"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

27 Desember 2014

Al-Qur'an adalah Kalam Allah ﷻ

Al-Quran adalah manhaj ilahi yang abadi, yang Dia turunkan untuk menjadi undang-undang penutup seluruh risalah, agar petunjuk dan ajarannya cocok untuk setiap masa dan tempat, mencakup seluruh aspek kehidupan. Allah Ta’ala berfirman,

إِنّ هَذَا القُرْآنَ يَفْدِيْ لِلتِي هِيَ أقْوَمُ وَيُبَشّرُ المُؤْمِنِيْنَ الذيْنَ يَعْمَلُوْنَ الصَالِحَاتِ أنّ لَهُمْ أجْرًا كَبِيْرًا

Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’ ayat 9)

Selayaknya bagi seorang muslim yang membaca al-Quran untuk membacanya dengan tadabbur dan tafakkur, kemudian mengamalkannya.

كِتَابٌ أنْزَلْنَاهُ إلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكّرَ أولُوا الألْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad ayat 29)

Berikut adalah ringkasan tentang definisi al-Quran dan ilmu-ilmunya, agar membantu memahami tujuan diturunkannya al-Quran, memotivasi diri dalam menuntut ilmu, agar setiap kita mengerti bahwa apa yang kita ketahui sangatlah sedikit dan mengetahui bahwa tidaklah mudah menjadi ulama.

Al-Quran

Al-Quran adalah kalamullah yang merupakan mukjizat, diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan bahasa Arab, dengan perantaraan Jibril ‘alaihissalam, yang dinukilkan kepada kita dengan riwayat yang mutawatir, membacanya adalah ibadah, yang terkumpul diantara dua sampul mushaf, dimulai dengan surat al-Fâtihah dan ditutup dengan surat an-Nâs.

Definisi tersebut memberikan penjelasan bahwa al-Quran adalah Kalam (ucapan) Allah Ta’ala dan merupakan mukjizat yang tidak mungkin seorang pun bisa mendatangkan yang sepertinya selain Allah. Al-Quran telah diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melalui penyampaian wahyu, tidak dengan cara lainnya, dan wahyu itu disampaikan dengan perantaraan Jibril ‘alaihissalam. Al-Quran dinukil sampai kepada kita dengan jalan periwayatan yang qath’iy ats tsubût (pasti dan kuat). Sekedar membacanya adalah ibadah. Seluruhnya tepelihara diantara dua sampul mushaf, tidak ada sesuatupun yang hilang atau berubah, namun hal itu tidak mencakup apa yang ada diantara dua sampul mushaf dari pengantar-pengantar, daftar isi dan lain-lain, akan tetapi hanya terbatas pada apa yang dimulai dengan surat al-Fatihah dan berakhir dengan surat an-Nas.

23 Desember 2014

Mengapa Anda Tidak Boleh Mengucapkan Selamat Natal?

Seorang muslim yang memiliki kepedulian terhadap agamanya, selayaknya memahami persoalan ini dengan baik; mengapa kaum muslimin tidak dibenarkan mengucapkan selamat Natal kepada orang-orang Nasrani?

Setiap kali orang-orang Nasrani merayakan Natal, maka mereka sedang memperingati dan merayakan kelahiran Al-Masih Isa putra Maryam 'alaihissalam, yang mereka dakwakan sebagai Tuhan, atau anak Tuhan, atau salah satu dari tiga oknum.

Perkara ini jelas-jelas bertentangan dan berbenturan dengan aqidah tauhid yang menjadi prinsip utama dan sangat penting dalam ajaran Islam. Bahkan dia adalah segalanya dalam ajaran Islam, yang tidaklah diturunkan kitab-kitab, diutus para rasul, kecuali hanya untuk menyampaikan aqidah tersebut.

Ketika kita sebagai muslim mengucapkan selamat kepada mereka atas perayaan itu, atau saling bertukar kartu ucapan, SMS-an dan yang semacamnya, maka kita telah mengucapkan selamat atas kekufurannya kepada Allah Ta'ala, Rabb Yang Maha Mulia.

Ingatlah selalu firman Allah berikut ini tentang perkataan mereka,

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا * لَقَدْ جِئْتُم شَيْئًا إِدًَّا * تَكَادُ السَمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْسشَقُّ الأرْضُ وَتَخِرُّ الجِبَالُ هَدًّا * أنْ دَعَوا لِلرَحْمَنِ وَلَدًا * وَمَا يَنْبَغِي لِلرَحْمَنِ أنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا * إِنْ كُلُّ مَن فِى السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ إِلاَّ آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا * لَقَدْ أَحْصَاهُم وَعَدَّهُم عَدًّا * وَكُلُّهُم آتِيْهِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَرْدًا

"Dan mereka berkata : 'Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak!' Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar. Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwakan bahwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. Sesungguhnya Allah telah menentukan jumlah mereka dan menghitung mereka dengan hitungan yang teliti. Dan setiap mereka akan datang kepada Allah pada Hari Kiamat dengan sendiri-sendiri." (QS. Maryam ayat 88-95)

Tidaklah pantas kita mengucapkan selamat, sementara merekalah yang telah mencaci Allah Ta'ala dengan dakwaannya bahwa Allah memiliki anak.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

قال الله : كذبني ابنُ آدمَ ولمْ يكن لهُ ذلك وشتمني ابنُ آدمَ ولم يكن له ذلك، فأما تكذيبه إياي فزعم أني لا أقدر أن أعيده كما كان، وأما شتمه إياي فقوله لي ولدٌ، فسبحاني أن أتخذ صاحبةً أو ولدًا

"Allah Ta'ala berfirman : Anak Adam telah mendustakan Aku dan tidak pantas baginya hal itu. Dan dia telah mencaci Aku dan tidak layak baginya hal itu. Pendustaannya terhadap-Ku adalah dakwaannya bahwa Aku tidak mampu untuk mengembalikannya sebagaimana semula. Adapun caciannya terhadap-Ku adalah perkataannya bahwa Aku memiliki anak. Maha Suci Aku dari mengambil seorang istri atau anak!" (HR. Al-Bukhary no. 4482 dari hadits Ibnu Abbas)

Untuk Anda yang masih mengucapkan selamat atas perayaan mereka; jika kita telah sampai pada keadaan seperti ini, maka bagaimana kita akan mengajak umat lain kepada agama kita yang lurus, sementara kita sendiri justru memberkati mereka dalam perayaannya dan ikut serta dengan mereka dalam berbagai perayaan keagamaan mereka dengan ucapan selamat, pemberian hadiah dan bahkan hadir dalam acara tersebut!!

Hari raya dalam setiap agama adalah sesuatu yang sangat istimewa yang membedakannya dari syariat dan ajaran-ajaran lain. Dia merupakan syiar terpenting dalam setiap agama. Berjalan seiring dengan mereka dalam perayaan tersebut hakikatnya adalah menyetujui mereka dalam syari'at kufur yang paling khusus dan paling prinsipnya. Yang seperti ini tidak diragukan akan mengantarkan kepada kekufuran dengan syarat-syaratnya. (Silahkan dibaca kita Iqtidha' ash-Shirat al-Mustaqim, I/528, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu)

Meremehkan persoalan ini justru akan mengeluarkan umat ini dari prinsip-prinsip dasar aqidahnya dan menghapuskan identitasnya sebagai seorang muslim. Akibatnya, generasi muda kita akan sangat mudah mengikuti mereka dalam keyakinan dasar mereka, apalagi dalam budaya dan gaya hidup mereka.

