"Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda (fityah) yg beriman kepada Rabb mereka. Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk". {Terjemah QS. Al-Kahfi : 13}

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam". {Terjemah QS. Ali 'Imran : 102}

"Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu". {Terjemah QS. Muhammad : 7}

"Sesungguhnya aku telah meninggalkan kalian diatas sesuatu yang putih bersinar. Malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang menyimpang darinya melainkan dia pasti binasa". {HR. Ibnu Majah}

"Berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah para Khulafa' ur Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah dan gigitlah sunnah itu dengan gerahammu. Jauhilah perkara-perkara baru (dalam agama). Karena sesunggguhnya setiap bid'ah adalah kesesatan". {HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi}

Sponsors

27 Februari 2015

As-Salafiyyah adalah Mengikuti Manhaj Nabi ﷺ

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu dalam jawaban pertanyaan yang ditujukan pada beliau :

"As-salafiyyah" adalah ittiba' (mengikuti) manhaj (metode) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya. Karena merekalah salaf kita yang telah mendahului kita. Maka mengikuti mereka itulah as-salafiyyah.

Adapun menjadikan as-salafiyyah sebagai sebuah manhaj khusus yang seseorang bersendirian dengannya dan kemudian menyesatkan kaum muslimin yang menyelisihinya walaupun mereka berada diatas kebenaran, serta menjadikan as-salafiyyah seperti sebuah hizb (kelompok tertentu), maka tidak diragukan bahwa yang seperti ini menyelisihi as-salafiyyah.

Para Salaf, semuanya mengajak kepada persatuan dan perkumpulan di sekitar sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wasallam dan tidak menyesatkan orang yang menyelisihi mereka karena sebuah ta'wil. Allaahumma, kecuali dalam persoalan aqidah, maka sungguh mereka memandang orang yang menyelisihi mereka dalam persoalan aqidah adalah seorang yang sesat. Adapun dalam persoalan-persoalan ilmiah, mereka memberi banyak keringanan.

Akan tetapi, sebagian orang yang menapaki manhaj as-salafiyyah di zaman kita ini suka menyesatkan setiap orang yang menyelisihinya walaupun orang itu berada diatas kebenaran. Sebagian mereka menjadikan as-salafiyyah sebagai sebuah manhaj hizbi sebagaimana manhaj kelompok-kelompok yang menisbatkan dirinya kepada Dinul Islam. Perkara seperti inilah yang diingkari dan tidak mungkin dibiarkan. Katakanlah (kepada mereka) : Lihatlah kepada mazhab as-Salaf ash-Shalih, apa yang dahulu mereka lakukan? Lihatlah kepada thariqah (jalan) mereka dalam kelapangan hati untuk menerima perbedaan yang dimungkinkan padanya ijtihad. Sampai-sampai mereka berselisih dalam persoalan-persoalan besar; dalam persoalan aqidah dan amali. Engkau akan dapatkan sebagian mereka -misalkan- mengingkari bahwa Rasul shallallahu 'alaihi wasallam melihat Rabb-nya. Sementara sebagian mengatakan : Benar (beliau melihat Rabb-nya).

Engkau akan melihat sebagian mereka mengatakan : Yang ditimbang pada Hari Kiamat nanti adalah amal-amal. Sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa kitab-kitab amalan yang akan ditimbang. Engkau juga melihat mereka banyak berbeda dalam persoalan-persoalan fiqh; dalam persoalan nikah, fara'idh (warisan), jual beli dan lain-lain, namun walaupun demikian mereka tidak saling menyesatkan.

Maka as-salafiyyah dalam makna bahwa dia adalah sebuah kelompok tertentu yang memiliki ciri-ciri khusus, yang individu-individu di dalamnya suka menyesatkan yang selain mereka; mereka bukanlah bagian dari as-salafiyyah sedikitpun.

Adapun  as-salafiyyah dalam makna ittiba' manhaj as-Salaf dalam aqidah, ucapan, perbuatan, persatuan, yang diperselisihkan, yang disepakati, kasih sayang dan cinta, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر

"Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan mereka seperti jasad yang satu. Jika salah satu anggota tubuh mengeluh sakit, maka seluruh tubuh akan ikut merasakan demam dan begadang."; maka inilah as-salafiyyah yang hak!

