"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

21 Oktober 2012

Siapakah Mereka Para Salaf?

Syaikh yang mulia, siapakah mereka para Salaf?

***

"As-Salaf" maknanya adalah orang-orang yang terdahulu. Setiap orang yang mendahului orang yang lainnya, maka itu adalah salafnya. Akan tetapi, jika disebutkan istilah "As-Salaf" secara mutlak, maka yang dimaksudkan dengannya adalah tiga generasi yang diutamakan; para Sahabat, Tabi’in dan Pengikut Tabi’in. Merekalah As-Salaf ash-Shalih.

Siapa yang datang setelah mereka, dan berjalan diatas manhaj (metode/jalan) mereka, maka dia juga seperti mereka berada diatas thariqah (jalan) para as-Salaf walaupun dia datang belakangan dari masa (kehidupan) mereka. Karena "As-Salafiyyah" dimaksudkan sebagai manhaj yang ditempuh oleh as-Salaf ash-Shalih radhiyallahu ‘anhum sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

إن أمتي ستفترق على ثلاثة وسبعين فرقة كلها فى النار إلا واحدة وهي الجماعة

 "Sesungguhnya umatku akan terpecah kepada 73 golongan, seluruhnya di neraka kecuali satu golongan, yaitu al-Jama’ah".

Dalam redaksi lain :

من كان على مثل ما أنا عليه و أصحابي

"(Yang selamat adalah) orang yang berada diatas apa yang aku dan sahabat-sahabatku berada diatasnya".

 Dengan landasan ini, as-Salafiyyah berkait dengan makna. Setiap orang yang berada diatas manhaj para Sahabat, Tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka dia adalah “Salafy”, walaupun dia berada di masa kita sekarang, yaitu abad XIV Hijri.

(Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu)

14 Oktober 2012

Hukum Sembelihan yang Disembelih dalam Peristiwa Tertentu

Apa hukumnya sedekah yang aku sembelih dan aku katakan dalam diriku atau kepada orang yang ada bersamaku : Ini adalah sedekah untuk Allah Ta’ala dalam kesempatan kelulusan anakku, atau selamatnya dia dari kecelakaan mobil, atau dalam peristiwa kegembiraan apa saja? Syaikh Yang Mulia, apakah boleh aku makan dari sedekah tersebut atau tidak? Perlu diketahui, aku sama sekali tidak bersumpah atas nama Allah atau bernazar untuk melakukan ini dan itu. Akan tetapi, saat terjadi peristiwa bahagia itu, maka aku katakan : Ini adalah sedekah untuk Allah Ta’ala. Berikanlah petunjuk kepada kami tentang apa yang kami sebutkan, semoga Allah memberi ganjaran pahala kepada Anda, dan metode apa yang baik untuk kami lakukan?

*****

Hukum asal dalam amalan-amalan adalah dibangun diatas niatnya. Niat merupakan syarat untuk mendapatkan ganjaran atas sebuah perbuatan. Selayaknya seorang muslim meniatkan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘azza wa jalla dalam setiap nafkah (yang dia keluarkan). Jika terjadi sebuah peristiwa yang (dibenarkan oleh) syariat seperti kedatangan tamu, memotivasi anak dan yang semacamnya; kemudian dia meniatkan hal tersebut untuk taqarrub (kepada Allah), maka tidak mengapa dia makan darinya. Wa bi_Llâhi at taufîq.

وصلى الله على نبينا محمد, وآله وصحبه وسلم

Al Lajnah ad Dâ-imah li al Buhûts al ‘Ilmiyyah wa al Iftâ’ (Fatwa no. 9573)

Ketua :
Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz

Wakil :
Abdul Razzaq Afifi

Anggota :
Abdullah bin Ghudayyan   

08 Oktober 2012

Menggabungkan Lebih dari Satu Ibadah dengan Satu Niat

Bolehkah menggabungkan niat puasa sunnat tiga hari dalam satu bulan dengan puasa hari Arafah? Apakah mendapat dua pahala sekaligus?

******

Alhamdulillah, masalah penggabungan lebih dari satu ibadah dengan satu niat terbagi menjadi dua jenis:

Pertama: Ibadah yang tidak boleh digabungkan dengan ibadah lainnya dalam satu niat. Yaitu ibadah yang independen atau ibadah parsial (merupakan bagian dari ibadah lainnya). Ibadah jenis ini tidak mungkin digabungkan dengan yang lainnya, misalnya seseorang yang terluput shalat sunnat fajar hingga terbit matahari, dalam waktu bersamaan masuklah waktu shalat Duha. Dalam kondisi seperti ini, tidak boleh menggantikan shalat sunnat fajar dengan shalat Duha demikian sebaliknya dan tidak boleh pula menggabungkan keduanya dalam satu niat. Sebab shalat sunnat fajar bersifat independen demikian pula shalat Duha. Tidak boleh digabungkan antara keduanya. Demikian pula bila kedua ibadah tersebut bersifat parsial atau bagian darinya, tidak boleh digabungkan dalam satu niat. Misalnya seseorang berkata: "Saya meniatkan shalat Fajar dengan shalat wajib atau dengan shalat sunnat rawatib." Ini jelas tidak boleh! Sebab shalat sunnat rawatib adalah bagian dari shalat wajib sebelumnya, maka keduanya tidak boleh digabungkan dalam satu niat.

Kedua: Maksud pensyariatan ibadah itu hanyalah sekedar formalitas ritual saja dan bukanlah tujuan. Dalam kondisi ini boleh digabungkan dalam satu niat. Misalnya: seoarang lelaki yang masuk masjid sementara orang-orang tengah menunaikan shalat subuh. Sebagaimana dimaklumi bahwa apabila seseorang memasuki masjid, ia harus mengerjakan dua rakaat tahiyyatul masjid. Jika ia ikut shalat bersama imam shalat subuh ketika itu maka sudah terhitung melaksanakan dua rakaat tahiyyatul masjid. Karena maksud dari tahiyyatul masjid adalah mengerjakan dua rakaat setiap kali masuk ke dalam masjid. Demikian pula bila seseorang masuk masjid bertepatan waktu Duha, lalu ia kerjakan dua rakaat dengan niat shalat duha maka telah terhitung mengerjakan dua rakaat tahiyyatul masjid. Jika ia niatkan keduanya maka itu lebih ideal. Itulah batasan masalah penggabungan dua ibadah dalam satu niat. Termasuk di antaranya puasa hari Arafah, maksud pensyariatannya adalah agar kaum muslimin berpuasa pada hari itu, baik ia niatkan untuk puasa tiga hari setiap bulannya atau ia niatkan untuk hari Arafah. Hanya saja jika ia niatkan untuk hari Arafah maka tidak dapat menempati posisi puasa tiga hari setiap bulan. Jika ia niatkan untuk salah satu dari tiga hari puasa setiap bulan maka telah terhitung puasa hari Arafah, apabila ia niatkan keduanya lebih ideal lagi.

Liqa' Babil Maftuh oleh Ibnu Utsaimin, XIX/51
__________________  

Sumber : http://www.islamqa.info/