Jika persoalan (yang dianggap) sepele ini dibiarkan saja berlaku di kalangan kaum muslimin, maka itu akan membawa kepada perkara yang lebih besar. Jika perkara itu sudah menjadi sesuatu yang umum dan terkenal, maka orang-orang awam akan terlibat di dalamnya dan melupakan asal usulnya hingga menjadi sebuah kebiasaan dan bahkan menjadi hari besar mereka yang menandingi hari raya yang ditetapkan Allah Ta'ala.

Tidak perlu khawatirkan persoalan toleransi. Agama ini dan umatnya telah menjadi contoh terbaik dalam toleransi, kemudahan dan kebaikan akhlak mereka dalam berinteraksi dengan umat-umat lain diluar agama mereka. Tapi sayangnya, realita umat yang terbelakang dan kehinaan yang menimpanya akibat jauhnya mereka dari ajaran Allah telah menjadikan mereka melepaskan satu persatu prinsip-prinsip dasar aqidahnya demi untuk membuat ridha orang lain dan melupakan apa yang telah Allah turunkan semenjak 14 abad yang lalu,

وَلَن تَرْضىَ عَنْكَ اليَهُوْدُ وَلاَ النَصَارىَ حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُل إنَّ هُدىَ اللهِ هُوَ الهُدىَ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ العِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِن وَلِيًِّ وَلاَ نَصِيْرٍ

"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : 'Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)'. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung  dan penolong bagimu." (QS. Al-Baqarah ayat 120).

Wallahul musta'an.

20 Desember 2014

Jagalah Diri Anda dari Kemurkaan Allah di Hari Perayaan Mereka

Diantara "bencana" besar yang menimpa kaum muslimin pada saat ini adalah hilangnya aqidah al-wala' dan al-bara' dengan jatuhnya begitu banyak orang dari umat ini, yang terlibat -secara langsung atau tidak langsung- dalam perayaan hari-hari besar keagamaan orang-orang kafir. Terkhusus dengan tradisi menyambut Natal dan Tahun Baru Masehi yang begitu semarak dirayakan dan disambut oleh banyak kalangan, sering dengan mengatasnamakan "toleransi".

Mengenakan atribut santa, mengucapkan selamat Natal, menghadiri perayaan "Natal Bersama", dan yang lebih semarak dari semua itu, yaitu perayaan pergantian tahun; adalah fenomena yang sudah sangat biasa di negeri kita ini.

Padahal, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sangat benci untuk bermirip-mirip dengan orang-orang Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam setiap urusan mereka. Sampai-sampai orang-orang Yahudi di Madinah mengatakan : "Muhammad tidak membiarkan sesuatu dari urusan kita melainkan dia akan menyelisihi kita dalam perkara tersebut!" (Diriwayatkan oleh Muslim dan Ashhabus Sunan).

Dan lihatlah pada hari ini bagaimana perhatian dan kepedulian sebagian besar umat ini terhadap perayaan-perayaan dan tradisi-tradisi orang-orang kafir tersebut. Mereka rela meninggalkan semua pekerjaan dan kesibukannya pada musim perayaan itu dan menjadikannya sebagai hari libur dan kegembiraan bersama keluarga, sahabat dan relasi bisnis. Sebagiannya bahkan tidak segan untuk memasang pohon natal dan menyiapkan makanan dan parcel untuk menyambutnya.

Yang seperti ini adalah pembenaran atas apa yang pernah disabdakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَن قَبْلَكُم شِبْرًا بشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَتَبَعْتُمُوْهُم، قُلنَا : اليَهُودُ وَالنَصَارىَ؟ قَالَ: فَمَنْ؟

"Sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga jika mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalian pasti akan mengikuti mereka!" Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah (yang engkau maksudkan mengikuti) orang-orang Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab, "Siapa lagi?" (HR. Al-Bukhary).

Karenanya, tidak perlu heran jika para ulama menyebutkan haramnya berpartisipasi dalam perayaan hari besar keagamaan mereka walaupun hanya dengan sekedar mengucapkan selamat atas perayaan tersebut.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan dalam "Ahkam Ahli Dzimmah" (I/441-442), "Adapun mengucapkan selamat terhadap simbol-simbol kekufuran yang khusus, maka haram dengan kesepakatan (ulama). Seperti mengucapkan selamat atas hari-hari raya mereka dan puasa mereka, dengan mengatakan : hari raya yang diberkahi atasmu, atau berbahagialah dengan hari raya ini, dan yang semacamnya. Yang seperti ini jika pelakunya selamat dari kekafiran, maka perkara itu termasuk dalam hal-hal yang diharamkan. Hal itu setara dengan mengucapkan selamat atas sujudnya dia terhadap salib, bahkan perbuatan itu lebih buruk dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai daripada mengucapkan selamat atas meminum minuman keras, membunuh jiwa, menodai kemaluan yang diharamkan dan yang semacamnya. Sangat banyak dari kalangan orang yang tidak memiliki pemahaman agama yang jatuh dalam perkara ini dan dia tidak tahu buruknya perbuatan tersebut. Siapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena maksiat atau bid'ah atau kekufuran yang dilakukannya, maka dia telah menyodorkan dirinya kepada murka dan kemarahan Allah. Dahulu orang-orang yang wara' dari para ulama menghindari ucapan selamat kepada orang-orang zalim dengan kekuasaan mereka dan orang-orang jahil dengan jabatan hakim, guru dan fatwa (yang diamanahkan padanya), demi untuk menjauhi murka Allah dan hilangnya wibawa orang-orang itu dalam pandangannya. Jika dia diuji dengan hal itu, maka perbuatannya semata-mata untuk menolak keburukan yang mungkin dia dapatkan dari mereka. Dia pun datang kepada mereka dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan serta mendoakan untuk mereka hidayah dan keteguhan. Yang seperti ini tidak mengapa, wa bi_llahi at-taufiq."

Maka bagi siapa yang menginginkan keselamatan untuk diri dan kehormatannya, hendaknya dia menjaga diri dan keluarganya pada hari yang celaka itu, agar jangan sampai ikut serta bersama orang-orang kafir dalam perayaan mereka atau sekedar simbol-simbol perayaan mereka, agar dia mendapatkan rahmat Allah Ta'ala dan terhindar dari kemurkaanNya. Semoga Allah memaafkan segala kelalaian kita, dan berkenan mengembalikan umat ini kepada petunjukNya yang lurus. Amin.

14 Desember 2014

Haid dan Beberapa Permasalahannya

Haid atau menstruasi adalah peluruhan dinding rahim yang terdiri dari darah dan jaringan tubuh yang terjadi secara berkala pada setiap bulannya selama usia produktif seorang wanita. Dengan kata lain, haid adalah suatu proses pembersihan rahim terhadap pembuluh darah, kelenjar-kelenjar dan sel-sel yang tidak terpakai karena tidak adanya pembuahan.

Sifat darahnya berwarna merah kehitaman, kental, bersifat panas dan memiliki aroma yang tidak sedap.

