"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

30 Maret 2015

Apa yang Dimaksud "Wahyu"?

Menurut istilah syar'i , wahyu adalah pemberitahuan Allah kepada orang yang dipilihnya dari para hamba, segala apa yang Dia kehendaki untuk diketahui hamba tersebut dari berbagai macam petunjuk dan ilmu, akan tetapi hal itu terjadi dengan cara yang tersembunyi, yang tidak umum dikenal manusia.

Penyampaian wahyu memiliki tiga metode; dalam bentuk ilham, mimpi atau dengan diutusnya malaikat. Metode ketiga inilah yang digunakan dalam penyampaian al-Quran. Untuk salah satu dari dua cara yang pertama, malaikat turun kepada Nabi ﷺ sebagaimana yang dijelaskan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ia bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana wahyu itu datang kepadamu?” Beliau menjawab,

أحيانًا يأتيني مثل صلصلة الجرس وهو أشده عليّ فيفصم عني وقد وعيت ما قاله، وأحيانًا يتمثل لي الملك رجلاً فيكلمني فأعي ما يقول

Terkadang wahyu itu datang kepadaku seperti gemerincing lonceng, dan itulah yang paling berat untukku. Tiba-tiba hal itu lepas dariku dan aku telah memahami darinya apa yang Dia ucapkan. Dan terkadang, Malaikat datang kepadaku dalam rupa seorang manusia, dia berbicara padaku dan aku memahami apa yang dia sampaikan.” (HR. al-Bukhary)

27 Maret 2015

Hukum Pengkafiran & Terorisme

Majelis Hai-ah Kibâr al Ulamâ dalam pertemuannya yang ke-49 di kota Tha’if, yang dimulai tanggal 2/4/1419 H, telah mempelajari apa yang terjadi di banyak negeri-negeri Islam dan lainnya dari kasus-kasus pengkafiran dan teror bom, serta akibat yang ditimbulkannya dengan tertumpahnya darah dan hancurnya infrastruktur. Melihat akan pentingnya perkara ini dengan segala konsekuensi lenyapnya nyawa-nyawa yang tidak berdosa dan jiwa-jiwa yang terpelihara, ketakutan masyarakat dan goncangnya stabilitas keamanan; maka Majelis memandang perlu untuk mengeluarkan pernyataan yang menjelaskan hukum dari perkara tersebut, sebagai nasehat untuk Allah dan untuk hamba-hambaNya; sebagai tanggung jawab moril dan juga untuk menyingkirkan syubhat pemahaman pada sebagian orang yang terjerumus dalam syubhat tersebut; kami katakan dengan taufîq Allah :

Pertama : takfîr (pengkafiran) adalah hukum syar’i yang rujukannya adalah Allah dan rasul-Nya. Sebagaimana penghalalan, pengharaman, dan perihal mewajibkan adalah hak Allah dan rasul-Nya, maka demikian juga dengan takfir. Tidak setiap apa yang disifatkan sebagai kekufuran –baik berupa perkataan atau perbuatan– bisa menjadi kufur akbar yang mengeluarkan dari agama.

Ketika rujukan hukum pengkafiran itu dikembalikan kepada Allah dan rasul-Nya, maka tidak boleh kita mengkafirkan kecuali siapa yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah akan kekafirannya dengan petunjuk yang jelas, tidak cukup hanya dengan syubhat dan persangkaan belaka, karena konsekuensinya membawa kepada hukum yang sangat berbahaya. Jika saja hukuman had bisa dibatalkan dengan syubhat –walaupun sebenarnya konsekuensinya lebih ringan daripada pengkafiran-, maka vonis pengkafiran tersebut lebih layak untuk ditolak dengan syubhat-syubhat tertentu. Karena itulah Nabi ﷺ telah memperingatkan tentang bahayanya menuduh kafir terhadap seseorang yang sebenarnya tidak kafir. Beliau bersabda,

أيما امرئٍ قال لأخيه : يا كافر فقد باء بها أحدهما، إن كان كما قال وإلا رجعت عليه

“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya : ‘kafir!’, maka perkataan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya. Entah seperti yang ia tuduhkan; jika tidak, tuduhan itu akan kembali kepadanya.

Telah disebutkan dalam al-Kitab dan as-Sunnah apa yang bisa dipahami bahwa suatu perkataan, perbuatan atau keyakinan tertentu adalah kekufuran, namun orang yang disifatkan dengannya tidak menjadi kafir, disebabkan oleh sesuatu yang menghalanginya dari kekafiran tersebut.

