Sponsors

14 Maret 2011

PERTANYAAN UNTUK SYI'AH

A. Tentang Ahlul Bait.

1.  Syiah meyakini bahwa Ali adalah imam yang ma’shum. Lalu kami jumpai –menurut klaim mereka- bahwa ia menikahkan putrinya, saudari al Hasan dan al Husain, dengan Umar ibnul Khattab radhiyallahu ‘anhu. Ini berkonsekuensi salah satu dari dua hal bagi Syiah, yang paling manis dari keduanya terasa pahit, yaitu: Pertama, Ali ‘alaihissalam tidak ma’shum, karena menikahkan putrinya dengan orang kafir. Ini bertentangan dengan dasar-dasar mazhab, bahkan ini berkonsekuensi bahwa para imam selainnya tidak ma’shum pula. Kedua: Umar radhiyallahu ‘anhu adalah seorang muslim. Ali menjadikannya sebagai menantu. Ini adalah dua jawaban yang harus dipilih!


2.  Syiah mengira, Abu Bakar dan Umar adalah kafir. Lalu kami dapati bahwa Imam Ali telah rela dengan kekhalifan keduanya, ikut berbai’at, dan tidak memberontak terhadap keduanya. Ini berkonsekuensi bahwa Ali tidak ma’shum, karena ia membai’at orang kafir, zalim dan membenci Ahlul Bait sebagai bentuk persetujuan kepada keduanya. Ini merusak kema’shuman dan menolong orang zalim atas kezalimannya. Ini tidak mungkin dilakukan orang yang ma’shum sama sekali. Atau apa yang dilakukannya adalah kebenaran, karena keduanya adalah dua khalifah yang beriman, jujur lagi adil. Dengan demikian orang Syiah telah menyelisihi imam mereka karena mengkafirkan, mencaci, melaknat dan tidak rela terhadap kekhalifahan keduanya. Akibatnya kita bingung dengan urusan kita sendiri: Apakah menempuh jalan yang ditempuh Abul Hasan (Ali), ataukah kita menempuh jalan syiah-nya yang membangkang?!

3.  Setelah wafatnya Fathimah ‘alaihassalam, Imam Ali menikah lagi dengan sejumlah wanita dan memiliki anak-anak dari mereka, diantaranya: Abbas, Abdullah, Ja’far dan Utsman. Ibu mereka adalah Ummul Banin binti Hizam.

Juga Ubaidullah dan Abu Bakar, ibu keduanya adalah Laila binti Mas’ud ad Darimiyyah.

Yahya, Muhammad al Asghar dan ‘Aun. Ibu mereka Asma’ binti ‘Umais

Ruqayyah dan Umar, ibu keduanya Ummu Habib binti Rabi’ah.

Pertanyaannya: Apakah mungkin seorang ayah menamakan buah hatinya dengan musuh bebuyutannya? Lalu bagaimana halnya jika sang ayah adalah Ali bin Abi Thalib? Bagaimana mungkin Ali menamakan anak-anaknya dengan nama orang-orang yang kalian anggap mereka adalah musuh-musuhnya?! Apakah seorang yang berakal menamakan anak-anak yang dicintainya dengan nama musuh-musuhnya?!

4.  Penulis kitab Nahjul Balaghah –sebuah kitab pegangan di kalangan Syiah- meriwayatkan bahwa Ali menolak menjadi khalifah dan mengatakan :”Tinggalkan aku, dan carilah orang selain aku!”. Ini menunjukkan kebatilan mazhab Syiah. Sebab bagaimana mungkin ia menolak menjadi khalifah, padahal pengangkatannya sebagai imam dan khalifah adalah perintah wajib dari Allah yang harus dituntut dari Abu Bakar seperti yang kalian duga?!

5.  Syiah mengira bahwa Fathimah ‘alaihassalam, darah daging Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang terpilih, telah dihinakan pada masa Abu Bakar, dipatahkan tulang rusuknya, rumahnya akan dibakar, dan janinnya yang mereka namakan al Muhsin digugurkan!

