"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

28 Juli 2013

Kisah-kisah Seputar Kelahiran Nabi ﷺ

Telah diriwayatkan berbagai macam kisah dan cerita seputar kehamilan Aminah saat mengandung Muhammad ﷺ. Disebutkan bahwa ia tidak pernah merasakan keringanan dan kemudahan seperti yang ia rasakan saat mengandung bayi tersebut. Disebutkan juga bahwa ia memakai jimat-jimat dari besi namun jimat-jimat itu terputus dengan sendirinya. Ia juga melihat kabar gembira dalam mimpinya tentang keagungan bayinya dan disuruh untuk menamakannya Muhammad. Dan saat bangun, ia mendapatkan sebuah lembaran dari emas yang berisi syair-syair agar ia berdoa dengannya. Kisah-kisah ini tidak ada satupun yang shahih.[1]

Demikian juga disebutkan dalam riwayat-riwayat yang sangat lemah bahwa saat bayi itu keluar, tidak seperti bayi pada umumnya, ia bertumpu dengan dua tangannya dan mengangkat kepalanya ke langit[2]. Dan bayi itu diletakkan di bawah sebuah periuk dari batu, dan periuk itu terbelah darinya agar pandangannya tetap mengarah ke langit[3]. Disebutkan bahwa bayi itu juga lahir dalam keadaan telah dikhitan[4], atau dikhitan oleh Jibril[5], atau dikhitan oleh kakeknya pada hari ketujuh yang kemudian membuat jamuan makan dan memberinya nama Muhammad.[6]

Kegembiraan Abdul Muttalib terhadap kelahiran cucu laki-lakinya dan kebaikannya untuk mengkhitan dan mengadakan jamuan makan menurut tradisi kaumnya adalah sebuah perkara yang wajar yang tidak membutuhkan dalil.

Disebutkan juga dalam riwayat-riwayat yang maudhû’ (palsu) tentang teriakan jin yang memberi kabar gembira tentang kelahirannya, jatuhnya sebagian berhala di tempat-tempat penyembahan berhala di Makkah[7], berguncangnya istana Kisra Persia, runtuhnya balkon istana dan padamnya api sesembahan agama Majusi.[8]

Terdapat riwayat yang saling menguatkan yang mengangkatnya ke level hasan seputar kelahiran Nabi ﷺ, diantaranya adalah Aminah ketika melahirkan, ia melihat cahaya keluar dari dirinya, yang dari cahaya itu telah menerangi istana-istana di Bushra, Syam.[9][10]

——————————–

Footnotes :

[1] Riwayat Ibnu Sa’ad dari jalan periwayatan al-Waqidi, dan al-Waqidi “matrûk” (dtinggalkan haditsnya). Adz-Dzahabi juga meriwayatkannya dalam sirahnya dan pada sanadnya terdapat Jahm bin Abi Jahm, seorang yang “majhûl” (tidak dikenal).

[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dengan sanad yang lemah. Dan kelemahan itu tidak bisa dikuatkan oleh riwayat-riwayat al-Waqidi karena al-Waqidi “matrûk”. Demikian juga tidak bisa dikuatkan oleh riwayat-riwayat mursal dari beberapa Tabi’in karena kemungkinan periwayatan mereka berasal dari satu sumber.

[3] Hadits-haditsnya “mursal”; dalam Thabaqât Ibn Sa’ad dengan sanad yang hasan sampai kepada ‘Ikrimah, Dalâil Nubuwwah oleh al-Baihaqi dari riwayat mursal Abul Hakam at-Tannukhi, seorang tabi’i “majhûl”, dan dalam kitab ad-Dalâil oleh Abu Nu’aim dengan sanad yang “mu’dhal”.

[4] Seluruh haditsnya ma’lûl (memiliki ‘illah) yang tidak mungkin terangkat levelnya untuk dijadikan hujjah, karena sebagian besarnya tidak lepas dari riwayat seorang pemalsu hadits (wadhdhâ’) atau tertuduh berdusta (muttaham bil kadzib).

[5] Riwayat ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath dengan sanad yang padanya terdapat dua orang yang “majhûl”.

[6] Berkata al-Hafidz al-‘Iraqi, “Sanadnya tidak sah!”

[7] Dalam sanadnya terdapat dua orang pemalsu hadits (wadhdhâ’).

[8] Berkata adz-Dzahabi setelah menyebutkan riwayat tersebut, “Ini adalah hadits yang munkar gharîb!”

[9] Riwayat Ibnu Ishaq dengan sanad yang hasan.

[10] Semua tulisan dan catatan kaki disadur dari “as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah” oleh Dr. Akram Dhiya’ al-Umari. Kami sarankan untuk merujuk langsung ke buku tersebut untuk mendapatkan penjelasan lebih lengkapnya. Istilah-istilah dalam status hadits dan perawi tidak kami jelaskan lebih rinci karena membutuhkan pembahasan yang panjang. Kami cukupkan dengan terjemahan makna untuk sekedar diketahui bahwa ada masalah dalam status hadits atau perawinya dan masalah itu merusak keshahihan riwayat hadits tersebut.

21 Juli 2013

Membatalkan Puasa karena Panas Dan Menolong Korban Kebakaran

Saya bekerja sebagai anggota tim SAR. Pertanyaan saya: Bolehkah seseorang membatalkan puasanya pada bulan Ramadhan karena haus yang bersangatan saat menolong korban kecelakaan?

