"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

28 Februari 2013

Apakah Niat termasuk Syarat dalam Menjama' Shalat?

Apakah niat merupakan syarat untuk bolehnya menjama' shalat? Kebanyakan orang melakukan shalat Maghrib tanpa niat jama' dan setelah shalat Maghrib para jama'ah bermusyawarah dan mereka memandang perlunya menjama' kemudian mereka melakukan shalat isya'.

*****

Dijawab oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu :

Ulama berselisih tentang masalah tersebut dan pendapat yang kuat (rajih) bahwa niat bukanlah syarat saat memulai shalat pertama. Bahkan, dibolehkan menjama' setelah selesai dari shalat pertama jika terdapat syarat (alasan) pembolehannya yaitu rasa takut, sakit atau hujan. Wa_Llahu al-muwaffiq.

Sumber : Tuhfah al-Ikhwan bi Ajwibah Muhimmah Tata'allaq bi Arkan al-Islam, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu, hal. 125.

Shalatnya Imam tanpa Wudhu

Seorang imam shalat memimpin jama'ahnya tanpa wudhu karena lupa, bagaimana hukum shalat tersebut dalam keadaan-keadaan berikut;
  1. Jika dia ingat saat sedang shalat?
  2. Jika dia ingat setelah salam sebelum jama'ah berpisah?
  3. Jika dia ingat setelah jama'ah bubar?

*****

Dijawab oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu :

Jika dia tidak ingat kecuali setelah salam, maka shalat jama'ahnya sah, tidak ada kewajiban mereka (para makmum) untuk mengulanginya, akan tetapi imam wajib mengulangi shalatnya.

Adapun jika dia mengingatnya saat sedang shalat, maka dia mengambil pengganti yang akan menyempurnakan shalat jama'ah tersebut menurut yang paling kuat dari dua pendapat ulama dengan dalil kisah Umar radhiyallahu 'anhu ketika ia ditikam, ia memajukan Abdurrahman bin 'Auf yang menyempurnakan shalat mereka tanpa memulainya kembali dari awal. Wa bi_Llahi at taufiq.

Sumber : Tuhfah al-Ikhwan bi Ajwibah Muhimmah Tata'allaq bi Arkan al-Islam, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, hal. 113-114

27 Februari 2013

Haruskah Seimbang antara Shaf Kanan dan Shaf Kiri?

Pertanyaan :

Apakah shaf dimulai dari sebelah kanan atau dari belakang imam? Apakah disyari'atkan menyeimbangkan antara shaf kanan dan kiri? Dimana dikatakan : 'Seimbangkan shaf', sebagaimana yang dilakukan oleh banyak imam?

*****

Dijawab oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu :

Shaf dimulai dari tengah yang dekat ke imam. Sebelah kanan setiap shaf lebih utama daripada sebelah kirinya. Yang wajib adalah tidak membuat shaf (baru) hingga sempurna shaf yang sebelumnya, dan tidak mengapa jika orang-orang lebih banyak di sebelah kanan shaf. Dan tidak ada perlunya menyeimbangkan shaf (kanan dan kiri), bahkan perkara itu menyelisihi sunnah. Akan tetapi, tidak boleh membuat shaf kedua hingga sempurna shaf pertama, dan tidak yang ketiga hingga sempurna yang kedua, dan begitulah seterusnya shaf-shaf tersebut; dan juga telah sah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau memerintahkan hal itu.

--------------

Sumber : Tuhfah al-Ikhwan bi Ajwibah Muhimmah Tata'allaq bi Arkan al-Islam, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, hal 101. Diawasi pengumpulannya oleh Muhammad bin Syayi' bin Abdul Aziz asy-Syayi'

26 Februari 2013

Faktor yang Mendorong Dibuatnya Hadits Palsu

Pembuatan hadits-hadits palsu memiliki beberapa faktor yang mendorong para pelakunya melakukan perbuatan tercela tersebut, diantaranya :

1. Mendekatkan Diri kepada Allah Ta'ala

Yaitu dengan membuat hadits-hadits palsu yang memotivasi (targhib) manusia kepada amal-amal kebaikan dan menakut-nakuti mereka (tarhib) dari perbuatan munkar. Para pembuat hadits-hadits palsu dengan motif ini adalah orang-orang yang sangat dekat kepada sifat zuhud dan terkenal dengan keshalehannya (ahli ibadah). Mereka ini adalah seburuk-buruk para pembuat hadits palsu, karena manusia mudah tertipu dengan keshalehan mereka.