(Liqa-aat al Baab al Maftuuh, III/246)

-------------------

Sumber : islamqa.info/ar

20 Februari 2015

Turunnya Al-Quran Al-Karim

Al-Quran memiliki fase-fase diturunkan;

Pertama, turunnya ke al-Lauh al-Mahfudzh ketika Allah menciptakan al-Lauh al-Mahfudzh. Al-Quran sebelum itu berada pada ilmu Allah yang azali.

Kedua, turunnya dari al-Lauh al-Mahfudzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia.

Ketiga, turunnya dari Baitul ‘Izzah kepada Nabi ﷺ.

Fase ketiga turunnya al-Quran terjadi secara bertahap dan berangsung-angsur selama 23 tahun, dengan tujuan untuk mengokohkannya dalam hati Nabi ﷺ melalui perjumpaannya dengan Malaikat Jibril, di sela-sela apa yang diturunkan padanya dari ayat-ayat yang memerintahkan untuk bersabar dan menggembirakannya dengan kemenangan.

Tujuan lainnya adalah untuk membantu orang-orang mukmin dalam menghafal dan menjaga Kitab Allah secara bertahap, agar juga turunnya ayat sejalan dengan suatu kejadian atau peristiwa untuk memberikan solusi atas masalah yang ada dan mengajarkan umat bagaimana seharusnya berinteraksi dengannya. Dan terakhir, bertujuan untuk menetapkan hukum-hukum Syari’at (tasyri’) secara bertahap dan berjenjang.
 
Yang pertama kali diturunkan kepada Nabi ﷺ dari al-Quran adalah firman Allah,

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبّكَ الَذِيْ خَلَقَ، خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ، اقْرَأ وَرَبّكَ الأكْرَمُ، الَذِيْ عَلّمَ بِالقَلَمِ، عَلّمَ الإنْسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ

Bacalah dengan menyebut nama Rabb-mu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabb-mulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan al-qalam (tulis baca). Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq ayat 1-5)

Dan yang terakhir diturunkan adalah firmanNya,

وَاتّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيْهِ إلىَ اللهِ ثُمّ تُوَفّىَ كُلّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُوْنَ

Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah ayat 281);

diturunkan sembilan malam sebelum wafatnya beliau, .

15 Februari 2015

Tawassul yang Disyari’atkan

Tawassul menurut bahasa adalah mendekatkan diri kepada sesuatu dengan sesuatu tertentu. Seperti ketika seseorang ingin mendekatkan dirinya kepada orang tertentu dengan melakukan amalan tertentu, atau dengan memberi hadiah tertentu dan lain-lain yang bertujuan untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

Tawassul dalam istilah memiliki dua makna,

1. Definisi umum, yaitu mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan mengerjakan apa-apa yang diperintahkan dan menjauhi perkara-perkara yang diharamkan.

2. Definisi khusus dalam pembahasan tentang doa, yaitu ketika seorang yang berdoa mengucapkan dalam doanya apa yang dia harapkan bisa menjadi sebab dikabulkannya doanya, atau dengan meminta kepada seorang shalih agar mendoakan kebaikan untuknya.

Tawassul pada pokoknya terbagi dua yaitu tawassul masyrû’ (yang disyari’atkan) dan tawassul bid’iy (bid’ah).

Tawassul yang disyari’atkan memiliki banyak jenis, yang secara globalnya adalah sebagai berikut;

1. Bertawassul kepada Allah dengan menyebut nama-nama dan sifat-sifatNya.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلهِ الأسْمَاءُ الحُسْنىَ فَادْعُوهُ بِهَا

Hanya milik Allah al-asma’ al-husna, maka bermohonlah kepadanya dengan menyebut al-asma’ al-husna itu.”(QS. Al-A’raf ayat 180).

