Sponsors

01 Februari 2015

Tabarruk dengan Para Wali dan Orang-orang Shalih

Dalam hadits-hadits yang shahih telah disebutkan tentang bolehnya bertabarruk (mengambil berkah) dengan jasad dan peninggalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkait dengan jasadnya, seperti rambut, keringat, pakaian dan lain-lain.

Adapun yang selain beliau, maka tidak ada dalil yang secara jelas membolehkan perkara tersebut. Karena itu, tidak pernah diriwayatkan dari seorang pun dari kalangan Shahabat dan Tabi’in bahwa mereka bertabarruk dengan jasad atau peninggalan seorang yang shalih dari kalangan mereka. Mereka bahkan tidak pernah bertabarruk dengan orang yang paling utama di umat ini setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, tidak dengan shahabat-shahabat senior lainnya, dan tidak pula dengan ahlul bait.

Dengan landasan ini, siapa yang bertabarruk dengan jasad atau peninggalan seorang shalih yang selain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ia telah membangkang kepada Allah dan rasulNya, dan telah memberikan kekhususan yang diberikan Allah untuk nabiNya kepada orang lain tanpa landasan dalil syar’i.[1]

Diantara bentuk-bentuk tabarruk yang diharamkan terhadap orang-orang shalih adalah :

1. Mengusap-usap jasad mereka, memakai pakaian mereka atau minum sisa air mereka untuk mencari keberkahan.[2]

2. Mencium kubur mereka, mengusap-usapnya dan mengambil tanahnya untuk mencari dan mengambil keberkahan. Sebagian ulama menyebutkan ijma’ tentang haramnya seluruh perbuatan ini[3]. Imam Abu Hamid al-Ghazali asy-Syafi’i dan yang selain beliau dari kalangan ulama-ulama mazhab Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa semua perbuatan itu adalah termasuk kebiasaan orang-orang Nasrani. Dan sebagian ulama Mazhab Syafi’iyah dan Hanafiyah juga menyebutkan bahwa mengusap-usap kubur untuk bertabarruk termasuk dosa-dosa besar![4]

3. Beribadah kepada Allah di sisi kubur mereka demi mengharapkan berkah, dengan keyakinan tentang keutamaan beribadah kepada Allah di sisinya, bahwa hal itu sebab bagi diterimanya ibadah dan sebab bagi dikabulkannya doa.[5]

—————————

Footnotes :

[1] Berkata ulama besar dari India, al-‘Allamah Shiddiq Hasan Khan dalam ad Dîn al Khâlish, II/250, “Tidak boleh mengqiyaskan seorang pun dari umat ini dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Siapakah itu yang bisa mencapai kedudukan beliau? Beliau memiliki kekhususan yang banyak semasa hidupnya, yang tidak pantas orang yang selain beliau berserikat dengannya dalam kekhususan tersebut!”

[2] Dalam risalah al Hikam al Jadîrah bi al Idzâ’ah, hal. 56, Imam Ibnu Rajab al-Hanbali menyebutkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Imam Ahmad dan mulailah ia mengusap-usapkan kedua tangannya ke pakaian Imam Ahmad, dan mengusapkan kedua tangannya ke wajahnya. Imam Ahmad marah dan mengingkarinya dengan keras sambil berkata, “Dari siapa kalian mengambil ajaran seperti ini?!”

[3] Berkata Imam an-Nawawi asy-Syafi’i dalam Mansak-nya hal. 453, “Kedelapan –yaitu dalam persoalan ziarah kubur- : Tidak boleh melakukan thawaf di kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dimakruhkan* menempelkan perut dan punggung di dinding kubur itu. Demikian yang dikatakan al-Halimi dan lain-lain. Dimakruhkan pula mengusapnya dengan tangan dan menciumnya. Bahkan termasuk dalam adab untuk menjauh darinya sebagaimana menjauh darinya ketika beliau ada semasa hidupnya –shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah yang benar. Dan inilah yang dikatakan para ulama dan yang mereka amalkan. Selayaknya tidak perlu tertipu dengan banyaknya orang awam yang menyelisihi mereka. Karena teladan dan amalan hanyalah dengan perkataan para ulama, dan tidak perlu menoleh kepada perkara-perkara baru yang diada-adakan orang-orang awam dan kejahilan-kejahilan mereka… Siapa yang terlintas dalam benaknya bahwa mengusap dengan tangan dan yang semacamnya lebih kuat dalam keberkahan, maka itu termasuk dalam kebodohan dan kelalaiannya. Karena keberkahan hanya ada pada apa yang sejalan dengan Syari’at dan perkataan para ulama. Bagaimana bisa dicari keutamaan dalam menyelisihi kebenaran?!”

[4] Berkata Imam Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i dalam az Zawâjir ‘an Iqtirâf al Kabâ-ir (I/93-98), “Dosa-dosa besar yang ke 93, 94, 95, 96, 97dan 98 : Menjadikan kubur sebagai masjid, menyalakan pelita padanya, menjadikannya berhala, thawaf padanya, mengusap-usapnya dan shalat menghadap kepadanya.”

[5] Berkata al-Mulla Ali al-Qârri al-Hanafi dalam al-Mirqât, II/372, dalam penjelasannya tentang hadits : “Jangan kalian shalat menghadap kubur”, “Kalau saja pengagungan itu adalah menurut hakikatnya untuk kubur atau penghuni kubur menurut hakikatnya, niscaya kafirlah orang yang mengagungkan. Bertasyabbuh dengannya adalah makruh, dan selayaknya dijadikan karâhah tahrîm (makruh pengharaman).”

Berkata Imam as-Suyuthi asy-Syafi’i dalam al Amr bi al Itibbâ’, hal. 63 dalam pembicaraannya tentang hukum-hukum yang berkait degan kuburan, “Adapun jika seseorang memaksudkan untuk shalat di sisinya, atau berdoa untuk dirinya dalam keperluan dan hajatnya, bertabarruk dengannya, mengharapkan dikabulkannya doa di sisinya; yang seperti ini adalah pembangkangan terhadap Allah dan rasulNya, menyelisihi agama dan syari’atNya, dan bid’ah dalam agama yang tidak pernah diizinkan Allah dan rasulNya, dan tidak pula oleh para imam kaum muslimin yang mengikuti jejak dan sunnahnya.”

* Makruh dalam istilah ulama Salaf sering digunakan untuk pengharaman.

(Sumber : Tahdzîb Tashîl al Aqîdah al Islâmiyyah)

0 tanggapan:

Posting Komentar