Dan hukum yang seperti ini –sebagaimana hukum-hukum yang lainnya-, tidak akan terwujud kecuali dengan sebab-sebab dan syarat-syaratnya, serta tidak adanya mawâni’ (penghalang-penghalang). Sebagaimana hukum warisan, sebabnya adalah kekerabatan –sebagai contoh kasusnya-; seseorang bisa jadi tidak mewarisi dengan kekerabatan tersebut disebabkan oleh sebuah penghalang, seperti perbedaan agama. Demikian juga kekufuran. Seorang mukmin dipaksa untuk kafir, dan dia tidak kafir dengannya. Mungkin saja seorang mukmin mengucapkan satu kalimat kekufuran dalam situasi yang sangat gembira atau sangat marah, namun dia tidak serta merta menjadi kafir karena tidak adanya niat untuk hal itu. Sebagaimana dalam kisah orang yang mengucapkan : ‘Ya Allah, Engkau adalah hambaku, dan aku adalah rabb-Mu’; dia telah berbuat kesalahan karena kegembiraan yang sangat besar.

Tergesa-gesa dalam mengkafirkan, konsekuensinya adalah perkara-perkara yang sangat berbahaya, seperti : dihalalkannya darah dan harta, hilangnya hak waris, batalnya pernikahan, dan lain-lain yang konsekuensinya juga adalah murtad. Maka bagaimana mungkin seorang mukmin melakukannya dengan hanya sebuah syubhat yang kecil.

Jika pengkafiran tersebut ditujukan terhadap para penguasa, maka perkaranya lebih besar lagi. Karena hal itu akan membawa kepada pembangkangan dan pemberontakan bersenjata terhadap mereka, terjadinya kekacauan, tertumpahnya darah, serta kerusakan bagi rakyat dan negara. Karena itulah Nabi ﷺ melarang memberontak terhadap para penguasa. Dan beliau bersabda,

إلا أن تروا كفرًا بواحًا عندكم فيه من الله برهان

“Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang sangat nyata, yang kalian memiliki bukti dari Allah.

Sabda beliau :“Kecuali jika kalian melihat”, memberikan faedah bahwa perbuatan tersebut tidak cukup hanya dengan sekedar persangkaan dan isu belaka. Sabda beliau :“Kekufuran”, yaitu tidak cukup hanya dengan kefasikan sebesar apapun kefasikan tersebut, seperti kezaliman, meminum khamr, berjudi, dan suka mementingkan diri sendiri yang diharamkan. Sabda beliau :“Yang sangat nyata”, yaitu tidak cukup sebuah kekufuran yang tidak nyata dan jelas. Sabda beliau:”Kalian memiliki bukti dari Allah”, yaitu mesti disertai dengan dalil yang jelas, yang dalil tersebut shahîh ats-tsubût (dipastikan keshahihannya) dan sharîh ad-dalâlah (jelas petunjuk dalilnya). Maka tidak cukup hanya dengan sebuah dalil yang lemah sanadnya dan tidak jelas petunjuk dalilnya (ghâmidh ad-dalâlah). Sabda beliau : “Dari Allah”, yaitu tidak ada artinya  perkataan seorang yang berilmu –sebesar apapun kedudukannya dalam ilmu dan amanah– jika perkatannya tersebut tidak dilandasi oleh dalil yang sharîh (jelas) dan shahîh dari Kitab Allah atau Sunnah rasul-Nya ﷺ. Kaedah-kaedah ini menunjukkan betapa berbahayanya perkara tersebut.

Kesimpulannya : terburu-buru dalam mengkafirkan sangat besar bahayanya. Allah Azza wa Jalla berfirman (yang artinya) : “Katakanlah : Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-A’raf : 33)

Kedua : akibat yang muncul dari keyakinan yang salah tersebut adalah dihalalkannya darah dan kehormatan, perampokan asset-asset pribadi dan umum, pengeboman gedung dan kendaraan, serta penghancuran infrastruktur. Seluruh perbuatan ini dan yang semisalnya diharamkan syari’at dengan ijmâ’ (konsensus) kaum muslimin. Karena hal tersebut telah merusak kehormatan jiwa-jiwa yang terpelihara, merusak kehormatan harta benda, merusak stabilitas keamanan, ketenangan, dan kedamaian manusia dalam kehidupan mereka, serta merusak fasilitas-fasilitas umum yang sangat dibutuhkan oleh orang banyak.