Haid merupakan ketetapan Allah yang Dia jadikan pada kaum wanita semenjak ibunda mereka, Hawwa’. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha,

إن هذا أمرٌ كتبه الله على بنات آدم

Sesungguhnya haid ini adalah perkara yang telah Allah tetapkan atas anak-anak perempuan Adam…” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Batas Masa Haid

Ulama berbeda pendapat tentang batas masa haid. Imam asy-Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa batas minimal haid adalah sehari semalam. Sementara maksimalnya menurut jumhur –Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad- adalah 15 hari. Menurut mazhab Hanafiyah, minimalnya adalah 10 hari.
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah memiliki pendapat lain dalam masalah ini. Beliau berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal atau maksimal yang disebutkan dalil dalam batasan waktu haidnya seorang wanita. Masa haid tersebut kembali kepada kebiasaan di masing-masing negeri. (Majmu’ Fatawa, XXI/623).

Karena perbedaan ini, selayaknya setiap wanita harus berusaha maksimal untuk mengenal kebiasaan dan kondisi haidnya. Dengan mengenali masa dan karakteristik haidnya itulah seorang wanita mampu membedakannya dengan darah-darah lainnya.

Datangnya haid ditandai dengan keluarnya darah kehitaman, kental dan berbau di waktu yang menjadi kebiasaan wanita tersebut untuk haid, dan selesai dengan berhentinya darah dalam bentuk kering di vagina atau adanya gumpalan atau lendir putih yang keluar dari jalan rahim. Keringnya darah haid bisa dicek dengan memasukkan kapas putih di vagina. Jika kapas itu bersih dan tidak terdapat bercak sedikit pun, maka wajib mandi dan shalat.

Hukum Cairan Kekuningan dan Kekeruhan setelah Haid

Cairan yang seperti ini jika didapatkan oleh seorang wanita setelah berhentinya haid atau kering, maka itu tidak dianggap sebagai haid. Wanita itu tetap dalam keadaan suci, wajib baginya shalat, puasa Ramadhan dan boleh digauli oleh suaminya.

Berkata Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha,

كنا لا نعدّ الكدرة والصفرة بعد الطهر شيئًا

“Kami tidak menganggap kekeruhan dan cairan kekuningan setelah suci.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan lain-lain).

Adapun jika cairan keruh atau kekuningan itu bersambung dengan haid maka itu masih dihitung sebagai haid.

Jika Darah Keluar lebih dari Kebiasaan?

Jika –misalkan- seorang wanita kebiasaan haidnya selama 6 hari pada tiap bulannya, kemudian pada satu bulan tertentu menjadi 7 hari atau lebih. Dalam kasus seperti ini, apa yang mesti dilakukan wanita tersebut?

Kasus yang seperti tidak lepas dari dua keadaan;

- Wanita tersebut mampu membedakan darah haidnya dengan darah lainnya. Jika darahnya berwarna dan berbau seperti darah haidnya, maka dia tidak shalat, puasa dan bersetubuh. Jika darahnya yang selain itu, maka dia wajib mandi dan shalat.

- Jika dia tidak bisa membedakan darahnya, maka menurut pendapat Ibnu Taimiyyah yang telah kami sebutkan, wanita itu tetap dalam keadaan haid selama hal itu tidak terjadi pada seluruh bulan, dan tidak ada indikasi bahwa darah tersebut adalah darah istihadhah.

Jika Anda memilih pendapat mayoritas ulama, maka masa haid tersebut kurang lebih selama 15 hari. Jika telah melewati masanya, maka darahnya dihukumi sebagai istihadhah.

Kami sarankan untuk kasus seperti ini, hendaknya seorang wanita memperhatikan dengan seksama darahnya yang dengannya dia mengetahui apakah darah itu haid atau darah istihadhah. Jika kesulitan untuk hal itu, dia bisa bertanya dan memeriksakannya kepada dokter.

Demikian juga dalam kasus seorang wanita berada di masa haidnya kemudian darah keluar –misalkan- dua hari, kemudian darahnya terputus di hari ketiga, kemudian keluar lagi di hari keempat dan seterusnya. Dalam kasus ini, wallahu a’lam, terputusnya haid pada masa haid normal tetap dianggap sebagai haid. Yang menjadi patokan bagi berhentinya masa haidnya adalah dengan melihat tanda bersihnya yaitu keringnya vagina atau keluarnya lendir putih.

Wallahu a’lam.

(Ditulis oleh Ustadz Taufiq Rahman, Lc)

——————————

Bahan bacaan :

- Jâmi’ Ahkâm an Nisâ’ oleh Syaikh Mustafa al-Adawi
- Majmû’ al Fatâwâ oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah
- Fatâwâ al Mar-ah oleh Syaikh Muhammad al-Utsaimin

09 Desember 2014

Perkara Ibadah Bersifat "Tauqifiyyah"

Satu hal penting yang banyak diabaikan oleh para pengamal bid'ah adalah : agama ini adalah milik Allah. Dialah yang berhak mengatur bagaimana seorang hamba mesti beribadah kepadaNya. Itulah sebuah "keistimewaan" yang menjadi hak mutlak milikNya, yang tidak dimiliki oleh yang selain Dia.

Jika manusia diberikan kebebasan untuk menetapkan sesuatu ibadah menurut logika atau perasaannya, maka rusaklah agama ini, dan tidak lagi berguna keyakinan kita bahwa Allah memiliki kekhususan dalam mengatur agama yang Dia turunkan untuk hamba-hambaNya.

Itulah yang disadari oleh para ulama kita, semoga Allah merahmati mereka, dan mereka pun membuatkan sebuah kaedah yang sangat penting dalam masalah ini, untuk menjadi pegangan kita dalam beribadah.

Salah satu kaedah yang disebutkan oleh para ulama dalam al-Qawa'id al-Fiqhiyyah adalah,

الأصل فى العبادات الحظر، فلا يُشرع منها إلا ما شرعه الله ورسوله

"Hukum asal dalam peribadatan adalah larangan. Maka tidak disyari'atkan darinya kecuali apa yang disyari'atkan Allah dan rasul-Nya."

Maknanya, bahwa seluruh bentuk ibadah bersifat "tauqifiyyah", yaitu hanya berlandaskan dalil, dan tidak ada lowongan akal untuk menetapkannya. Maka, siapa yang membuat satu ibadah yang tidak ditunjukkan oleh Kitab Allah dan sunnah rasul-Nya, maka "ibadah" itu adalah bid'ah yang tertolak.

Semua bentuk bid'ah tertolak karena Allah Ta'ala berfirman,

أمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّيْنِ مَالَمْ يَأذَنْ بِهِ اللهُ

"Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?!" (QS. Asy-Syura ayat 21).

Dan dalam kitab ash-Shahihain, dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو ردٌّ

"Barangsiapa yang mengerjakan satu amalan yang tidak ada perintah kami padanya, maka dia tertolak."

Demikianlah dalam urusan ibadah. Adapun untuk urusan-urusan duniawi, maka para ulama membuatkan kaedah,

الأصل فى العادات الإباحة، فلا يُمنع منها إلا ما حرمه الله ورسوله

"Hukum asal dalam adat kebiasaan adalah pembolehan. Tidak ada yang dilarang darinya kecuali apa yang diharamkan Allah dan rasul-Nya."

"Adat" dalam kaedah tersebut adalah segala apa yang Allah anugerahkan dari urusan-urusan dunia, baik itu yang berkenaan dengan makanan, minuman, kendaraan, pekerjaan, interaksi, penemuan dan lain-lain; semuanya hukum asalnya adalah mubah dan halal kecuali apa yang Allah dan rasul-Nya haramkan dari perkara-perkara yang bahaya dan keburukannya akan kembali dan berpengaruh pada agama, jasad, kehormatan, nasab (garis keturunan) dan harta.

