"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

12 Februari 2011

Fatwa MUI tentang Aliran Ahmadiyah

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 11/MUNAS VII/MUI/15/2005
Tentang
ALIRAN AHMADIYAH




Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional
MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M,
setelah :


Menimbang :

1. bahwa sampai saat ini aliran Ahmadiyah terus berupaya untuk mengembangkan pahamnya di Indonesia, walaupun sudah ada fatwa MUI dan telah dilarang keberadaannya;

2. bahwa upaya pengembangan faham Ahmadiyah tersebut telah menimbulkan keresahan masyarakat;

3. bahwa sebagian masyarakat meminta penegasan kembali fatwa MUI tentang faham
Ahmadiyyah sehubungan dengan timbulnya berbagai pendapat dan berbagai reaksi di
kalangan masyarakat;

4. bahwa untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan menjaga kemurnian aqidah Islam,
Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menegaskan kembali fatwa tentang Aliran
Ahmadiyah.


Aliran Ahmadiyah

1. Firman Allah SWT., :
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabinabi; dan adalah Allah Maha mengetahui
segala sesuatu” (QS. al-Ahzab [33]: 40).

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah
dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu
menceraiberaikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu bertakwa” (QS. al-An’am [6]: 153).

“Hai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu. tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk…” (QS. al-Ma’idah [5]: 105).


2. Hadis Nabi SAW antara lain:

“Rasulullah bersabda: Tidak ada nabi sesudahku” (HR. al-Bukhari).

“Rasulullah bersabda: “Kerasulan dan kenabian telah teputus; karena itu, tidak
ada rasul maupun nabi sesudahku” (HR. Tirmizi).


Memperhatikan :

1. Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) Nomor 4 (4/2) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi, pada tanggal 10-16 Rabi’ al-Tsani 1406 H./22-28 Desember 1985 M tentang Aliran Qodiyaniyah, yang antara lain menyatakan bahwa aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.

Teks Keputusan tersebut adalah sebagai berikut:

“Sesungguhnya apa yang diklaim Mirza Ghulam Ahmad tentang kenabian dirinya,
tentang risalah yang diembannya dan tentang turunnya wahyu kepada dirinya
adalah sebuah pengingkaran yang tegas terhadap ajaran agama yang sudah
diketahui kebenarannya secara qath’i (pasti) dan meyakinkan dalam ajaran
Islam, yaitu bahwa Muhammad Rasulullah adalah Nabi dan Rasul terakhir dan tidak
akan ada lagi wahyu yang akan diturunkan kepada seorang pun setelah itu. Keyakinan
seperti yang diajarkan Mirza Ghulam Ahmad tersebut membuat dia sendiri dan
pengikutnya menjadi murtad, keluar dari agama Islam. Aliran Qadyaniyah dan Aliran
Lahoriyah adalah sama, meskipun aliran yang disebut terakhir (Lahoriyah) meyakini
bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah sebagai bayang-bayang dan perpanjangan
dari Nabi Muhammad SAW.”

2. Fatwa MUNAS II MUI pada tahun 1980
tentang Ahmadiyah Qodiyaniyah.

3. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada
Munas VII MUI 2005.


Dengan bertawakkal kepada Allah SWT,
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG ALIRAN AHMADIYAH

1. Menegaskan kembali fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).

2. Bagi mereka yang terlanjur mengikuti Aliran Ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’ ila al-haqq),yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.

3. Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.


Ditetapkan: Jakarta, 21 Jumadil Akhir 1426 H
28 Juli 2005 M

MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa

Sekretaris
ttd
Drs. Hasanuddin, M.Ag

Ketua
ttd
K.H. Ma’ruf Amin

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Mengenai Aliran Ahmadiyah

Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional II tanggal 11-17 Rajab 1400 H/ 26 Mei – 1 Juni 1980 M di Jakarta memfatwakan tentang Jema’at Ahmadiyah sebagai berikut :




1. Sesuai dengan data dan fakta yang diketemukan dalam 9 (sembilan) buah buku tentang Ahmadiyah, Majelis Ulama Indonesia memfatwakan bahwa Ahmadiyah adalah jama’ah di luar Islam, sesat dan menyesatkan.

