Sponsors

11 Januari 2015

Islam Membenarkan Peristiwa Teror di Paris?

Sepekan ini, banyak orang membicarakan tentang peirstiwa teror yang terjadi di Paris, Perancis.
Beberapa orang bersenjata menyerang kantor sebuah surat kabar yang dikenal suka membuat karikatur provokatif dan mengejek banyak kalangan, termasuk mengejek Islam dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Serangan itu menewaskan 12 orang, termasuk redaktur surat kabar tersebut dan dua kartunis.

Sebenarnya penulis tidak terlalu suka menghabiskan waktu untuk membahas urusan seperti ini. Prinsip aqidah kita sangat jelas; bahwa siapa yang mencaci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak ada yang layak baginya kecuali hukuman mati. Tapi tentu saja menindak sebuah tindak kejahatan haruslah dengan aturan yang benar, baik secara syar’i maupun dalam hukum pidana di negara manapun. Di zaman kelemahan seperti ini tidak banyak yang bisa dilakukan, tapi paling tidak, komitmennya seorang muslim terhadap aturan-aturan Syari’at dan selalu mendahulukan hukum Allah diatas sikap kebencian dan kemarahan adalah sebuah “kemenangan” ketika banyak kalangan dari umat ini tidak memahami agamanya, atau punya pemahaman namun tidak mampu mengamalkannya secara benar.

Tulisan kecil ini kami buat semata-mata karena kesedihan kami atas kelakuan sebagian orang yang tiba-tiba menjadi “mufti” di media sosial dengan “membajak” perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam kitabnya “ash-Shârim al-Maslûl ‘alâ Syâtim ar- Rasûl”. Padahal kami yakin, orang yang mengutip perkataan itu pun tidak pernah membaca buku tersebut dan hanya “copas” sana sini tanpa memahami persoalan dari pembahasan yang sebenarnya.

Benar bahwa Syaikhul Islam, dan para ulama kaum muslimin, berfatwa tentang halalnya darah orang yang mencaci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dia seorang musllim atau kafir. Jika dia seorang muslim, maka dia murtad dengan perbuatan tersebut dan berhak dihukum mati. Dengan sedikit perbedaan di kalangan ulama tentang orang yang sempat bertaubat dari perbuatannya itu. Syaikhul Islam cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa si pelaku tetap dihukum mati karena cacian tersebut walaupun dia telah bertaubat dari perbuatannya.

Pembahasan ini tentu saja membutuhkan pembahasan yang lebih dari apa yang kami sebutkan. Tapi tulisan kami bukan untuk membahas masalah tersebut. Kami hanya ingin “meluruskan” kekeliruan sebagian orang yang membenarkan tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh para pelaku teror di Paris. Seakan-akan tindakan itu sudah sesuai dengan aturan Syari’at, dan parahnya mereka menukilkan pendalilan yang disebutkan Syaikhul Islam dalam kasus pembunuhan Ka’ab bin al-Asyraf dan kisah seorang shahabat yang membunuh budaknya karena mencaci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kisah-kisah yang semacamnya.

Kisah pembunuhan Ka’ab bin al-Asyraf disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan al-Bukhary dan Muslim[1]. Dalam kisah itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meminta dari para shahabat siapa diantara mereka yang sanggup membunuh Ka’ab. Permintaan itu disanggupi Muhammad bin Maslamah dan beberapa orang lainnya. Ringkasnya, Muhammad bin Maslamah dan kawan-kawannya akhirnya bisa membunuh Ka’ab setelah mereka menampakkan padanya jaminan keamanan.

Kisah ini tidak cocok untuk diterapkan pada kasus penghinaan yang terjadi di Paris. Kisah pembunuhan Ka’ab terjadi dalam lingkup wewenang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin Madinah dan juga orang-orang Yahudi Madinah sesuai dengan konsekuensi perjanjian damai antara kaum muslimin dengan Yahudi di Madinah. Ka’ab berada dalam jaminan keamanan sesuai dengan konsekuensi perjanjian damai (al-‘ahd) dan jaminan tersebut gugur karena dia telah menghina dan mencaci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan lagi pula, peristiwa itu tidak berpengaruh buruk bagi Islam dan kaum muslimin, berbeda dengan peristiwa yang terjadi di Paris dan banyak kasus lainnya di zaman modern ini.

Dalil lainnya yang dijadikan argumen pembenaran tindakan teror tersebut adalah kisah seorang buta yang membunuh budak perempuannya karena budak itu untuk kedua kalinya mencaci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dalam as-Sunan.[2]

Yang nampak, wanita tersebut adalah seorang yang kafir. Karena seorang muslim tidak akan mungkin berani melakukannya. Andai pun dia seorang muslimah, dia murtad dengan perbuatannya tersebut dan tuannya tidak berhak untuk tetap melindunginya dari hukuman.

Orang-orang yang berdalil dengan hadits ini menyebutkannya begitu saja tanpa ada penjelasan tambahan sehingga seakan-akan Syaikhul Islam membenarkan perbuatan shahabat itu secara mutlak.
Tapi, marilah kita menyimak penjelasan ini :

Setelah menyebutkan persoalan itu, Syaikhul Islam berkata, “Tetap dikatakan : Hukuman had tidak dilaksanakan kecuali oleh imam (penguasa) atau wakilnya.”[3]

Kemudian bagaimana bisa shahabat itu bertindak sendiri tanpa izin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian beliau akhirnya membenarkan tindakannya tersebut? Beliau menjelaskan kemungkinannya dari beberapa sisi, diantaranya;

- Seorang tuan boleh melaksanakan hukuman had terhadap budaknya seperti had zina atau meminum minuman keras. Ulama berselisih tentang boleh tidaknya hukuman dalam bentuk membunuh atau memotong anggota tubuh bagi tuan terhadap budaknya. Dalil-dalil shahih menguatkan pendapat yang membolehkannya.

