Sponsors

11 Oktober 2014

Hadits Shahîh

Kita telah memahami bahwa jika ditinjau dari sisi jumlah jalan periwayatankhabar al-Âhâd terbagi tiga, yaitu masyhur, ‘aziz dan gharib.

Sementara ditinjau dari sisi kekuatan dan kelemahan periwayatannyakhabar al-Âhâd (baik itu yang masyhur, ‘aziz atau gharib) terbagi dua yaitu maqbûl (diterima) dan mardûd (tertolak).

Al-Khabar al-Maqbul dari sisi perbedaan tingkatannya terbagi kepada dua bagian pokok, yaitu shahîh dan hasan. Dan keduanya terbagi lagi masing-masingnya pada dua bagian, yaitu lidzâtihi dan ligharihi.


Berikut adalah penjelasannya dan kita mulai dengan pembahasan tentang hadits shahih.

Pengertian Hadits Shahîh

Ash-shahih ( الصحيح ) menurut bahasa lawan kata dari ( السقيم ) yaitu sakit.

Menurut istilah :

ما اتصل سنده بنقل العدل الضابط، عن مثله إلى منتهاه، من غير شذوذ ولا علة

Apa yang bersambung sanadnya dengan nukilan periwayatan seorang yang ‘adl dan dhâbith, dari orang yang sepertinya hingga ke penghujung sanad, tanpa adanya syudzûdz dan ‘illah.

Penjelasan :

Definisi diatas mengandung lima perkara yang wajib ada sehingga sebuah hadits dapat dihukumi sebagai hadits shahih, yaitu :

1. Sanad yang bersambung. Maknanya adalah bahwa setiap perawi dari perawi-perawi hadist itu telah mengambilnya secara langsung dari orang yang diatasnya, sejak permulaan sanad sampai akhirnya.

2. ‘Adâlah para perawi. Yaitu bahwa setiap perawinya memiliki sifat-sifat sebagai seorang muslim, baligh, berakal, tidak fasik dan tidak melanggar murû-ah (hal-hal yang berkait dengan etika dan kepantasan)

3. Dhabth para perawi. Yaitu bahwa setiap perawinya memiliki dhabth yang sempurna, entah dhabth shadr ataupun dhabth kitab.

Dhabth shadr adalah kemampuan seorang perawi menyebutkan hafalannya kapan saja dia inginkan atau kapan diminta.

Dhabth kitab adalah ketelitian seorang perawi dalam menjaga bukunya sampai dia menyampaikan hadits-haditsnya.

4. Tidak adanya syudzûdz, yaitu haditsnya tidak syâdz. Syudzûdz maknanya adalah seorang perawi tsiqah (yang sangat terpercaya) menyelisihi orang yang lebih tsiqah darinya.

5. Tidak adanya ‘illah. Dan ‘illah adalah suatu sebab tersembunyi, yang menyebabkan cacat dalam suatu hadits, walaupun secara lahir hadits itu terlihat sebagai hadits yang baik.

Demikian lima syarat untuk shahihnya sebuah hadits. Jika salah satu syarat tersebut hilang, maka sebuah hadits tidak disebut sebagai hadits shahih.

Contoh :

Al-Bukhary meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dan berkata :

حدثنا عبد الله بن يوسف، قال : أخبرنا مالك، عن ابن شهاب، عن محمد بن جبير بن مطعم، عن أبيه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ فى المغرب بالطور

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, ia berkata : Telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, ia berkata : “Saya mendengar Rasulullah membaca surat ath-Thur dalam shalat Maghrib.” (Hadits no. 765)

Hadits ini shahih, karena;

1. Sanadnya bersambung, karena setiap perawinya mendengarkan langsung dari syaikh (guru)nya. Adapun ‘an’anah[1] Malik, Ibnu Syihab dan Ibnu Jubair, maka hal itu dibawa kepada kemungkinan bersambungnya sanad disebabkan keadaan mereka yang tidak dikenal sebagai mudallis.

2. Para perawi adalah orang-orang yang dikenal dengan ‘adâlah dan dhabth dalam periwayatan hadits, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama yang berkecimpung dalam ilmu al-Jarh wa at-Ta’dîl.

3. Tidak syâdz, karena tidak berbenturan dengan sesuatu yang lebih kuat darinya.

4. Tidak terdapat padanya sesuatu ‘illah pun.

Hukumnya

Hadits shahih wajib diamalkan dengan ijma’ ahli hadits serta para ulama ushul dan fiqh, yang merupakan hujjah (argumen) Syari’at, dan tidak ada kelapangan bagi seorang muslim kecuali menerima dan mengamalkannya.

(Sumber: Taysîr Mushthalah al Hadîts, ath-Thahhan)

—————————

[1] ‘An’anah adalah riwayat hadits dari seorang syaikh dengan menggunakan ungkapan عن (dari). Insyaallah akan ada perinciannya pada pembahasannya.

0 tanggapan:

Posting Komentar