Sponsors

22 Oktober 2014

Kewajiban Setia dan Patuh terhadap Penguasa Muslim

Termasuk dalam prinsip dasar aqidah dan manhaj Ahlussunnah wal Jama'ah dalam interaksi mereka bersama para penguasa muslim adalah pandangan mereka tentang wajibnya mendengar dan taat kepada para penguasa, yang baik maupun yang jahat. Ketaatan tersebut semata-mata hanya dalam perkara yang ma'ruf. Jika para penguasa itu menyuruh bermaksiat kepada Allah, maka tidak ada ketaatan terhadap hamba dalam perkara maksiat kepada al-Khaliq. Wajib bernasehat kepada para penguasa dalam masalah itu dan tidak boleh mendoakan kejelekan untuk mereka. Bahkan sebaliknya, mendoakan kebaikan untuk mereka.

Ahlussunnah juga tidak memandang bolehnya melepaskan bai'at, memberontak atau memerangi mereka, walaupun mereka berlaku aniaya dan zalim. Bahkan justru Ahlussunnah memandang bahwa menolak bai'at dan pemberontakan termasuk bid'ah yang diada-adakan.

Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu, "Ini adalah mazhab-mazhab para ahlul ilmi, Ashabul Atsar dan Ahlussunnah yang berpegang teguh terhadap prinsip-prinsipnya dan mereka dikenali dengannya, yang diteladani dalam persoalan itu, sejak masa para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hingga masa kita sekarang, dan aku telah menjumpai orang-orang yang aku jumpai dari para ulama penduduk Hejaz, Syam dan yang selain mereka berada diatas prinsip tersebut. Siapa yang menyelisihi sesuatu dari mazhab ini, atau mencelanya, atau mencela orang yang berpendapat dengannya, maka dia adalah ahli bid'ah yang keluar dari al-Jama'ah, tergelincir dari manhaj as-Sunnah dan jalan kebenaran!"

Beliau kemudian menyebutkan beberapa perkara dari prinsip-prinsip aqidah dan diantaranya beliau berkata, "... Dan patuh kepada orang yang Allah jadikan penguasa atas urusan kalian. Jangan melepaskan tangan dari ketaatan. Jangan memberontak terhadapnya dengan senjatamu hingga Allah menjadikan bagimu kelapangan dan jalan keluar. Jangan memberontak terhadap penguasa. Engkau wajib mendengar dan taat, dan jangan melepaskan bai'at. Siapa yang melakukan itu maka dia adalah ahli bid'ah, menyelisihi dan berpisah dari al-Jama'ah. Jika penguasa itu menyuruhmu pada suatu perkara yang merupakan maksiat kepada Allah maka tidak ada kewajibanmu sedikitpun untuk mematuhinya, dan tidak boleh bagimu memberontak terhadapnya dan jangan menghalangi haknya (sebagai penguasa)..."[1]

Berkata Imam Muhammad bin Isma'il al-Bukhary rahimahullahu, "Aku telah menjumpai lebih dari 1000 tokoh dari para ulama dari penduduk Hejaz, Makkah, Madinah, Kufah, Basrah, Wasith, Baghdad, Syam, Mesir...", dan ia menyebutkan beberapa nama dari mereka, kemudian berkata, "Aku tidak melihat seorang pun dari mereka berselisih dalam prinsip-prinsip ini..."

Dan Imam al-Bukhary mulai menyebutkan beberapa perkara, diantaranya, "Dan kami tidak merampas urusan (kekuasaan) ini dari ahlinya, dengan dalil sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,

ثلاثٌ لا يغلُّ عليهن قلب امرئ مسلمٍ : إخلاص العمل لله وطاعة ولاة الأمر ولزوم جماعتهم فإن دعوتهم تحيط من ورائهم

'Tiga perkara yang tidak akan mendengki hati seorang muslim diatasnya : mengikhlaskan amal untuk Allah semata, mentaati para penguasa dan komitmen dengan jama'ah mereka; karena sungguh doa mereka melingkupi dari arah belakang mereka.'[2]

Dan lebih ditekankan lagi dengan firman-Nya,

أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم

'Taatlah kepada Allah, taatlah kepada rasul dan pemimpin diantara kalian.'[3],

dan tidak memandang halalnya menghunus senjata terhadap umat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.

Berkata al-Fudhail : Andai saja aku memiliki doa yang dikabulkan, aku tidak akan menjadikannya kecuali untuk penguasa. Karena jika penguasa baik, maka amanlah negeri dan para hamba."[4]

Berkata Sahl bin Abdillah at-Tusturi rahimahullahu, dan beliau telah ditanya : Kapan seseorang mengetahui bahwa ia berada diatas Sunnah dan Jama'ah?

