"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

29 November 2015

Pembicaraan Seorang Wanita dengan Lelaki yang Bukan Mahram

Apa hukumnya pembicaraan seorang wanita dengan pemilik toko pakaian atau penjahit? Kami berharap kata-kata nasehat yang baik untuk kaum wanita.

Jawab :

Pembicaraan seorang wanita dengan pemilik toko, yaitu pembicaraan yang sebatas hajat dan tidak ada fitnah padanya, tidaklah mengapa. Sejak dahulu para wanita berbicara kepada kaum laki-laki dalam berbagai keperluan dan urusan pada batasan-batasan yang dibutuhkan.

Adapun jika pembicaraan itu disertai dengan tawa, candaan dan suara-suara yang mengundang fitnah, maka hal itu haram, tidak boleh dilakukan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada istri-istri nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam, -radhiyallahu ‘anhunna,

وَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَع الَذِيْ فىْ قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوْفًا

Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab ayat 32).

Makna “perkataan yang baik” adalah apa yang dianggap baik oleh manusia dalam batasan keperluan. Adapun yang lebih dari itu, yaitu dengan tertawa, bercanda, suara yang mengundang fitnah dan lain-lainnya, atau dengan membuka wajahnya, menyingkap kedua lengan atau kedua telapak tangannya; semua ini adalah perkara-perkara yang haram, mungkar dan termasuk sebab-sebab yang membawa kepada fitnah, serta membawa kepada jatuhnya (seseorang) kepada perbuatan keji (zina).

Wajib bagi seorang wanita muslimah yang takut kepada Allah ‘azza wa jalla untuk bertakwa kepada Allah, dan jangan pernah berbicara kepada laki-laki dengan ucapan yang membangkitkan keinginan (buruk) mereka terhadap dirinya, yang menjadikan fitnah bagi hati-hati mereka, serta (wajib) menjauhi perkara ini. Jika dia memiliki keperluan untuk pergi ke toko atau suatu tempat yang padanya ada laki-laki, maka hendaknya dia berhijab, menutup diri dan beradab dengan adab-adab Islam. Jika dia berbicara kepada laki-laki, maka berbicaralah dengan pembicaraan yang baik yang tidak ada padanya fitnah dan keraguan.

(Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, hafidzhahullahu)

————————— 

Sumber : Al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, III/156-157

25 November 2015

Atas Nama “Mashlahat Dakwah”

Diantara tipuan syaitan terhadap sebagian aktivis dakwah adalah pelegalan hal-hal yang menyimpang dari prinsip dasar keyakinan agama mereka atas nama mashlahat dan kepentingan dakwah!

Atas nama mashlahat dakwah, gambar dan foto tokoh yang dibanggakan dalam suatu jama’ah boleh dipajang dengan berbagai macam gaya dan bentuknya. Padahal banyak para ustadznya dan kader dakwah sejatinya yang masih menganggap tabu persoalan foto, tapi anehnya sepertinya tidak ada masalah jika berkait dengan kepentingan pencitraan lembaga dan tokohnya.

Atas nama kepentingan dakwah, dibenarkan berkawan dan bermesraan dengan siapa saja selama dia masih muslim tanpa peduli bagaimana prinsip dasar aqidah dan manhajnya.

Atas nama dakwah, para aktivis wanitanya diharuskan keluar rumah untuk ikut andil dalam memperjuangkan “dakwah” (baca : jamaah/lembaga/organisasi) walaupun itu harus mengorbankan rumahnya[1]. Kami tidak berbicara tentang wanita yang keluar untuk belajar dan menuntut ilmu syar’i dalam batas-batas yang diperlukan dan tidak menyita waktu dan tenaganya. Yang kami bicarakan adalah eksploitasi para akhawat untuk bekerja mati-matian demi kepentingan rekrutmen kader untuk mencapai jumlah tertentu demi kebanggaan dan ketenaran!

Atas nama kemashlahatan dakwah, majelis ilmu tidak lagi dianggap penting dan efektif kalau tidak bisa mengumpulkan banyak massa yang akan direkrut menjadi kadernya.

Atas nama kepentingan dakwah pula kualitas kader tidak lagi menjadi perhatian penting karena semuanya diharuskan sibuk untuk memperbanyak jumlah.

Atas nama dakwah, ketulusan dalam berjuang harus ternoda oleh semangat untuk pencitraan lembaga dan para ustadznya agar dikenal di kalangan masyarakat. Lagi-lagi untuk sebuah kepentingan.