Beberapa yang terkenal diantara mereka adalah Maisarah bin Abdi Rabbih. Ibnu Hibban meriwayatkan dalam kitab adh-Dhu'afa' dari Ibnu Mahdi, ia berkata : Aku berkata kepada Maisarah bin Abdi Rabbih, "Darimana engkau datangkan hadits-hadits ini; 'Siapa membaca ini maka baginya pahala seperti ini'?" Ia menjawab, "Aku memalsukannya untuk memotivasi manusia!"

  
2. Membela Mazhab Tertentu

Terutama firqah-firqah yang memiliki kecenderungan kepada politik dan kekuasaan seperti Khawarij dan Syi'ah. Setiap firqah membuatkan hadits-hadits yang menguatkan pemikiran mazhabnya. Seperti hadits yang berbunyi,

علي خير البشر، من شكّ فيه كفرَ

"Ali adalah sebaik-baik manusia. Siapa yang ragu terhadapnya maka dia telah kafir."

3. Merusak Islam

Para pelakunya adalah orang-orang zindik yang tidak mampu terang-terangan untuk membuat makar terhadap Islam sehingga menempuh cara yang busuk seperti ini. Diantara mereka adalah Muhammad bin Sa'id asy-Syami al-Mashlub. Orang ini telah meriwayatkan dari Humaid, dari Anas secara marfu' (bersambung kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam),

أنا خاتم النبيين لا نبيّ بعدي إلا أن يشاء الله

"Aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku, kecuali jika Allah menghendaki."

4. Mendekatkan Diri kepada Para Penguasa

Ini dilakukan oleh sebagian orang yang lemah iman dengan membuatkan hadits-hadits yang cocok dengan keadaan para penguasa untuk menyenangkan mereka dan mendapatkan imbalannya. Seperti kisahnya Ghiyats bin Ibrahim an-Nakha'i al-Kufi bersama Amirul Mukminin al-Mahdi rahimahullahu, ketika dia datang kepada al-Mahdi sementara al-Mahdi sedang bermain-main dengan burung merpati. Ghiyats pun menyebutkan sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,

لا سبق إلا فى نصلٍ أو خفٍّ أو حافر أو جناح

"Tidak ada penghargaan kecuali dalam memanah, pacuan unta dan kuda serta burung.";

ia menambahkan kata ( جناح ) demi untuk mengambil hati al-Mahdi, tapi sayang, ternyata al-Mahdi mengenal hadits ini dan segera memerintahkan untuk menyembelih burung-burung tersebut. Ia berkata, "Akulah yang telah membuatnya melakukan hal tersebut.", dan kemudian mengusir orang itu.

5. Mencari Penghidupan dan Rezki

Seperti keadaannya tukang-tukang cerita yang mencari nafkah dengan bercerita kepada manusia di tempat-tempat keramaian, dan mulai menyebutkan sebagian kisah-kisah yang aneh dan menyenangkan agar manusia mau berkumpul untuk mendengarkan mereka dan memberikan mereka uang, seperti halnya seorang tokoh yang bernama Abu Sa'id al-Mada'ini.

6. Mencari Ketenaran dan Popularitas

Yaitu dengan menyebutkan hadits-hadits yang tidak ada pada seorang pun dari ulama-ulama hadits dengan membolak-balikkan sanadnya agar terlihat unik sehingga manusia pun mau mendengarkan mereka. Contoh untuk kasus ini adalah dua orang tokoh yang bernama Ibnu Abi Dihyah dan Hammad an-Nashibi.

7. Mazhab Firqah "al-Karramiyyah" dalam Memalsukan Hadits

Firqah (sekte) sesat al-Karramiyyah mendakwakan bolehnya membuat hadits-hadits palsu dalam masalah targhib dan tarhib. Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan pada sebagian jalan-jalan periwayatan hadits,

من كذب علي متعمدًا

"Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja.", yaitu pada riwayat yang menambahkan,

ليضلّ الناس

"Untuk menyesatkan manusia."

