Sponsors

20 Mei 2012

Beda Bid'ah dengan Mashlahah Mursalah

Di sebagian besar kalangan di negeri kita, sangat masyhur istilah "bid'ah hasanah". Dengan landasan itu, mereka akhirnya melegalkan berbagai macam ritual yang jelas bid'ah dan penyimpangannya dalam agama. Dikarenakan minimnya ilmu dan sifat taklid buta kepada para tokoh agama, orang awam kita begitu mudahnya melakukan ritual ibadah atas nama agama dan melabelkannya sebagai "bid'ah hasanah". Mereka tidak bisa membedakan antara perkara yang jelas bid'ah dengan perkara syar'i yang disebut sebagai "mashlahah mursalah".

Akibatnya, mereka selalu menganggap ritual-ritual tahlilan, yasinan, haul, shalawatan dan yang semacamnya sebagai sebuah perkara baik walaupun tidak memiliki landasan syar'i dalam agama, dan mereka menyamakannya dengan perkara-perkara syar'i seperti penulisan dan pembukuan al Quran, pembukuan hadits dan cabang-cabang ilmu Islam seperti fiqh, tafsir dan lain-lain, penggunaan mikrofon dalam adzan dan shalat, bahkan sampai-sampai mereka menganggap pesawat dan alat-alat transportasi modern lainnya pun sebagai bid'ah hasanah (?!!)


Berikut ini kami akan menjelaskan tentang perbedaan yang sangat jelas antara bid'ah dengan "mashlahah mursalah" yang sering disalah artikan sebagai "bid'ah hasanah".


I. Definisi Bid’ah


Al Imam al Hafidz Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullahu telah mendefinisikan bid’ah dengan sebuah definisi yang mencakup, yaitu perkataan beliau :

فكل مَن أحدث شيئًا ، ونسبه إلى الدِّين ، ولم يكن له أصل من الدين يرجع إليه : فهو ضلالة ، والدين منه بريء

"Setiap orang yang mengada-adakan sesuatu dan dia sandarkan kepada dien (agama), dan hal itu tidak memiliki landasan dari agama ini yang bisa dirujuk kepadanya, maka perkara itu adalah kesesatan, dan agama ini berlepas diri darinya". [1]


Dengannya bisa dipahami bahwa rukun-rukun bid’ah ada tiga, yaitu :
  1. Perkara yang baru dan diada-adakan
  2. Perkara tersebut disandarkan kepada agama
  3. Perkara baru tersebut tidak memiliki landasan dalam prinsip syariat yang menunjukkan kepada syar’inya perkara tersebut 


II. Definisi Mashlahah Mursalah ( المصلحة المرسلة )


Maslahat ( المصلحة ) menurut bahasa adalah manfaat, baik manfaat duniawi atau ukhrawi. Bentuk jama’ (plural)nya adalah mashâlih ( المصالح ).


Mursalah ( المرسلة ) menurut bahasa adalah yang lepas atau terabaikan.


Maslahat Mursalah menurut istilah adalah manfaat yang tidak ada padanya dalil khusus yang menetapkan atau membatalkannya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dalam penjelasan beliau tentang mashâlih mursalah :

وهو أن يرى المجتهد أن هذا الفعل يجلب منفعة راجحة ، وليس في الشرع ما ينفيه

"Yaitu, seorang mujtahid melihat bahwa perbuatan tersebut mendatangkan manfaat yang sangat jelas (manfa’ah râjihah), dan tidak ada dalam Syari’at perkara yang menafikannya/menolaknya". [2]



III. Persamaan dan Perbedaan antara Bid’ah dan Mashlahah Mursalah


Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara bid’ah dengan mashlahah mursalah. Disini kami nukilkan pembahasan ilmiah yang menjelaskan tentang sisi persamaan dan perbedaan antara bid’ah dan mashâlih mursalah yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Husain al Jîzâni hafidzhahullahu  [3], mudah-mudahan penjelasan ini bisa memberikan manfaat yang jelas dan terang bagi para pembaca.