Kaedah ini adalah sebuah prinsip yang sangat agung, yang menunjukkan bahwa dalam Islam terdapat toleransi dan kelapangan.

06 Desember 2014

Dakwah Tauhid akan Menyatukan Hati

Syaikh Abdul Aziz Alu asy-Syaikh, Mufti Agung Kerajaan Saudi Arabia ditanya :

Bagaimana pendapat Anda tentang orang yang mengatakan : "Kita telah mengabaikan manusia dengan tauhid"?

Beliau menjawab hafidzhahullahu :

Ungkapan seperti itu adalah keliru. Tauhid, dialah yang akan menyatukan hati, menyatukan barisan dan menjadikan umat ini umat yang satu. Kita tidak akan pernah menjadi umat yang satu kecuali jika kita menjadi muwahhid (ahli tauhid) kepada Allah, memurnikan amal-amal semata-mata hanya untuk Allah.

Allah Jalla wa 'Alaa berfirman kepada nabi-Nya,

 وَدُّوْا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُوْنَ

"Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)." (QS. Al-Qalam ayat 9); yaitu, orang-orang musyrik sangat ingin jika engkau mengalah dalam persoalan tauhid, engkau tidak menyatakan secara terang-terangan berlepas diri dari kesyirikan. Mereka bermanis-manis muka dihadapanmu dan mendekatimu (untuk itu)... Tidak, tauhid adalah sesuatu yang mesti ada. Mesti dimuliakan dan dinampakkan... Akan menyukainya orang suka, dan membencinya orang yang benci.

04 Desember 2014

Berkumpul dan Makan di Rumah Keluarga Mayit

Termasuk dalam sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ketika seseorang sedang ditimpa musibah kematian salah satu keluarga atau kerabatnya, maka dianjurkan bagi kaum muslimin yang mampu untuk membawa atau mengirimkan kepada keluarga tersebut makanan.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Ja'far radhiyallahu 'anhuma, ia berkata : Ketika datang berita kematian Ja'far saat ia terbunuh, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَد أتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ

"Buatkan makanan untuk keluarga Ja'far! Telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan mereka." (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad yang hasan).

Tujuan dari perbuatan ini tentu saja untuk meringankan beban keluarga yang sedang berduka dan mewujudkan solidaritas sosial dalam masyarakat.

Namun, apa yang umum terjadi di masyarakat kita sangat jauh dari tuntunan Islam. Bukannya dibantu, tapi justru keluarga si mayit yang membuat makanan dan memberi makan orang-orang yang datang melayat atau bertakziyah. Sebagiannya bahkan harus memotong sapi untuk acara "tahlilan", mengundang penceramah dan menyediakan kursi-kursi dan tenda, yang tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Tradisi seperti ini tentu saja termasuk perkara yang buruk dan bertentangan dengan Syari'at Islam ditinjau dari beberapa segi :

1. Perbuatan itu jelas-jelas menyelisihi Sunnah, dan apa yang menyelisihi Sunnah adalah bid'ah.

2. Menyerupai perbuatan Jahiliyyah dimana mereka akan memotong onta atau hewan ternak lainnya saat kematian salah satu tokoh mereka.

3. Menginfakkan harta pada yang diharamkan, karena masuk dalam pemborosan.

4. Boleh jadi harta yang diinfakkan adalah harta warisan yang mestinya menjadi hak milik para ahli warisnya, sehingga hal itu masuk dalam bentuk kezaliman.

Berkata seorang shahabat yang mulia, Jarir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma, "Kami menganggap berkumpul di rumah keluarga si mayit dan makanan yang mereka buat termasuk niyaahah (ratapan yang terlarang). Diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah.

Berkata Imam Ahmad, "Hal itu termasuk perbuatan orang-orang Jahiliyyah!"

Berkata Imam ath-Thurthusi, "Adapun al-ma'tam, maka itu terlarang dengan kesepakatan para ulama. Al-ma'tam adalah berkumpul-kumpul untuk suatu musibah. Hal itu termasuk bid'ah yang mungkar, tidak dinukil sesuatu pun tentangnya (dalam Syari'at). Demikian pula apa yang dilakukan setelahnya dari perkumpulan pada hari kedua, ketiga, keempat, ketujuh, satu bulan dan setahun."

Berkata Imam Ibnu Taimiyyah, "Mengumpulkan orang-orang yang dilakukan keluarga yang sedang ditimpa musibah dalam sebuah jamuan makan agar mereka membacakan (sesuatu) untuk si mayit bukanlah sesuatu yang dikenal di kalangan Salaf. Sekelompok ulama membencinya dari beberapa sisi. Para Salaf menganggapnya sebagai niyaahah."

Namun, kalau yang diberi makan tersebut orang yang memang pantas, maka insyaallah hal ini tidak mengapa selama tidak memberatkan. Ibnu Qudamah berkata dalam al-Mughni, "Jika keadaan mengharuskan hal tersebut, yaitu membuatkan makanan untuk mereka, maka itu dibolehkan. Karena terkadang, datang kepada mereka orang yang melayat dari penduduk kampung-kampung yang jauh, dia bermalam di rumah mereka, dan tidak mungkin bagi mereka kecuali memberinya makan.

Wallahu a'lam.

29 November 2014

Hukum Pernikahan Beda Agama

Setelah menelaah dan mempelajari surat yang dikirimkan beberapa organisasi Islam di Singapura berkait penolakan mereka terhadap Piagam Hak-hak Wanita yang membolehkan pernikahan muslim/muslimah dengan non-muslim, maka Majelis al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami (Dewan Fiqh Islam Internasional) dibawah naungan Rabithah al-‘Alam al-Islami (Liga Muslim se-Dunia) pada Pertemuan ke IV mereka di Makkah al-Mukarramah pada bulan Rabi’ul Akhir 1401/Februari 1981, menetapkan dengan ijma’ beberapa hal berikut ini yang kami nukilkan dari kumpulan fatwa-fatwa Majma’:

Pertama : Pernikahan seorang laki-laki kafir dengan seorang wanita muslimah adalah haram dengan kesepakatan ulama, tidak ada keraguan dalam masalah ini dengan konsekuensi dalil-dalil syar’i. Allah Ta’ala berfirman,

وَلاَ تُنْكِحُوا المُشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوا

Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.” (QS. 2:221).

Allah berfirman,

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلىَ الكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَهُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّ وَآتُوهُم مَا أنْفَقُوا

Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan.” (QS. 60:10).

Pengulangan dalam firman-Nya :”Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka” dengan penekanan akan keharamannya serta pemutusan hubungan antara wanita mukminah dengan orang musyrik; juga firman Allah : ”Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan”, merupakan perintah untuk mengembalikan mahar yang telah diberikan kepada istrinya jika sang istri masuk Islam. Jadi tidak terkumpul padanya dua kerugian; kehilangan istri dan harta.

Jika saja seorang wanita musyrik menjadi haram dan menjadi tidak halal bagi seorang laki-laki kafir dengan ke-Islaman sang istri, maka bagaimana bisa dikatakan bolehnya pernikahan seorang kafir terhadap wanita muslimah? Bahkan Allah membolehkan menikahi wanita musyrik setelah dia masuk Islam – sementara dia merupakan istri seorang kafir- karena suaminya itu tidak halal baginya setelah ke-Islamannya. Saat itulah boleh bagi seorang muslim menikahinya setelah selesai iddahnya sebagaimana yang disebutkan Allah,

وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُم أنْ تَنْكِحُوهُنَّ إذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أجُوْرَهُنَّ

Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayarkan kepada mereka maharnya.” (QS. 60:10).

