujian dengan paduan satu suara, maka ini adalah bid’ah yang buruk dan tidak dilakukan kecuali orang yang bingung dalam agamanya, wal ‘iyadzu bi_Llahi.

Walaupun sebenarnya juga, kaum muslimin telah (dan akan selalu) berkumpul pada setiap malam dan siang sepanjang tahunnya untuk shalat-shalat berjamaah di masjid-masjid dan juga menghadiri majelis-majelis ilmu. Karenanya, mereka tidak butuh kepada majelis tahunan untuk mendengarkan tabuhan-tabuhan dan menyantap makanan dan minuman yang umumnya faktor pendorongnya adalah keinginan-keinginan jiwa dan syahwat.

(Sumber: Al-Inshâf fî mâ Qîla fî al-Maulid min al-Ghuluww wa al-Ijhâf, Syaikh Abû Bakr bin Jâbir al-Jazâ’irî)

03 Desember 2016

Termasuk Syirik Kecil : Riya’ dalam Amalan

Menurut istilah, riya’ adalah ketika seorang manusia memperlihatkan amal shalih dihadapan orang lain, atau membagus-baguskannya, atau memperlihatkan pada mereka tampilan yang disukai agar mereka memujinya dan mengagungkannya dalam diri-diri mereka.

Siapa yang mengerjakan amalan karena mengharapkan Wajah Allah dan riya’ secara bersamaan, maka dia telah mempersekutukan Allah bersama dengan yang selain Dia dalam amalan tersebut.
 
Adapun jika dia mengerjakannya dan tidak ada tujuan dari perbuatannya tersebut selain untuk mendapatkan pujian manusia, maka pelakunya berada dalam bahaya yang sangat besar. Sebagian ulama mengatakan bahwa dia telah terjatuh pada kemunafikan dan kesyirikan yang mengeluarkannya dari agama.


Riya’ memiliki beberapa bentuk, diantaranya :

1. Riya’ dengan amalan, seperti riya’nya seorang yang shalat dengan memanjangkan ruku dan sujudnya.

2. Riya’ dengan ucapan, seperti –misalkan- menyebutkan begitu banyak dalil untuk menampakkan banyaknya ilmu yang dimiliki agar disebut sebagai seorang yang berilmu.

3. Riya’ dengan penampilan, seperti membiarkan bekas sujud di dahi untuk riya’.

Sangat banyak dalil yang menunjukkan haramnya riya’ dan buruknya balasan bagi pelakunya, dan perbuatan itu bisa merusak amalan yang menyertainya.

Diriwayatkan oleh Mahmud bin Labid radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda,

إن أخوف ما أخاف عليكم الشرك الأصغر

Sesungguhnya, sesuatu yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil!

Mereka bertanya, “Apakah syirik kecil itu wahai Rasullullah?”

Beliau menjawab,

الرياء، يقول الله عز وجل لهم يوم القيامة إذا جزي الناس بأعمالهم : اذهبوا إلى الذين كنتم تراؤون فى الدنيا، هل تجدون عندهم جزاءً؟

Riya’! Allah akan berfirman kepada mereka pada Hari Kiamat jika manusia dibalas dengan amal-amal perbuatan mereka : Pergilah kalian kepada yang dahulu kalian berlaku riya di dunia! Apakah kalian mendapatkan pahala di sisi mereka?” (HR. Ahmad)

Dalam riwayat lainnya, Mahmud berkata : Nabi ﷺ keluar dan berkata,

أيها الناس، إياكم وشرك السرائر

Wahai manusia, jauhilah syirik tersembunyi!

Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah syirik tersembunyi itu?”

Beliau menjawab,

يقوم الرجل فيصلي فيزين صلاته جاهدًا لما يرى من نظر الناس إليه، فذلك شرك السرائر

Seorang laki-laki berdiri shalat dan ia bersungguh-sungguh membagus-baguskan shalatnya karena apa yang ia lihat dari pandangan manusia kepadanya. Itulah syirik tersembunyi.” (HR. Ibnu Khuzaimah, dihasankan Al-Albani)

Wallahul musta’an.