2. Dalam menghadapi persoalan Ahmadiyah hendaknya Majelis Ulama Indonesia selalu berhubungan dengan Pemerintah.

Kemudian Rapat Kerja Nasional bulan 1- 4 Jumadil Akhir 1404 H/4 – 7 Maret 1984 M, merekomendasikan tentang Jema'at Ahmadiyah tersebut sebagai berikut :

1. Bahwa Jema'at Ahmadiyah di wilayah Negara Republik Indonesia berstatus sebagai badan hukum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI No. JA/23/13 tanggal 13-3-1953 (Tambahan Berita Negara: tangga131-3-1953 No. 26), bagi umat Islam menimbulkan :

a. Keresahan karena isi ajarannya bertentangan dengan ajaran agama Islam

b. Perpecahan, khususnya dalam hal ubudivah (shalat), bidang munakahat dan lain-lain.

c. Bahaya bagi ketertiban dan keamanan negara.

Maka dengan alasan-alasan tersebut dimohon kepada pihak yang berwenang untuk meninjau kembali Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI JA/22/ 13, tanggal 31-3-1953 (Tambahan Berita Negara No. 26, tanggal 31-3- 1953).

2. Menyerukan :

a. Agar Majelis Ulama Indonesia, Majelis Ulama Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, para ulama, dan da’i di seluruh Indonesia, menjelaskan kepada masyarakat tentang sesatnya Jema’at Ahmadiyah Qadianiyah yang berada di luar Islam.

b. Bagi mereka yang telah terlanjur mengikuti Jema’at Ahmadiyah Qadianiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang benar.

c. Kepala seluruh umat Islam supaya mempertinggi kewaspadaannya, sehingga tidak akan terpengaruh dengan faham yang sesat itu.


Jakarta, 17 Rajab 1400 H/ 1 Juni 1980 M

DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua Umum

ttd
Prof. Dr. HAMKA

Sekretaris

ttd
Drs. H. Kafrawi
BIDANG AQIDAH DAN ALIRAN KEAGAMAAN

Penutup Para Nabi 'alaihimussalam

Salah satu aqidah yang sangat mendasar dalam prinsip-prinsip aqidah Islam, aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menutup nubuwwah (kenabian) dengan diutusnya Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman :

ما كان محمد أبا أحد من رجالكم ولكن رسول الله وخاتم النبيين

”Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang diantara kamu, akan tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi”. [QS. 33 : 40].




Makna “khatm an-nubuwwah” (penutup kenabian) dengan kenabian Beliau adalah : tidak ada lagi nubuwwah dan tidak ada lagi syari’at setelah kenabiannya dan syari’atnya shallallahu ‘alaihi wasallam.

Adapun turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam di akhir zaman nanti tidaklah menafikan hal tersebut; karena ketika turun nanti, Isa ‘alaihissalam akan mengamalkan Syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan bukan dengan syari’at yang pernah dibawanya karena syari’atnya telah dihapus (mansukh). Maka Nabi Isa tidak beribadah kecuali dengan syari’at Islam, baik dalam ushul (prinsip pokok ajaran Islam) maupun dalam furu’ (cabang)nya.


Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Sang Penutup para nabi telah diutus dengan kitab suci yang terbaik dan syari’at yang paling sempurna. Ia telah datang dengan syari’at yang mencukupi bagi seluruh hamba di setiap tempat dan masa sampai datangnya hari Kiamat; menyempurnakan ajaran para nabi dan tidak ada lagi nabi sesudahnya.

Dalam ash-Shahihain (al-Bukhary dan Muslim) dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda (artinya) :

مثلي ومثل الأنبياء من قبلي كمثل رجل بنى دارًا فأكملها و أحسنها إلا موضع لبنة، فجعل الناس يدخلون ويتعجبون منها ويقولون : لولا موضع لبنة

”Perumpamaanku dengan para nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun rumah. Dia menyempurnakan dan membaguskan rumahnya, kecuali tempat sebuah bata (yang masih lowong). Orang-orang masuk ke rumah itu dan mengaguminya. Mereka berkata :’(Alangkah bagusnya) kalau bukan tempat sebuah bata (yang masih lowong ini)!’,”.

Imam Muslim menambahkan dalam riwayatnya :

فجئت فختمت اللبنة

”Aku pun datang dan menutup para nabi”.