a. Sisi persamaan antara bid’ah dan maslahah mursalah :
  1. Masing-masing perkara tersebut adalah perkara-perkara yang tidak pernah terjadi di masa kenabian, terutama mashâlih mursalah, dan umumnya bid’ah. Tetapi, mungkin saja terdapat beberapa bid’ah dimasa tersebut walaupun itu sangatlah sedikit. Sebagaimana yang disebutkan mengenai kisah tiga orang yang datang bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
  2. Masing dari bid’ah –umumya- dan juga mashlahah mursalah tidak memiliki dalil tertentu, karena dalil-dalil umum adalah perkara yang paling mungkin dijadikan rujukan dalam berargumen (istidlâl) untuk keduanya

b. Sisi perbedaan antara bid’ah dan mashlahah mursalah
  1. Bid’ah memiliki ciri tersendiri karena dia tidak terjadi kecuali dalam perkara-perkara ta’abbudiyyah (peribadatan) dan yang berkait dengannya dari urusan-urusan agama. Berbeda dengan mashlahah mursalah, karena pandangan umum didalamnya hanya terbatas pada perkara yang maknanya bisa dicerna oleh akal, yang jika perkara tersebut disodorkan kepada akal, maka akal akan langsung menerimanya dan tidak ada lowongan didalamnya bagi perkara-perkara ta’abbudiyah atau yang semacamnya dari urusan-urusan agama
  2. Bid’ah juga sangat berkait erat dengan tujuan awal dalam pandangan para pelakunya. Umumnya, mereka melakukannya untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dan bersifat paten. Mereka tidak akan pernah berpaling darinya, dan hampir mustahil mereka akan menggugurkan amalan tersebut dikarenakan bid’ah tersebut dalam pandangan mereka adalah perkara yang kuat dan jelas daripada dalil-dalil yang menentangnya. Sementara mashlahah mursalah dimaksudkan untuk tujuan yang kedua, bukan yang pertama. Mashlahah mursalah masuk kepada pembahasan tentang al wasâ-il (wasilah, sarana), karena dia disyari’atkan sebagai sarana untuk mewujudkan satu maksud dari Maqâshid asy Syarî’ah (tujuan-tujuan/misi Syari’at). Hal ini bisa dilihat bahwa maslahat tersebut tidak lagi dianggap dan ditinggalkan saat dia berbenturan dengan mafsadat yang lebih besar. Dengan ini, sangat tidak mungkin mengada-adakan bid’ah dari sisi mashalih mursalah
  3. Bid’ah selalu membawa para pengikutnya kepada perkara yang lebih berat dan menambah kesulitan mereka. Ini sangat berbeda dengan mashlahah mursalah, karena tujuannya adalah memberikan keringanan kepada para mukallaf (orang yang dibebani kewajiban Syari’at) dan menghilangkan kesulitan, atau untuk memelihara sebuah perkara yang sangat penting bagi kemaslahatan mereka
  4. Bid’ah bertentangan dengan maqâshid asy syarî’ah dan bahkan bisa merusaknya. Berbeda dengan mashlahat mursalah, agar layak diaplikasikan dalam pandangan Syar’i, maka dia harus masuk dalam lingkup maqâshid asy syarî’ah, sejalan dengannya dan berkhidmat untuk kepentingannya. Jika tidak demikian, maka dia tidak akan dianggap dan akan ditinggalkan
  5. Mashlahah mursalah memiliki ciri khusus bahwa dia tidak terjadi di masa kenabian dikarenakan tidak adanya sebab atau alasan untuk melakukannya (karena tiadanya kemungkinan untuk hal tersebut), atau ada sebab untuk melakukannya namun ada penghalang yang menghalanginya untuk dilakukan. Hal ini berbeda dengan bid’ah, karena hal tersebut sangat mungkin dilakukan di masa kenabian dengan terpenuhinya sebab dan alasan serta tidak adanya penghalang untuk melakukannya   
Inilah perbedaan yang sangat jelas antara bid’ah dengan mashlahah mursalah yang telah dijadikan rancu oleh sebagian orang dan menganggapnya sebagai "bid’ah hasanah". Mereka ingin menyamakan –sebagai contoh- penulisan mushaf, penggunaan mikrofon untuk adzan, penggunaan pesawat terbang, mobil dan kapal untuk haji dengan berbagai macam ritual bid’ah seperti tahlilan, yasinan, haul dan shalawatan.