Akan tetapi, tambahan riwayat seperti ini tidak sah dalam padangan para pakar hadits.

Sebagian pengikut firqah al-Karramiyyah berkata, "Kami berdusta untuk Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,  bukan berdusta atas namanya." (?!). Dalih seperti ini sangat buruk dan sangat bodoh, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak butuh kepada para pendusta untuk menyiarkan Syari'at yang dibawanya.

Dakwaan al-Karramiyyah seperti ini menyelisihi ijma' (konsensus) kaum muslimin, bahkan Syaikh Abu Muhammad al-Juwaini rahimahullahu sampai memastikan kafirnya orang yang membuat hadits palsu.

8. Kekeliruan Sebagian Ahli Tafsir

Sebagian ahli tafsir keliru ketika menyebutkan hadits-hadits palsu dalam kitab-kitab tafsir mereka tanpa menjelaskan tentang kepalsuannya. Terutama hadits yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka'ab tentang fadha'il (keutamaan) surat per surat dari al-Quran. Diantara para ahli tafsir tersebut adalah ats-Tsa'labi, al-Wahidi, az-Zamakhsyari, al-Baidhawi dan asy-Syaukani.

---------------------

Sumber tulisan : "Taysir Mushthalah al-Hadits", Dr. Mahmud ath-Thahhan

25 Februari 2013

Apa yang Mesti Dilakukan terhadap Lembaran Mushaf yang Terbuang?

Pertanyaan :

Sering saya melihat lembaran-lembaran koran atau majalah di jalan-jalan, yang jika dibuka saya akan dapatkan padanya lafdzul jalalah (tulisan "Allah) atau ayat-ayat Quran. Apakah wajib jika saya melihat lembaran-lembaran tersebut untuk berhenti saat berkendaraan dan mengumpulkannya?

Jawab :

Jika Anda melihat sesuatu dari lembaran-lembaran yang terbuang di jalanan atau yang lainnya dan padanya ada sebutan nama Allah atau sesuatu dari al-Quran, wajib bagi Anda untuk mengambilnya dan mengangkatnya dari tempat yang hina tersebut dan memindahkannya ke tempat yang bersih dan terpelihara atau membakarnya.

(Fatwa no. 19620)

*****

Pertanyaan :

Saya memiliki mushaf, yang lembarannya sudah sobek, apa yang mesti saya lakukan padanya? Apakah boleh saya menguburkannya di tanah atau tidak?

Jawab :

Anda boleh menguburkannya di tanah dari sebuah masjid tertentu, dan boleh juga Anda membakarnya dengan mengikuti perbuatan Utsman radhiyallahu 'anhu.

(Fatwa no. 968)

------------------------

Sumber: www.alifta.net

20 Februari 2013

Putra Putri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam

Berkata Imam an-Nawawi rahimahullahu :

Beliau shallallahu 'alaihi wasallam memiliki 3 putra; al-Qasim, dengannya beliau berkuniyah (Abul Qasim, pen), dilahirkan sebelum nubuwwah (kenabian) dan wafat pada umur 2 tahun; Abdullah dan juga dinamakan ath-Thayyib dan ath-Thahir, karena dilahirkan setelah nubuwwah. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ath-Thayyib dan ath-Thahir anak yang selain Abdullah, namun pendapat pertama lebih benar; dan putra ketiga adalah Ibrahim, dilahirkan di Madinah pada tahun ke 8 dan wafat di Madinah pada tahun 10 dan saat itu berumur 17 atau 18 bulan.

Dan beliau memiliki 4 orang putri;

Zainab, yang dinikahi oleh Abu al-'Ash bin ar-Rabi' bin Abdul 'Uzza bin Abd Syams, yang juga merupakan putra bibinya (saudari ibu), Halah bintu Khuwailid.

Fathimah, yang dinikahi Ali bin Abi Thalib.