Misalkan ketika seseorang berdoa dia memulainya dengan menyebut semua al-asma al-husna, “Ya Allah, aku memohon padamu dengan seluruh nama-namaMu yang sangat indah agar Engkau berkenan mengampuniku”; atau dengan menyebut nama tertentu dari nama-namaNya, “Ya Rahmân, Ya Rahîm, rahmatilah aku”, dan yang semacamnya.

2. Bertawassul dengan memuji Allah dan bershalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di permulaan doa.

Diriwayatkan dari Fudhalah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mendengar seorang laki-laki berdoa dalam shalatnya tanpa memuji Allah dan tidak bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. maka beliau bersabda,

عجل هذا

Orang ini terburu-buru!

Kemudian beliau memanggilnya dan berkata,

إذا صلى أحدكم فليبدأ بتحميد الله والثناء عليه ثم ليصل على النبي ثم ليدع بما شاء

Jika salah seorang dari kalian telah shalat, maka mulailah dengan memuji Allah dan meyanjungNya, kemudian bershalawatlah kepada Nabi, kemudian dia bisa berdoa dengan doa apa saja yang dia inginkan.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dishahihkan al-Albani).

3. Bertawassul kepada Allah dengan menyebut janjiNya, sebagaimana dalam firmanNya,

رَبَّنَا وَآتِنَا وَا وَعَدتَنَا عَلىَ رُسُلِكَ

Wahai Rabb kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasulMu.” (QS. Alu Imran ayat 194)

4. Bertawassul kepada Allah dengan perbuatan-perbuatanNya, seperti perkataan seseorang : “Wahai Dzat yang telah menolong Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Badar, tolonglah kami atas orang-orang kafir!”

5. Bertawassul kepada Allah dengan ibadah-ibadah dan amal-amal shalih yang dilakukan muslim tersebut. Seperti kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua. Salah satunya bertawassul dengan baktinya pada kedua orang tuanya, yang kedua dengan memberikan seluruh upah pekerjanya setelah ia terlebih dahulu mengembangkan upah orang tersebut hingga menjadi berlipat ganda, dan yang terakhir bertawassul dengan perbuatannya yang meninggalkan zina. Ketiga orang ini diakhir doa mereka masing-masing mengatakan, “Ya Allah, jika aku mengerjakannya semata-mata karena mengharapkan Wajah-Mu, maka lepaskan kami dari situasi kami ini!”

6. Bertawassul dengan menyebutkan keadaan dirinya dan bahwa dia sangat membutuhkan rahmat dan bantuan Allah Ta’ala. Seperti perkataan Musa ‘alaihissalam,

رَبِّ إِنِّيْ لِمَا أنْزَلْتَ إلَيَّ مِن خَيْرٍ فَقِيْرٍ

Ya Rabb, sesungguhnya aku sangat membutuhkan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (QS. Al-Qashash ayat 24).

Termasuk dalam hal ini adalah pengakuan dosa dengan menyebutkan hajatnya kepada rahmat Allah dan ampunan-Nya, seperti dalam firman-Nya,

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أنْفُسَنَا وَإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّا مِنَ الخَاسِرِيْنَ

Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf ayat 23).

7. Bertawassul dengan doa seorang shalih dengan harapan Allah akan mengabulkan doa orang tersebut untuknya. Dengan syarat, orang yang dimintai doa adalah orang yang masih hidup, hadir bersamanya untuk dimintai bantuannya dalam doa. Contohnya seperti perkataan putra-putra Ya’qub ‘alaihissalam,

يَا أبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوْبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِيْنَ

Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah.” (QS. Yusuf ayat 97).

Bentuk-bentuk tawassul yang telah kami sebutkan adalah perkara yang masyru’ (disyari’atkan) dan benar karena telah ditunjukkan oleh dalil-dalil yang syar’i, dan para ulama telah bersepakat tentang kebolehannya.

Wallahu a’lam.

