Sponsors

14 Maret 2015

Hadits Shahîh li Ghairih & Hasan li Ghairih

Hadits shahîh li ghairih adalah hadits hasan li dzâtihi jika diriwayatkan dari jalan lain yang sepertinya atau lebih kuat darinya.
 
Disebut “shahîh li ghairih” karena keshahihannya tidak datang dari sanad hadits itu sendiri, tetapi dengan kumpulan/gabungan hadits lainnya dengannya. Gambarannya sebagai berikut :

Hasan li dzâtihi + hasan li dzâtihi = shahîh li ghairihi

Derajatnya

Hadits shahîh li ghairih lebih tinggi levelnya daripada hasan li dzâtihi, dan dibawah level hadits shahîh li dzâtihi.

Contoh

Hadits Muhammad bin ‘Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لو لا أن أشقّ على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاةٍ

Kalau aku tidak memberatkan umatku, niscaya aku akan menyuruh mereka untuk bersiwak pada setiap shalat.”

Berkata Ibnu ash-Shalah : “Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah termasuk orang-orang yang dikenal dengan kejujuran dan kebersihannya. Akan tetapi, ia bukan termasuk ahlul it’qân (yang pakar dalam keshahihan hadits) hingga sebagian ulama melemahkannya dari sisi buruknya hafalan. Sebagian menganggapnya tsiqah (sangat terpercaya) karena kejujuran dan kemuliaannya. Haditsnya dari sisi ini adalah hasan. Ketika hadits itu digabungkan dengan periwayatan dari jalan lain, maka hilanglah apa yang tadinya kami khawatirkan darinya dalam perkara buruknya hafalannya. Dengan itu, tertutuplah kekurangan kecil tersebut, dan shahihlah sanad itu dan masuk dalam derajat shahih.” (Ulûm al Hadîts, hal. 31-32)

Sementara hadits hasan li ghairih adalah hadits dha’îf (lemah) jika berbilang jalan-jalan periwayatannya, dan sebab kelemahannya itu bukan karena kefasikan perawinya atau kedustaannya.
 
Dengan definisi tersebut, hadits dha’if bisa naik kepada level “hasan li ghairih” dengan dua perkara, yaitu,

1. Diriwayatkan dari satu jalan yang lain atau lebih, dengan syarat bahwa jalan periwayatan lain itu sama sepertinya atau lebih kuat darinya.

2. Sebab kelemahan haditsnya adalah karena buruknya hafalan perawi, atau karena inqithâ’ (terputus) dalam sanadnya, atau jahâlah (ketidak-jelasan status) pada perawi-perawinya.

Hadits ini disebut hasan li ghairih karena status “hasan”nya tidak datang dari sanad hadits itu sendiri, akan tetapi dengan hadits lain yang digabungkan kepadanya. Gambaran mudahnya adalah sebagai berikut :

Dha’if + dha’if = hasan li ghairih

Derajatnya

Hadits hasan li ghairih lebih rendah levelnya daripada hadits hasan li dzâtihi.

Dengan landasan ini, jika terjadi kontradiksi antara hadits hasan li dzâtihi dengan hadits hasan li ghairih, didahulukan hadits hasan li dzâtihi.

Hukumnya

Hadits hasan li ghairih termasuk hadits maqbûl yang diamalkan.

Contohnya

Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan ia hasankan, dari jalan Syu’bah, dari ‘Ashim bin Ubaidillah, dari Abdullah bin ‘Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya,

أن امرأةً من بني فزارة تزوّجت على نعلين، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أرضيتِ من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت: نعم، قال: فأجاز

bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah menikah dengan mahar dua alas kaki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah engkau rela terhadap diri dan hartamu dengan dua alas kaki?” Ia menjawab : “Iya.” Maka beliau pun membolehkannya.

Berkata at-Tirmidzi : “Dalam bab ini (diriwayatkan juga) dari Umar, Abu Hurairah, Sahl bin Sa’ad, Abu Sa’id, Anas, A’isyah, Jabir dan Abu Hadrad al-Aslami.”

‘Ashim adalah seorang perawi yang dha’if karena buruknya hafalannya (sû-u al hifdzh). At-Tirmidzi menghasankan haditsnya karena telah diriwayatkan lebih dari satu jalan.

(Sumber : Taysîr Mushthalah al-Hadîts, Dr. Mahmud ath-Thahhan)

0 tanggapan:

Posting Komentar