Islam telah memelihara untuk kaum muslimin harta-harta, darah-darah dan tubuh-tubuh mereka; mengharamkan kezaliman terhadap hal-hal tersebut dan sangat ketat dalam menjaganya. Itulah salah satu wasiat terakhir yang disampaikan Nabi ﷺ untuk ummatnya. Beliau bersabda dalam khutbah Haji Wada’,

إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرامٌ كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا، ثم قال : ألا هل بلغت؟ اللهم اشهد

“Sesungguhnya darah-darah, harta-harta, dan kehormatan-kehormatan kalian adalah haram atas diri-diri kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, dalam bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini”. Kemudian beliau bersabda :“Ketahuilah! Apakah aku telah sampaikan? Ya Allah, saksikanlah!” (Hadits Muttafaq ‘alaihi).

Beliau bersabda,

كل المسلم على المسلم حرامٌ دمه وماله وعرضه

“Setiap muslim atas muslim lainnya, diharamkan darah, harta dan kehormatannnya.

Beliau juga bersabda,

اتقوا الظلم فإن الظلم ظلمات يوم القيامة

“Jauhilah kezaliman! Karena kezaliman itu adalah kegelapan di hari kiamat kelak.

Allah Ta’ala telah mengancam orang yang membunuh jiwa yang ma’shum dengan ancaman yang sangat  keras. Allah berfirman tentang hak seorang mukmin (artinya) : “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. An-Nisa’ : 93).

Dan Allah berfirman tentang hak seorang kafir yang memiliki dzimmah (jaminan perlindungan) dalam kasus pembunuhan yang tidak disengaja (artinya) : “Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. (QS. An Nisa’ : 92).

Jika saja seorang kafir yang memiliki jaminan keamanan terbunuh dengan tidak sengaja memiliki diyat dan kaffarat (yang harus dibayarkan kepada keluarganya), maka bagaimana jika dia dibunuh dengan sengaja. Sungguh kejahatan dan dosanya sangatlah besar. Telah shahih dari Rasulullah ﷺ (sabdanya),

من قتل معاهدًا لم يرح رائحة الجنة

“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahad, niscaya dia tidak akan mencium bau surga.

Ketiga : Majelis ini, ketika menjelaskan hukum mengkafirkan manusia tanpa bukti dari Kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya serta berbahayanya persoalan tersebut dengan segala konsekuensi keburukan dan dosa; maka Majelis mengumumkan kepada seluruh dunia bahwa Islam berlepas diri dari keyakinan yang salah ini. Dan apa yang terjadi di sebagian negara dari kasus-kasus  tumpahnya darah orang-orang yang tidak berdosa, pengeboman gedung-gedung, kendaraan, sarana-sarana umum dan pribadi, serta perusakan infrastruktur adalah tindakan kejahatan dan Islam berlepas diri darinya. Demikian juga setiap muslim yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya berlepas diri darinya. Tindakan ini hanyalah perbuatan orang yang memiliki ideologi yang menyimpang dan aqidah yang sesat. Dialah yang akan memikul dosa dan kejahatannya. Perbuatannya tersebut tidak bisa dibebankan kepada Islam, dan tidak juga kepada kaum muslimin yang mengambil petunjuk dengan petunjuk Islam, yang komitmen kepada al-Kitab dan as-Sunnah, yang berpegang teguh kepada tali Allah yang kokoh. Perbuatan ini hanyalah kerusakan dan kejahatan semata yang dibenci oleh syari’at dan fitrah. Karena itulah nash-nash syari’at telah mengharamkannya dan memperingatkan bahayanya bergaul dengan para pelakunya.

Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya :’Bertakwalah kepada Allah’, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. (QS. Al-Baqarah : 204-206).

Wajib bagi seluruh kaum muslimin di mana pun mereka berada untuk saling berwasiat diatas kebenaran, saling bernasehat dan tolong-menolong dalam kebajikan dan ketakwaan, ber-amar ma’ruf nahi munkar dengan penuh hikmah dan pengajaran yang baik, serta berdiskusi dengan cara yang baik. Sebagaimana firman Allah subhânahu wa ta’âla (yang artinya) : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah : 2).

FirmanNya subhânahu (artinya), “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah : 71).
 
Dan firmanNya ’azza wa jalla (artinya), “Demi masa. Sesungguuhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-‘Ashr : 1-3).
 
Dan Nabi ﷺ bersabda,

الدين النصيحة، قيل : لمن يا رسول الله؟ قال : لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين

“Agama itu adalah nasehat. Ditanyakan: “Untuk siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan untuk seluruh kaum muslimin.

Beliau juga bersabda,

مثل المؤمنين فى توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد، إذا اشتكى منه عضوٌ تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى

“Perumpaman orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan mereka ibarat satu tubuh. Jika satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasakan tidak bisa tidur dan demam.

Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang semakna sangatlah banyak.