Dalam riwayat Abu Hurairah beliau mengatakan :

فأنا اللبنة، وأنا خاتم النبيين

”Akulah bata itu, dan akulah penutup para nabi”. [terjemah HR. al-Bukhary dan Muslim]

Beliau juga bersabda :

كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء، كلما هلك نبي خلفه نبي، وإنه لا نبي بعدي

”Dahulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, dia digantikan oleh nabi yang lain, dan tidak ada lagi nabi sesudahku”. [terjemah HR. al-Bukhary]


Berkata Syaikh Abul A’la al-Maududi rahimahullah dalam bantahannya terhadap sekte Ahmadiyah Qadianiyah :

“Jika kita membaca al-Qur’an untuk mencari sebab-sebab yang dengannya bisa diketahui perlunya diutus seorang nabi di suatu umat di bumi ini, niscaya kita akan tahu bahwa sebabnya ada empat :

1) Tidak pernah datang kepada umat itu seorang nabi dari Allah, dan tidak ada ajaran-ajaran nabi di umat lain yang sampai kepadanya.

2) Pernah diutus kepadanya seorang nabi, akan tetapi ajarannya telah terhapus atau terlupakan atau telah diubah-ubah, sehingga tidak memungkinkan bagi umat itu untuk mengikuti ajaran nabi tersebut secara baik dan sempurna.

3) Telah diutus kepadanya seorang nabi, akan tetapi ajarannya tidak sempurna untuk orang-orang yang datang setelahnya dan tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat di masa mereka. Maka sangat dibutuhkan kehadiran nabi lain yang akan menyempurnakan agama.

4) Telah diutus kepadanya seorang nabi, akan tetapi kebutuhan dan keadaan telah memaksa untuk diutus bersamanya nabi yang lain, dengan tujuan untuk memperkuat argumentasi dan kebenarannya.

Keempat sebab ini telah hilang setelah kenabian Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Umat Islam dan umat-umat yang lain di alam ini tidak memerlukan diutusnya nabi yang baru setelah Nabi Muhammad. Allah telah menjelaskan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam diutus untuk seluruh manusia. Allah berfirman :

قل يا أيها الناس إني رسول الله إليكم جميعًا

”Katakanlah (Muhammad) :‘Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua’.” [terjemah QS. 7:158]

Demikian juga, sejarah peradaban telah memberikan petunjuk bahwa situasi peradaban manusia semenjak diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memungkinkan untuk sampainya dakwah ke seluruh penjuru bumi dan bangsa. Maka tidak diperlukan seorang nabi baru untuk sebuah umat atau tempat tertentu. Dengan ini gugurlah sebab pertama.

Yang dipersaksikan oleh al-Qur’an serta kitab-kitab hadits dan sejarah : bahwa ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa hidup terpelihara dalam bentuknya yang asli, tidak tersentuh tangan-tangan yang suka merubah dan melupakannya.

Kitab suci yang dibawanya tidak pernah dirubah, ditambah atau dikurangi dalam setiap hurufnya, dan hal itu tidak mungkin terjadi sampai hari Kiamat.

Adapun petunjuk yang ia sampaikan dengan ucapan dan perbuatannya, maka kita melihat peninggalan tersebut sampai hari ini masih hidup dan terjaga; seakan-akan kita berdiri dihadapannya dan hidup di masanya. Dengan demikian, gugurlah sebab yang kedua.

Kemudian al-Qur’an telah menjelaskan bahwa Allah telah menyempurnakan agama-Nya dengan perantaraan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam; maka gugurlah sebab ketiga.

Terakhir, jika saja kebutuhan mengharuskan diutusnya seorang nabi yang lain bersama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membenarkan dan menyokongnya, pastilah nabi itu diutus pada masa hidupnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka gugur jugalah sebab yang kelima…”. Wallahu a’lam.


* Disarikan dari al-Irsyâd ilâ Shahîh al-I’tiqâd, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, anggota Hai-ah Kibâr al-Ulamâ (Dewan Ulama Besar), Kerajaan Saudi Arabia.

03 Februari 2011

Sikap Muslim Terhadap Hari Raya Orang Kafir

Sesungguhnya nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah Shubhaana wa ta'ala kepada hamba-Nya adalah nikmat Islam dan iman serta istiqomah di atas jalan yang lurus. Allah telah memberitahukan bahwa yang dimaksud jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh hamba-hamba-Nya yang telah diberi nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhadaa dan sholihin (Qs. 4 :69).