Untuk membantah dugaan bid’ah hasanah dalam perkara-perkara tersebut, maka kami katakan sebagai contoh dan bukan bantahan untuk seluruhnya;


Penulisan & Pembukuan Mushaf Al Quran (dan juga Kitab-Kitab Hadits)

Penulisan dan pembukuan mushaf tidaklah masuk dalam kategori bid’ah. Tidak ada dalil yang memerintahkan perbuatan Sahabat menulis dan membukukan mushaf. Akan tetapi, mereka melihat maslahat besar yang selaras dengan misi Syari’at yaitu untuk menjaga keotentikan al Quran dan sekaligus menjaga Syari’at itu sendiri. Dan perkara untuk menjaga kemurnian al Quran adalah perkara yang sudah dimaklumi bersama.
 
Jika hal ini bisa dipahami dengan baik, maka seperti itu juga tujuan penulisan hadits, fiqh, tafsir dan berbagai macam disiplin ilmu dalam kitab-kitab, disamping kekhawatiran akan hilangnya ilmu tersebut.


Semuanya ini dilakukan sebagai sarana untuk sampai kepada tujuan yang dimaksud dan bukan tujuan hakiki. Benar, bahwa sebab dan alasan untuk penulisan dan pembukuan itu ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan alat tulis-menulisnya pun ada, akan tetapi, faktor-faktor al Quran yang belum turun seluruhnya, belum adanya kebutuhan tulisan dikarenakan kebiasaan Bangsa Arab saat itu yang ummi dan mengandalkan hafalan, dan juga adanya larangan untuk menulis hadits karena dikhawatirkan bercampur dengan al Quran; semuanya ini menjadi penghalang dilakukannya perkara tersebut di masa kenabian.


Lebih-lebih dengan memperhatikan sifat mashlahah mursalah yang disyaratkan: harus sesuai dengan tujuan-tujuan syari’at, jelas sekali bagi kita bahwa meski kesemuanya ini tidak memiliki dalil khusus yang menetapkan maupun menolaknya, namun semuanya selaras dengan misi syari’at yang antara lain bertujuan menjaga dien.


Pengeras Suara (Mikrofon)

Mikrofon adalah sebuah maslahat dan bukan bid’ah. Hal ini sangat bisa dipahami karena dalam Syariat ada sunnah bagi yang mengumandangkan adzan adalah orang yang bersuara lantang dan nyaring. Dalam kasus ini, mikrofon berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan adzan ke tempat yang terjauh dan bukan ibadah yang berdiri sendiri sehingga harus dikategorikan sebagai bid’ah. Penggunaan mikrofon juga selaras dengan misi Syari’at dalam memberikan kemudahan dan tidak ada dalil yang menetapkan atau melarangnya. Dan juga, tidak ada kemungkinan hal itu dilakukan di masa kenabian karena alat seperti itu belum ada di masa tersebut.


Alat Transportasi

Adapun penggunaan sarana transportasi modern, maka ini sangat jauh dari definisi bid’ah. Karena bid’ah –seperti yang telah dijelaskan- hanya berlaku dalam perkara yang bersangkut paut dengan agama. Sementara alat transportasi adalah kebutuhan manusia dari masa ke masa yang akan selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan manusia dan kemajuan teknologi. Sangat nampak kedangkalan akal dan kebodohan orang yang selalu mengait-ngaitkan alat-alat semacam ini dengan bid’ah dalam agama. Apa hubungannya antara ibadah dengan urusan duniawi seperti ini?! Semoga Allah menunjuki kita semua kepada hidayah-Nya dan membebaskan kita dari sikap fanatisme buta yang tidak berlandaskan dalil dan akal sehat.


Dengan penjelasan ini bisa diketahui bahwa Syari'at tidak pernah memberikan wewenang dalam perkara-perkara ta'abbudiyah kepada akal dan pemikiran para ahli ibadah. Sehingga tidak ada pilihan bagi mereka kecuali membatasi diri dengan apa yang telah ditetapkan oleh Syari'at. Karena tambahan dalam perkara Syari'at adalah bid'ah, sebagaimana mengurangi sesuatu darinya juga termasuk bid'ah.


Wallahu a'lam.


------------------------------------------------


Footnotes :
[1]  Jâmi’ al ‘Ulûm wa al Hikam, II/128
[2]  Majmû’ Fatâwâ, XI/342-343
[3]  Qawâ'id Ma'rifah al Bida', hal. 19-20 

0 tanggapan:

Posting Komentar