Atas nama kepentingan dakwah, para kader diarahkan untuk bepartisipasi dalam pemilihan kepala daerah dengan mendukung calon tertentu. Tidak ada yang salah jika tujuannya memang benar untuk kemashlahatan Islam dan kaum muslimin. Tapi kalau dukungan itu dengan imbalan pemberian “bantuan materi” si calon?! Kami jadi ragu, jangan-jangan dukungan itu hanya untuk mashlahat jamaah si pendukung calon tersebut.

Agama ini adalah agama rabbânî yang Allah telah menjadikan tujuannya adalah sebaik-baik tujuan. Dan Dia menjadikan sarana untuk mewujudkan tujuan tersebut sebagai sarana yang mulia dan terhormat.

Allah tidak akan mungkin menjadikan kemenangan dakwah ini tegak diatas manhaj yang bukan berasal dari manhaj dakwah Nabi ﷺ.

Penggunaan wasilah dan sarana apa saja yang menyelisihi manhaj rabbânî yang telah digariskan oleh Rasulullah ﷺ dalam dakwah beliau adalah bentuk penyimpangan dari jalan kebenaran dan pelecehan terhadapnya. Bahkan, walaupun sebagian wasilah itu bisa mendatangkan sedikit manfaat menarik dalam pandangan para pengikut dakwah tersebut.

Para ulama kita dahulu telah menetapkan sebuah kaedah penting, bahwa “akhir umat ini tidak akan pernah baik kecuali dengan perkara yang telah menjadikan baik generasi awalnya”.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullahu ditanya, “Apakah wajib mendapatkan sebagian mashlahat, baik yang bersifat wajib kifa’i atau ‘aini, jika jalan menuju kepada mashlahat tersebut terdapat perkara-perkara yang menyimpang dan diharamkan?”

Beliau rahimahullahu menjawab,

“Tidak boleh! Karena tidak ada dalam Islam kaedah yang mengatakan ‘tujuan membolehkan segala cara’. Bahkan Islam telah menyebutkan lebih dari satu dalil dalam Kitab-Nya dan sunnah nabiNya – ﷺ – bahwa rezki yang telah Allah tetapkan untuk seseorang, tidak boleh seorang muslim mencari jalan untuk mendapatkannya dengan jalan yang diharamkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits (riwayat) al-Hakim dan lainnya dari sabda Nabi ﷺ,

إِنَّ مَا عِنْدَ الله لَا يُنَالُ بِالحَرَامِ

Apa yang berada di sisi Allah tidak boleh didapatkan dengan cara yang haram.’

Rezki yang berasal dari Allah, yang dia itu tidak seperti kedudukan shalat dan yang semacamnya dari kewajiban-kewajiban yang fardhu ‘ain, rezki itu diusahakan seorang muslim semata-mata untuk memelihara dirinya dari meminta-minta kepada manusia. Andai ia mencukupkan diri dengan rezki yang halal dan tidak berusaha yang selain itu, ia tidak dianggap sebagai orang yang lalai, karena mencari rezki sebagaimana yang kami sebutkan semata-mata agar seorang manusia bisa menjaga dirinya dari meminta-minta kepada manusia.

Jika saja usaha untuk mendapatkan rezki itu tidak boleh dengan cara yang haram dengan dalil hadits yang sudah dikenal, yaitu sabdanya, ‘Apa yang di sisi Allah tidak boleh diusahakan dengan cara yang haram’; maka lebih pantas lagi, dan lebih layak lagi bahwasannya tidak dibolehkan seorang muslim, bahkan seluruh muslim, dan bahkan sebuah jamaah Islam, yang ingin mendakwahi manusia untuk mengamalkan Kitab Allah dan sunnah Rasulullah ﷺ; sangat layak bagi mereka untuk tidak menghalalkan sebagian perkara yang diharamkan untuk mewujudkan sebagian dari tujuan-tujuan mereka. Karena hal itu kebalikan dari firman Allah tabâraka wa ta’âlâ seperti,

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.’ (QS. Ath-Thalaq ayat 2 & 3).

Itu dari satu sisi.

Di sisi lain, kita berbeda dari seluruh jamaah-jamaah dan kelompok-kelompok. Kita bukanlah kelompok (hizb), dan kita bukanlah koalisi (gabungan beberapa kelompok)… Kita adalah kaum muslimin, dan kita berusaha untuk berjalan dalam Islam kita ini di atas manhaj para Salafush shalih kita, radhiyallâhu ‘anhum ‘ajma’în.

Setiap kita mengetahui dengan pasti bahwa mereka suatu waktu dahulu tidak pernah terlintas dalam benak mereka, apalagi untuk mewujudkan itu dalam kehidupan mereka, bahwa mereka akan menghalalkan sebagian perkara haram demi untuk mewujudkan sebagian tujuan-tujuan islami… Bagaimana bisa (itu dilegalkan)?! Sementara ayat tadi mengatakan,

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.’ (QS. Ath-Thalaq ayat 2 & 3).

Lisan orang yang mengucapkan bolehnya melakukan sebagian pelanggaran untuk mewujudkan sebagian tujuan-tujuan syar’i; ucapan mereka itu bertolak belakang dengan ayat tersebut. Yaitu ucapan mereka bahwa ‘siapa yang bertakwa kepada Allah di masa kini, yang ingin menerapkan hukum-hukum Allah seluruhnya, maka dakwahnya akan sangat terbatas dan sempit. Karenanya telah menjadi keharusan untuk melanggar sebagian perkara yang tidak diizinkan Rasul sehingga kita bisa melebarkan dakwah ini!

Saya katakan, di sana ada peringatan yang mengingatkan tentang adanya keburukan yang berbahaya jika para pengemban dakwah kebenaran tidak memperbaiki urusan mereka sebelum dia menjadi semakin runyam. Yaitu kami mendengar dari waktu ke waktu bahwa mereka selalu saja melakukan pelanggaran-pelanggaran yang banyak dalam jalan yang mereka sebut sebagai penyebaran dakwah!”[2]


Penggunaan istilah “mashlahat dakwah” pada saat ini dalam banyak kasus adalah pemutar balikan fakta untuk kepentingan tertentu dari orang-orang yang menggunakannya. Seorang da’i dalam pergerakan Islam besar di abad ini pernah memperingatkan bahaya dari penggunaan istilah tersebut. Beliau berkata, semoga Allah mengampuni dan merahmatinya, “(Ungkapan) mashlahat dakwah telah berubah menjadi berhala yang dipuja oleh para pengikut dakwah dan mereka mulai melupakan manhaj dakwah yang prinsip. Wajib bagi para pengikut dakwah untuk istiqamah diatas jalan dakwah tersebut dan benar-benar teliti menempuh jalan itu, tanpa harus menoleh kepada hasil-hasil yang terkadang mengganggu pikiran mereka bahwa padanya ada bahaya yang akan mengancam dakwah dan para pengikutnya… Satu-satunya bahaya yang wajib mereka khawatirkan adalah bahaya penyimpangan dari manhaj dikarenakan oleh salah satu dari sebab-sebab, baik penyimpangan itu banyak atau sedikit. Allah lebih tahu dari mereka persoalan mashlahat dan mereka tidak dibebankan untuk hal itu. Mereka hanya dibebankan satu perkara, yaitu jangan sekali-kali menyimpang dari manhaj, jangan sekali-kali melenceng dari jalan ini![3]

Kami tidak pernah mengingkari istilah mashlahat dakwah. Yang kami ingkari adalah penggunaan istilah itu untuk kepentingan yang selain kepentingan Islam dan kaum muslimin. Tidak boleh memanfaatkan istilah “mashlahat dakwah” untuk kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok yang sempit. Sehingga digambarkan kepada para pengikutnya bahwa kepentingan pribadi dan kelompoknya itulah dia mashlahat dan kepentingan dakwah atau sebaliknya. Sebagaimana juga tidak boleh menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan-tujuan dakwah yang mulia.

Kita telah berkomitmen terhadap diri-diri kita bahwa kita tidak akan melakukan perkara yang diharamkan, tidak akan meninggalkan apa yang diwajibkan, dan tidak akan melakukan bid’ah demi untuk mashlahat dakwah! Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kita untuk istiqamah![4]

Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ

Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya.” (QS. Fushshilat ayat 6).

Dan Dia berfirman mengajak kepada sikap istiqamah,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ، نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ، نُزُلا مِّنْ غَفُورٍ رَّحِيمٍ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami ialah Allah dan mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu’. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushshilat ayat 30-32).

—————————

Footnotes :

[1] Para ulama membolehkan seorang wanita yang memilliki kapasitas ilmu syar’i untuk keluar rumah berdakwah di kalangan wanita, mengajarkan mereka urusan agamanya. Tapi dengan syarat hal itu dilakukan dengan izin suami dan tidak mengabaikan urusan rumah, suami dan anak-anak. Anehnya di zaman ini, seorang muslimah baru saja mengenal Islam, dan waktu, tenaga dan pikirannya dieksploitasi habis-habisan untuk mengurus dan memperjuangkan kepentingan lembaga yang mereka sebut “dakwah”!!

[2] Rekaman no. 401 dari Silsilah al-Hudâ wa an-Nûr

[3] Afrâh ar-Rûh, Sayyid Quthb rahimahullahu

[4] Al-Makhraj min al-Fitnah, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullahu

21 November 2015

Haram Menyentuh Tubuh Wanita dalam Ruqyah

Diantara fenomena umum yang mulai nampak dalam metode pengobatan ruqyah adalah ketika si peruqyah menyentuh pasien wanitanya dengan dalih untuk mengusir jin. Perbuatan seperti ini haram karena wanita adalah aurat dan melihat aurat diharamkan dalam Islam, dan lebih diharamkan lagi jika sampai menyentuh aurat tersebut.

Dan hukum itu berlaku umum baik si peruqyah menyentuhnya dengan kaos tangan atau tanpanya.

Para ulama di Al-Lajnah ad-Dâimah li al-Buhûts al-‘Ilmiyyah wa al-Iftâ’ (Lembaga Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi) ditanya tentang hukum menyentuh badan wanita, baik tangannya, dahinya atau lehernya secara langsung tanpa alas, dengan dalih untuk menekan dan mempersempit jin yang ada padanya, terutama bahwa sentuhan yang seperti itu juga terjadi dari para dokter di rumah sakit?

Mereka menjawab, “Tidak boleh bagi peruqyah menyentuh sesuatu pun dari badan wanita yang diruqyahnya, karena itu akan mendatangkan fitnah. Dia cukup membaca tanpa harus menyentuh. Terdapat perbedaan antara pekerjaan peruqyah dengan dokter. Karena dokter terkadang tidak memungkinkan baginya melakukan tindakan medis kecuali dengan memegang tempat yang akan diobati. Ini berbeda dengan seorang peruqyah karena yang dia lakukan –yaitu membaca dan meniup- tidak mengharuskan adanya sentuhan.” (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, I/90-91).

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu, “Saya ingatkan saudara-saudara saya yang meruqyah dengan bacaan dari perbuatan meletakkan tangan-tangan mereka di badan wanita, baik secara langsung atau dengan menggunakan alas. Jika Allah menghendaki kebaikan dari bacaan mereka, maka itu akan terjadi tanpa harus memegang.” (Fatâwâ Nûr ‘ala ad-Darb, II/22, asy-Syamilah).

Maka selayaknya seorang peruqyah bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dengan menjaga komitmennya terhadap perintah-perintah Allah dan larangan-laranganNya. Waspadalah terhadap makar syaitan untuk menjerumuskan manusia kepada fitnah dengan berbagai macam cara. Bahkan dari jalan yang dianggap baik dalam pandangan seorang manusia, tapi dengannya ia terjerumus kepada fitnah dalam agama dan dunianya. Jangan sampai pengobatan syar’i itu terkotori oleh perkara-perkara mungkar yang diharamkan Allah dengan menyingkap aurat dan menyentuh apa yang Dia larang dan haramkan.

Wa billâhi at-taufîq.

16 November 2015

Pembunuhan dan Peledakan di Negeri-negeri Kafir

Pertanyaan untuk Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafidzhahullahu :

Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada Anda. Apakah pembunuhan dan aksi peledakan pada fasilitas pemerintah di negara-negara kafir adalah sebuah keharusan dan termasuk jihad?

Beliau menjawab :

Pembunuhan dan perusakan adalah tindakan yang tidak dibolehkan, karena itu akan mendatangkan keburukan bagi kaum muslimin, pembunuhan dan pengusiran.

Rasul ﷺ ketika beliau di Makkah sebelum hijrah, beliau diperintahkan untuk menahan diri.

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ قِيلَ لَهُمْ كُفُّواْ أَيْدِيَكُمْ وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ

Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka : Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (QS. An-Nisa’ ayat 77).

Beliau diperintahkan menahan diri untuk tidak memerangi orang-orang kafir karena beliau belum memiliki kemampuan untuk memerangi mereka.

Kalau seandainya mereka (kaum muslimin) membunuh seorang kafir, niscaya orang-orang kafir akan memerangi mereka sampai tidak tersisa seorang pun, menghabisi mereka hingga tidak tersisa seorang pun. Karena orang kafir lebih kuat dari kaum muslimin dan kaum muslimin berada dalam kekuasaan mereka. Pembunuhan orang kafir akan berakibat pada pembunuhan orang-orang muslim yang hidup di negeri tersebut, sebagaimana yang kalian saksikan dan dengarkan sekarang. Yang seperti ini bukanlah bagian dari dakwah, dan bukan pula termasuk jihad fi sabilillah.

Demikian pula perusakan dan peledakan, itu hanya akan membawa keburukan kepada kaum muslimin sebagaimana yang telah terjadi. Dan ketika Rasul ﷺ telah berhijrah, dan beliau memiliki tentara dan orang-orang yang membelanya, maka saat itulah beliau diperintahkan berjihad terhadap orang-orang kafir.

Apakah Rasul ﷺ dan para shahabat ketika mereka dahulu berada di Makkah, apakah mereka melakukan tindakan-tindakan teror itu? Sekali-kali tidak! Bahkan mereka dilarang melakukannya.

Apakah mereka menghancurkan harta benda milik orang-orang kafir ketika mereka berada di Makkah? Sekali-kali tidak! Mereka dilarang melakukannya, dan hanya diperintahkan untuk berdakwah dan menyampaikan.

Adapun peperangan, itu hanya terjadi di Madinah ketika Islam telah memiliki sebuah negara.”





(Fatâwâ al A-immah fî an Nawâzil al Mudalhamah, hal. 41-42)

08 November 2015

Mihrab Masjid dalam Pandangan Ulama Salaf

Sangat umum di kalangan kaum muslimin, ketika membangun masjid, maka mereka akan membuatkan cekungan di bagian depan masjid, atau ruangan khusus sebagai tempat berdiri imam yang disebut mihrab. Mereka mengira bahwa apa yang mereka lakukan itu sesuai dengan apa yang dimaksudkan ayat,

فَخَرَجَ عَلىَ قَوْمِهِ مِنَ المِحْرَابِ

Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya.” (QS. Maryam ayat 11).

Pandangan seperti ini adalah pandangan yang keliru. Karena mihrab dalam bahasa Arab bermakna tempat shalat. Sedangkan dinding yang melengkung atau menjorok ke depan di bagian kiblat masjid tidak disebut sebagai mihrab. Ini adalah perkara baru yang terjadi di kaum muslimin dengan meniru kebiasaan dan tradisi orang-orang di luar mereka dari kalangan Ahli Kitab.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahu berkata, “Masjid Rasulullah tidak memiliki mihrab.”[1]

Manshur bin al-Mu’tamir mengatakan bahwa Ibrahim an-Nakha’i membenci shalat di tempat yang cekung (yang dikhususkan) untuk imam.[2]

Sufyan ats-Tsauri rahimahullahu mengatakan, “Kami tidak menyukainya.”[3]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan, “Makruh hukumnya bersujud  dalam mihrab karena itu menyerupai apa yang dilakukan Ahlul Kitab. Mereka mengkhususkan tempat untuk imamnya.”[4]

Al-Qârry berkata, “Mihrab adalah perkara baru setelah (masa) Rasulullah . Karenanya, para as-Salaf ash-Shalih tidak menyukai membuat mihrab.”[5]


Dengan penjelasan ini, alangkah baiknya jika kaum muslimin tidak lagi membiasakan membuat mihrab di masjid-masjid yang mereka bangun. Kalau mihrab itu sudah terlanjur ada, maka sebaiknya tidak digunakan untuk shalat. Imam bisa shalat dengan posisi yang agak mundur di luar mihrab dan tidak berada dalam mihrab tersebut.

Kami juga mengingatkan para pemuda yang bersemangat ingin mengamalkan sunnah, hendaknya mereka bijak menyikapi fenomena seperti ini dan jangan membuat polemik baru di masyarakat. Hukum mihrab ini makruh dan tidak sampai pada keharaman. Para Salaf telah melihat mihrab di masjid-masjid mereka dan tidak pernah dinukil bahwa mereka memerintahkan untuk menghancurkan mihrab tersebut. Mereka tetap shalat di masjid itu atau memimpin shalat, tetapi tanpa menggunakan mihrabnya. Demikianlah yang disebutkan dari perbuatan Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullahu.

Wallahu a'lam.

(Sumber : Tis’ûn Khatha’an fî al Masâjid, Syaikh Wahid bin Abdissalam Bali)

----------------------

Footnotes :

[1] Fathul Bâry, syarah hadits no. 497
[2] Mushannaf Abdirrazzâq (II/413)
[3] Mushannaf Abdirrazzâq (II/413)
[4] Iqtidhâ’ ash Shirât al Mustaqîm (I/351)
[5] ‘Aun al Ma’bûd, syarah hadits no. 485

05 November 2015

Menghadiahkan Bacaan Quran untuk Mayit

Para ulama berbeda pendapat dalam persoalan menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran kepada orang yang sudah meninggal, apakah sampai pahalanya atau tidak?