Akhirnya kami bermohon kepada Allah Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang husnâ dan sifat-sifat-Nya yang mulia agar Dia mencegah segala keburukan dari kaum muslimin; menunjuki penguasa-penguasa kaum muslimin kepada apa yang terbaik bagi para hamba dan seluruh negeri serta (membantu mereka) memberantas kerusakan dan para perusak, menolong agama-Nya, meninggikan kalimat-Nya, dan memperbaiki keadaan kaum muslimin di setiap tempat, serta menolong kebenaran dengan perantaraan mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang berhak dan berkuasa atas hal tersebut. Dan shalawat dan salam atas nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para shahabatnya.

Ketua Majelis : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Anggota : Shalih bin Muhammad al Luhaydan – Abdullah bin Sulaiman bin Mani’ – Muhammad bin Shalih al Utsaimin – Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh – Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh – Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at Turky – Dr. Abdul Wahhab bin Ibrahim Abu Sulaiman – Rasyid bin Shalih bin Khunain – Abdullah bin Abdurrahman al Ghudayyan – Abdullah bin Shalih al Bassam – Nashir bin Hamad ar Rasyid – Muhammad bin Sulaiman al Badr – Muhammad bin Zaid Alu Sulaiman – Dr. Shalih bin Abdurrahman al Athram – Muhammad bin Ibrahim bin Jubair – Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan – Hasan bin Ja’far al ‘Atamy – Muhammad bin Abdullah as Subail – Abdurrahman bin Hamzah al Marzuqy – Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid.

——————

(Majalah al Buhûts al Islâmiyyah, no. 56, hal. 362-375)

21 Maret 2015

Tawassul yang Terlarang

Tawassul adalah bagian dari doa. Dan doa adalah salah satu dari ibadah-ibadah yang tidak dilakukan kecuali dengan petunjuk syari’at. Tidak dibenarkan bagi seorang pun mengada-adakan satu jenis ibadah dalam agama Allah ini tanpa petunjuk dalil yang shahih dan sharîh (jelas). Karenanya, siapa yang melakukan tawassul dengan perkara yang tidak dituntunkan oleh syari’at ini maka tawassul tersebut adalah termasuk jenis tawassul bid’ah yang diharamkan.

Diantara bentuk-bentuk tawassul yang terlarang adalah :

1. Bertawassul kepada Allah Ta’ala dengan perantaraan zat (diri) seorang nabi, atau seorang shalih, atau Ka’bah dan lain-lain, seperti perkataan seseorang : “Ya Allah, aku memohon kepadamu dengan perantaraan diri bapak kami Adam ‘alaihissalam agar Engkau merahmati aku.”

2. Bertawassul dengan hak nabi, atau seorang shalih, atau Ka’bah dan lain-lain.

3. Bertawassul dengan “kemuliaan” seorang nabi atau seorang shalih, atau bertawassul dengan keberkahan dan kehormatannya, atau dengan hak kuburnya dan yang semacamnya.

Seorang muslim tidak dibenarkan berdoa kepada Allah dengan bentuk-bentuk tawassul seperti ini karena perkara seperti ini tidak dinukil dengan periwayatan yang shahih dari para Salaf. Andai perkara itu baik, niscaya mereka telah mendahului kita dalam perkara tersebut.

Telah dinukil begitu banyak doa dari para Salaf, namun tidak ada satu pun bentuk-bentuk tawassul yang disebutkan.

Hal ini bukan berarti bahwa kita meremehkan dan merendahkan kedudukan, kemuliaan dan kehormatan salah seorang dari para nabi atau orang-orang shalih. Mereka adalah orang-orang terbaik yang memiliki kemuliaan dan kehormatan. Namun kemuliaan itu adalah milik mereka masing-masing, khusus untuk pribadi-pribadi mereka. Mereka bisa memberi syafaat dengan kemuliaan mereka semasa hidupnya di dunia dan di akhirat nanti bagi siapa yang mereka kehendaki. Tapi tidak ada dalil yang membolehkan bagi yang selain mereka untuk bertawassul kepada Allah dengan menyebut zat (diri) mereka atau kemuliaan mereka.
 
Demikian pula tidak dibenarkan seseorang bersumpah terhadap Allah dalam doanya dengan menyebut nama salah seorang dari hambaNya. Karena pada asalnya tidak dibolehkan bersumpah dengan selain nama Allah Ta’ala. Bagaimana lagi dengan orang yang bersumpah terhadap Allah dengan nama selainNya?!

Begitu juga tidak dibolehkan bermohon kepada Allah dengan hak seseorang. Karena hak seperti itu hanya milik Allah, yang menjadi kewajiban para hamba (yaitu dalam hakNya untuk diibadahi dan tidak dipersekutukan). Tidak ada hak para hamba atas Allah Ta’ala yang menjadi kewajibanNya terhadap mereka kecuali apa yang Dia wajibkan atas diriNya sendiri (yaitu untuk menolong orang-orang mukmin, tidak menyiksa yang bertauhid diantara mereka, mengabulkan permohonan mereka).