(Sumber : Tahdzîb Tashîl al ‘Aqîdah al Islâmiyyah, Syaikh Dr. Abdullah bin Abdul Aziz al-Jibrin hafidzhahullahu)

11 Februari 2015

Menghadiri Hilf al-Muthayyibîn

Riwayat al-Waqidi dan Ibnu Ishaq menyebutkan -tanpa sanad- tentang ikut sertanya Nabi ﷺ dalam harb al-Fijar (perang Fijar) antara Quraisy dan Kinanah di satu pihak dengan Qais 'Ailan di pihak lainnya.

Perang ini adalah perang dalam lingkaran tradisi dan persekutuan jahiliyyah, dan tidak terdapat riwayat yang sah bahwa Nabi ﷺ menghadirinya namun riwayat yang sah menyebutkan tentang kehadiran beliau dalam hilf al-muthayyibin dan beliau memuji perjanjian tersebut. Beliau berkata, "Saya menyaksikan hilf al-muthayyibin bersama paman-paman saya saat saya masih remaja. Saya tidak suka jika saya memiliki onta-onta merah dan saya merusak perjanjian tersebut."[2]

Hilf al-muthayyibin adalah persekutuan antara Bani Hasyim, Bani Umayyah, Bani Zuhrah dan Bani Makhzum. Perjanjian itu dibuat di rumah Abdullah bin Jud'an yang berisi kesepakatan untuk membela dan menolong orang yang terzalimi di Makkah dan mengembalikan hak kepada ahlinya.

Perjanjian ini disebut juga dengan nama hilf al-fudhul.

Penyebutan hilf al-fudhul sebagai hilf al-muthayyibin dalam hadits karena klan-klan Quraisy yang menyepakati perjanjian tersebut mereka jugalah yang dahulu bersekutu dalam hilf al-muthayyibin yang pertama.[2]

Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa Nabi ﷺ saat terjadinya peristiwa itu berumur 20 tahun.

Peristiwa ini telah dibanggakan oleh Nabi ﷺ dalam haditsnya karena berisi pembelaan terhadap prinsip keadilan. Peristiwa yang terjadi 20 tahun sebelum kenabiannya. Hal yang positif dalam sebuah tradisi pantas untuk disebarkan dan dibanggakan walaupun hal itu datang dari perbuatan orang-orang di masa jahiliyyah.[3]

---------------

Footnotes :

[1] HR. Ahmad (al-Musnad, I/190-193) dan al-Hakim (al-Mustadrak, II/219-220) dan ia berkata : "Hadits shahih isnadnya dan tidak diriwayatkan oleh al-Bukhary dan Muslim." Adz-Dzahabi menguatkannya dan dishahihkan juga oleh al-Albani (Hasyiyah Fiqh as Sirah, hal. 75).

[2] Setahun sebelum terjadinya peristiwa serangan tentara bergajah, sembilan klan dari suku-suku Quraisy, diantaranya Bani Hasyim, Bani Zuhrah dan Bani Taim, berkumpul di rumah Ibnu Jud’an ketika Bani Abdi Manaf ingin merampas as-Siqayah (memberi minum para haji) dan al-Liwa’ (bendera perang Quraisy) dari Bani Abdiddar, yang telah mereka warisi tugas tersebut secara turun temurun. Maka berkumpullah suku-suku tersebut dalam sebuah persekutuan untuk membela pihak yang terzalimi. Ummu Hakim, putri Abdul Muththalib mengirim kepada mereka sebuah bejana yang berisi wewangian (dalam bahasa Arab: thîb), dan mereka pun mencelupkan tangan-tangannya dalam wewangian itu dan memukulkannya ke dinding Ka’bah. Dengan itulah perjanjian ini dinamakan Hilf al-Muthayyibîn.

[3] Dr. Akram Dhiya' al-Umari, as Sirah an Nabawiyyah ash Shahihah.

03 Februari 2015

Hadits Hasan

Menurut bahasa hadits "hasan" berasal dari kata ( الحُسن ) yang bermakna keindahan ( الجمال ).

Menurut istilah, hadits hasan adalah,

ما اتصل سنده بنقل العدل الذي خف ضبطه من غير شذوذٍ ولا علةٍ

“Apa yang bersambung sanadnya dengan nukilan periwayatan seorang yang ‘adl dan ringan dhabth-nya, tanpa adanya syudzûdz dan ‘illah.”