Kedua : Tidak boleh seorang muslim menikahi seorang wanita musyrik dengan dalil firman Allah,

وَلاَ تَنْكِحُوا المُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ

Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman.” (QS. 2 : 221), serta firman-Nya,

وَلاَ تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الكَوَافِرِ

Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.” (QS. 60:10)

Umar telah menceraikan dua istrinya yang musyrik ketika ayat ini turun. Berkata Ibnu Qudamah al-Hanbali :”Tidak ada perselisihan tentang haramnya menikahi wanita-wanita kafir selain Ahli Kitab bagi seorang muslim”.

Adapun wanita-wanita muhshanat (yang menjaga kehormatan diri) dari kalangan Ahli Kitab, maka seorang laki-laki muslim boleh menikahi mereka, dan tidak ada perselisihan ulama dalam masalah ini. Hanya saja sekte Imamiyah menyebutkan pengharamannya.

Yang lebih pantas bagi seorang muslim tidak menikahi wanita Ahli Kitab jika terdapat wanita muslimah yang merdeka. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : ”Makruh menikahi mereka sementara ada wanita-wanita muslimah merdeka (yang bisa dinikahi)”. Ia juga berkata dalam al-Ikhtiyârât :”Al-Qadhi dan mayoritas ulama berpendapat demikian dengan dalil perkataan Ibnu Umar kepada orang-orang yang menikahi wanita-wanita Ahli Kita : Ceraikan mereka. mereka pun melakukannya kecuali Hudzaifah, namun akhirnya ia pun melakukannya. Karena kapan seorang muslim menikahi wanita Ahli Kitab, barangkali saja hatinya akan cenderung kepada istrinya dan terfitnah dengannya, atau mereka dianugerahi anak dan anak tersebut akan cenderung kepada ibunya, wallâhu a’lam.

Sumber : Qaraaraat al-Majma' al-Fiqhi al-Islami di bawah naungan Rabithah al-'Alam al-Islami

23 November 2014

Isbal dalam Pakaian

Isbal dalam pakaian bermakna memanjangkan atau mengulurkan kain, baik itu celana, sarung atau gamis, hingga melewati mata kaki.

Yang seperti ini terlarang dalam Syari'at. Namun sangat disayangkan, karena kejahilan yang merajalela, banyak orang yang justru terjatuh pada larangan tersebut.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَا أسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ مِنَ الإزَارِ فَفِي النَارِ

"Apa yang melewati mata kaki dari pakaian, maka tempatnya adalah neraka." (HR. Al-Bukhary).

Jika mengulurkan kain tersebut disertai dengan kesombongan, maka dosanya lebih besar lagi. Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ القِيَامَةِ إلىَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاءِ

"Allah tidak akan memandang pada Hari Kiamat kepada orang yang menyeret kainnya dengan kesombongan." (Hadits muttafaq 'alaihi).

Dalam Shahih Muslim disebutkan,

مَنْ جَرَّ إزَارَهُ لا يُرِيْدُ بِذَلِكَ إلا المَخِيْلَة فَإنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إلَيْهِ يَوْمَ القِيَامَةِ

"Siapa yang menyeret kain sarungnya, dia tidak menginginkan dengan itu kecuali kesombongan, maka sungguh Allah tidak akan memandang kepadanya pada Hari Kiamat."

Maksud kedua hadits tersebut bahwa Allah tidak akan memandang kepadanya dengan pandangan rahmat pada Hari Kiamat, sebagai balasan atas kesombongannya tersebut.

Hukum larangan ini berlaku untuk kaum laki-laki. Adapun wanita, mereka diperintahkan untuk memanjangkan kainnya satu hasta dari betisnya untuk menutupi auratnya agar tidak tersingkap.

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan tentang panjang kain seseorang, Ummu Salamah radhiyallahu 'anha bertanya kepada beliau, "Lalu bagaimana dengan pakian seorang wanita, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Hendaknya ia mengulurkannya satu jengkal." Ummu Salamah berkata, "Jika demikian, maka ia akan tersingkap?!" Beliau berkata, "(Ulurkan) satu hasta saja, dan jangan lebih dari itu." (HR. At-Tirmidzi).

Wallahu a'lam.

16 November 2014

Talqin Diatas Kubur

Termasuk dalam sunnah yang diajarkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam jika selesai menguburkan jenazah adalah berdiri si sisi kubur tersebut dan mendoakan keteguhan untuk si mayit.

Diriwayatkan dari Utsman radhiyallahu 'anhu, ia berkata

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا فرغ من دفن الميت وقف عليه وقال : استغفروا لأخيكم وسألوا له التثبيت فإنه الآن يسأل

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam jika selesai menguburkan jenazah, maka beliau akan berdiri dan berkata : "Mohonkan ampunan untuk saudara kalian, dan mintakan untuknya keteguhan. Karena sungguh, dia sekarang sedang ditanya." (HR. Abu Dawud, Al-Hakim dan Al-Bazzar).

Namun, sebagian orang dari umat ini ketika selesai menguburkan mayit, maka dia akan membacakan sesuatu yang disebut sebagai "talqin", untuk "mengajarkan" si mayit menjawab pertanyaan dua malaikat.

Terdapat riwayat yang menyebutkan masalah ini, namun riwayat-riwayat tersebut sangat lemah dan perbuatan itu dianggap sebagai bid'ah.

Diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur dengan sanadnya dari Dhamrah bin Habib, seorang dari generasi tabi'in, ia berkata, "Mereka menyukai jika kubur itu telah diratakan terhadap si mayit dan manusia telah pergi darinya, untuk dibacakan di sisi kuburnya : Wahai Fulan, ucapkan La ilaha illa_llahu 3x. Wahai Fulan, ucapkan : Rabbku adalah Allah, agamaku Islam dan nabiku Muhammad."

Riwayat ini adalah perkataan seorang tabi'in dan bukan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Berkata an-Nawawi dan al-Iraqi, "Sanadnya dha'if (lemah)."

Berkata Ibnul Qayyim, "Haditsnya tidak sah."

Hadits yang lain dari Abu Umamah, ia berkata : Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,

إذا مات أحد منكم فسويتم التراب على قبره فليقم أحدكم على رأس قبره ثم ليقل : يا فلان بن فلان اذكر ما كنت عليه فى الدنيا من شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدًا عبده ورسوله وأنك رضيت بالله ربًّا وبالإسلام دينًا وبمحمدٍ نبيًا وبالقرآن إمامًا

"Jika salah seorang kalian meninggal, dan kalian tutupkan tanah diatas kuburnya, hendaknya berdiri salah seorang dari kalian di sisi kepala kuburnya dan mengatakan : Wahai fulan bin fulan, sebutlah apa yang dahulu engkau yakini dalam kehidupan dunia dari persaksian tiada ilah (yang hak) selain Allah dan Muhammad adalah hambaNya dan utusanNya, dan bahwasannya engkau ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai nabi dan al-Quran sebagai imam."

Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan dilemahkan banyak ulama, diantara mereka adalah Ibnu ash-Shalah, an-Nawawi, al-Iraqi, Ibnu Hajar dan ash-Shan'ani.

