Para ulama berbeda pendapat dalam persoalan menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran kepada orang yang sudah meninggal, apakah
sampai pahalanya atau tidak?
Pendapat yang terpilih dari dua pendapat
ulama, bahwa “hadiah” bacaan tersebut tidaklah sampai kepada si mayit.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan tidak ada (pahala) bagi manusia kecuali apa yang diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39).
Juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ ,
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية وعلم ينتفع به وولد صالح يدعو له
“Jika seorang anak Adam meninggal,
maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu
yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Imam Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya mengenai firman Allah dalam surat An-Najm ayat 39, “Berdasarkan ayat ini, Imam Syafi’i dan pengikutnya mengambil
kesimpulan hukum bahwa bacaan (Al-Qur’an) tidak sampai jika pahalanya
dihadiahkan kepada mayit, karena itu bukan amal dan jerih payahnya. Oleh
karenanya, Rasulullah ﷺ tidak
menganjurkan dan tidak mengajak umatnya untuk itu dan tidak pula memberi
petunjuk baik secara jelas atau isyarat. Tidak pula hal itu dinukil
dari seorang pun dari para shahabat radhiyallahu 'anhum. Jika hal
itu suatu kebaikan, pasti mereka akan mendahului kita (dalam perkara itu). Dalam masalah ibadah, hendaknya membatasi dengan perkara yang
telah dikhususkan oleh dalil, tidak diperkenankan mengalihkannya dengan
berbagai macam qiyas dan logika. Adapun doa dan shadaqah, hal itu telah
disepakati sampainya pahalanya (kepada mayat) karena dengan tegas dinyatakan dalam
syariat.” (Tafsir Ibnu Katsir, IV/258).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu
pernah ditanya tentang menghadiahkan bacaan Al-Qur’an dan shadaqah
untuk ibu, baik (beliau dalam kondisi) hidup atau mati? Beliau menjawab:
“Kalau bacaan Al-Qur’an, para ulama
berbeda pendapat, apakah pahala sampai kepada mayit? Para ulama berbeda
dalam dua pendapat. Yang terkuat adalah (pahala itu) tidak sampai karena
tidak ada dalilnya. Dan karena Rasulullah ﷺ
tidak pernah melakukannya terhadap orang-orang yang telah wafat dari
kalangan umat Islam seperti puteri-puteri beliau yang telah wafat saat
beliau ﷺ masih hidup. Sepengetahuan kami, hal itu tidak pernah dilakukan para shahabat radhiyallahu ‘anhum.
Yang lebih utama bagi orang mukmin adalah meninggalkan hal itu dan
tidak membacanya untuk mayit maupun untuk yang masih hidup. Begitu juga
tidak melakukan shalat untuk mereka, dan juga amalan sunnah dengan
berpuasa untuk mereka. Karena semuanya itu tidak ada dalilnya.
Asal dari ibadah adalah tauqifi (hanya membatasi pada dalil) yang ada perintahnya dari Allah subhanahu wa ta’ala atau rasul-Nya ﷺ dalam syari’atnya. Sementara sedekah, hal itu bermanfaat bagi yang hidup maupun mati dengan kesepakatan (ijma’)
umat Islam. Begitu juga dengan doa, bermanfaat bagi yang hidup maupun
mati dengan kesepakatan umat Islam. Orang yang masih hidup, tidak
diragukan lagi bahwa sedekah dan doa bermanfaat baginya. Orang yang
berdoa sementara kedua orang tuanya masih hidup, keduanya bisa mengambil
manfaat dengan doanya tersebut, begitu juga dengan sedekah akan
bermanfaat ketika keduanya masih hidup.
Menunaikan haji untuknya kalau mereka
lemah karena sudah tua atau sakit yang tidak mungkin sembuh, juga
bermanfaat baginya. Karena telah ada ketetapan dari beliau ﷺ ,
bahwa seorang wanita bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah
telah mewajibkan haji, sementara ayahku sudah tua, tidak
mampu melakukan perjalanan. Apakah saya (boleh) menunaikan haji
untuknya?” Beliau ﷺ menjawab, “Tunaikanlah haji untuknya.”
Kemudian, ada juga orang lain yang
datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku
sudah tua, tidak mampu menunaikan haji dan (naik) kendaraan. Apakah
(boleh) saya menunaikan haji dan umrah untuknya?” Beliau menjawab, “Tunaikan haji untuk ayahmu dan lakukanlah umrah.”
Ini adalah dalil bahwa menghajikan
mayit atau orang yang masih hidup tapi lemah karena usianya atau wanita
lemah karena sudah tua renta adalah boleh. Demikianlah, sedekah, doa,
haji atau umrah untuk mayit dan orang yang sudah tidak mampu, semuanya
ini bermanfaat baginya menurut pendapat seluruh ahli ilmu. Begitu juga
puasa untuk mayit, kalau dia mempunyai kewajiban puasa baik karena
nadzar, kaffarah atau puasa Ramadhan, berdasarkan keumuman
sabda beliau ﷺ , “Barangsiapa yang meninggal dunia dan mempunyai beban puasa, maka walinya yang (menggantikan) puasanya.” (hadits Muttafaq ‘alaih).
Begitu pula hadits-hadits lain yang
semakna. Akan tetapi barangsiapa yang terlambat puasa Ramadhan karena
alasan yang dibenarkan agama seperti sakit, bepergian kemudian meninggal
dunia sebelum ada kesempatan mengqadha’nya, maka tidak (perlu)
digantikan puasanya, juga tidak perlu memberikan makanan, karena dia memiliki
udzur yang syar’i.” (Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Syaikh Ibn Baz, IV/348)
Demikianlah penjelasan dari sebagian ulama, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi ﷺ dan para shahabatnya, radhiyallahu ‘anhum.
Wallahu a'lam.
0 tanggapan:
Posting Komentar