Diantara
tipuan syaitan terhadap sebagian aktivis dakwah adalah pelegalan hal-hal
yang menyimpang dari prinsip dasar keyakinan agama mereka atas nama
mashlahat dan kepentingan dakwah!
Atas nama
mashlahat dakwah, gambar dan foto tokoh yang dibanggakan dalam suatu
jama’ah boleh dipajang dengan berbagai macam gaya dan bentuknya. Padahal
banyak para ustadznya dan kader dakwah sejatinya yang masih menganggap
tabu persoalan foto, tapi anehnya sepertinya tidak ada masalah jika
berkait dengan kepentingan pencitraan lembaga dan tokohnya.
Atas nama
kepentingan dakwah, dibenarkan berkawan dan bermesraan dengan siapa saja
selama dia masih muslim tanpa peduli bagaimana prinsip dasar aqidah dan
manhajnya.
Atas nama
dakwah, para aktivis wanitanya diharuskan keluar rumah untuk ikut andil
dalam memperjuangkan “dakwah” (baca : jamaah/lembaga/organisasi)
walaupun itu harus mengorbankan rumahnya[1]. Kami tidak berbicara
tentang wanita yang keluar untuk belajar dan menuntut ilmu syar’i dalam
batas-batas yang diperlukan dan tidak menyita waktu dan tenaganya. Yang
kami bicarakan adalah eksploitasi para akhawat untuk bekerja
mati-matian demi kepentingan rekrutmen kader untuk mencapai jumlah
tertentu demi kebanggaan dan ketenaran!
Atas nama
kemashlahatan dakwah, majelis ilmu tidak lagi dianggap penting dan
efektif kalau tidak bisa mengumpulkan banyak massa yang akan direkrut
menjadi kadernya.
Atas nama
kepentingan dakwah pula kualitas kader tidak lagi menjadi perhatian
penting karena semuanya diharuskan sibuk untuk memperbanyak jumlah.
Atas nama
dakwah, ketulusan dalam berjuang harus ternoda oleh semangat untuk
pencitraan lembaga dan para ustadznya agar dikenal di kalangan
masyarakat. Lagi-lagi untuk sebuah kepentingan.
Atas nama
kepentingan dakwah, para kader diarahkan untuk bepartisipasi dalam
pemilihan kepala daerah dengan mendukung calon tertentu. Tidak ada yang
salah jika tujuannya memang benar untuk kemashlahatan Islam dan kaum
muslimin. Tapi kalau dukungan itu dengan imbalan pemberian “bantuan
materi” si calon?! Kami jadi ragu, jangan-jangan dukungan itu hanya
untuk mashlahat jamaah si pendukung calon tersebut.
Agama ini adalah agama rabbânî
yang Allah telah menjadikan tujuannya adalah sebaik-baik tujuan. Dan
Dia menjadikan sarana untuk mewujudkan tujuan tersebut sebagai sarana
yang mulia dan terhormat.
Allah tidak akan mungkin menjadikan kemenangan dakwah ini tegak diatas manhaj yang bukan berasal dari manhaj dakwah Nabi ﷺ.
Penggunaan wasilah dan sarana apa saja yang menyelisihi manhaj rabbânî
yang telah digariskan oleh Rasulullah ﷺ dalam dakwah beliau adalah
bentuk penyimpangan dari jalan kebenaran dan pelecehan terhadapnya.
Bahkan, walaupun sebagian wasilah itu bisa mendatangkan sedikit manfaat
menarik dalam pandangan para pengikut dakwah tersebut.
Para ulama
kita dahulu telah menetapkan sebuah kaedah penting, bahwa “akhir umat
ini tidak akan pernah baik kecuali dengan perkara yang telah menjadikan
baik generasi awalnya”.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullahu ditanya, “Apakah wajib mendapatkan sebagian mashlahat, baik yang bersifat wajib kifa’i atau ‘aini, jika jalan menuju kepada mashlahat tersebut terdapat perkara-perkara yang menyimpang dan diharamkan?”