Berkata Ibnul Qayyim dalam al-Manar al-Munif, "Hadits talqin ini adalah hadits yang tidak diragukan oleh pakar yang mengenal hadits tentang kepalsuannya."

Berkata al-Haitsami, "Pada sanadnya terdapat orang-orang yang tidak aku kenali."

Berkata an-Nawawi, "Haditsnya dha'if."

Berkata ash-Shan'ani, "Kesimpulan dari perkataan para imam ahli tahqiq bahwa hadits ini adalah hadits dha'if, mengamalkannya adalah bid'ah dan jangan terpedaya dengan banyaknya orang yang mengamalkan."

Wallahu a'lam.

-----------

Sumber : Taudhih al Ahkam min Bulugh al Maram, II/472-474

09 November 2014

Shalat Taubat

Bagi orang tergelincir dalam dosa, ia wajib untuk segera bertaubat, memohon ampun dan kembali kepada Allah Ta'ala, karena Dia Maha Pengampun dan menerima taubat hamba-hambaNya.

Para imam mazhab yang empat bersepakat tentang disunnahkannya shalat untuk bertaubat dari suatu perbuatan dosa.

Mereka berdalil dengan hadits Abu Bakr radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

ما من رجلٍ يذنب ذنبًا ثم يقوم فيتطهر ثم يصلي ثم يستغفر الله إلا غفر الله له

"Tidaklah seseorang melakukan perbuatan dosa, kemudian dia bangun bersuci, kemudian shalat lalu memohon ampunan Allah, melainkan Allah akan mengampuninya." Kemudian beliau membaca ayat ini,

وَالَذِيْنَ إذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أوْ ظَلَمُوا أنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوْبِهِمْ

"Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka..." (QS. Alu Imran ayat 135).

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan lain-lain dengan sanad dha'if karena dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang lemah, Asma' bin al-Hakam al-Fazari. Namun hadits ini telah dishahihkan oleh sebagian ulama dengan jalan-jalan periwayatannya.

Wallahu a'lam.

(Sumber bacaan : Shahih Fiqh as-Sunnah dan artikel di situs ahlalhdeeth.com)

02 November 2014

Syi’ah Imamiyah (Itsna ‘Asyariyah)

Syi’ah Imamiyah (Al-Itsna 'Asyariyyah) adalah firqah yang menyempal dari kaum muslimin yang mendakwakan bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu adalah orang yang paling berhak mewariskan khilafah setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Disebut “Imamiyah” karena mereka menjadikan persoalan imamah (kepemimpinan) sebagai prinsip dasar aqidah mereka. Disebut “Itsna 'Asyariyyah” karena mereka mengimani 12 imam yang imam terakhirnya bersembunyi dalam sebuah gua di Samarra, Irak, menurut dakwaan mereka.


Tokoh-tokoh Penting Syiah Imamiyah
  • Tokoh yang paling penting dan terkenal dalam sejarah Syiah Imamiyah adalah Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi Yaman yang menampakkan diri sebagai penganut Islam. Ia kemudian memindahkan beberapa aqidah Yahudinya ke dalam ajaran Tasyayyu’ (kecenderungan kepada aqidah Syiah). Diantaranya adalah perkataannya dalam aqidah Yahudi bahwa Yusya bin Nun adalah wasiat Musa ‘alaihissalam, dan dalam Islam ia mengatakan bahwa Ali adalah wasiat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Saba’ berpindah ke Madinah kemudian ke Mesir, Kufah, Fusthat dan Bashrah. Ia berkata kepada Ali, “Engkau adalah Engkau”, yaitu engkau adalah Allah, hingga menjadikan Ali berkeinginan untuk membunuhnya. Ibnu Abbas menasehatinya untuk tidak melakukan hal tersebut dan akhirnya Ali membuangnya ke Mada’in, Persia.
  • Al-Kulaini, pemilik kitab Al-Kâfî yang kedudukannya di mereka seperti Shahîh al-Bukhâry di kalangan Ahlussunnah. Mereka mengatakan bahwa padanya terdapat 16.199 hadits.
  • Al-Haaj Mirza Husain bin Muhammad Taqiy an-Nuri ath-Thibrisi (w. 1320 H), pemilik kitab Fashl al Khithâb fî Itsbât Tahrîf Kitâb Rabb al Arbâb. Dalam kitab ini ia mengatakan bahwa al-Quran telah ditambah dan dikurangi.
  • Ayatullah al-Mamaqani, pemilik kitab Tanqîh al Maqâl fî Ahwâl ar Rijâl. Tokoh ini dianggap sebagai imam al-Jarh wa at-Ta’dîl. Dalam bukunya itu ia menyebut Abu Bakr dan Umar sebagai al-Jibt wa ath-Thâghût.
  • Abu Ja’far ath-Thusi, pemilik kitab Tahdzîb al Ahkâm.
  • Muhammad bin Murtadha yang dikenal sebagai Mulla Muhsin al-Kasyi, pemilik kitab Wasâ-il asy Syî’ah ilâ Ahâdîts asy Syarî’ah.
  • Muhammad Baqir bin Asy-Syaikh Muhammad Taqiy yang dikenal sebagai al-Majlisi, pemilik kitab Bihâr al Anwâr fî Ahâdîts an Nabiy wa al A-immah al Athhâr.
  • Fathullah al-Kasyani, pemilik kitab Minhâj ash Shâdiqîn.
  • Ayatullah al-Khomeini, seorang tokoh Syiah kontemporer yang memimpin Revolusi Syiah di Iran dan memegang tampuk kekuasaan. Ia memiliki kitab Kasyf al Asrâr dan al Hukûmah al Islâmiyyah.

Siapakah 12 Imam yang diyakini Syiah Imamiyah?
  • Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang mereka gelari al-Murtadha. Ali dibunuh dengan cara khianat oleh seorang pengikut Khawarij, Abdurrahman bin Muljam di Masjid Kufah dan wafat pada 17 Ramadhan 40 H.
  • Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, digelari al-Mujtaba (3-50 H)
  • Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, yang mereka gelari asy-Syahid (4-61 H)
  • Ali Zainul Abidin bin al-Husain (38-95 H), mereka gelari as-Sajjad.
  • Muhammad (digelari : Al-Baqir) bin Ali Zainul Abidin (57-114 H)
  • Ja’far (ash-Shadiq) bin Muhammad al-Baqir (83-148 H)
  • Musa (al-Kadzhim) bin Ja’far ash-Shadiq (128-183 H)
  • Ali (ar-Ridha) bin Musa al-Kadzhim (148-203 H)
  • Muhammad al-Jawwad bin Ali ar-Ridha (195-220 H) yang mereka gelari at-Taqiy.
  • Ali al-Hadi bin Muhammad al-Jawwad (212-254 H) yang digelari an-Naqiy.
  • Al-Hasan al-Askari bin Ali al-Hadi (232-260 H) yang digelari az-Zakiy.
  • Muhammad al-Mahdi bin al-Hasan al-Askari (256-…) dan mereka gelari al-Hujjah al-Qa’im al-Muntadzhar. Mereka mengatakan bahwa Imam kedua belas telah bersembunyi dalam sebuah gua di rumah ayahnya dan tidak kembali. Mereka berselisih tentang umurnya saat ia bersembunyi. Sebagian mengatakan  4 tahun dan sebagian berpendapat 8 tahun. Hanya saja, banyak dari para peneliti mengatakan bahwa tokoh ini hanyalah fiktif dan tidak pernah ada. Syiah sengaja membuat tokoh fiktif ini untuk menyelamatkan konsep imamah mereka.