Pertanyaannya: Dimanakah Ali bin Abi Thalib dari semua ini? Mengapa ia tidak menuntut hak istrinya, padahal ia adalah seorang sangat pemberani?!

Syiah mengklaim bahwa Ali berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan hadits :”Engkau bagiku seperti kedudukan Harun bagi Musa”. Kemudian kami dapati bahwa Harun tidak menggantikan Musa! Bahkan Musa digantikan oleh Yusya’ bin Nun.



B. Perayaan al Husainiyyah di hari Asyura’

1.  Disebutkan dalam Nahjul Balaghah,”Setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Ali mengatakan yang ditujukan pada beliau,’Seandainya engkau tidak melarang berkeluh-kesah dan menyuruh bersabar, niscaya aku telah limpahkan atasmu air duka’.”

Disebutkan juga bahwa Ali mengatakan,”Barangsiapa memukulkan tangannya ke pipinya saat terjadi musibah, maka sungguh telah batal amalannya”.

Al Husain mengatakan kepada saudarinya, Zainab, di Karbala’ sebagaimana dinukil penulis Muntahaa al Aamaal, “Wahai Saudariku, aku memintamu dengan nama Allah dan engkau harus menjaga sumpah ini; jika aku terbunuh, jangan engkau merobek-robek bajumu karena meratapi aku, jangan mencakar wajahmu dengan kuku-kukumu, dan jangan pula mengucapkan kata-kata kutukan saat aku gugur sebagai syahid”.

Syaikh Syiah, Muhammad bin al Husain bin Babawaih al Qummi yang bergelar ash Shaduq berkata :”Diantara kata-kata Rasulullah yang belum pernah diucapkan sebelumnya: Ratapan (saat kematian) termasuk perbuatan jahiliyyah!”

Ada pertanyaan setelah memaparkan semua ini: Mengapa Syiah menyelisihi kebenaran yang disebutkan didalamnya?! Siapa yang akan kami percayai, Rasul dan Ahlul Bait atau para tokoh agama?

2.   Jika melukai kepala (pada hari Asyura’), ratapan dan memukul dada itu berpahala seperti yang mereka klaim, mengapa para tokoh agama tidak melakukannya?

3.  Syiah berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama daripada putranya, al Husain. Jika perkaranya demikian, mengapa kalian tidak meratapinya saat memperingati peristiwa terbunuhnya sebagaimana ratapan kalian terhadap putranya?! Kemudian bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih utama daripada keduanya? Lalu mengapa kalian tidak meratapinya melebihi ratapan kalian terhadap keduanya?

4.  Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah sujud di atas tanah al Husainiyyah dimana kaum Syiah bersujud? Jika mereka mengatakan “Iya”, maka kami katakan ini adalah dusta, Demi Rabb Pemilik Ka’bah.

Jika mereka katakan “Tidak”, kami katakan: Jika memang demikian, apakah kalian lebih lurus jalannya daripada Rasulullah? Padahal riwayat-riwayat mereka menyebutkan bahwa Jibril pernah datang membawa sewadah tanah Karbala’ kepada Nabi ‘alaihissalam.



C. Taqiyyah

1.  Taqiyyah (berbohong untuk melindungi diri) tidak dilakukan kecuali karena ketakutan. Ketakutan itu ada dua macam :

Pertama, mengkhawatirkan dirinya. Kedua, takut terhadap kesulitan, gangguan fisik, celaan, cacian, dan dicerca kehormatannya.

Adapun kekhawatiran terhadap diri, maka dia ditiadakan dari imam karena dua sebab:

Pertama : Kematian para Imam sekte Itsna Asyariyah yang biasa adalah karena pilihan mereka sendiri – menurut klaim kalian.