*****

Alhamdulillah, Anda boleh membatalkan puasa tetapi lebih utama untuk tidak membatalkannya, kecuali pada saat-saat darurat dan Anda harus mengganti hutang puasa itu. Selama seseorang masih sanggup meneruskan puasanya ia harus menyempurnakannya, ia tidak boleh membatalkannya. Akan tetapi bila tempat kecelakaan itu jauh dan panas matahari sangat menyengat di musim panas yang terik lalu ia diutus untuk menolong korban kecelakaan atau memadamkan kebakaran kemudian ia merasa kehausan dan sangat menyulitkan dirinya maka ia boleh membatalkan puasanya insya Allah. Allah berfirman:

فاتقوا الله ما استطعتم
 
"Bertakwalah kamu kepada Allah semampu kamu." (QS. At-Taghabun :16)
 Allah juga berfirman:
 
لا يكلف الله نفسًا إلا وسعها

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. Al-Baqarah : 286)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam juga bersabda: 

إذا أمرتكم بشيئ فأتوا منه ما استطعتم

"Jika aku memerintahkan engkau satu perkara maka lakukanlah sekadar kemampuan engkau."
(HR. Muslim No:1337 dan An-Nasa'i V/110).


Selama tidak masuk dalam batasan safar, (ia tetap wajib berpuasa). Tetapi, jika masuk dalam batasan safar, ia boleh sama sekali tidak berpuasa. Wallahu a'lam. 
Dinukil dari kumpulan fatwa Samahatusy Syaikh Abdullah bin Humeid, hal 171.
 

14 Juli 2013

Memberikan Seluruh Fidyah untuk Satu Orang Miskin

Apakah diperbolehkan orang yang tidak mampu berpuasa memberi makan kepada satu orang miskin selama 30 hari atau memberi makan 30 orang miskin dalam satu hari? 
 
*****
 
Alhamdulillah,
 
Orang yang tidak mampu berpuasa, dimana ketidakmampuannya itu terus berlanjut, maka diharuskan memberi makanan satu orang miskn untuk setiap hari yang dia berbuka padanya berdasarkan firman Allah Ta’ala:

( وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ) البقرة/184
 
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu) memberi makan satu orang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ’anhuma mengatakan, “(Ayat ini) tidak dihapus. Ia untuk laki-laki dan perempuan lanjut usia yang tidak mampu berpuasa. Keduanya memberi makan untuk setiap harinya seorang miskin.” (HR. al-Bukhary, no. 4505)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Tata cara memberi makan itu ada dua cara; pertama, memasak makanan dan mengundang orang miskin sesuai hari yang ada tanggungan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau telah lanjut usia. Cara kedua, memberi bahan makanan yang belum dimasak.” (As-Syarh Al-Mumti’, 6/335).

Sementara memberi makan orang miskin untuk tiga puluh hari, kebanyakan ahli ilmu dengan tegas memperbolehkan, dan ini adalah madzhab Syafi’iyah, Hanabilah dan sebagian dari Malikiyah. Dalam ‘Al-Inshaf, (3/291) disebutkan: “Diperbolehkan memberikan (makanan) kepada satu orang miskin sekaligus.” (Silahkan lihat Tuhfatul Muhtaaj, 3/446, dan Kasyaaful Qanaa’, 2/313). 

Telah ada dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/198, “Kapanpun para dokter menvonis bahwa sakit yang anda keluhkan itu tidak mampu untuk dibuat berpuasa dan tidak ada harapan kesembuhan, maka anda harus memberi makan satu orang untuk satu hari setengah sha’ dari makanan pokok negeri anda baik berupa kurma atau lainnya. Kalau anda memberi makan malam atau makan siang sejumlah hari yang anda berbuka, hal itu sudah mencukupi.”

Dari sini anda ketahui bahwa memberi makan satu orang miskin selama tiga puluh hari atau mengumpulkan 30 orang miskin dengan sekali makan itu diperbolehkan.
 
Wallahu a’lam.

09 Juli 2013

Niat Puasa

Apakah niat puasa Ramadhan wajib dilakukan pada malam hari atau (bolehkah di) siang hari, sebagaimana jika dikatakan kepada Anda pada waktu dhuha bahwa pada hari ini adalah Ramadhan? Apakah dia wajib mengqadha atau tidak?

Jawab :

Wajib tabyit (memalamkan) niat puasa bulan Ramadhan pada malam hari sebelum terbit fajar, dan tidak mencukupi niat puasanya pada siang hari. Siapa yang mengetahui pada waktu dhuha bahwa hari ini (masuk) Ramadhan dan dia meniatkan puasa, dia wajib menahan diri (dari perkara yang membatalkan puasa) sampai terbenamnya matahari, dan wajib baginya qadha'. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar dari Hafshah radhiyallahu 'anhum dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasannya beliau bersabda,

من لم يجمع الصيام قبل الفجر فلا صيام له

"Siapa yang tidak meniatkan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya."; diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ashabus Sunan, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dan keduanya menshahihkan haditsnya secara marfu' (bersambung kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam).

Itu dalam kasus puasa wajib. Adapun puasa sunnah, boleh meniatkannya pada siang hari jika dia belum makan, minum atau menggauli istri setelah terbit fajar. Karena telah sah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dari hadits Aisyah radhiyallahu 'anha bahwasannya beliau masuk padanya pada suatu hari di waktu dhuha, dan beliau berkata,

هل عندكم شيء؟ فقالت: لا، فقال: إني إذًا صائم

"Apakah kalian memiliki sesuatu?" Aisyah menjawab, "Tidak ada." Maka beliau berkata, "Kalau demikian, aku berpuasa."; diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya