Sangat umum di kalangan kaum muslimin,
ketika membangun masjid, maka mereka akan membuatkan cekungan di bagian
depan masjid, atau ruangan khusus sebagai tempat berdiri imam yang
disebut mihrab. Mereka mengira bahwa apa yang mereka lakukan itu sesuai
dengan apa yang dimaksudkan ayat,
فَخَرَجَ عَلىَ قَوْمِهِ مِنَ المِحْرَابِ
“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya.” (QS. Maryam ayat 11).
Pandangan seperti ini adalah pandangan yang keliru. Karena mihrab
dalam bahasa Arab bermakna tempat shalat. Sedangkan dinding yang
melengkung atau menjorok ke depan di bagian kiblat masjid tidak disebut
sebagai mihrab. Ini adalah perkara baru yang terjadi di kaum muslimin
dengan meniru kebiasaan dan tradisi orang-orang di luar mereka dari kalangan Ahli Kitab.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullahu berkata, “Masjid Rasulullah ﷺ tidak memiliki mihrab.”[1]
Manshur bin al-Mu’tamir mengatakan bahwa Ibrahim an-Nakha’i membenci shalat di tempat yang cekung (yang dikhususkan) untuk imam.[2]
Sufyan ats-Tsauri rahimahullahu mengatakan, “Kami tidak menyukainya.”[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan,
“Makruh hukumnya bersujud dalam mihrab karena itu menyerupai apa yang
dilakukan Ahlul Kitab. Mereka mengkhususkan tempat untuk imamnya.”[4]
Al-Qârry berkata, “Mihrab adalah perkara baru setelah (masa) Rasulullah ﷺ. Karenanya, para as-Salaf ash-Shalih tidak menyukai membuat mihrab.”[5]
Dengan penjelasan ini, alangkah baiknya
jika kaum muslimin tidak lagi membiasakan membuat mihrab di
masjid-masjid yang mereka bangun. Kalau mihrab itu sudah terlanjur ada, maka
sebaiknya tidak digunakan untuk shalat. Imam bisa shalat dengan posisi
yang agak mundur di luar mihrab dan tidak berada dalam mihrab tersebut.
Kami juga mengingatkan para pemuda yang
bersemangat ingin mengamalkan sunnah, hendaknya mereka bijak menyikapi
fenomena seperti ini dan jangan membuat polemik baru di masyarakat.
Hukum mihrab ini makruh dan tidak sampai pada keharaman. Para Salaf
telah melihat mihrab di masjid-masjid mereka dan tidak pernah dinukil
bahwa mereka memerintahkan untuk menghancurkan mihrab tersebut. Mereka
tetap shalat di masjid itu atau memimpin shalat, tetapi tanpa
menggunakan mihrabnya. Demikianlah yang disebutkan dari perbuatan Imam
al-Hasan al-Bashri rahimahullahu.
Wallahu a'lam.
(Sumber : Tis’ûn Khatha’an fî al Masâjid, Syaikh Wahid bin Abdissalam Bali)
----------------------
Footnotes :
[1] Fathul Bâry, syarah hadits no. 497
[2] Mushannaf Abdirrazzâq (II/413)
[3] Mushannaf Abdirrazzâq (II/413)
[4] Iqtidhâ’ ash Shirât al Mustaqîm (I/351)
[5] ‘Aun al Ma’bûd, syarah hadits no. 485
[2] Mushannaf Abdirrazzâq (II/413)
[3] Mushannaf Abdirrazzâq (II/413)
[4] Iqtidhâ’ ash Shirât al Mustaqîm (I/351)
[5] ‘Aun al Ma’bûd, syarah hadits no. 485
0 tanggapan:
Posting Komentar