Ruqayyah dan Ummu Kultsum, yang keduanya dinikahi oleh Utsman bin 'Affan. Utsman menikahi Ruqayyah kemudian Ummu Kultsum, dan keduanya wafat saat masih berstatus sebagai istrinya, dan karenanya Utsman digelari Dzun Nurain (Yang memiliki dua cahaya). Ruqayyah wafat pada hari peperangan Badar di bulan Ramadhan tahun 2 H, sementara Ummu Kultsum wafat pada bulan Sya'ban tahun 9 H.

Kesimpulannya, putri-putri beliau 4 tanpa ada perselisihan, sementara putra berjumlah 3 orang menurut pendapat yang paling benar. Yang pertama dilahirkan adalah al-Qasim, kemudian Zainab, kemudian Ruqayyah, Kemudian Ummu Kultsum, dan kemudian Fathimah. Dalam pendapat lain: Fathimah lebih tua daripada Ummu Kultsum.

Semua putra-putri ini berasal dari Khadijah kecuali Ibrahim yang berasal dari Mariyah al-Qibthiyyah. Semuanya juga wafat sebelum Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kecuali Fathimah, yang masih hidup setelah beliau selama 6 bulan menurut pendapat yang paling benar dan masyhur.

Sumber : Waqafat Tarbawiyyah ma'a as-Sirah an-Nabawiyyah, Syaikh Ahmad Farid, dengan mengutip dari Imam an-Nawawi rahimahullahu dalam Tahdzib al-Asma' wa al-Lughat.

16 Februari 2013

Menyingkap Aurat untuk Pemeriksaan Medis

Saya telah menikah dengan seorang wanita semenjak 3 tahun lalu dan belum dianugerahi anak. Saya sangat ingin memeriksakan istri saya ke dokter, akan tetapi tidak ada di tempat kami dokter selain dokter laki-laki. Apakah boleh dokter tersebut memeriksanya? Sementara istri saya menolak untuk disingkap auratnya.

*****

Jawab :

Boleh baginya (si istri) memeriksakan dirinya kepada seorang dokter yang ahli untuk mengetahui sebab tidak terjadinya kehamilan jika memang tidak memungkinkan adanya seorang dokter spesialis wanita. Wa bi_Llahi at taufiq.

وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم


Al-Lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta'

Ketua,
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Wakil Ketua,
Abdul Razzaq 'Afifi

Anggota,
Abdullah binGhudayyan
Abdullah bin Qu'ud

-------------------------

ٍSumber : Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah, al-Majmu'ah al-Ula, XXV/112, fatwa no. 3598
www.alifta.net


Memberi Upah untuk Mengajarkan Al-Quran

Apa hukumnya upah para guru yang mengajarkan Kitabullah kepada manusia?

*****

Jawab :

Hukum upah para guru yang mengajarkan manusia Kitab Allah tidaklah mengapa, dengan keumuman dalil sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

إن أحق ما أخذتمْ عليه أجرًا كتاب الله

"Sesungguhnya, yang paling berhak untuk kalian ambil atasnya upah adalah Kitab Allah." [1]

Wa bi_Llahi at taufiq. [2]

وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم


Al-Lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta'

Ketua,
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Wakil Ketua,
Abdul Razzaq 'Afifi

Anggota,
Abdullah bin Qu'ud
Abdullah bin Ghudayyan

-------------------------

[1] HR. Al-Bukhary, no. 5737, Kitab ath-Thibb
[2] Fatawa al-Lajnah, al-Majmu'ah al-Ula, IV/130

www.alifta.net

14 Februari 2013

Nabi Yang Terpilih

Allah Ta'ala berfirman,

الله أعلمُ حيث يجعلُ رسالتهُ

"Allah lebih mengetahui dimana dia menempatkan tugas kerasulan." (QS. al-An'am ayat 124),

Ayat ini berbicara tentang pilihan dalam persoalan nubuwwah (kenabian). Dalam hadits shahih disebutkan,

أن الله اصطفى كنانة من ولد إسماعيل، واصطفى قريشا من كنانة، واصطفى من قريش بني هاشم، واصطفاني من بني هاشم

"Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari anak keturunan Isma'il, memilih Quraisy dari Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Quraisy, dan memilihku dari Bani Hasyim." (HR. Muslim);

dan ini adalah pilihan dari sisi nasab.