Kedua : Para imam memiliki pengetahuan tentang apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi. Jadi, mereka tahu dengan ajalnya, bagaimana kematian mereka, dan waktunya secara khusus, sebagaimana yang mereka klaim. Sebelum waktu kematian, mereka tidak akan mengkhawatirkan dirinya, dan mereka tidak perlu berlaku munafik dalam agama mereka dan menipu kaum mukmin yang awam.
Adapun jenis takut yang kedua, yaitu takut terhadap kesulitan, gangguan fisik, celaan, cacian; maka tidak diragukan lagi bahwa bersabar menghadapi semua ini adalah tugas para ulama. Apalagi Ahli Bait Nabi, mereka lebih pantas lagi untuk tabah menghadapi semua ini untuk membela kakek mereka. Lantas jika demikian, untuk apa taqiyyah?



D. Imam Kedua Belas

1.   Kalian mengatakan, sebab ghaibnya imam yang kedua belas di tempat persembunyiannya adalah karena takut dizalimi. Namun, mengapa keghaiban ini terus berlanjut meskipun kekhawatiran tersebut telah sirna dengan berdirinya negara-negara Syiah sepanjang sejarah, seperti Dinasti Ubaidiyyah, Dinasti Buwaihi, Shafawid, dan terakhir negara Iran sekarang?

Mengapa ia tidak keluar sekarang, padahal Syiah mampu membela dan melindunginya di negeri mereka? Jumlah mereka jutaan dan akan menebusnya dengan jiwa raga mereka sepanjang waktu.

2.   Syiah menyebutkan bahwa Imam Mahdi mereka apabila telah muncul, maka ia akan memutuskan hukum dengan hukum keluarga Dawud!

Lantas dimanakah syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menghapus syariat-syariat yang telah berlalu?!



E. Shahabat

1.   Disaat kami melihat Syiah mendekatkan diri kepada Allah dengan mencaci-maki para pembesar Shahabat, terutama tiga khalifah: Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ternyata kami tidak menjumpai seorang Sunni pun yang mencaci-maki seorang pun dari Ahlul Bait! Bahkan mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintai Ahlul Bait. Ini adalah perkara yang tidak bisa dipungkiri oleh Syiah, walaupun dengan kedustaan.

2.   Jika Syiah menyebutkan bahwa mereka yang hadir di Ghadir Khum itu ribuan Shahabat yang semuanya telah mendengar wasiat tentang kekhilafahan untuk Ali sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengapa tidak seorangpun dari ribuan shahabat itu datang dan marah kepada Abu Bakar?! Bahkan tidak pula Ammar, Miqdad ataupun Salman (yang merupakan pengikut setia Imam Ali menurut klaim Syiah).

3.  Jika kaum munafik dan kaum yang murtad sedemikian banyak jumlahnya sebagaimana yang diklaim Syiah setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu bagaimana Islam berkembang?! Dan bagaimana Persia dan kekuasaan Romawi Timur bisa jatuh, serta Baitul Maqdis juga ditaklukkan?

4.   Syiah menyangka bahwa Muawiyah adalah kafir. Lalu kami dapati al Hasan turun dari tampuk kekuasaan untuknya padahal ia adalah imam yang ma’shum. Maka konsekuensinya mereka harus mengakui bahwa al Hasan telah turun dari tampuk kekuasaan untuk diserahkan kepada orang kafir. Ini menyelisihi kema’shumannya, atau berarti Muawiyah itu seorang muslim.

5.   Syiah mengutuk Muawiyah, sementara kami tidak mendapati Imam Ali ‘alaihissalam mengutuknya dalam surat-suratnya.

6.  Agama Islam telah sempurna pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan firman-Nya :”Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu”. [terjemah QS al Ma-idah ayat 3]

Sementara madzhab Syiah baru muncul setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?!


(Disadur dari buku As-ilah Qoodat Syabaab asy Syii’ah ilaa al Haq [Pertanyaan-pertanyaan yang Membawa Pemuda Syiah kepada Kebenaran], terjemahan Indonesia “Menimbang Ajaran Syiah, 188 Pertanyaan Kritis” oleh Sulaiman bin Shalih al Kharasyi)

0 tanggapan:

Posting Komentar