Beliau rahimahullahu menjawab,
“Tidak boleh! Karena tidak ada dalam Islam kaedah yang mengatakan ‘tujuan membolehkan segala cara’.
Bahkan Islam telah menyebutkan lebih dari satu dalil dalam Kitab-Nya
dan sunnah nabiNya – ﷺ – bahwa rezki yang telah Allah tetapkan untuk
seseorang, tidak boleh seorang muslim mencari jalan untuk mendapatkannya
dengan jalan yang diharamkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits
(riwayat) al-Hakim dan lainnya dari sabda Nabi ﷺ,
إِنَّ مَا عِنْدَ الله لَا يُنَالُ بِالحَرَامِ
‘Apa yang berada di sisi Allah tidak boleh didapatkan dengan cara yang haram.’
Rezki yang
berasal dari Allah, yang dia itu tidak seperti kedudukan shalat dan
yang semacamnya dari kewajiban-kewajiban yang fardhu ‘ain, rezki itu
diusahakan seorang muslim semata-mata untuk memelihara dirinya dari
meminta-minta kepada manusia. Andai ia mencukupkan diri dengan rezki
yang halal dan tidak berusaha yang selain itu, ia tidak dianggap sebagai
orang yang lalai, karena mencari rezki sebagaimana yang kami sebutkan
semata-mata agar seorang manusia bisa menjaga dirinya dari meminta-minta
kepada manusia.
Jika saja
usaha untuk mendapatkan rezki itu tidak boleh dengan cara yang haram
dengan dalil hadits yang sudah dikenal, yaitu sabdanya, ‘Apa yang di sisi Allah tidak boleh diusahakan dengan cara yang haram’;
maka lebih pantas lagi, dan lebih layak lagi bahwasannya tidak
dibolehkan seorang muslim, bahkan seluruh muslim, dan bahkan sebuah
jamaah Islam, yang ingin mendakwahi manusia untuk mengamalkan Kitab
Allah dan sunnah Rasulullah ﷺ; sangat layak bagi mereka untuk tidak
menghalalkan sebagian perkara yang diharamkan untuk mewujudkan sebagian
dari tujuan-tujuan mereka. Karena hal itu kebalikan dari firman Allah tabâraka wa ta’âlâ seperti,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
‘Barangsiapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.’ (QS. Ath-Thalaq ayat 2 & 3).
Itu dari satu sisi.
Di sisi lain, kita berbeda dari seluruh jamaah-jamaah dan kelompok-kelompok. Kita bukanlah kelompok (hizb),
dan kita bukanlah koalisi (gabungan beberapa kelompok)… Kita adalah
kaum muslimin, dan kita berusaha untuk berjalan dalam Islam kita ini di
atas manhaj para Salafush shalih kita, radhiyallâhu ‘anhum ‘ajma’în.
Setiap
kita mengetahui dengan pasti bahwa mereka suatu waktu dahulu tidak
pernah terlintas dalam benak mereka, apalagi untuk mewujudkan itu dalam
kehidupan mereka, bahwa mereka akan menghalalkan sebagian perkara haram
demi untuk mewujudkan sebagian tujuan-tujuan islami… Bagaimana bisa (itu
dilegalkan)?! Sementara ayat tadi mengatakan,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ
‘Barangsiapa
yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.’ (QS. Ath-Thalaq ayat 2 & 3).
Lisan
orang yang mengucapkan bolehnya melakukan sebagian pelanggaran untuk
mewujudkan sebagian tujuan-tujuan syar’i; ucapan mereka itu bertolak
belakang dengan ayat tersebut. Yaitu ucapan mereka bahwa ‘siapa yang
bertakwa kepada Allah di masa kini, yang ingin menerapkan hukum-hukum
Allah seluruhnya, maka dakwahnya akan sangat terbatas dan sempit.
Karenanya telah menjadi keharusan untuk melanggar sebagian perkara yang
tidak diizinkan Rasul sehingga kita bisa melebarkan dakwah ini!’