Dalam hadits lain disebutkan,

بعثتُ من خير قرون بني آدم قرنًا فقرنٍ حتى كنتُ من القرن الذي كنت فيه

"Aku diutus dari sebaik-baik generasi anak Adam, generasi demi generasi, hingga aku (dipilih) dari generasi yang aku berada padanya.";

ini adalah pilihan tentang zaman.

Para ahli nasab telah bersepakat tentang nasabnya beliau sampai ke Adnan, walaupun tidak ada hadits shahih yang menyebutkan tentang seluruh nasabnya. Akan tetapi telah sah sebagian hadits-hadits tersebut. Dan siapa yang mengetahui perhatian dan kepedulian orang-orang Arab terhadap nasab (garis keturunan) pada masa nubuwwah dan masa-masa sebelumnya; niscaya dia akan mendapatkan bahwa silsilah nasab beliau sampai ke Adnan tidak terlalu butuh kepada keotentikan nash (dalil), selama para ulama nasab dan pakar-pakar sejarah telah menyepakatinya, dan selama juga hal itu merupakan perkara yang umum diketahui pada masa tersebut.

Nasab beliau yang disebutkan para ulama nasab adalah; Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muththalib bin Hasyim bin Abdi Munaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'add bin Adnan.

Ibunya adalah Aminah bintu Wahb, dari Bani Zuhrah.

Abu Sufyan -saat masih kafirnya- telah mengakui kemuliaan nasab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di hadapan Heraklius ketika dia bertanya, "Bagaimana nasabnya pada (kaum) kalian?" Abu Sufyan menjawab, "Di kami, ia adalah orang yang memiliki nasab (mulia)." Berkata Heraklius, "Demikianlah para rasul, dibangkitkan dari nasab (termulia) kaumnya." (HR. al-Bukhary)

-------------------

Sumber : As-Sirah an-Nabawiyyah ash-Shahihah, Muhawalah li Tathbiq Qawa'id al-Muhadditsin fi Naqd Riwayat as-Sirah an-Nabawiyyah, Dr. Akram Dhiya' al-Umari

13 Februari 2013

Jika Tidak Dikumandangkan Adzan di Awal Waktu

Sebagian orang mengatakan : Jika belum dikumandangkan adzan di awal waktu, maka tidak ada alasan untuk adzan kembali, karena adzan adalah pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat. Bagaimana pendapat Syaikh yang mulia tentang hal tersebut dan apakah disyari'atkan adzan bagi orang yang shalat sendirian dalam safar (perjalanan)?

*****

Jika belum dikumandangkan adzan di awal waktu, tidak disyari'atkan adzan lagi setelah itu jika di tempat (negeri) tersebut ada mu'azzin-mu'azzin (yang telah mengumandangkan adzan) selain dia. Tujuan yang diinginkan telah tercapai. Jika jarak keterlambatan itu tidak terlalu jauh, tidak mengapa untuk dikumandangkan adzan.

Adapun jika di satu negeri tidak ada mu'azzin selain dia, maka wajib baginya mengumandangkan adzan walaupun terlambat pada sebagian waktu. Karena adzan dalam keadaan itu hukumnya fardhu kifayah, dan belum ada yang mengumandangkannya maka wajib baginya karena dialah yang bertanggung jawab. Juga dikarenakan manusia umumnya sedang menunggu (adzan)nya.

Bagi musafir tetap disyari'atkan baginya adzan walaupun sendirian. Dengan dalil apa yang ada dalam Ash-Shahih dari Abu Sa'id radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata kepada seorang laki-laki, "Jika engkau berada bersama kambing-kambingmu dan di pedalaman yang jauh, tinggikan suaramu dengan adzan. Karena tidaklah mendengar suara mu'azzin tersebut, baik jin atau manusia ataupun sesuatu, melainkan dia akan menjadi saksi baginya pada Hari Kiamat."; dan beliau menyebutkan bahwa hadits itu berasal dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan juga dengan keumuman hadits-hadits lainnya tentang disyari'atkannya adzan dan faedah-faedahnya.