Tidak ada yang membedakannya dari hadits-shahih kecuali dalam masalah dhabth sebagian perawinya, karena dhabth yang dimilikinya kurang daripada dhabth yang disyaratkan bagi setiap perawi dalam hadits shahih.

Hukumnya 
                                      
Hukumnya sama seperti hadits-shahih dalam argumen walaupun tidak sama dalam kekuatan keshahihannya. Bahkan sebagian ulama, seperti al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah, memasukkan hadits hasan dalam bagian hadits shahih, walaupun mereka juga mengatakan bahwa dia berbeda dari hadits shahih yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelum ini.

Contohnya

At-Tirmidzi meriwayatkan dengan perkataannya,

حدثنا قتيبة، حدثنا جعفر بن سليمان الضبعي، عن أبي عمران الجوني، عن أبي بكرٍ بن أبي موسى الأشعري قال : سمعت أبي بحضرة العدو يقول : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن أبواب الجنة تحت ظلال السيوف

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Sulaiman adh-Dhubba’i, dari Imran al-Jauni, dari Abu Bakr bin Abi Musa al-Asy’ari, ia berkata : Saya mendengar ayahku ketika berhadapan dengan musuh berkata : Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya pintu-pintu Surga berada di bawah naungan pedang…

At-Tirmidzi mengomentari hadits tersebut, “Ini adalah hadits hasan.”

Hadits ini sebagaimana yang beliau katakan, karena semua perawinya adalah “tisqah” (sangat terpercaya) kecuali Ja’far bin Sulaiman adh-Dhuba’i, seorang yang “shadûq” (sangat jujur) dan haditsnya berada pada level hasan.

01 Februari 2015

Tabarruk dengan Para Wali dan Orang-orang Shalih

Dalam hadits-hadits yang shahih telah disebutkan tentang bolehnya bertabarruk (mengambil berkah) dengan jasad dan peninggalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkait dengan jasadnya, seperti rambut, keringat, pakaian dan lain-lain.

Adapun yang selain beliau, maka tidak ada dalil yang secara jelas membolehkan perkara tersebut. Karena itu, tidak pernah diriwayatkan dari seorang pun dari kalangan Shahabat dan Tabi’in bahwa mereka bertabarruk dengan jasad atau peninggalan seorang yang shalih dari kalangan mereka. Mereka bahkan tidak pernah bertabarruk dengan orang yang paling utama di umat ini setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, tidak dengan shahabat-shahabat senior lainnya, dan tidak pula dengan ahlul bait.

Dengan landasan ini, siapa yang bertabarruk dengan jasad atau peninggalan seorang shalih yang selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia telah membangkang kepada Allah dan rasulNya, dan telah memberikan kekhususan yang diberikan Allah untuk nabiNya kepada orang lain tanpa landasan dalil syar’i.[1]

Diantara bentuk-bentuk tabarruk yang diharamkan terhadap orang-orang shalih adalah :

1. Mengusap-usap jasad mereka, memakai pakaian mereka atau minum sisa air mereka untuk mencari keberkahan.[2]

2. Mencium kubur mereka, mengusap-usapnya dan mengambil tanahnya untuk mencari dan mengambil keberkahan. Sebagian ulama menyebutkan ijma’ tentang haramnya seluruh perbuatan ini[3]. Imam Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i dan yang selain beliau dari kalangan ulama-ulama mazhab Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa semua perbuatan itu adalah termasuk kebiasaan orang-orang Nasrani. Dan sebagian ulama Mazhab Syafi’iyah dan Hanafiyah juga menyebutkan bahwa mengusap-usap kubur untuk bertabarruk termasuk dosa-dosa besar![4]

3. Beribadah kepada Allah di sisi kubur mereka demi mengharapkan berkah, dengan keyakinan tentang keutamaan beribadah kepada Allah di sisinya, bahwa hal itu sebab bagi diterimanya ibadah dan sebab bagi dikabulkannya doa.[5]

—————————

Footnotes :

[1] Berkata ulama besar dari India, al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan dalam ad Dîn al Khâlish, II/250, “Tidak boleh mengqiyaskan seorang pun dari umat ini dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Siapakah itu yang bisa mencapai kedudukan beliau? Beliau memiliki kekhususan yang banyak semasa hidupnya, yang tidak pantas orang yang selain beliau berserikat dengannya dalam kekhususan tersebut!”