Kalangan yang membolehkan bentuk-bentuk tawassul seperti ini tidak memiliki dalil-dalil yang shahih. Mereka hanya berhujjah (berargumen) dengan beberapa hadits atau atsar yang sangat lemah seperti hadits,

إذا سألتم الله فاسألوه بجاهي فإن جاهي عند الله عظيمٌ

Jika kamu meminta kepada Allah, mintalah padaNya dengan kemuliaanku, karena sungguh kemuliaanku di sisi Allah sangatlah agung.”

Hadits tersebut adalah hadits maudhu’ (palsu), tidak bisa dijadikan hujjah dalam pensyari’atan suatu ibadah.

Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Sa’id yang padanya disebutkan tentang tawassul kepada Allah dengan hak orang-orang yang meminta dan hak berjalan ke masjid. Haditsnya juga dha’if. Andai haditsnya dianggap sah, hak orang-orang yang meminta adalah pengabulan doa dari Allah Ta’ala, dan hak berjalan ke masjid adalah pahala dari Allah. Pengabulan doa dan memberi pahala adalah dua sifat dari sifat-sifat Allah Ta’ala, sementara bertawassul kepada Allah dengan sifat-sifatNya adalah termasuk tawassul yang disyari’atkan.

Mereka juga berdalil dengan sebagian hadits-hadits shahih, namun tidak secara jelas menyebutkan makna seperti yang mereka pahami. Diantaranya adalah hadits tentang kisah bertawassulnya Umar bin al-Khattab dan para shahabat dengan paman Nabi ﷺ, al-Abbas bin Abdil Muththalib, radhiyallahu ‘anhum.

Hadits tersebut sebenarnya menggugurkan apa yang mereka yakini. Kalau saja tawassul dengan diri Nabi ﷺ atau kemuliaannya dibolehkan, niscaya Umar dan para shahabat tidak akan bertawassul dengan al-Abbas atau dengan kedudukan dan kemuliaan al-Abbas karena kemuliaan Nabi ﷺ tentu jauh lebih besar dan agung. Dan kemuliaan Nabi ﷺ tidak akan pernah berkurang dengan kematiannya. Ketika Umar berpaling kepada al-Abbas, maka ini menunjukkan bahwa bertawassul dengan orang yang lebih mulia dari al-Abbas setelah kematiannya adalah hal yang tidak mungkin dilakukan; tidak dengan doanya, dirinya, haknya atau kemuliaannya karena perbuatan itu termasuk dalam keharaman.

Ketika banyak dari umat ini meninggalkan tawassul yang disyari’atkan dan berpaling kepada bentuk-bentuk tawassul yang tidak ada petunjuknya dari Nabi ﷺ, maka Anda akan banyak mendapatkan sebagian mereka pergi ke kubur dan bertawassul kepada Allah dengan perantaraan “kemuliaan” atau diri sang penghuni kubur. Akibat buruknya dari perbuatan seperti ini justru mengantarkan sebagian mereka kepada tawassul syirik, yang mungkin saja akan membawa kepada sebagian bentuk-bentuk kekufuran. Sebagian mereka akhirnya justru meminta langsung kepada orang-orang yang sudah wafat, meminta diberikan kebaikan atau dihindarkan dari keburukan, dan meminta agar orang-orang mati itu memberi mereka syafa’at di sisi Allah.

Karenanya, sepantasnya seorang muslim menjauhi bentuk-bentuk tawassul yang tidak disyari’atkan dalam dalil-dalil yang shahih. Minimal bentuk tawassul seperti itu masuk ke dalam perkara-perkara syubhat. Dan siapa yang menjauhi perkara syubhat, sungguh dia telah menjaga diri dan agamanya.
Wallahul musta’an.

(Sumber : Tahdzîb Tashîl al ‘Aqîdah al Islâmiyyah, Syaikh Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin hafidzhahullahu)

14 Maret 2015

Hadits Shahîh li Ghairih & Hasan li Ghairih

Hadits shahîh li ghairih adalah hadits hasan li dzâtihi jika diriwayatkan dari jalan lain yang sepertinya atau lebih kuat darinya.
 
Disebut “shahîh li ghairih” karena keshahihannya tidak datang dari sanad hadits itu sendiri, tetapi dengan kumpulan/gabungan hadits lainnya dengannya. Gambarannya sebagai berikut :

Hasan li dzâtihi + hasan li dzâtihi = shahîh li ghairihi

Derajatnya

Hadits shahîh li ghairih lebih tinggi levelnya daripada hasan li dzâtihi, dan dibawah level hadits shahîh li dzâtihi.

Contoh

Hadits Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لو لا أن أشقّ على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاةٍ

Kalau aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku akan menyuruh mereka untuk bersiwak pada setiap shalat.”

Berkata Ibnu ash-Shalah : “Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah termasuk orang-orang yang dikenal dengan kejujuran dan kebersihannya. Akan tetapi, ia bukan termasuk ahlul it’qân (yang pakar dalam keshahihan hadits) hingga sebagian ulama melemahkannya dari sisi buruknya hafalan. Sebagian menganggapnya tsiqah (sangat terpercaya) karena kejujuran dan kemuliaannya. Haditsnya dari sisi ini adalah hasan. Ketika hadits itu digabungkan dengan periwayatan dari jalan lain, maka hilanglah apa yang tadinya kami khawatirkan darinya dalam perkara buruknya hafalannya. Dengan itu, tertutuplah kekurangan kecil tersebut, dan shahihlah sanad itu dan masuk dalam derajat shahih.” (Ulûm al Hadîts, hal. 31-32)

Sementara hadits hasan li ghairih adalah hadits dha’îf (lemah) jika berbilang jalan-jalan periwayatannya, dan sebab kelemahannya itu bukan karena kefasikan perawinya atau kedustaannya.
 
Dengan definisi tersebut, hadits dha’if bisa naik kepada level “hasan li ghairih” dengan dua perkara, yaitu,

1. Diriwayatkan dari satu jalan yang lain atau lebih, dengan syarat bahwa jalan periwayatan lain itu sama sepertinya atau lebih kuat darinya.

2. Sebab kelemahan haditsnya adalah karena buruknya hafalan perawi, atau karena inqithâ’ (terputus) dalam sanadnya, atau jahâlah (ketidak-jelasan status) pada perawi-perawinya.

Hadits ini disebut hasan li ghairih karena status “hasan”nya tidak datang dari sanad hadits itu sendiri, akan tetapi dengan hadits lain yang digabungkan kepadanya. Gambaran mudahnya adalah sebagai berikut :

Dha’if + dha’if = hasan li ghairih

Derajatnya

Hadits hasan li ghairih lebih rendah levelnya daripada hadits hasan li dzâtihi.

Dengan landasan ini, jika terjadi kontradiksi antara hadits hasan li dzâtihi dengan hadits hasan li ghairih, didahulukan hadits hasan li dzâtihi.

Hukumnya

Hadits hasan li ghairih termasuk hadits maqbûl yang diamalkan.

Contohnya

Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan ia hasankan, dari jalan Syu’bah, dari ‘Ashim bin Ubaidillah, dari Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya,

أن امرأةً من بني فزارة تزوّجت على نعلين، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أرضيتِ من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، قال: فأجاز

bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah menikah dengan mahar dua alas kaki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah engkau rela terhadap diri dan hartamu dengan dua alas kaki?” Ia menjawab : “Iya.” Maka beliau pun membolehkannya.

Berkata at-Tirmidzi : “Dalam bab ini (diriwayatkan juga) dari Umar, Abu Hurairah, Sahl bin Sa’ad, Abu Sa’id, Anas, A’isyah, Jabir dan Abu Hadrad al-Aslami.”

‘Ashim adalah seorang perawi yang dha’if karena buruknya hafalannya (sû-u al hifdzh). At-Tirmidzi menghasankan haditsnya karena telah diriwayatkan lebih dari satu jalan.

(Sumber : Taysîr Mushthalah al-Hadîts, Dr. Mahmud ath-Thahhan)

10 Maret 2015

Pernikahan Nabi ﷺ dengan Khadijah

Riwayat-riwayat lemah -bahkan sebagian besarnya sangat lemah- menyebutkan tentang detail kisah pernikahan Nabi ﷺ dengan Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu 'anha.

Riwayat-riwayat tersebut menyebutkan tentang awal mula perkenalan keduanya melalui pekerjaan Nabi ﷺ dalam kafilah dagang milik Khadijah yang merupakan seorang wanita kaya di Makkah.

Disebutkan bahwa pembantu Khadijah yang bernama Maisarah menceritakan tentang akhlak dan adab Nabi ﷺ selama dalam perjalanan dagang tersebut. Kisah itu membuat Khadijah kagum. Singkatnya, Nabi ﷺ akhirnya melamar Khadijah kepada ayahnya, Khuwailid bin Asad yang kemudian menikahkan keduanya.