----------------------

Sumber : Tuhfah al-Ikhwan bi Ajwibah Muhimmah Tata'allaq bi Arkan al-Islam, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu


08 Februari 2013

Nama-Nama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam

Banyaknya nama menunjukkan akan keagungan yang dinamakan. Nama-nama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menunjukkan akan makna-makna yang sangat agung. Nama yang paling agung yang menunjukkan akan pribadi beliau secara umum adalah "Muhammad". Itulah nama yang Allah sebutkan dalam al-Quran al-Karim. Allah Ta'ala berfirman,

محمد رسول الله والذين معه أشداء على الكفار رحماء بينهم

"Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dia keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka." (QS. al-Fath ayat 29)

Firman-Nya,

ما كان محمد أبا أحدٍ من رجالكم ولكنْ رسول الله وخاتمَ البيين

"Muhammad itu bukanlah bapak salah seorang diantara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi." (QS. Muhammad ayat 2)

Firman-Nya,

وما محمد إلا رسول قد خلت من قبله الرسل أفإن مات أو قتل انقلبتم على أعقابكم

"Dan Muhammad hanyalah seorang rasul; sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh, kamu berbalik ke belakang (murtad)?" (QS. Alu Imran ayat 144)

Nama ini adalah nama yang paling mulia. Berkata Hassan bin Tsabit radhiyallahu 'anhu,

وشق له من اسمه ليــــجله # فذو العرش محمود وهذا محمد

Dan Dia mengambil untuknya dari nama-Nya demi untuk memuliakannya
Yang Memiliki 'Arsy (Dzat yang) terpuji dan ini adalah Muhammad

Potongan bait ini adalah milik Abu Thalib, dan Hassan radhiyallahu 'anhu memasukkannya dalam qashidah (sya'ir)nya.

Diantara nama-nama beliau adalah "Ahmad", dan itulah nama yang disebutkan Isa 'alaihissalam saat memberikan kabar gembira tentang diutusnya beliau shallallahu 'alaihi wasallam, sebagaimana yang dikabarkan Allah tentang perkataannya,

ومبشرًا برسولٍ يأتي من بعدي اسمه أحمد

"Dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad." (QS. ash-Shaff ayat 6)

Diantara nama-namanya adalah "Al-Mutawakkil", sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash radhiyallahu 'anhuma ketika menyebutkan sifat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam Taurat,

أنت عبدي ورسولي، سميتك المتوكل

"Engkau adalah hamba-Ku dan utusan-Ku, Aku menamakanmu Al-Mutawakkil..." (HR. al-Bukhary)

Diantara nama-namanya adalah apa yang disebutkan dalam hadits Jubair bin Muth'im radhiyallahu ta'ala 'anhu, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

إن لي أسماء : أنا محمد، وأنا أحمد، وأنا الماحي الذي يمحو الله بي الكفر، وأنا الحاشر الذي يحشر الناس على قدمي، وأنا العاقب الذي ليس بعده أحد

"Sesungguhnya aku memiliki nama-nama; aku Muhammad, aku Ahmad, aku adalah al-Maahy yang dengan diriku Allah menghapuskan kekufuran, aku adalah Al-Haasyir yang manusia dikumpulkan di bawah kakiku, dan aku adalah Al-'Aaqib yang tidak ada seorang pun yang sesudahnya." (Hadits muttafaq 'alaihi)

Dalam hadits Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan kepada kami nama-nama dirinya. Diantaranya ada yang telah kami hafal, dan diantaranya ada yang tidak kami hafal.. Beliau bersabda,

أنا محمد وأحمد والمقفي والحاشر ونبي التوبة ونبي الرحمة

"Aku Muhammad, Ahmad, Al-Muqaffi, Al-Hasyir, Nabiyyu at-Taubah dan Nabiyyu ar-Rahmah." (HR. Muslim)

Makna nama beliau "Muhammad" diambil dari "al-hamd" (pujian), yang asalnya adalah ism maf'ul dari al-hamd. Kata ini mengandung pujian atas orang yang dipuji, kecintaan, pemuliaan dan pengagungan. Dibentuk dalam wazn (timbangan) "mufa'-'al" ( مُفَعَّل ) seperti halnya "mu'adzhdzham", "muhabbab", "musawwad", "mubajjal" dan yang sejenisnya.