Beberapa Konsep Pemikiran dan Keyakinan Syiah Imamiyah
  • Al-Imamah (Kepemimpinan). Wajib bagi seorang imam sebelumnya untuk menunjuk dan menyebutkan nama imam setelahnya, bukan sekedar sifat. Mereka berdalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan tentang imamahnya Ali sepeninggal beliau pada hari Ghadir Khum. Kejadian ini diingkari kebenarannya oleh ulama-ulama hadits dan sejarawan dari kalangan Ahlussunnah.
  • Al-‘Ishmah (Kema’shuman). Imam-imam Ahlul Bait yang 12 –dalam pandangan mereka- ma’shum dari kesalahan dan lupa, dari dosa-dosa besar maupun kecil.
  • Al-‘Ilmu al-Ladunni. Setiap imam telah menerima ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang dengannya Syari’at menjadi sempurna. Rasul telah menyampaikan kepada mereka rahasia-rahasia Syari’at yang akan mereka jelaskan kepada manusia sesuai dengan kondisi zamannya.
  • Ar-Raj’ah, yaitu keyakinan mereka bahwa Muhammad bin al-Hasan al-Askari akan kembali di akhir zaman ketika Allah telah izinkan dia untuk keluar.
  • Taqiyyah. Mereka meyakini bahwa taqiyyah merupakan salah satu prinsip dasar agama mereka. Siapa yang meninggalkannya ibarat orang yang meninggalkan shalat. Taqiyyah wajib dan tidak boleh dihapuskan sampai al-Qa’im keluar dari persembunyiannya. Siapa yang meninggalkannya sebelum keluarnya al-Qa’im, maka dia telah keluar dari agama Allah dan agama Imamiyah.
  • Mut’ah. Mereka memandang bahwa mut’ah terhadap wanita adalah sebaik-baik tradisi dan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling afdhal. Mereka berdalil dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 24. Mut’ah telah diharamkan dalam ajaran Islam sampai Hari Kiamat nanti.
  • Mereka meyakini adanya mushaf yang disebut sebagai Mushaf Fathimah. Al-Kulaini meriwayatkan dalam kitabnya al-Kafi (hal. 57 cet. 1278 H) dari Ja’far ash-Shadiq, “Dan sungguh pada kami ada Mushaf Fathimah ‘alaihassalam.” Ia berkata : Aku bertanya : Apakah Mushaf Fathimah itu? Beliau menjawab, “Sebuah mushaf padanya ada yang seperti Quran kalian ini tiga kali lipatnya. Demi Allah, tidak ada di dalamnya satu huruf pun dari Quran kalian!”
  • Al-Bara’ah. Yaitu berlepas diri dari tiga khalifah (Abu Bakr, Umar dan Utsman) dan mensifatkan mereka dengan seburuk-buruk sifat. Karena mereka, menurut Syi’ah, telah merampas khilafah dari Ali yang berhak dengan khilafah tersebut. Syiah Imamiyah juga mencela banyak shahabat dengan cacian dan kutukan, dan tidak segan-segan mencaci kehormatan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha.
  • Ied Ghadir Khum, yaitu hari raya mereka yang jatuh pada 18 Dzulhijjah. Mereka lebih memuliakannya daripada Idul Fitri dan Idul Adha, dan menamakannya ‘Ied al-Akbar (Hari Raya Besar). Mereka meyakini bahwa hari itu adalah hari dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan khilafah untuk Ali radhiyallahu ‘anhu.
  • Mereka juga mengagungkan ‘Ied Nairuz yang merupakan salah satu hari raya orang-orang Persia penyembah api. Sebagian mereka mengatakan bahwa mandi pada hari Nairuz adalah sunnah.
  • Mereka juga memiliki perayaan pada hari kesembilan di bulan Rabi’ul Awwal, yaitu ‘Ied Bapak mereka “Baba Syuja’uddin”, gelar yang mereka berikan untuk Abu Lu’lu’ah al-Majusi yang telah membunuh Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu.
  • Mereka juga memiliki perayaan duka cita, ratapan, menampar-nampar pipi dan dada serta perbuatan-perbuatan haram lainnya di hari kesepuluh bulan Muharram (Asyura’). Mereka meyakini bahwa hal itu adalah qurbah kepada Allah Ta’ala dan menghapuskan dosa dan kesalahan. Siapa yang melihat perbuatan mereka di tempat-tempat yang mereka sucikan di Karbala, Najaf dan Qum, niscaya ia akan melihat hal-hal yang sangat aneh dan bertentangan dengan akal sehat.


Aqidah Syiah Membahayakan Umat Islam

Syiah Imamiyah saat ini tersebar luas di Iran dan terpusat disana. Mereka juga memiliki populasi yang besar di Irak. Mereka memiliki pengikut yang kuat di Pakistan, Lebanon dan juga Suriah yang secara khusus memiliki hubungan yang sangat dekat dengan sekte Nushairiyah, sebuah sekte Syiah yang sangat ekstrim.

Saat ini, dengan kerja keras dan dukungan penuh dari perwakilan-perwakilan kedutaan Iran di berbagai negara, mereka terus berusaha menyebar luaskan pemahaman dan aqidah sesatnya dengan memanfaatkan kebodohan dan kejahilan sebagian besar umat ini. Wajib bagi setiap muslim untuk mewaspadai gerakan mereka karena setiap orang yang mau membaca sejarah Islam, maka dia akan mendapatkan bahwa hampir-hampir tidak ada revolusi atau gerakan pembangkangan terhadap sebuah negara Islam melainkan Syiah dengan bermacam-macam sektenya berada dibalik gerakan tersebut. Wallahul musta’an.

(Sumber : Al Mausû’ah al Muyassarah fî al Adyân wa al Madzâhib wa al Ahzâb al Mu’âshirah, WAMY, cet. tahun 1424 H)

01 November 2014

Bernadzar untuk Selain Allah Ta'ala

Nadzar dalam ajaran Islam adalah sebuah ibadah, yang tidak boleh dipersembahkan untuk selain Allah Ta'ala. Siapa yang mempersembahkannya untuk selain Allah; baik itu untuk malaikat, seorang nabi, salah satu dari para wali -baik yang masih hidup ataupun sudah meninggal-, atau dipersembahkan untuk gunung, lautan tertentu dan yang semacamnya seperti apa yang dilakukan para pemuja berhala, kuburan dan lain-lain, yang mereka meyakini adanya manfaat atau keburukan pada makhluk-makhluk tersebut, atau mampu memberikan hajatnya atau menolak keburukan; maka pelakunya itu telah melakukan dosa yang terbesar dan terburuk, yaitu syirik kepada Allah Ta'ala. Perbuatan-perbuatan itu sama seperti yang disebutkan Allah dalam firmanNya,

وَجَعَلُوا لِله مِمَّا ذَرَعَ مِنَ الحَرْثِ وَالأنْعَامِ نَصِيْبًا فَقَالُوا هَذَا لِلهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلاَ يَصِلُ إلىَ اللهِ وَمَا كَانَ لِلهِ فَهُوَ يَصِلُ إلىَ شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

"Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai persangkaan mereka : 'Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami'. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu." (QS. Al-An'am ayat 136).