Jika diperhatikan dengan teliti, maka kita dapati bahwa musuh-musuh Islam sangat gigih berusaha memadamkan cahaya Islam, menjauhkan dan menyimpangkan ummat Islam dari jalan yang lurus, sehingga tidak lagi istiqomah. Hal ini diberitahukan sendiri oleh Allah di dalam firman-Nya, diantaranya, yang artinya:

“Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah Shubhaana wa ta'ala mendatangkan perintah-Nya. Sesungguh-Nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. 2:109)

Firman Allah Shubhaana wa ta'ala yang lain, artinya: Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan”. Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. 3:99)

“ Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menta’ati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu kebelakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi”. (QS. 3:149)

Salah satu cara mereka untuk menjauhkan umat Islam dari agama (jalan yang lurus) yakni dengan menyeru dan mempublikasikan hari-hari besar mereka ke seluruh lapisan masyarakat serta dibuat kesan seolah-oleh hal itu merupakan hari besar yang sifatnya umum dan bisa diperingati oleh siapa saja. Oleh karena itu, Komisi Tetap Urusan Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi telah memberikan fatwa berkenaan dengan sikap yang seharusnya dipegang oleh setiap muslim terhadap hari-hari besar orang kafir.Secara garis besar fatwa yang dimaksud adalah: Orang Islam yang tidak memahami ajaran agamanya, akhirnya terjerumus ke dalam hal ini, ia tidak menyadari betapa besar keburukan yang telah ia lakukan. Dengan demikian, barang siapa memberi ucapan selamat atas kemaksiatan, kebid’ahan dan lebih-lebih kekufuran, maka ia akan berhadapan dengan murka Allah Shubhaana wa ta'ala”. Demikian ucapan beliau rahimahullah! .

1. Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nashara menghubungkan hari-hari besar mereka dengan peristiwa-peritiwa yang terjadi dan menjadikannya sebagai harapan baru yang dapat memberikan keselamatan, dan ini sangat tampak di dalam perayaan milenium baru (tahun 2000 lalu), dan sebagian besar orang sangat sibuk memperangatinya, tak terkecuali sebagian saudara kita -kaum muslimin- yang terjebak di dalamnya. Padahal setiap muslim seharusnya menjauhi hari besar mereka dan tak perlu menghiraukannya.

2. Perayaan yang mereka adakan tidak lain adalah kebatilan semata yang dikemas sedemikian rupa, sehingga kelihatan menarik. Di dalamnya berisikan pesan ajakan kepada kekufuran, kesesatan dan kemungkaran secara syar’i seperti: Seruan ke arah persatuan agama dan persamaan antara Islam dengan agama lain. Juga tak dapat dihindari adanya simbol-simbol keagamaan mereka, baik berupa benda, ucapan ataupun perbuatan yang tujuannya bisa jadi untuk menampakkan syiar dan syariat Yahudi atau Nasrani yang telah terhapus dengan datangnya Islam atau kalau tidak agar orang menganggap baik terhadap syariat mereka, sehingga bisa menyeret kepada kekufuran. Ini merupakan salah satu cara dan siasat untuk menjauhkan umat Islam dari tuntunan agamanya, sehingga akhirnya merasa asing dengan agamanya sendiri.

3. Telah jelas sekali dalil-dalil dari Al Quran, Sunnah dan atsar yang shahih tentang larangan meniru sikap dan perilaku orang kafir yang jelas-jelas itu merupakan ciri khas dan kekhususan dari agama mereka, termasuk di dalam hal ini adalah Ied atau hari besar mereka. Ied di sini mencakup segala sesuatu baik hari atau tempat yang diagung-agungkan secara rutin oleh orang kafir, tempat di situ mereka berkumpul untuk mengadakan acara keagamaan, termasuk juga di dalam hal ini adalah amalan-amalan yang mereka lakukan. Keseluruhan waktu dan tempat yang diagungkan oleh orang kafir yang tidak ada tuntunannya di dalam Islam, maka haram bagi setiap muslim untuk ikut mengagungkannya.