[2] Dalam risalah al Hikam al Jadîrah bi al Idzâ’ah, hal. 56, Imam Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Imam Ahmad dan mulailah ia mengusap-usapkan kedua tangannya ke pakaian Imam Ahmad, dan mengusapkan kedua tangannya ke wajahnya. Imam Ahmad marah dan mengingkarinya dengan keras sambil berkata, “Dari siapa kalian mengambil ajaran seperti ini?!”

[3] Berkata Imam an-Nawawi asy-Syafi’i dalam Mansak-nya hal. 453, “Kedelapan –yaitu dalam persoalan ziarah kubur- : Tidak boleh melakukan thawaf di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dimakruhkan* menempelkan perut dan punggung di dinding kubur itu. Demikian yang dikatakan al-Halimi dan lain-lain. Dimakruhkan pula mengusapnya dengan tangan dan menciumnya. Bahkan termasuk dalam adab untuk menjauh darinya sebagaimana menjauh darinya ketika beliau ada semasa hidupnya –shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah yang benar. Dan inilah yang dikatakan para ulama dan yang mereka amalkan. Selayaknya tidak perlu tertipu dengan banyaknya orang awam yang menyelisihi mereka. Karena teladan dan amalan hanyalah dengan perkataan para ulama, dan tidak perlu menoleh kepada perkara-perkara baru yang diada-adakan orang-orang awam dan kejahilan-kejahilan mereka… Siapa yang terlintas dalam benaknya bahwa mengusap dengan tangan dan yang semacamnya lebih kuat dalam keberkahan, maka itu termasuk dalam kebodohan dan kelalaiannya. Karena keberkahan hanya ada pada apa yang sejalan dengan Syari’at dan perkataan para ulama. Bagaimana bisa dicari keutamaan dalam menyelisihi kebenaran?!”

[4] Berkata Imam Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i dalam az Zawâjir ‘an Iqtirâf al Kabâ-ir (I/93-98), “Dosa-dosa besar yang ke 93, 94, 95, 96, 97dan 98 : Menjadikan kubur sebagai masjid, menyalakan pelita padanya, menjadikannya berhala, thawaf padanya, mengusap-usapnya dan shalat menghadap kepadanya.”

[5] Berkata al-Mulla Ali al-Qârri al-Hanafi dalam al-Mirqât, II/372, dalam penjelasannya tentang hadits : “Jangan kalian shalat menghadap kubur”, “Kalau saja pengagungan itu adalah menurut hakikatnya untuk kubur atau penghuni kubur menurut hakikatnya, niscaya kafirlah orang yang mengagungkan. Bertasyabbuh dengannya adalah makruh, dan selayaknya dijadikan karâhah tahrîm (makruh pengharaman).”

Berkata Imam as-Suyuthi asy-Syafi’i dalam al Amr bi al Itibbâ’, hal. 63 dalam pembicaraannya tentang hukum-hukum yang berkait degan kuburan, “Adapun jika seseorang memaksudkan untuk shalat di sisinya, atau berdoa untuk dirinya dalam keperluan dan hajatnya, bertabarruk dengannya, mengharapkan dikabulkannya doa di sisinya; yang seperti ini adalah pembangkangan terhadap Allah dan rasulNya, menyelisihi agama dan syari’atNya, dan bid’ah dalam agama yang tidak pernah diizinkan Allah dan rasulNya, dan tidak pula oleh para imam kaum muslimin yang mengikuti jejak dan sunnahnya.”

* Makruh dalam istilah ulama Salaf sering digunakan untuk pengharaman.

(Sumber : Tahdzîb Tashîl al Aqîdah al Islâmiyyah)