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu, "Para ulama telah bersepakat bahwasannya tidak boleh bagi seorang pun bernadzar untuk selain Allah, tidak untuk seorang nabi atau yang selain nabi, dan yang seperti ini adalah syirik yang tidak akan diberikan pahalanya." (Majmu' al-Fatawa, I/286)

Berkata Imam ash-Shan'ani rahimahullahu, "Adapun nadzar yang dikenal di zaman sekarang ini (yang dipersembahkan) kepada kuburan, petilasan dan orang mati, maka tidak ada perselisihan tentang keharamannya. Karena, orang yang bernadzar meyakini sang penghuni kubur mampu memberi manfaat dan kemudharatan, memberi kebaikan dan menolak keburukan, memberi keafiatan terhadap orang yang menderita dan memberi kesembuhan kepada orang sakit. Itulah dia yang dahulu dilakukan oleh penyembah berhala, sehingga hal itu haram sebagaimana haramnya bernadzar terhadap berhala dan haram mengambilnya karena itu adalah pembenaran terhadap syirik. Wajib melarang perbuatan seperti itu dan menjelaskan bahwa hal itu termasuk keharaman yang terbesar, dan itulah yang dahulu dilakukan para penyembah patung-patung berhala. Akan tetapi, waktu yang panjang telah berlalu hingga yang ma'ruf berubah menjadi mungkar dan yang mungkar berubah menjadi ma'ruf. Dipancangkan bendera-bendera untuk para pengumpul harta-harta nadzar untuk orang-orang mati, dibuatkan tempat-tempat penyambutan untuk orang-orang yang datang kepada kubur si mayit, dan disembelihkan di pintunya qurban dari hewan-hewan ternak. Itulah dia keyakinan yang dahulu berada diatasnya para pemuja berhala. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun." (Subul as-Salam, IV/1448)

Di negeri-negeri kita, dan banyak negeri-negeri Islam, yang seperti ini masih banyak terjadi dengan berbagai macam bentuknya. Namun, semua itu tidak akan mengubah hakikat dari perbuatan syirik tersebut yang mereka lakukan.

Wallahul musta'an.

27 Oktober 2014

Keutamaan Bulan Muharram dan Hari Asyura'

Bulan Muharram adalah salah satu dari bulan-bulan Haram yang Allah sebutkan dalam al-Quran,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ

"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan Haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu." (QS. At-Taubah : 36)

Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

السنة اثنا عشر شهراً منها أربعة حرم ، ثلاث متواليات : ذو القعدة ، وذو الحجة ، والمحرم ، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان

"Satu tahun terdiri dari dua belas bulan, diantaranya empat bulan Haram; tiga berurutan (yaitu) Dzulqi'dah, Dzulhijjah dan Muharram, serta Rajab Mudhar yang diantara bulan Jumada dan Sya'ban." HR. Al-Bukhary (4662) dan Muslim (1679) dari haditsnya Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu.

Yang disyari'atkan di bulan Muharram adalah berpuasa.

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata : Bersabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم

"Seutama-utama puasa setelah Ramadhan adalah bulan Allah, al-Muharram." HR. Muslim (1163).

Dari bulan Muharram tersebut, sangat ditekankan untuk berpuasa pada hari kesepuluhnya, yaitu hari Asyura'.

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhuma ia berkata : "Saya tidak melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sangat peduli dengan puasa pada hari tertentu yang ia utamakan dari yang selainnya kecuali di hari ini, yaitu hari Asyura', dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan." HR. Al-Bukhary (2006) dan Muslim (1132).

Keutamaan berpuasa pada hari Asyura' adalah apa yang disebutkan dalam hadits Abu Qatadah radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda,

صيام يوم عاشوراء أحتسب على الله أن يُكفّر السنة التي قبله

"Puasa pada hari Asyura', aku mengharapkan pada Allah agar Dia berkenan menghapuskan dosa setahun yang sebelumnya." HR. Muslim (1163)

Puasa pada hari itu adalah sunnah dan tidak diwajibkan. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إن عاشوراء يوم من أيام الله ، فمن شاء صامه ومن شاء تركه

"Sesungguhnya Asyura' adalah satu hari dari hari-hari Allah. Siapa yang ingin maka hendaknya dia berpuasa padanya, dan siapa yang ingin dia boleh meninggalkannya." HR. Muslim (1136) dari haditsnya Abdullah bin 'Amr radhiyallahu 'anhuma.

Dan disebutkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata : "Asyura' adalah satu hari yang orang-orang Quraisy berpuasa padanya di masa Jahiliyyah. Dahulu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa padanya. Ketika beliau datang ke Madinah, beliau berpuasa Asyura' dan menyuruh (kaum muslimin) untuk berpuasa. Ketika turun (kewajiban) puasa Ramadhan, maka siapa yang ingin ia berpuasa Asyura', dan siapa yang ingin ia boleh tidak melaksanakannya." HR. Al-Bukhary (3744)

Dan bersama dengan puasa Asyura' tersebut, disunnahkan pula berpuasa sehari sebelumnya, dengan dalil hadits Ibnu Abbas, ia berkata :

حِينَ صَامَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللّهِ: إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَىٰ. فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم : «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، إِنْ شَاءَ اللّهُ، صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ». قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّىٰ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللّهِ

Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada hari Asyura' dan menyuruh berpuasa (padanya), mereka berkata : "Wahai Rasulullah, hari itu adalah hari yang diagungkan Yahudi dan Nasrani." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Jika datang tahun depan, kita akan berpuasa pada hari kesembilan." Berkata Ibnu Abbas : Dan belum tiba tahun berikutnya hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam wafat. HR. Muslim (2619)

Sebagian ulama menyebutkan sunnahnya untuk berpuasa pada sehari sebelum dan sehari sesudah hari Asyura (yaitu tanggal 9 dan 11 Muharram), dengan berdalilkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas secara marfu',

صوموا يوم عاشوراء وخالفوا اليهود، وصوموا قبله يوماً و بعده يوماً

"Berpuasalah pada hari Asyura' dan selisihilah orang-orang Yahudi. Berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya."

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (I/241) dan Ibnu Khuzaimah (2095) dari jalan periwayatan Muhammad bin Abi Laila.

Berkata Imam Ahmad tentang Ibnu Abi Laila : "Buruk hafalannya, guncang haditsnya. Fiqhnya lebih kami sukai daripada haditsnya."

Berkata Abu Hatim : "Kedudukannya adalah shaduq (jujur). Ia adalah orang yang buruk hafalannya. Disibukkan dengan jabatan qadhi (hakim) dan hafalannya menjadi buruk. Ia tidaklah tertuduh, hanya saja diingkari darinya banyaknya kekeliruan. Haditsnya ditulis dan tidak dijadikan hujjah."

Berkata an-Nasa'i : "Tidak kuat (laysa bil qawiyy)."

Berkata ad-Daruquthni : "Buruk hafalan dan banyak kekeliruan."

Berkata Abu Ahmad al-Hakim : "Kebanyakan hadits-haditsnya maqlub (tertukar redaksi haditsnya dengan yang lainnya)."

Dengan demikian, hadits ini sangat lemah, dan tidak kuat untuk dijadikan hujjah dalam mengamalkan sunnahnya puasa pada hari kesebelas. Wallahu a'lam.

------------------

Maraji' :

[1] Shahih Fiqh as-Sunnah wa Adillatuh