Pendapat yang terpilih dari dua pendapat ulama, bahwa “hadiah” bacaan tersebut tidaklah sampai kepada si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

Dan tidak ada (pahala) bagi manusia kecuali apa yang diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39).

Juga berdasarkan sabda Nabi ,

إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية وعلم ينتفع به وولد صالح يدعو له

Jika seorang anak Adam meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).

Imam Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya mengenai firman Allah dalam surat An-Najm ayat 39, “Berdasarkan ayat ini, Imam Syafi’i dan pengikutnya mengambil kesimpulan hukum bahwa bacaan (Al-Qur’an) tidak sampai jika pahalanya dihadiahkan kepada mayit, karena itu bukan amal dan jerih payahnya. Oleh karenanya, Rasulullah tidak menganjurkan dan tidak mengajak umatnya untuk itu dan tidak pula memberi petunjuk baik secara jelas atau isyarat. Tidak pula hal itu dinukil dari seorang pun dari para shahabat radhiyallahu 'anhum. Jika hal itu suatu kebaikan, pasti mereka akan mendahului kita (dalam perkara itu). Dalam masalah ibadah, hendaknya membatasi dengan perkara yang telah dikhususkan oleh dalil, tidak diperkenankan mengalihkannya dengan berbagai macam qiyas dan logika. Adapun doa dan shadaqah, hal itu telah disepakati sampainya pahalanya (kepada mayat) karena dengan tegas dinyatakan dalam syariat.” (Tafsir Ibnu Katsir, IV/258).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pernah ditanya tentang menghadiahkan bacaan Al-Qur’an dan shadaqah untuk ibu, baik (beliau dalam kondisi) hidup atau mati? Beliau menjawab:

“Kalau bacaan Al-Qur’an,  para ulama berbeda pendapat, apakah pahala sampai kepada mayit? Para ulama berbeda dalam dua pendapat. Yang terkuat adalah (pahala itu) tidak sampai karena tidak ada dalilnya. Dan karena Rasulullah tidak pernah melakukannya terhadap orang-orang yang telah wafat dari kalangan umat Islam seperti puteri-puteri beliau yang telah wafat saat beliau masih hidup. Sepengetahuan kami, hal itu  tidak pernah dilakukan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Yang lebih utama bagi orang mukmin adalah meninggalkan hal itu dan tidak membacanya untuk mayit maupun untuk yang masih hidup. Begitu  juga tidak melakukan shalat untuk mereka, dan juga amalan sunnah dengan berpuasa untuk mereka. Karena semuanya itu tidak ada dalilnya.

Asal dari ibadah adalah tauqifi (hanya membatasi pada dalil) yang ada perintahnya dari Allah subhanahu wa ta’ala atau rasul-Nya dalam syari’atnya. Sementara sedekah, hal itu bermanfaat bagi yang hidup maupun mati dengan kesepakatan (ijma’) umat Islam. Begitu juga dengan doa, bermanfaat bagi yang hidup maupun mati dengan kesepakatan umat Islam. Orang yang masih hidup, tidak diragukan lagi bahwa sedekah dan doa bermanfaat baginya. Orang yang berdoa sementara kedua orang tuanya masih hidup, keduanya bisa mengambil manfaat dengan doanya tersebut, begitu juga dengan sedekah akan bermanfaat ketika keduanya masih hidup.

Menunaikan haji untuknya kalau mereka lemah karena sudah tua atau sakit yang tidak mungkin sembuh, juga bermanfaat baginya. Karena telah ada ketetapan dari beliau , bahwa seorang wanita bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji, sementara ayahku sudah tua, tidak mampu melakukan perjalanan. Apakah saya (boleh) menunaikan haji untuknya?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah haji untuknya.”

Kemudian, ada juga orang lain yang datang kepada Nabi dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah tua, tidak mampu menunaikan haji dan (naik) kendaraan. Apakah (boleh) saya menunaikan  haji dan umrah untuknya?” Beliau menjawab, “Tunaikan haji untuk ayahmu dan lakukanlah umrah.”

