"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

27 Juli 2016

Tidak Ada Persatuan Tanpa Aqidah yang Benar

Mungkinkah bersatu dengan perbedaan dalam aqidah dan manhaj?

Jawab :

Tidak mungkin bersatu dengan perbedaan aqidah dan manhaj. Sebaik-baik contoh untuk itu adalah keadaan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasul ﷺ, dimana mereka bercerai-berai dan saling menjauh. Ketika mereka masuk ke dalam Islam, di bawah bendera tauhid, aqidah mereka menjadi satu, manhaj mereka satu, maka bersatulah kalimat mereka dan tegaklah negara mereka.

Allah telah mengingatkan mereka tentang hal itu dalam firmanNya,

وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً

Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati-hati kamu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.” (QS. Alu Imran ayat 103).

Allah Ta’ala berfirman kepada nabiNya,

لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعاً مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Anfal ayat 63).

Allah subhânah tidak akan menyatukan hati orang-orang kafir, murtad dan firqah-firqah (aliran-aliran) sesat untuk selamanya. Allah hanya akan menyatukan hati orang-orang mukmin yang bertauhid.

Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang kafir dan munafik yang menyelisihi manhaj dan aqidah Islam,

تَحْسَبُهُمْ جَمِيعاً وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ

Kamu kira hati mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah-belah. Yang demikian itu karena sungguh mereka adalah kaum yang tiada mengerti.” (QS. Al-Hasyr ayat).

Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِيْنَ إلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ

Mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu.” (QS. Hud ayat 118-119).

Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu”, mereka adalah pengikut aqidah yang benar dan manhaj yang benar. Merekalah yang selamat dari perselisihan.

Orang-orang yang berusaha menyatukan manusia dengan kerusakan aqidah (mereka) dan perbedaan manhaj, dia telah mengusahakan perkara yang mustahil, karena mengumpulkan dua hal yang berlawanan adalah perkara mustahil.

Tidak akan mempersatukan hati, tidak akan mempersatukan kalimat kecuali oleh kalimat tauhid, jika diketahui maknanya dan diamalkan konsekuensinya secara lahir maupun batin, bukan sekedar mengucapkannya dan menyelisihi konsekuensinya. (karena jika demikian halnya) saat itu dia tidak akan bermanfaat.

Oleh : Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, anggota Haiah Kibar al-Ulama Kerajaan Arab Saudi.


(Dari kitab : Al Ajwibah al Mufîdah ‘an As-ilah al Manâhij al Jadîdah)

23 Juli 2016

Operasi Bedah Mayat

Berdasarkan atas kondisi darurat yang dibutuhkan dalam pembedahan jasad orang yang telah meninggal dunia dan konsekuensi dari hal tersebut adalah maslahat yang dibangun diatas mafsadat rusaknya kehormatan seorang manusia yang telah meninggal dunia, maka Majelis al-Majma’ al-Fiqhi di bawah naungan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami (Liga Muslim se-dunia) menetapkan hal-hal berikut :

Pertama : Pembedahan jasad mayat dibolehkan untuk salah satu dari tujuan-tujuan berikut ini:
  1. Proses otopsi dalam perkara pidana untuk mengetahui sebab-sebab kematian atau kejahatan yang dilakukan ketika hakim memiliki masalah untuk mengetahui sebab-sebab kematian dan otopsi merupakan jalan untuk mengetahui perkara tersebut.
  2. Untuk mengenali penyakit yang dengan pembedahan itu bisa dilakukan tindakan pencegahan atau pengobatan yang semestinya terhadap penyakit tersebut.
  3. Studi kedokteran sebagaimana yang ada di fakultas-fakultas kedokteran.
Kedua : Dalam pembedahan untuk kepentingan pembelajaran maka wajib diperhatikan aturan-aturan berikut :
  1. Jika jasad tersebut adalah milik orang yang dikenali (memiliki identitas) maka disyaratkan bahwa orang tersebut telah memberi izin pembedahan jasadnya sebelum kematiannya, atau diizinkan oleh ahli warisnya setelah kematiannya. Dan tidak dibenarkan pembedahan terhadap jasad orang yang ma’shum (terpelihara) darahnya (dalam pandangan Syari’at) kecuali untuk sebuah kondisi darurat.
  2. Dalam pembedahan, wajib membatasinya pada hal yang diperlukan agar jangan sampai membawa pada tindakan pelecehan terhadap jasad orang yang telah meninggal.
  3. Jasad seorang wanita tidak boleh ditangani pembedahannya selain dokter-dokter wanita kecuali jika mereka tidak didapatkan.
Ketiga : Dalam semua kasus diatas, wajib menguburkan bagian-bagian tubuh yang dibedah.

وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليمًا كثيرًا والحمد لله رب العالمين

Ketua :
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Wakil Ketua :
Abdullah Umar Nashif

Keanggotaan :

Muhammad bin Jubair

Dr. Bakr bin Abdullah Abu Zaid (Menyelisihi. Saya tidak sepakat terhadap bolehnya pembedahan jasad seorang muslim untuk tujuan pendidikan dan penelitian penyakit)

Abdullah bin Abdurrahman al-Bassam

Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan (Saya tidak sepakat tentang pembedahan jasad seorang muslim untuk tujuan studi kedokteran dan saya memiliki penjelasan rinci mengenai persoalan ini)

Muhammad bin Abdullah bin Subail (Bersikap hati-hati tentang pembedahan jasad muslim pada poin C pasal pertama)

Mushtafa Ahmad az-Zarqa’

Muhammad Mahmud ash-Shawwaf

Abul Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi

Muhammad Rasyid Raghib Qabbani

Muhammad Syadzili an-Naifar

Abu Bakr Joumi

Dr. Ahmad Fahmi Abu Sinnah

Muhammad al-Habib bin al-Khoujah

Muhammad Salim bin Abdul Wadood

Dr. Thalal Umar Bafaqih

Sumber : Qararat Majelis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami, Simposium X di Makkah, Shafar 1408 H/Oktober 1987 M.

16 Juli 2016

Rasm Al-Mushaf

Yang dimaksud rasm al-mushaf adalah kaedah-kaedah imla'iyah (penulisan) yang dengannya al-Quran ditulis. Kaedah-kaedah ini -yaitu yang ditulis di masa Utsman radhiyallahu 'anhu- sebagiannya berbeda dari kaedah penulisan bahasa Arab modern.

Kaum muslimin telah berpegang dengan metode penulisan yang ada pada mushaf-mushaf Utsmani yang berjumlah enam buah. Mereka komitmen dengannya tanpa ada perubahan hingga masa kita sekarang. Kecuali pada beberapa tambahan dalam pemberian titik dan tanda baca (syakl), perkara yang tidak ada pada masa Utsman radhiyallahu 'anhu.

Kemudian datanglah proses percetakan modern, pemberian nomor pada ayat, pemberian kode warna tanpa menyentuh kaedah-kaedah penulisan yang khusus untuk mushaf al-Quran.

Pandangan ulama berbeda-beda seputar persoalan wajibnya komitmen dengan rasm tersebut;

Sebagian memandang bahwa rasm al-mushaf adalah tauqîfi, tidak boleh menyelisihinya.

Sebagian besar memandang bahwa hal itu bersifat ijtihad, akan tetapi wajib komitmen dengannya untuk mencegah munculnya fitnah dan mengantisipasi bahaya perubahan metode penulisan dari masa ke masa.

Kelompok ketiga berpendapat bahwa perkara ini adalah ijtihad dan boleh menyelisihinya, bahkan wajib, untuk memudahkan umat dan sejalan dengan kaedah-kaedah imla’ yang mereka pelajari pada masanya.

Pendapat yang kuat dalam masalah ini, tidak boleh menulis atau mencetak mushaf tanpa menggunakan kaedah penulisan yang telah disepakati oleh para Shahabat.

Berkata Imam As-Suyuthi rahimahullahu dalam Al-Itqân fi 'Ulum Al-Qurân (I/250), "Mereka telah berijma' atas wajibnya mengikuti rasm mushaf-mushaf Utsmani dalam waqf dan ibdâl, dalam itsbât dan hazf, dan dalam washl dan qath'."

Wallahu a'lam.