Telah
diriwayatkan berbagai macam kisah dan cerita seputar kehamilan Aminah
saat mengandung Muhammad ﷺ. Disebutkan bahwa ia tidak pernah merasakan
keringanan dan kemudahan seperti yang ia rasakan saat mengandung bayi
tersebut. Disebutkan juga bahwa ia memakai jimat-jimat dari besi namun
jimat-jimat itu terputus dengan sendirinya. Ia juga melihat kabar
gembira dalam mimpinya tentang keagungan bayinya dan disuruh untuk
menamakannya Muhammad. Dan saat bangun, ia mendapatkan sebuah lembaran
dari emas yang berisi syair-syair agar ia berdoa dengannya. Kisah-kisah
ini tidak ada satupun yang shahih.[1]
Demikian
juga disebutkan dalam riwayat-riwayat yang sangat lemah bahwa saat bayi
itu keluar, tidak seperti bayi pada umumnya, ia bertumpu dengan dua
tangannya dan mengangkat kepalanya ke langit[2]. Dan bayi itu
diletakkan di bawah sebuah periuk dari batu, dan periuk itu terbelah
darinya agar pandangannya tetap mengarah ke langit[3]. Disebutkan bahwa bayi itu juga lahir dalam keadaan telah dikhitan[4], atau dikhitan oleh Jibril[5], atau dikhitan oleh kakeknya pada hari ketujuh yang kemudian membuat jamuan makan dan memberinya nama Muhammad.[6]
Kegembiraan
Abdul Muttalib terhadap kelahiran cucu laki-lakinya dan kebaikannya
untuk mengkhitan dan mengadakan jamuan makan menurut tradisi kaumnya
adalah sebuah perkara yang wajar yang tidak membutuhkan dalil.
Disebutkan juga dalam riwayat-riwayat yang maudhû’
(palsu) tentang teriakan jin yang memberi kabar gembira tentang kelahirannya, jatuhnya sebagian berhala di tempat-tempat penyembahan
berhala di Makkah[7], berguncangnya istana Kisra Persia, runtuhnya balkon istana dan padamnya api sesembahan agama Majusi.[8]
Terdapat
riwayat yang saling menguatkan yang mengangkatnya ke level hasan seputar
kelahiran Nabi ﷺ, diantaranya adalah Aminah ketika melahirkan, ia
melihat cahaya keluar dari dirinya, yang dari cahaya itu telah menerangi
istana-istana di Bushra, Syam.[9][10]
——————————–
Footnotes :
[1] Riwayat Ibnu Sa’ad dari jalan periwayatan al-Waqidi, dan al-Waqidi “matrûk”
(dtinggalkan haditsnya). Adz-Dzahabi juga meriwayatkannya dalam
sirahnya dan pada sanadnya terdapat Jahm bin Abi Jahm, seorang yang “majhûl” (tidak dikenal).
[2]
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dengan sanad yang lemah. Dan kelemahan itu
tidak bisa dikuatkan oleh riwayat-riwayat al-Waqidi karena al-Waqidi “matrûk”.
Demikian juga tidak bisa dikuatkan oleh riwayat-riwayat mursal dari
beberapa Tabi’in karena kemungkinan periwayatan mereka berasal dari satu
sumber.
[3] Hadits-haditsnya “mursal”; dalam Thabaqât Ibn Sa’ad dengan sanad yang hasan sampai kepada ‘Ikrimah, Dalâil Nubuwwah oleh al-Baihaqi dari riwayat mursal Abul Hakam at-Tannukhi, seorang tabi’i “majhûl”, dan dalam kitab ad-Dalâil oleh Abu Nu’aim dengan sanad yang “mu’dhal”.
[4] Seluruh haditsnya ma’lûl (memiliki ‘illah)
yang tidak mungkin terangkat levelnya untuk dijadikan hujjah, karena
sebagian besarnya tidak lepas dari riwayat seorang pemalsu hadits (wadhdhâ’) atau tertuduh berdusta (muttaham bil kadzib).
[5] Riwayat ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath dengan sanad yang padanya terdapat dua orang yang “majhûl”.
[6] Berkata al-Hafidz al-‘Iraqi, “Sanadnya tidak sah!”
[7] Dalam sanadnya terdapat dua orang pemalsu hadits (wadhdhâ’).
[8] Berkata adz-Dzahabi setelah menyebutkan riwayat tersebut, “Ini adalah hadits yang munkar gharîb!”
[9] Riwayat Ibnu Ishaq dengan sanad yang hasan.
[10] Semua tulisan dan catatan kaki disadur dari “as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah”
oleh Dr. Akram Dhiya’ al-Umari. Kami sarankan untuk merujuk langsung ke
buku tersebut untuk mendapatkan penjelasan lebih lengkapnya.
Istilah-istilah dalam status hadits dan perawi tidak kami jelaskan lebih
rinci karena membutuhkan pembahasan yang panjang. Kami cukupkan dengan
terjemahan makna untuk sekedar diketahui bahwa ada masalah dalam status
hadits atau perawinya dan masalah itu merusak keshahihan riwayat hadits
tersebut.
0 tanggapan:
Posting Komentar