Ibnu Ishaq berpendapat bahwa Khadijah saat itu berumur 28 tahun. Sementara riwayat al-Waqidi mengatakan bahwa ia berumur 40 tahun.

Dari pernikahan ini Khadijah telah melahirkan dua putra dan empat orang putri yang bisa menguatkan riwayat Ibnu Ishaq. Umumnya wanita telah memasuki masa menopause sebelum usia 50 tahun.

Walaupun kisah-kisah ini tidak sah dari sisi hadits, namun sangat masyhur di kalangan sejarawan.

Nabi ﷺ tinggal di rumah Khadijah, beliau menikah di rumah tersebut dan Khadijah melahirkan semua anak-anaknya dalam rumah itu. Di rumah itu pula Khadijah wafat. Nabi tetap tinggal di rumah Khadijah hingga masa hijrah yang kemudian diambil alih oleh Aqil bin Abi Thalib.

Tidak ada riwayat-riwayat shahih yang menjelaskan peristiwa-peristiwa ini.

Yang shahih dalam riwayat-riwayat hadits adalah pernikahan beliau dengan Khadijah, pujian Nabi ﷺ terhadapnya setelah kematiannya dan sikap Khadijah yang menenangkan Nabi setelah turunnya wahyu dan imannya kepada suaminya. Dua hal terakhir adalah peristiwa besar yang menunjukkan agungnya kedudukan Khadijah radhiyallahu 'anha dalam Islam.

Para ulama bersepakat bahwa Khadijah adalah istri pertama Nabi ﷺ.

Khadijah telah melahirkan dari Nabi ﷺ dua orang putra yaitu al-Qasim dan Abdullah (yang digelari ath-Thayyib dan ath-Thahir), serta empat orang putri yaitu Zainab, Ummu Kultsum, kemudian Fathimah kemudian Ruqayyah. Al-Qasim dan Abdullah meninggal sebelum Islam, sementara seluruh anak-anak putri menjumpai masa Islam dan semuanya memeluk Islam.

Khadijah radhiyallahu 'anha wafat tiga tahun sebelum hijrah Nabi ﷺ, sebelum terjadinya peristiwa Isra' dan Mi'raj.

(Dengan ringkas dari as Sirah an Nabawiyyah ash Shahihah)

06 Maret 2015

Haramnya Sutra bagi Kaum Laki-laki

Haram bagi seorang laki-laki muslim mengenakan sutra murni.

Diantara dalil-dalil pengharamannya adalah,

1. Hadits Anas, bahwa Nabi ﷺ bersabda,

لا تلبسوا الحرير فإنه من لبسه فى الدنيا لم يلبسه فى الآخرة

Janganlah kalian mengenakan sutra, karena siapa yang mengenakannya di dunia, dia tidak akan mengenakannya di akhirat.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

2. Dari Umar bin Al-Khattab bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

إنما يلبس الحرير فى الدنيا من لا خلاق له فى الآخرة

Yang mengenakan sutra di dunia hanyalah orang yang tidak memiliki bagian di akhirat.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

3. Dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

حرم لباس الحرير والذهب على ذكور أمتي وأحل لإناثهم

Diharamkan pakaian sutra dan emas untuk laki-laki dari umatku dan dihalalkan bagi wanita mereka.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Dibolehkan mengenakan pakaian yang terdapat sutra padanya namun tidak melebihi lebar empat jari.
Dalam hadits Abu Utsman ia berkata : Umar bin Al-Khattab menulis surat kepada kami ketika kami berada di Azerbaijan bahwa “Nabi ﷺ melarang mengenakan sutra kecuali seperti ini, dan Nabi ﷺ membariskan dua jarinya.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa “Beliau melarang mengenakan sutra kecuali sekedar tempat selebar dua, tiga atau empat jari.”

Dibolehkan Sutra dalam Kondisi Darurat

Jumhur ulama memandang bolehnya memakai kain sutra untuk sebuah kondisi yang dikategorikan darurat, seperti untuk pengobatan penyakit.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi ﷺ memberi keringanan untuk Az-Zubair dan Abdurrahman mengenakan sutra karena penyakit gatal yang ada pada keduanya.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Tidak Boleh Menjadikan Sutra sebagai Alas Tempat Duduk

Dengan dalil hadits Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Nabi ﷺ melarang kami minum di wadah emas dan perak, makan padanya, mengenakan sutra dan duduk diatasnya.” (HR. Al-Bukhary).

Wallahu a’lam.

04 Maret 2015

Etika dalam Menelepon

Diantara adab yang perlu diperhatikan dalam menelepon agar tidak terjatuh dalam perkara-perkara yang dilarang oleh Syari’at Islam adalah sebagai berikut :

1. Memilih waktu yang cocok, karena setiap orang memiliki kesibukannya masing-masing, dan setiap orang juga memiliki waktu tidur dan istirahat.