Saya
katakan, di sana ada peringatan yang mengingatkan tentang adanya
keburukan yang berbahaya jika para pengemban dakwah kebenaran tidak
memperbaiki urusan mereka sebelum dia menjadi semakin runyam. Yaitu kami
mendengar dari waktu ke waktu bahwa mereka selalu saja melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang banyak dalam jalan yang mereka sebut
sebagai penyebaran dakwah!”[2]
Penggunaan
istilah “mashlahat dakwah” pada saat ini dalam banyak kasus adalah
pemutar balikan fakta untuk kepentingan tertentu dari orang-orang yang
menggunakannya. Seorang da’i dalam pergerakan Islam besar di abad ini
pernah memperingatkan bahaya dari penggunaan istilah tersebut. Beliau
berkata, semoga Allah mengampuni dan merahmatinya, “(Ungkapan) mashlahat
dakwah telah berubah menjadi berhala yang dipuja oleh para pengikut
dakwah dan mereka mulai melupakan manhaj dakwah yang prinsip. Wajib bagi
para pengikut dakwah untuk istiqamah diatas jalan dakwah tersebut dan
benar-benar teliti menempuh jalan itu, tanpa harus menoleh kepada
hasil-hasil yang terkadang mengganggu pikiran mereka bahwa padanya ada
bahaya yang akan mengancam dakwah dan para pengikutnya… Satu-satunya
bahaya yang wajib mereka khawatirkan adalah bahaya penyimpangan dari
manhaj dikarenakan oleh salah satu dari sebab-sebab, baik penyimpangan
itu banyak atau sedikit. Allah lebih tahu dari mereka persoalan
mashlahat dan mereka tidak dibebankan untuk hal itu. Mereka hanya
dibebankan satu perkara, yaitu jangan sekali-kali menyimpang dari
manhaj, jangan sekali-kali melenceng dari jalan ini!”[3]
Kami tidak
pernah mengingkari istilah mashlahat dakwah. Yang kami ingkari adalah
penggunaan istilah itu untuk kepentingan yang selain kepentingan Islam
dan kaum muslimin. Tidak boleh memanfaatkan istilah “mashlahat dakwah”
untuk kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok yang sempit.
Sehingga digambarkan kepada para pengikutnya bahwa kepentingan pribadi
dan kelompoknya itulah dia mashlahat dan kepentingan dakwah atau
sebaliknya. Sebagaimana juga tidak boleh menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan-tujuan dakwah yang mulia.
Kita
telah berkomitmen terhadap diri-diri kita bahwa kita tidak akan
melakukan perkara yang diharamkan, tidak akan meninggalkan apa yang
diwajibkan, dan tidak akan melakukan bid’ah demi untuk mashlahat dakwah!
Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kita untuk istiqamah![4]
Allah Ta’ala berfirman,
فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ
“Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya.” (QS. Fushshilat ayat 6).
Dan Dia berfirman mengajak kepada sikap istiqamah,
إِنَّ
الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ
عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا
بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ، نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي
أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ، نُزُلا مِّنْ غَفُورٍ
رَّحِيمٍ
“Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan Tuhan kami ialah Allah dan mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka
(dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu
bersedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah
dijanjikan Allah kepadamu’. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam
kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang
kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.
Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Fushshilat ayat 30-32).
—————————
Footnotes :
[1]
Para ulama membolehkan seorang wanita yang memilliki kapasitas ilmu
syar’i untuk keluar rumah berdakwah di kalangan wanita, mengajarkan
mereka urusan agamanya. Tapi dengan syarat hal itu dilakukan dengan izin
suami dan tidak mengabaikan urusan rumah, suami dan anak-anak. Anehnya
di zaman ini, seorang muslimah baru saja mengenal Islam, dan waktu,
tenaga dan pikirannya dieksploitasi habis-habisan untuk mengurus dan
memperjuangkan kepentingan lembaga yang mereka sebut “dakwah”!!
[2] Rekaman no. 401 dari Silsilah al-Hudâ wa an-Nûr
[3] Afrâh ar-Rûh, Sayyid Quthb rahimahullahu
[4] Al-Makhraj min al-Fitnah, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullahu
0 tanggapan:
Posting Komentar