4. Larangan untuk meniru dan memeriahkan hari besar orang kafir selain karena adanya dalil yang jelas juga dikarenakan akan memberi dampak negatif, antara lain:

o Orang-orang kafir itu akan merasa senang dan lega dikarenakan sikap mendukung umat Islam atas kebatilan yang mereka lakukan.

o Dukungan dan peran serta secara lahir akan membawa pengaruh ke dalam batin yakni akan merusak akidah yang bersangkutan secara bertahap tanpa terasa.

oYang paling berbahaya ialah sikap mendukung dan ikut-ikutan terhadap hari raya mereka akan menumbuhkan rasa cinta dan ikatan batin terhadap orang kafir yang bisa menghapuskan keimanan.Ini sebagaimana yang difirmankan Allah, artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. 5:51)

5. Dari uraian di atas, maka tidak diperbolehkan bagi setiap muslim yang mengakui Allah Shubhaana Wa Ta'ala sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai Nabi dan rasul, untuk ikut merayakan hari besar yang tidak ada asalnya di dalam Islam, tidak boleh menghadiri, bergabung dan membantu terselenggaranya acara tersebut. Karena hal ini termasuk dosa dan melanggar batasan Allah Shubhaana Wa Ta'ala . Dia telah melarang kita untuk tolong-menolong di dalam dosa dan pelanggaran, sebagaimana firman Allah Shubhaana Wa Ta'ala , artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu di dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS. 5:2) kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya o-rang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya

6. Tidak diperbolehkan kaum muslimin memberikan respon di dalam bentuk apapun yang intinya ada unsur dukungan, membantu atau memeriahkan perayaan orang kafir, seperti : iklan dan himbauan; menulis ucapan pada jam dinding atau fandel; menyablon/membuat baju bertuliskan perayaan yang dimaksud; membuat cinderamata dan kenang-kenangan; membuat dan mengirimkan kartu ucapan selamat; membuat buku tulis; memberi keistimewaan seperti hadiah /diskon khusus di dalam perdagangan, ataupun(yang banyak terjadi) yaitu mengadakan lomba olah raga di dalam rangka memperingati hari raya mereka. Kesemua ini termasuk di dalam rangka membantu syiar mereka.

7. Kaum muslimin tidak diperbolehkan beranggapan bahwa hari raya orang kafir seperti tahun baru (masehi), atau milenium baru sebagai waktu penuh berkah (hari baik) yang tepat untuk memulai babak baru di dalam langkah hidup dan bekerja, di antaranya adalah seperti melakukan akad nikah, memulai bisnis, pembukaan proyek-proyek baru dan lain-lain. Keyakinan seperti ini adalah batil dan hari tersebut sama sekali tidak memiliki kelebihan dan keistimewaan di atas hari-hari yang lain.

8. Dilarang bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat atas hari raya orang kafir, karena ini menunjukkan sikap rela terhadapnya di samping memberikan rasa gembira di hati mereka. Berkaitan dengan ini Ibnul Qayim rahimahullah pernah berkata, “Mengucapkan selamat terhadap syiar dan simbol khusus orang kafir sudah disepakati keharamannya seperti memberi ucapan selamat atas hari raya mereka, dan yang semisalnya, meskipun orang yang mengucapkannya tidak terjerumus ke dalam kekufuran, namun ia telah melakukan keharaman yang besar, karena sama saja kedudukannya dengan mengucapkan selamat atas sujudnya mereka kepada salib. Bahkan di hadapan Allah, hal ini lebih besar dosanya daripada orang yang memberi ucapan selamat kapada peminum khamar, pembunuh, pezina dan sebagainya. Dan banyak sekali orang Islam yang tidak memahami ajaran agamanya, akhirnya terjerumus ke dalam hal ini, ia tidak menyadari betapa besar keburukan yang telah ia lakukan. Dengan demikian, barang siapa memberi ucapan selamat atas kemaksiatan, kebid’ahan dan lebih-lebih kekufuran, maka ia akan berhadapan dengan murka Allah”. Demikian ucapan beliau rahimahullah!

9. Setiap muslim harus merasa bangga dan mulia dengan hari rayanya sendiri termasuk di dalam hal ini adalah kalender dan penanggalan hijriyah yang telah disepakati oleh para shahabat, sebisa mungkin kita pertahan kan penggunaannya, walau mungkin lingkungan belum mendukung. Kaum muslimin sepeninggal shahabat hingga sekarang (sudah 14 abad), selalu menggunakannya dan setiap pergantian tahun baru hijriyah ini, tidak perlu dengan mangadakan perayaan-perayaan tertentu.