Ini adalah dalil bahwa menghajikan mayit atau orang yang masih hidup tapi lemah karena usianya  atau wanita lemah karena sudah tua renta adalah boleh. Demikianlah, sedekah, doa, haji atau umrah untuk mayit dan orang yang sudah tidak mampu, semuanya ini bermanfaat baginya menurut pendapat seluruh ahli ilmu. Begitu juga puasa untuk mayit, kalau dia mempunyai kewajiban puasa baik karena nadzar, kaffarah atau puasa Ramadhan, berdasarkan keumuman sabda beliau , “Barangsiapa yang meninggal dunia dan mempunyai beban puasa, maka walinya yang (menggantikan) puasanya.” (hadits Muttafaq ‘alaih).

Begitu pula hadits-hadits lain yang semakna. Akan tetapi barangsiapa yang terlambat puasa Ramadhan karena alasan yang dibenarkan agama seperti sakit, bepergian kemudian meninggal dunia sebelum ada kesempatan mengqadha’nya, maka tidak (perlu) digantikan puasanya, juga tidak perlu memberikan makanan, karena dia memiliki udzur yang syar’i.” (Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Syaikh Ibn Baz, IV/348)

Demikianlah penjelasan dari sebagian ulama, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi dan para shahabatnya, radhiyallahu ‘anhum.

Wallahu a'lam.

03 November 2015

Al-Qira’at

Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan. Diterima oleh Rasulullah dari Jibril, dari Rabb Yang Maha Mulia, Allah subhanahu wa ta'ala.

Al-Quran ini tidak diambil setelah beliau kecuali dengan metode talaqqi (periwayatan secara langsung). Nabi telah membacakan kepada para Shahabat yang mulia beberapa qira’ah (bacaan) yang berbeda-beda, yang beliau mengambilnya langsung dari Jibril 'alaihissalam. Qira’ah-qira’ah ini diambil dan diriwayatkan oleh manusia –setelah generasi Shahabat- secara turun temurun dari generasi ke generasi, hingga akhirnya terkumpul dan terbatas pada nama beberapa orang yang mereka adalah silsilah periwayatan yang bersambung dalam talaqqi dan penyampaiannya (al-adâ’). Sedikit pun mereka tidak memiliki wewenang dalam menambah sesuatu atau mengurangi, karena semua qira’ah ini turun dari sisi Allah Ta’ala.

Para ulama telah menetapkan beberapa syarat bagi diterimanya suatu qira’ah dalam periwayatan, yaitu,
  1. Tulisannya (rasm) sesuai dengan rasm Mushaf Utsmani, yaitu mushaf yang ditulis oleh komite yang dibentuk oleh Khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu untuk menyalin kembali mushaf al-Quran
  2. Selaras dengan kaedah-kaedah bahasa Arab
  3. Sanad/jalan periwayatannya adalah mutawatir, diriwayatkan oleh jamaah yang berjumlah banyak, dari jamaah yang sepertinya, yang mustahil mereka akan bersepakat dalam kedustaan
Qira’ah-qira’ah yang terpenuhi syarat-syaratnya adalah sepuluh qira’ah. Tujuh diantaranya tidak diperselisihkan tentang mutawatirnya riwayat-riwayat qira’ah tersebut (sering diistilahkan dengan al qirâ-ât as sab'u). Tiga lainnya diperselisihkan, namun pendapat yang kuat, bahwa ketiganya adalah mutawatir dan diterima dan melengkapi qira'ah yang tujuh tadi menjadi sepuluh (diistilahkan dengan al qirâ-ât al 'asyr). Masih ada empat lagi qira’ah syâdzdzah (menyendiri), yang tidak memenuhi syarat-syarat diatas dan tidak diamalkan. Jumlah keseluruhan qira’ah-qira’ah yang ada yaitu 14 qira’ah.

Berikut adalah sedikit penjelasan tentang epuluh qira'ah yang diterima dan diakui tersebut :