Dikarenakan bentuk ini untuk menunjukkan hal yang banyak, jika diambil darinya ism fa'il, maka maknanya adalah orang yang datang darinya perbuatan tersebut berulang-ulang. Jika diambil darinya ism maf'ul, maknanya adalah orang yang banyak dan selalu berulang terjadinya perbuatan tersebut untuknya, yang satu setelah yang lainnya, entah karena keberhakannya (istihqaqan) atau terjadi dengan sendirinya (wuqu'an). Maka, "Muhammad" dialah yang sangat banyak pujian orang-orang yang memuji untuknya berulang-ulang, atau dialah yang berhak untuk dipuji berulang-ulang.

(Sumber : "Haqiqah Syahadah anna Muhammadan Rasulullah", Samahat asy-Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad Alu asy-Syaikh, Mufti Agung Kerajaan Saudi Arabia)

07 Februari 2013

Membaca Al-Quran Tanpa Wudhu

Apakah sah bagi seseorang membaca al-Quran tanpa berwudhu? Apa dalilnya? Apakah ada perselisihan dalam masalah ini? Manakah pendapat yang paling kuat?

*****

Jawab :

Boleh bagi seorang muslim membaca al-Quran tanpa menyentuh mushaf sementara dia dalam keadaan berhadats kecil tanpa ada perselisihan di kalangan ulama. Karena tidak ada dalam Syari'at dalil yang melarang hal itu dan hukum asalnya adalah boleh, akan tetapi membacanya dalam keadaan wudhu lebih utama.

Wa bi_Llahi at taufiq.


Al-Lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta'.
(al-Majmu'ah al-Ula, IV/hal. 114, fatwa no. 4588)
www.alifta.net


Siapakah yang Memberi Nama Surat-Surat Al-Quran?

Siapakah yang menamakan surat-surat al-Quran? Apakah itu Rasul shallallahu 'alaihi wasallam ataukah siapa?

*****

Jawab :


Kami tidak mengetahui dalil dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang menunjukkan penamaan surat-surat Al-Quran seluruhnya. Akan tetapi, terdapat dalam beberapa hadits shahih penamaan sebagiannya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti al-Baqarah dan Alu Imran. Adapun surat-surat lainnya, yang nampak penamaan itu datang dari para Shahabat radhiyallahu 'anhum. Wa bi_Llahi at taufiq.

وصلى الله على نبينا محمد وآل وصحبه وسلم


Al-Lajnah ad-Da'imah li al-Buhuts al-'Ilmiyyah wa al-Ifta'

Ketua,
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Wakil Ketua,
Abdul Razzaq Afifi

Anggota,
Abdullah bin Ghudayyan
Abdullah bin Qu'ud

------------------------

Sumber : http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters

04 Februari 2013

Berinteraksi dengan Kerabat yang Murtad

Apa hukumnya silaturahim kepada kerabat yang murtad? Bagaimana pula hukum menziarahinya? Apakah boleh bercakap dengannya serta duduk-duduk bersamanya? Jika seandainya itu boleh, apa saja batasan-batasannya? Jika saya belum menegakkan hujjah (argumen) atas dirinya karena dia suka mengikuti hawa nafsunya; apakah saya harus mempergaulinya layaknya pergaulan terhadap orang murtad atau tidak?

*****

Jawab :

Alhamdulillah,

Pertama,

Murtad adalah orang yang keluar dari Islam kepada kekafiran, dengan sebuah ucapan, perbuatan, hal meninggalkan atau keyakinan.

Tidaklah setiap orang yang jatuh pada kekafiran otomatis menjadi kafir murtad. Terdapat beberapa uzur yang bisa saja diberikan kepada seorang muslim sehingga tidak dihukumi dengan kekafiran. Diantaranya adalah kejahilan, ta'wil, keterpaksaan dan kekeliruan.

Sebagian jenis-jenis riddah (kemurtadan) tidak diberikan uzur kepada pelakunya; seperti mencaci Allah Ta'ala, atau mencaci rasulNya shallallahu 'alaihi wasallam, atau terang-terangan dengan kekafiran; dengan kesepakatan orang-orang awam dari kaum muslimin dan para ulama bahwa perkara-perkara tersebut termasuk kekafiran dan murtad dari Islam. Siapa yang mengerjakan sesuatu dari perkara-perkara itu dan tidak bertaubat, maka dia telah murtad.