2. Tidak memperpanjang pembicaraan tanpa ada hajat yang penting karena dikhawatirkan orang yang dihubungi memiliki kesibukan atau telah memiliki janji.

3. Seorang wanita tidak boleh secara sengaja merendahkan atau membagus-baguskan suaranya ketika berbicara dengan seorang laki-laki untuk sebuah kepentingan atau memperpanjang pembicaraan dengannya. Allah Ta’ala berfirman,

فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فىِ قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا

Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab ayat 32).

4. Yang menelpon memulai pembicaraan dengan salam, karena dia yang “datang” kepada orang yang diajak berbicara. Demikian pula, ia menutup pembicaraan teleponnya dengan salam.

5. Tidak boleh menggunakan telepon orang lain kecuali setelah meminta izin, walaupun ada hajat untuk hal tersebut.

6. Tidak boleh merekam pembicaraan orang lain tanpa izin atau tanpa sepengetahuannya, apapun isi pembicaraannya, karena hal itu termasuk dalam pengkhianatan dan membuka rahasia. Jika pembicaraan itu tersebar, maka hal itu menambah dosa pengkhianatan dan merusak amanah. Masuk dalam perkara ini, penyadapan terhadap pembicaraan manusia dan apa yang terjadi diantara mereka. Yang seperti ini haram dan tidak boleh dilakukan.

7. Tidak boleh menggunakan telepon/handphone dalam hubungan haram antara dua lawan jenis. Telepon adalah anugerah Allah yang Dia berikan untuk keperluan kita, dan bukanlah termasuk dalam etika menjadikannya sebagai sarana untuk mencari-cari aib kaum muslimin, merusak kehormatan mereka dan menjerumuskan wanita-wanita mereka kepada kehinaan. Yang seperti ini hukumnya haram dan pelakunya layak untuk mendapatkan sanksi.

(Sumber : Muntaqâ al Âdâb asy Syar’iyyah)

01 Maret 2015

Hukum Air Najis yang Telah Disterilkan

Keputusan Hai-ah Kibar Al ‘Ulama no. 64 pada tanggal 25 Syawwal 1398 H.

Setelah melalui pembahasan dan diskusi, Majelis menetapkan sebagai berikut :

Dengan berlandaskan atas apa yang disebutkan oleh para ulama bahwa air banyak yang telah bercampur najis dapat berubah menjadi suci jika hilang perubahan tersebut dengan sendirinya, atau jika ditambahkan air suci lainnya, atau hilang perubahannya tersebut dikarenakan air yang telah lama mengendap atau pengaruh sinar matahari atau karena tiupan angin dan yang semacamnya; karena (kaedah mengatakan) “hilangnya suatu hukum dikarenakan hilangnya sebabnya”;

Dan (dengan melihat) bahwa air najis mungkin dibersihkan dari najisnya dengan beberapa metode, dan teknik penyulingan dan sterilisasi dari najis yang mengenai air dengan metode penyulingan modern adalah sarana terbaik dalam membersihkan air dengan menggunakan banyak sarana/sebab untuk membersihkan air tersebut dari najis sebagaimana yang dipersaksikan dan diakui oleh para ahli dalam masalah ini, yang tidak diragukan tentang pekerjaan, keahlian dan pengalaman mereka; maka Majelis memandang bahwa air tersebut adalah suci setelah disterilkan dengan metode sterilisasi yang sempurna dimana air itu kembali kepada bentuk aslinya, tidak nampak padanya perubahan yang disebabkan oleh najis dalam rasa, warna dan bau. Air tersebut boleh digunakan untuk menghilangkan hadats dan kotoran, dan kesucian (thaharah) bisa terwujud dengannya. Demikian juga air itu boleh diminum kecuali jika terdapat hal-hal yang bisa membahayakan kesehatan dalam penggunaannya, maka saat itu air tersebut tidak boleh diminum untuk menjaga keselamatan jiwa, semata-mata karena bahayanya (bagi kesehatan jika diminum) bukan karena najisnya.

Majelis menetapkan keputusan ini dengan tetap memandang baik jika tidak menggunakan air tersebut untuk keperluan minum selama hal itu memungkinkan, sebagai bentuk kehati-hatian untuk menjaga kesehatan, melindungi dari bahaya dan menghindarkan sesuatu yang menjijikkan dalam pandangan jiwa dan naluri manusia.

Wallahul muwaffiq.

(Sumber : Taudhîh Al Ahkâm min Bulûgh Al Marâm)