"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

11 April 2013

Setia terhadap Perjanjian

Apa hukumnya setia dalam perjanjian dengan seorang Hindu jika dia diberikan jaminan/perjanjian dalam perkara yang tidak menyelisihi Syari'at Allah?

Jawab :

Setia terhadap perjanjian dalam perkara yang tidak menyelisihi Syari'at Allah hukumnya wajib. Allah Ta'ala berfirman,

وَأوْفُوا باِلعَهْدِ إنَّ العَهْدَ كَانَ مَسْؤوْلاً

"Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabnya." (QS. al-Isra' ayat 34);

baik itu bersama orang-orang Hindu atau yang selain mereka, selama tidak datang dari mereka sesuatu yang merusak perjanjian atau menistakan Islam.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Al-Lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta'.

Ketua :
 Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Anggota :
Abdullah bin Ghudayyan
Shalih bin Fauzan al-Fauzan
Abdul Aziz Aalu asy-Syaikh
Bakr bin Abdillah Abu Zaid

---------------------

Sumber : Fatwa-fatwa al-Lajnah ad-Da'imah, al-Majmu'ah al-Ula, XII/45
http://www.alifta.net 

Kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pada Tahun Gajah

Riwayat yang shahih menyebutkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dilahirkan pada hari Senin [1]. Dan riwayat-riwayat kuat yang telah sampai kepada kita juga memberikan faedah bahwa kelahiran itu terjadi pada Tahun Gajah ('aam al-fiil) ketika tentara bergajah pimpinan Abrahah menyerang Makkah [2]. Riwayat-riwayat yang menyebutkan tahun kelahirannya 3 tahun setelah peristiwa tersebut, atau 20 tahun, atau 40 tahun; seluruhnya adalah riwayat-riwayat yang sangat lemah. Mayoritas ulama berpendapat bahwa kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terjadi pada Tahun Gajah. Demikian pula studi-studi modern yang dilakukan oleh para orientalis dan juga peneliti-peneliti muslim menyebutkan bahwa Tahun Gajah bertepatan dengan tahun 570 atau 571 Masehi.

Peristiwa serangan tentara bergajah disebutkan Allah dalam al-Quran, dalam Surat al-Fiil. Teks ayat al-Quran memberikan gambaran yang sangat mendetail tentang peristiwa yang menimpa tentara Abrahah. Dan hampir-hampir tidak ada riwayat-riwayat sejarah yang keluar dari penjelasan al-Quran kecuali pada sebagian perinciannya saja.

Imam Ibnul Qayyim berpendapat, dan juga diikuti oleh Imam al-Qasthalani, bahwa kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terjadi pada Tahun Gajah setelah terjadinya peristiwa tersebut. Karena kisah tentara bergajah sebenarnya adalah sebagai "pembuka dan persiapan" kemunculan Sang Nabi, dimana Allah telah menghalangi orang-orang Nasrani Habasyah dari keinginan mereka untuk menghancurkan Ka'bah tanpa ada sedikit pun usaha dari orang-orang musyrik Arab, sebagai bentuk pengagungan-Nya terhadap Rumah-Nya.

Para ahli sejarah berselisih tentang tanggal kelahiran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bulannya. Ibnu Ishaq berpendapat bahwa bahwa beliau dilahirkan pada 12 Rabi'ul Awwal. Al-Waqidi berpendapat bahwa kelahirannya terjadi pada 10 Rabi'ul Awwal. Sementara Abu Mi'syar as-Sindi berpendapat bahwa beliau dilahirkan pada 2 Rabi'ul Awwal. Ibnu Ishaq yang paling tsiqah diantara ketiganya, walaupun Ibnu Ishaq menyebutkannya tanpa sanad. Wallahu a'lam.


Footnotes :

[1]  HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud
[2] HR. Al-Hakim dan Ibnu Hisyam dalam as-Sirah an-Nabawiyah, dengan sanad yang saling menguatkan.

-------------

Sumber : As-Sirah an-Nabawiyyah ash-Shahihah, Dr. Akram Dhiya' al-'Umari.

