Sponsors

21 Maret 2015

Tawassul yang Terlarang

Tawassul adalah bagian dari doa. Dan doa adalah salah satu dari ibadah-ibadah yang tidak dilakukan kecuali dengan petunjuk syari’at. Tidak dibenarkan bagi seorang pun mengada-adakan satu jenis ibadah dalam agama Allah ini tanpa petunjuk dalil yang shahih dan sharîh (jelas). Karenanya, siapa yang melakukan tawassul dengan perkara yang tidak dituntunkan oleh syari’at ini maka tawassul tersebut adalah termasuk jenis tawassul bid’ah yang diharamkan.

Diantara bentuk-bentuk tawassul yang terlarang adalah :

1. Bertawassul kepada Allah Ta’ala dengan perantaraan zat (diri) seorang nabi, atau seorang shalih, atau Ka’bah dan lain-lain, seperti perkataan seseorang : “Ya Allah, aku memohon kepadamu dengan perantaraan diri bapak kami Adam ‘alaihissalam agar Engkau merahmati aku.”

2. Bertawassul dengan hak nabi, atau seorang shalih, atau Ka’bah dan lain-lain.

3. Bertawassul dengan “kemuliaan” seorang nabi atau seorang shalih, atau bertawassul dengan keberkahan dan kehormatannya, atau dengan hak kuburnya dan yang semacamnya.

Seorang muslim tidak dibenarkan berdoa kepada Allah dengan bentuk-bentuk tawassul seperti ini karena perkara seperti ini tidak dinukil dengan periwayatan yang shahih dari para Salaf. Andai perkara itu baik, niscaya mereka telah mendahului kita dalam perkara tersebut.

Telah dinukil begitu banyak doa dari para Salaf, namun tidak ada satu pun bentuk-bentuk tawassul yang disebutkan.

Hal ini bukan berarti bahwa kita meremehkan dan merendahkan kedudukan, kemuliaan dan kehormatan salah seorang dari para nabi atau orang-orang shalih. Mereka adalah orang-orang terbaik yang memiliki kemuliaan dan kehormatan. Namun kemuliaan itu adalah milik mereka masing-masing, khusus untuk pribadi-pribadi mereka. Mereka bisa memberi syafaat dengan kemuliaan mereka semasa hidupnya di dunia dan di akhirat nanti bagi siapa yang mereka kehendaki. Tapi tidak ada dalil yang membolehkan bagi yang selain mereka untuk bertawassul kepada Allah dengan menyebut zat (diri) mereka atau kemuliaan mereka.
 
Demikian pula tidak dibenarkan seseorang bersumpah terhadap Allah dalam doanya dengan menyebut nama salah seorang dari hambaNya. Karena pada asalnya tidak dibolehkan bersumpah dengan selain nama Allah Ta’ala. Bagaimana lagi dengan orang yang bersumpah terhadap Allah dengan nama selainNya?!

Begitu juga tidak dibolehkan bermohon kepada Allah dengan hak seseorang. Karena hak seperti itu hanya milik Allah, yang menjadi kewajiban para hamba (yaitu dalam hakNya untuk diibadahi dan tidak dipersekutukan). Tidak ada hak para hamba atas Allah Ta’ala yang menjadi kewajibanNya terhadap mereka kecuali apa yang Dia wajibkan atas diriNya sendiri (yaitu untuk menolong orang-orang mukmin, tidak menyiksa yang bertauhid diantara mereka, mengabulkan permohonan mereka).

Kalangan yang membolehkan bentuk-bentuk tawassul seperti ini tidak memiliki dalil-dalil yang shahih. Mereka hanya berhujjah (berargumen) dengan beberapa hadits atau atsar yang sangat lemah seperti hadits,

إذا سألتم الله فاسألوه بجاهي فإن جاهي عند الله عظيمٌ

Jika kamu meminta kepada Allah, mintalah padaNya dengan kemuliaanku, karena sungguh kemuliaanku di sisi Allah sangatlah agung.”

Hadits tersebut adalah hadits maudhu’ (palsu), tidak bisa dijadikan hujjah dalam pensyari’atan suatu ibadah.

Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Sa’id yang padanya disebutkan tentang tawassul kepada Allah dengan hak orang-orang yang meminta dan hak berjalan ke masjid. Haditsnya juga dha’if. Andai haditsnya dianggap sah, hak orang-orang yang meminta adalah pengabulan doa dari Allah Ta’ala, dan hak berjalan ke masjid adalah pahala dari Allah. Pengabulan doa dan memberi pahala adalah dua sifat dari sifat-sifat Allah Ta’ala, sementara bertawassul kepada Allah dengan sifat-sifatNya adalah termasuk tawassul yang disyari’atkan.

Mereka juga berdalil dengan sebagian hadits-hadits shahih, namun tidak secara jelas menyebutkan makna seperti yang mereka pahami. Diantaranya adalah hadits tentang kisah bertawassulnya Umar bin al-Khattab dan para shahabat dengan paman Nabi ﷺ, al-Abbas bin Abdil Muththalib, radhiyallahu ‘anhum.

Hadits tersebut sebenarnya menggugurkan apa yang mereka yakini. Kalau saja tawassul dengan diri Nabi ﷺ atau kemuliaannya dibolehkan, niscaya Umar dan para shahabat tidak akan bertawassul dengan al-Abbas atau dengan kedudukan dan kemuliaan al-Abbas karena kemuliaan Nabi ﷺ tentu jauh lebih besar dan agung. Dan kemuliaan Nabi ﷺ tidak akan pernah berkurang dengan kematiannya. Ketika Umar berpaling kepada al-Abbas, maka ini menunjukkan bahwa bertawassul dengan orang yang lebih mulia dari al-Abbas setelah kematiannya adalah hal yang tidak mungkin dilakukan; tidak dengan doanya, dirinya, haknya atau kemuliaannya karena perbuatan itu termasuk dalam keharaman.

Ketika banyak dari umat ini meninggalkan tawassul yang disyari’atkan dan berpaling kepada bentuk-bentuk tawassul yang tidak ada petunjuknya dari Nabi ﷺ, maka Anda akan banyak mendapatkan sebagian mereka pergi ke kubur dan bertawassul kepada Allah dengan perantaraan “kemuliaan” atau diri sang penghuni kubur. Akibat buruknya dari perbuatan seperti ini justru mengantarkan sebagian mereka kepada tawassul syirik, yang mungkin saja akan membawa kepada sebagian bentuk-bentuk kekufuran. Sebagian mereka akhirnya justru meminta langsung kepada orang-orang yang sudah wafat, meminta diberikan kebaikan atau dihindarkan dari keburukan, dan meminta agar orang-orang mati itu memberi mereka syafa’at di sisi Allah.

Karenanya, sepantasnya seorang muslim menjauhi bentuk-bentuk tawassul yang tidak disyari’atkan dalam dalil-dalil yang shahih. Minimal bentuk tawassul seperti itu masuk ke dalam perkara-perkara syubhat. Dan siapa yang menjauhi perkara syubhat, sungguh dia telah menjaga diri dan agamanya.
Wallahul musta’an.

(Sumber : Tahdzîb Tashîl al ‘Aqîdah al Islâmiyyah, Syaikh Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin hafidzhahullahu)

0 tanggapan:

Posting Komentar