Ia menjawab, "Jika ia mengetahui dari dirinya sepuluh perkara : Tidak meninggalkan Jama'ah, tidak mencaci para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tidak memberontak terhadap umat ini dengan senjatanya, tidak mendustakan takdir, tidak ragu dalam persoalan iman, tidak berdebat dalam agama, tidak meninggalkan shalat terhadap orang yang mati dari kalangan Ahli Kiblat disebabkan oleh dosa, tidak meninggalkan (sunnahnya) mengusap dua khuff, dan tidak meninggalkan shalat berjamaah di belakang setiap penguasa, baik dia berlaku zalim atau adil."[5]

Berkata Imam Abu Ja'far ath-Thahawi rahimahullahu, "Dan kami tidak memandang bolehnya memberontak terhadap para imam dan para pemimpin kami, walaupun mereka berlaku zalim. Kami tidak mendoakan keburukan atas mereka dan tidak melepaskan tangan dari ketaatan terhadap mereka. Kami memandang bahwa ketaatan terhadap mereka termasuk ketaatan terhadap Allah 'Azza wa Jalla, selama mereka tidak menyuruh kepada maksiat. Dan kami mendoakan kebaikan dan keafiatan untuk mereka."[6]

Dan berkata Imam Abu Muhammad al-Barbahary rahimahullahu, "Ketahuilah bahwa kezaliman seorang penguasa tidaklah mengurangi sebuah kewajiban dari kewajiban-kewajiban Allah yang telah Dia wajibkan melalui lisan nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam. Kezalimannya untuk dirinya sendiri, sementara kepatuhan dan kebajikanmu bersamanya tetap sempurna insyaallahu ta'ala, yaitu dalam shalat berjamaah, Jumat dan jihad bersama mereka. Segala sesuatu dari ketaatan-ketaatan, maka berpartisipasilah bersama mereka padanya.

Jika engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan untuk penguasa, ketahuilah bahwa ia adalah pengikut hawa nafsu (ahli bid'ah). Dan jika engkau mendengar seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa, ketahuilah bahwa ia adalah pengikut Sunnah insyaallahu. Berkata al-Fudhail bin 'Iyadh : 'Andai aku memiliki doa (yang dikabulkan) niscaya aku tidak menjadikannya kecuali untuk penguasa'. Kami diperintahkan untuk mendoakan kebaikan untuk mereka, dan kami tidak diperintahkan untuk mendoakan keburukan atas mereka walaupun mereka bersikap aniaya dan zalim. Karena sikap aniaya dan kezaliman mereka untuk diri-diri mereka sendiri, sementara kebaikan mereka untuk diri-diri mereka dan kaum muslimin."[7]

Demikianlah sebagian kecil dari perkataan para imam yang bisa kami tuliskan untuk Anda dalam kesempatan ini. Kami mengajak para pemuda dan kaum muslimin secara umum untuk memahami manhaj ini dengan baik, agar manisnya kemenangan itu bisa segera terwujudkan tanpa harus mengorbankan pikiran, tenaga dan bahkan nyawa dalam sebuah kesia-siaan yang tidak membawa pada kemenangan, satu langkah pun, hanya karena niat baik untuk memperjuangkan Islam dengan cara yang tidak sejalan dengan tuntunan para as-Salaf ash-Shalih, semoga Allah merahmati kita dan mereka.[8]

-----------------

Footnotes :

[1] Thabaqat al-Hanabilah oleh Ibnu Abi Ya'la (I/24-27)

[2] Diriwayatkan oleh asy-Syafi'i, at-Tirmidzi, Ibnu Abdil Barr dan al-Baghawi dari haditsnya Abdullah bin Mas'ud, dan diriwayatkan oleh Ahmad, ad-Darimi dan Ibnu Hibban dari haditsnya Zaid bin Tsabit. Perkataan beliau : "Karena sungguh doa mereka melingkupi dari arah belakang mereka", maknanya bahwa doa-doa jama'ah tersebut (yaitu kaum muslimin dan penguasa mereka) ibaratnya benteng yang mengelilingi mereka, yang menghalangi dari masuknya musuh kedalam barisan mereka. (Miftah Dar as-Sa'adah, I/71)

[3] QS. An-Nisa' ayat 59

[4] Syarh al-I'tiqad, Imam al-Lalika'i (I/172-176)

[5] Syarh al-I'tiqad, Imam al-Lalika'i (I/183)

[6] Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyyah (hal. 368)

[7] Thabaqat al-Hanabilah oleh Ibnu Abi Ya'la (II/36)

[8] Kutipan perkataan para imam diatas kami ambilkan dari mukaddimah yang dituliskan oleh Syaikh Dr. Abdul Razzaq bin Abdil Muhsin al-'Abbad untuk tahqiq kitab Qaa'idah Mukhtasharah fi Wujuub Thaa'ati_Llaahi wa Rasuulihi wa Wulaatil Umuur oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu.

0 tanggapan:

Posting Komentar