Pertama : Qira’ah yang disepakati bahwa riwayatnya kuat dan mutawatir. Yang telah disepakati dalam masalah ini yaitu 7 qira’ah yang dikenal sebagai al Qirâ-ât as Sab’. Ketujuh qira’ah tersebut adalah yang dinisbatkan kepada para imam berikut,
  1. Nafi', yaitu Nafi' bin Abdirrahman bin Abi Nu’aim al-Laitsi (w. 169 H), imam penduduk Madinah. Ia mengambil qira’ah dari Abu Ja’far al-Qârri, dari 70 orang ahli Madinah. Dan dari Nafi', qira'ahnya diambil oleh Qâlûn (Isa bin Minâ bin Wardan al-Madani, wafat tahun 220 H) dan Warasy (Utsman bin Sa'id bin Abdullah al-Mishri, imam ahli qira'ah Mesir di masanya, wafat tahun 197 H)
  2. Ibnu Katsir, yaitu Abdullah bin Katsir ad-Dâri al-Makki (w. 120 H), imam para qurra’ (penghafal al-Quran) di Makkah. Ia mengambil bacaannya dari al-Mughirah bin Syihab dari Utsman bin ‘Affan.
  3. Abu 'Amr bin al-Alâ', Zabban bin al-'Ala' bin 'Ammar at-Tamimi al-Bashri (w. 154 H), imam dalam bahasa dan adab dan juga salah seorang imam qira'ah sab'ah. Ia meriwayatkan bacaannya dari Mujahid dan Sa’id bin Jubair (keduanya murid Ibnu Abbas)
  4. Ibnu ‘Amir (Abdullah bin ‘Amir al-Yahshabi, Abu Imran, wafat tahun 118 H), imam para qurra’ di Syam. Bertahun-tahun ia mengimami kaum muslimin di al-Jami al-Umawi, Damaskus, dan Khalifah Umar bin Abdil Aziz bermakmum di belakangnya. Ia mengambil qira’ahnya dari al-Mughirah bin Syihab dari Utsman.
  5. ‘Ashim bin Abi an-Nujud al-Kufi al-Asadi (w. 127 H), yang mengambil qira’ah dari Ibnu Mas’ud, imam ahli qira'ah di Kufah. Darinya qira’ah itu diambil oleh Hafsh bin Sulaiman (qari' penduduk Kufah dan murid 'Ashim yang paling mengenal qira'ah 'Ashim, wafat 180 H), Syu'bah bin 'Ayyasy al-Asadi (193 H) dan lainnya.
  6. Hamzah bin Habib al-Kufi (w. 156 H). Ia sempat menjumpai masa kehidupan beberapa shahabat, dan barangkali saja ia pernah melihat mereka. Diantara tokoh yang mengambil qira'ah darinya adalah Khallad bin Khalid asy-Syaibani (seorang yang tsiqah dan imam dalam qira'ah dan) dan Khalaf bin Hisyam al-Asadi al-Baghdadi (w. 229 H) yang mengambil qira'ah dari Salim bin Isa dan Abdurrahman bin Hammad, dari Hamzah. Khalaf telah memilih untuk dirinya sebuah qira'ah yang ia riwayatkan secara tersendiri, sehingga ia dianggap bagian dari sepuluh qira'ah yang diakui.
  7. Al-Kisa’i, yaitu Ali bin Hamzah al-Kisa’i an-Nahwi al-Kufi (w. 189 H), imam dalam bahasa dan nahwu, dan salah satu imam ahli qira'ah. Telah meriwayatkan darinya jumlah yang sangat banyak.
Kedua : Qira’ah yang diperselisihkan tentang status mutawatirnya, yaitu tiga qira’ah yang menyempurnakan qira’ah yang tujuh diatas menjadi sepuluh. Ketiganya adalah,
  1. Abu Ja’far al-Madani, Yazîd bin al-Qa’qâ’ al-Makhzumi al-Qârri (w. 130 H), imam ahli Madinah dalam qira'ah
  2. Ya’qub al-Bashri, Abu Muhammad Ya’qub bin Ishaq al-Hadhrami al-Bashri (w. 205 H), pakar qira'ah kota Bashrah
  3. Khalaf al-Baghdadi, Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab bin Khalaf (w. 229 H), yang telah disebutkan biografinya
Seperti yang telah dijelaskan, pendapat yang benar dan terpilih bahwa qira’ah-qira’ah ini juga mutawatir dan diamalkan. Para ulama ushul, para fuqaha' dan lain-lain telah bersepakat bahwa tidak ada qira'ah yang mutawatir yang lebih dari sepuluh qira'ah ini.

Kesimpulannya, tujuh qira'ah adalah mutawatir dengan kesepakatan para ulama, tiga qira'ah adalah qira'ah yang benar dan diterima menurut pendapat yang kuat dan terpilih, sementara empat bacaan yang selebihnya adalah qira'ah yang syâdzdzah menurut kesepakatan ulama. Keempat qira'ah itu adalah riwayat para imam berikut ini,
  1.  Muhammad bin Abdirrahman bin Muhaishin al-Makki (w. 123 H)
  2. Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi (w. 202 H)
  3. Al-Hasan bin Abil Hasan Yasar al-Bashri (w. 115 H), dan
  4. Sulaiman bin Mihran al-A'masy al-Kufi (w. 148 H)
Wallahu a'lam.