Demikianlah sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap mukmin, hendaknya ia selalu menasehati dirinya sendiri dan berusaha sekuat tenaga menyelamatkan diri dari apa-apa yang menyebabkan kemurkaan dan laknat Allah. Hendaknya ia mengambil petunjuk hanya dari Allah Shubhaana wa ta'ala dan menjadikan Dia sebagai penolong. (Al-Balagh Edisi 23/21 Dulqa'dah 1426H)

(Disarikan dari: Fatwa Komisi Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi tentang Perayaan tahun baru. Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Anggota: Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Ghadyan, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Syakh Shalih bin Fauzan Al Fauzan )

http://www.wahdah.or.id/

Ikhwah Kecanduan

Awalnya terasa canggung, lalu mulai coba-coba, akhirnya menjadi kebiasaan, dan kemudian kecanduanlah jadinya. Ternyata ikhwah pun menjadi penderitanya …


Militansi adalah sikap diri. Masuk menjadi nilai kepribadian. Jika upaya pembiasaannya dilakukan, maka ia akan terpelihara sebagai karakter. Namun jika terpalingkan oleh aktivitas lain, kemudian aktivitas tersebut juga menjadi kebiasaan, maka akan menjadi karakter pengganti. Perlahan militansi akan berkurang. Sampai akhirnya melemah dan hilang.



Dua ilustrasi berikut semoga mendapatkan catatan ringan dari setiap kita. Sebab bagaimanapun terkesan ringan, ilustrasi tersebut tetap menyita produktifitas dan berpengaruh terhadap kondisi diri kita.



Sinetron atau Film

Awalnya mungkin kebetulan tidak ada acara. Daripada bengong lebih baik mengaktifkan indra audiovisual. Maka layar kaca menjadi alternatif. Kebetulan acaranya adalah sinetron atau film. Dari kebetulan itu, kemudian perlahan menjadi candu, sedikit atau banyak.

Kecanduan sinetron atau film tidak hanya dalam bentuk ‘nongkrong’ di depan kotak segi empat, melainkan juga ke dalam otak dan pandangan kehidupan. Tidak jarang gambaran kehidupan yang terbentuk di kepala kita adalah penyesuaian terhadap skenario sinetron. Menarik ketika seorang ikhwah bergegas pulang sekedar agar tidak ketinggalan sebuah film atau sinetron.

Tentu saja kajian kita bukanlah bab boleh tidaknya menonton. Melainkan berkaitan dengan masalah ‘candu’ yang secara perlahan dan konsisten mengalihkan kita dari aktivitas-aktivitas produktif lain yang berdampak kepada militansi dakwah.



Games

Jenis ini adalah jenis ‘candu’ yang paling hebat. Bahkan dalam keadaan serius pun ia bisa muncul dengan tanpa disadari. Menjangkiti paling banyak aktivis Islam. Awalnya mungkin sekedar pengisi kejenuhan. Namun akhirnya menjadi aktivitas dominan. Bahkan tidak jarang menyita perhatian dan konsentrasi yang lebih produktif untuk dakwah.

Baik di dunia kerja, di kampus maupun di rumah-rumah para aktivis, jenis ‘candu’ ini dapat ditemui dengan mudah. Bahkan begitu populernya hingga di kantong-kantong celana aktivis terdapat minimal dua jenis model games.

Inilah yang secara perlahan menggeser aktivitas produktif dakwah semisal membaca, diskusi, menulis, dan sejenisnya, menjadi games.



Demikianlah dua aktivitas yang sangat sederhana, namun tanpa disadari menjadi candu pergerakan dakwah. Dan masih banyak lagi yang lainnya; internetan, facebook-an, SMS-an, banyak kumpul cerita dan bercanda, suka jalan-jalan, banyak tidur, dan seterusnya. Contoh-contoh diatas mungkin hanya sekelumit fenomena keseharian kita. Bahwa agenda-agenda produktif kita secara tidak sadar telah kita gantikan dengan fenomena tersebut. Akibatnya muncul fenomena lain dimana seorang aktivitas tidak lagi merasakan nikmatnya berdakwah, mudah melemparkan tugas ke orang lain, sering lupa dengan komitmen dakwahnya, bahkan sampai pada level tidak lagi mau peduli dengan kegiatan-kegiatan dakwah walaupun sang aktivis masih suka datang ke masjid.


Agenda-agenda produktif kita secara tidak sadar telah hilang atau bergeser dengan fenomena tersebut. Hingga jika hati kita semakin lemah dan kekuatan jiwa kita semakin berkurang, bagaimana mungkin kita berharap prestasi yang sama dengan yang dicapai musuh. Jika hari ini kita dapatkan kualitas dakwah kita menurun, maka cobalah untuk mengevaluasi kesehatan dakwah kita. Jangan sampai kita semua termasuk ikhwah-ikhwah yang kecanduan. Sendiri maupun kolektif. Wallaahul_musta’aan.

02 Februari 2011

Perbuatan Manusia Di Kuburan

Perbuatan manusia di sisi kuburan dan pada saat ziarah kubur ada tiga macam



Pertama : Masyru’ (Disyari’atkan)

Yaitu menziarahi kubur untuk mengingat akhirat, memberi salam pada penghuni kubur dan mendoakan kebaikan untuk mereka. Diantara dalilnya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

كنتُ نهيتكم عن زيارة القبور، فمن أراد أنْ يزورَ فليزرْ

“Dahulu aku melarang kalian menziarahi kubur. Barangsiapa yang ingin berziarah, hendaklah dia melakukannya”. [HR. Ahmad dan an-Nasa’i)

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

زوروا القبور فإنها تذكر الموت

“Ziarahilah kubur, karena hal itu akan mengingatkan kepada kematian” [HR. Muslim]

Dari Sulaiman bin Buraidah dari ayahnya, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan mereka jika pergi ke kuburan untuk mengucapkan :

السلام عليكم أهل الديار من المؤمنين و المسلمين، و إنا إن شاء الله للاحقون، نسأل الله لنا و لكم العافية

“Keselamatan atas kalian wahai penduduk negeri dari kalangan orang-orang mukmin dan orang-orang Islam. Sesungguhnya kami –insyaallah- pasti akan menyusul. Kami memohon keafiatan untuk kami dan kalian”. [HR. Muslim]


Kedua : Bid’ah

Yang menafikan kesempurnaan tauhid, yang merupakan salah satu wasilah yang mengantarkan kepada kesyirikan. Perbuatan bid’ah ini bertujuan untuk beribadah dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah di sisi kuburan, atau bermaksud untuk tabarruk (mencari berkah), atau menghadiahkan pahala, mendirikan bangunan diatasnya, mengapur, memberikan penerangan, menjadikannya sebagai masjid/tempat ibadah, mengadakan perjalanan (tour) kepadanya, dan lain-lain, yang telah jelas larangannya, atau sama sekali tidak asalnya dalam Syari’at.

Ibnu Abbas dan sebagian Salaf menyebutkan dalam tafsiran Firman Allah dalam surat Nuh ayat 21-23 :

”Dahulu mereka adalah orang-orang shalih di kaumnya Nabi Nuh ‘alaihissalam. Ketika orang-orang tersebut meninggal, kaumnya beri’tikaf di kuburan mereka, kemudian mereka membuatkan patungnya. Setelah berlalu waktu yang panjang, mereka pun menyembahnya. Inilah permulaan penyembahan terhadap patung. Mereka telah mengumpulkan dua fitnah; yaitu fitnah kubur dan fitnah patung”.

Dalam Shahih Muslim, dari Jundub ibnu Abdillah bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lima hari sebelum kematiannya :

ألا و إن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبياءهم مساجد، ألا فلا تتخذوا القبور مساجد، فإني أنهاكم عن ذلك

“Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai tempat ibadah. Sekali-kali jangan kalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Sesungguhnya aku melarang kalian dari perbuatan tersebut”.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlus Sunan, dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah kubur, menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah dan membuatkan penerangan.

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapur kuburan dan mendirikan bangunan diatasnya.

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapur kuburan dan menulis sesuatu padanya.

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Abu Martsad al-Ghanawi, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لا تجلسوا على القبور و لا تصلوا إليها

“Jangan kalian duduk diatas kuburan dan jangan shalat menghadapnya”

Dari Abu Sa’id, ia berkata : Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

الأرض كلها مسجد إلا المقبرة و الحمام

“Bumi seluruhnya adalah tempat sujud kecuali kuburan dan kamar mandi”. [HR. Ahmad dan Ahlus Sunan]


Ketiga : Syirik

Perbuatan yang bisa menghapuskan tauhid seorang muslim dan mengeluarkan dia dari ke-Islamannya. Seperti meminta dan berdoa kepada penghuni kubur, meyakini bahwa sang penghuni kubur mampu memberi manfaat atau menolak kemudharatan, bersujud kepada sang penghuni kubur, dan lain-lain dari berbagai macam ibadah yang hanya layak dipersembahkan untuk Allah semata.

Innaa li_Llaahi wa innaa ilaihi raaji'uun.