08 April 2013

Menghadiri Majelis Ilmu di Masjid bagi Kaum Wanita

Seorang pendengar wanita dari Republik Arab Mesir berkata :

Syaikh yang mulia, bolehkah bagi seorang wanita muslimah menghadiri majelis-majelis ilmu dan pelajaran-pelajaran fiqh di masjid-masjid? Perlu diketahui bahwa wanita itu keluar dengan tertutup dan mengenakan pakaian syar'i. Manakah yang lebih utama; hadirnya dia di majelis-majelis seperti itu atau diamnya dia di rumah? Perlu diketahui juga bahwa kami di zaman sekarang ini keluar untuk belajar di kampus-kampus dan sekolah-sekolah atas keinginan ayah-ayah dan ibu-ibu kami. Dan patut diketahui juga bahwa faedah yang diambil dari majelis-majelis ini jauh lebih besar daripada sekedar membaca di rumah. Saya sangat mengharapkan jawaban atas pertanyaan ini, semoga Allah memberkahi Anda.

*****

Jawab :

Ya, boleh bagi seorang wanita menghadiri majelis-majelis ilmu, baik ilmu (yang dipelajari) itu ilmu fiqh amali ataupun ilmu fiqh 'aqadi yang berkait dengan aqidah dan tauhid. Boleh baginya untuk menghadiri majelis-majelis tersebut dengan syarat tidak memakai wewangian dan tidak bertabarruj (berhias), karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

أيما امرأة أصابت بخورًا فلا تشهد معنا العشاء

"Wanita mana saja yang memakai wewangian, maka jangan sekali-kali dia menghadiri shalat Isya bersama kami."

Dan tidak boleh tidak, wanita tersebut harus jauh dari kaum laki-laki, tidak bercampur dengan mereka, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

خير صفوف النساء آخرها وشرها أولها

"Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf belakangnya dan seburuk-buruknya shafnya adalah shaf depannya.";

karena shaf awalnya dekat dengan laki-laki daripada shaf belakangnya, sehingga shaf belakangnya lebih baik daripada depannya.

04 April 2013

Beberapa Persoalan tentang Wakaf

Bolehkah mengeluarkan mushaf al-Quran dari al-Haram (yaitu al-Masjid al-Haram) untuk dibaca di rumah?

Jawab :

Apa yang diwakafkan dari mushaf-mushaf dan buku-buku untuk dimanfaatkan di tempat tertentu, tidak dikeluarkan ke tempat lainnya, baik di Haram atau yang selainnya. Kecuali jika tempatnya rusak, maka dipindahkan ke tempat yang sepertinya atau yang lebih baik dalam pemanfaatannya.

Apa yang diwakafkan untuk dimanfaatkan secara mutlak (tanpa penentuan tempat), boleh dimanfaatkan di selain tempatnya, di rumah atau lainnya dengan izin dari orang yang mengawasi wakaf tersebut. Lagi pula mushaf sangat banyak dan harganya juga murah, tidak ada perlunya mengeluarkannya dari tempatnya. Wa bi_Llahi at-taufiq.

(Fatwa no. 3863)

*****

Saya telah mendapatkan sejumlah mushaf dari Kementerian Wakaf di sini untuk dikirimkan ke salah satu masjid umum di Mesir yang terletak di desa saya. Mushaf-mushaf tersebut telah dikirimkan bersama seorang kawan yang melakukan safar ke Mesir. Akan tetapi, ia mengirimkan sebagian besar dari mushaf-mushaf tersebut kepada tujuan yang dimaksud, dan membagikan sebagian kecilnya kepada beberapa teman yang multazim (komitmen terhadap agama). Kami mempersangkakan mereka seperti di sisi Allah -insyaallah, dan kawan itu mengabarkan bahwa dia menghadiahkan mushaf-mushaf tersebut kepada mereka dengan tujuan untuk dibaca, bukan sekedar menjadi perhiasan. Apakah pembagian yang terakhir itu, kepada kawan-kawan, masuk dalam tujuan pokok pengiriman mushaf ke Mesir atau bagaimana? Kami sangat mengharapkan faedah dari Anda untuk pertanyaan-pertanyaan yang mebingungkan ini, semoga Allah menjadikan Anda sebagai penolong bagi semua dalam berkhidmat untuk Islam dan kaum muslimin. Jazakumullahu khairan.

Jawab :

Kawan yang Anda sebutkan tidak memiliki hak untuk membagi kepada selain masjid yang dikhususkan untuk mushaf-mushaf tersebut atau yang sepertinya dari masjid yang lain. Darinya  bisa diketahui bahwa tidak boleh membagi sesuatu pun dari mushaf-mushaf itu kepada sahabat-sahabat. Wa bi_Llahi at-taufiq.

(Fatwa no. 12546)

*****

Ayah saya telah wafat sejak 10 tahun lalu, dan saya mengeluarkan sedekah untuknya seperti membeli beberapa mushaf dan menaruhnya di masjid-masjid kampung saya, dimana masjid-masjid itu sangat butuh kepada mushaf-mushaf tersebut. Akan tetapi, saya menulis pada mushaf-mushaf itu dengan stempel : "Wakaf untuk ruh almarhum Muhammad Muhammad Faraj". Bagaimana pandangan agama tentang hal ini; apakah haram atau dibolehkan? Atau saya cukup menulis : "Wakaf untuk Allah" ataukah dibiarkan kosong? Berikan faedah kepada kami tentang methode yang paling afdhal dan benar dalam perkara seperti ini, semoga Allah merahmati Anda semua.

Jawab :

Bersedekah untuk ayah Anda yang telah wafat, mewakafkan mushaf dan meniatkan pahalanya untuknya adalah amal yang baik. Kami berharap agar Allah menerima itu dari Anda. Anda boleh menulis pada mushaf-mushaf tersebut : "Wakaf untuk Allah" agar manusia tahu tentang pewakafannya agar mereka tidak memanfaatkannya dalam hal yang bertentangan dengan tujuan wakafnya. Adapun masalah penulisan nama, meninggalkannya lebih baik. Wa bi_Llahi at-taufiq.

(Fatwa no. 16433)

-----------------------

Sumber : Fatwa-fatwa al-Lajnah ad-Da'imah, al-Majmu'ah al-Ula, jilid XVI.

Hukum Perayaan dalam Aqiqah dan Walimah

Apa hukumnya perayaan yang dilakukan orang-orang dalam aqiqah dan walimah?

Jawab :

Aqiqah adalah apa yang disembelih untuk bayi yang baru lahir pada hari ketujuh kelahirannya.

Walimah adalah makanan yang dihidangkan pada pernikahan baik berupa sembelihan atau yang selainnya.

Keduanya adalah sunnah. Berkumpul dalam perkara tersebut untuk menyantap makanan, ikut serta dalam kegembiraan dan mengumumkan pernikahan adalah kebaikan. Wa bi_Llahi at-taufiq.

وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Al-Lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta.

Ketua :
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Wakil Ketua :
Abdul Razzaq 'Afifi

Anggota :
Abdullah bin Qu'ud
Abdullah bin Ghudayyan

-------------------------------

Sumber : Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah, XI/443, fatwa no. 6779

Bolehkah Aqiqah hanya dengan Membeli Daging?

Apakah membeli beberapa kilo daging telah mencukupi dari menyembelih seekor kambing dalam aqiqah, ataukah tidak mencukupi kecuali dengan menyembelih?

Jawab :

Tidak mencukupi kecuali dengan menyembelih seekor kambing untuk anak perempuan dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki.

Wa bi_Llahi at taufiq.

وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

Al-Lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta'

Ketua :
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Wakil Ketua :
Abdul Razzaq 'Afifi

Anggota :
Abdullah bin Qu'ud

------------------------

Sumber : Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah, al-Majmu'ah al-Ula, XI/440, fatwa no. 8052