- Paling banter perbuatan shahabat itu adalah bentuk penyelisihan terhadap imam (penguasa), dan imam boleh memaafkannya atas perbuatannya yang melangkahi wewenang imam.

- Jika perbuatan ini disebut sebagai hukuman had, maka ini adalah pembunuhan terhadap kafir harbi yang boleh dilakukan siapapun.

- Perbuatan ini seperti ini pernah terjadi di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti kisah Umar yang membunuh seorang munafik tanpa izin Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena ia tidak ridha dengan hukum beliau, kemudian turunlah ayat yang membenarkan hal itu.

Apa maknanya penjelasan beliau tersebut?

Syaikhul Islam tidak pernah membolehkan perbuatan itu secara mutlak! Beliau tetap berpegang dengan hukum asal bahwa tidak ada yang berwenang menindak orang-orang yang berada dalam jaminan keamanan tersebut kecuali imam atau wakilnya.

Kalau perbuatan itu boleh dilakukan secara mutlak sebagaimana pendalilan yang mereka gunakan dalam kasus teror di Paris, niscaya Syaikhul Islam tidak akan memberi uzur kepada shahabat buta yang membunuh budaknya itu dan akan mengatakan perbuatan itu boleh tanpa harus menyebutkan permasalahan dan bantahannya.

Syaikhul Islam seorang ulama yang paling mengetahui tentang perselisihan ulama, dan beliau tidak menukil dalam masalah ini pendapat yang membolehkannya secara mutlak dari seorang pun mereka. Yang seperti ini sudah cukup memberi penjelasan bahwa urusan besar seperti ini adalah wewenang penguasa, bukan hak individu-individu tertentu dari kaum muslimin.

Hal ini dengan catatan penting yang wajib dipahami, bahwa kasus pembunuhan itu terjadi dalam wilayah negara Islam yang berdaulat, dalam wewenang penguasa muslim.

Adapun orang-orang kafir Quraisy yang mencaci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di luar Madinah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mengutus satu orang pun untuk mengeksekusi mereka di negeri mereka, baik itu dalam masa perang apalagi setelah terjalinnya kesepakatan damai di Hudaibiyah.

Demikian juga tidak ada seorang pun dari para shahabat yang melakukan perbuatan teror seperti itu di negeri-negeri yang tidak dikuasai oleh kaum muslimin.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan shahabat-shahabatnya untuk menghukum orang-orang yang menghina dan mencaci pribadi beliau sebagai seorang rasul ketika beliau menduduki Makkah pada peristiwa Penaklukan Makkah di bulan Ramadhan tahun 8 H.

Itu semua terjadi ketika kaum muslimin memiliki kekuatan dan memiliki negara berdaulat yang diisegani oleh musuh-musuhnya.

Orang-orang yang melakukan teror di Paris, atas nama siapa mereka bertindak di zaman kelemahan dan kekalahan seperti ini?

Kalau mereka melakukannya karena kemarahan dan kebencian, maka jangan pernah mengatasnamakan Islam, karena Islam tidak pernah mengajarkannya.

Mungkin akan ada yang mengatakan bahwa Perancis sejak dulu dikenal dengan kebebasan persnya yang suka menghina Islam dan Rasul Islam. Dan dalam aksi solidaritas oleh para pemimpin dunia dan puluhan ribu orang di Paris setelah kejadian tersebut, hadir pula Perdana Menteri Israel yang telah membantai saudara-saudara muslim kita di Palestina. Ini menunjukkan standar ganda Barat yang begitu peduli dengan kematian 12 orang (total yang terbunuh hingga akhir peristiwa adalah 17 orang, 12 orang tersebut tewas dalam penyerangan di surat kabar Charlie Hebdo), tapi menutup mata terhadap kebrutalan Israel!

Kami katakan, itulah Barat dan para pemimpin kafir… Semua tahu watak mereka… Setelah itu apa? Apakah dengan dalih itu kemudian kita boleh mencampakkan ajaran Islam yang hak atas nama kemarahan dan dendam?

Kami menuliskan ini bukan untuk membela orang-orang kafir. Tulisan ini semata-mata hanya ingin mengajak Anda untuk berpikir jernih; sejauh mana komitmen kita terhadap agama kita?

Kita berjuang memperjuangkan agama ini bukan semata-mata untuk balas dendam atau marah-marah. Kita ingin memperjuangkan nilai. Kalau orang-orang kafir itu berlaku zalim dan tidak adil terhadap Islam dan umatnya, setidaknya kita semua paham bahwa Islam tidak pernah mengajarkan bahwa kejahatan harus dibalas dengan kejahatan yang sama.

Marilah kita kembali mengkaji agama Allah ini dengan bimbingan para ulama Sunnah, tanpa dikotori oleh pendapat akal atau sikap emosional. Sangat berbahaya seseorang ketika berani mengutip perkataan seorang ulama, apalagi perkataan Allah dan rasulNya, sementara mereka tidak memaksudkan seperti apa yang kita inginkan dan pahami dari kutipan tersebut.

Semoga Allah memaafkan kita dan membalas orang-orang kafir dengan balasan yang setimpal. Amin.

(oleh : Ust. Taufiq Rahman, LC)

—————————

Footnotes :

[1] Shahîh al-Bukhâry (no. 2510) dan Shahîh Muslim (Kitâb al Jihâd wa as Sair)
[2] Sunan Abî Dâwûd (no. 4361), dishahihkan al-Albani dalam Shahîh Sunan Abî Dâwûd
[3] Silahkan rujuk ke ash-Shârim al-Maslûl hal. 285-286

0 tanggapan:

Posting Komentar