Kedua,

Orang yang telah pasti murtadnya dengan keyakinan, dan orang itu termasuk kerabat, maka dia dipergauli dengan hal-hal berikut;

  1. Berlepas diri dari apa yang dilakukannya dari kekafiran dan kemurtadan
  2. Haram berwala' (memberikan loyalitas), menyayangi dan mencintainya
  3. Wajib menasehati dan mendakwahinya kepada Allah
  4. Boleh menziarahinya, berbicara kepadanya dan duduk bersamanya dengan tujuan untuk mendakwahinya dan semangat dalam memberikan hidayah kepadanya, bagi orang yang ahli dalam hal tersebut
  5. Boleh menjalin silaturahim kepadanya dengan memberikan hadiah atau yang semacamnya agar dia mau bertaubat dan kembali kepada petunjuk
  6. Mengisolir dan memboikotnya jika dia terus dalam kesesatannya, khususnya jika ada mashlahat dalam boikot tersebut, dengan tujuan untuk menyingkap keburukannya, atau memberikan pelajaran dan peringatan bagi kerabat lainnya untuk tidak mengikutinya
Kesimpulannya; Anda harus memahami bahwa orang yang murtad sangat dibenci di sisi Allah Ta'ala, Syari'at tidak mentolerir dirinya terus berada dalam kemurtadan, dan dengan kemurtadan itu dia telah menggugurkan apa yang pantas dia dapatkan dari penghormatan dan hak-hak yang wajib atas kaum muslimin (terhadap dirinya). Sementara di sisi lain, berdakwah kepada Allah dan antusias terhadap hidayah para hamba termasuk amalan yang terbaik dan akhlak yang terpuji. Maka, diatas kedua prinsip inilah landasan dalam pergaulan; membenci orang kafir karena agamanya dan mendakwahinya serta berusaha keras untuk menyelamatkannya dari kekafiran.

Wallahu a'lam.

---------------------------

Disadur dari; Islam Soal Jawab
http://islamqa.info/ar/ref/169985

Dengan Apa Seorang Da'i Memulai Dakwahnya?

Jama'ah-jama'ah Islamiyah di sini berbeda-beda dalam prioritas pertama dakwah yang wajib bagi para da'i untuk memulainya; apakah dimulai dari sisi politik, aqidah atau akhlak? Apa saja perkara-perkara yang menurut Anda harus dimulai dalam dakwah?

*****

Jawab :

Disyari'atkan memulainya dengan aqidah sebagaimana yang dimulai oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan dimulai oleh semua rasul. Dan juga dengan dalil hadits Mu'adz,

إنك ستأتي أقواماً من أهل الكتاب ، فإذا جئتهم فادعهم أن يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله ، فإن هم أطاعوك بذلك فأخبرهم أن الله قد فرض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة ، فإن هم أطاعوك بذلك فأخبرهم إن الله قد فرض عليهم صدقة تأخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم ، فإن هم أطاعوك بذلك فإياك وكرائم أموالهم ، واتق دعوة المظلوم فإنه ليس بينها وبين الله حجاب

"Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum-kaum dari kalangan Ahli Kitab. Jika engkau mendatangi mereka, dakwahilah mereka untuk bersyahadat bahwa tiada ilah (yang hak) kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka patuh kepadamu dalam perkara itu, kabarkanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu pada sehari dan semalam. Jika mereka telah patuh kepadamu dengan hal itu, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka sedekah, yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakirnya. Jika mereka patuh terhadapmu, maka jauhilah harta-harta berharga mereka. Takutlah kepada doa orang yang terzalimi, karena tidak ada batas antara doa tersebut dengan Allah."; jika yang didakwahi adalah orang-orang kafir.

Adapun jika yang didakwahi adalah orang-orang muslim, maka dijelaskan kepada mereka apa yang tidak mereka ketahui dari hukum-hukum agama dan apa yang mereka lalaikan darinya. Dan hendaknya sang da'i memperhatikan prioritas yang terpenting kemudian yang penting.

Dikutip dari Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah, XII/hal.238


Islam Soal Jawab
http://islamqa.info/ar/ref/10261