Sponsors

07 September 2015

Menghajikan Orang Lain

Orang yang telah memenuhi syarat-syarat wajib haji dan meninggal sebelum sempat melaksanakan haji, maka dia dihajikan, baik orang tersebut berwasiat dengannya atau tidak. Biaya haji orang yang telah wafat itu diambilkan dari harta peninggalannya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang wanita berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku telah bernazar untuk berhaji dan ia tidak sempat berhaji hingga meninggal dunia. Apakah aku menghajikannya?” Beliau ﷺ bersabda,

نعم، حجي عنها، أرأيتِ لو كان على أمك دينٌ أكنتِ قاضيتَه؟ أقضوا الله فالله أحق بالوفاء

Iya, hajikan dia. Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, apakah engkau akan melunasinya? Tunaikan (kewajiban-kewajiban) Allah, karena Allah lebih pantas untuk dipenuhi kewajiban-kewajibannya.” (HR. Al-Bukhary).

Orang yang telah mampu untuk menunaikan haji namun ia kemudian tidak bisa melaksanakannya disebabkan usia yang telah uzur atau sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, maka wajib baginya mencari orang yang akan menghajikan dirinya dengan biaya yang ditanggung oleh si pemilik uzur.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang wanita dari suku Khats’am berkata, “Wahai Rasulullah, kewajiban haji telah sampai kepada ayahku yang berusia lanjut, ia tidak mampu duduk diatas kendaraan, apakah aku menghajikannya?” Beliau ﷺ bersabda, “Iya.” (HR. Al-Bukhary dan Muslim).

Dengan dalil hadits ini, disunnahkan menghajikan kedua orang tua jika keduanya telah meninggal dunia atau tidak mampu lagi menunaikan haji disebabkan sakit menahun atau uzur.

Disyaratkan bagi orang yang menghajikan orang lain, bahwa orang tersebut telah menunaikan haji wajibnya sebelum ia menghajikan orang lain.

Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi ﷺ mendengar seorang laki-laki berkata, “Labbaika ‘an Syubrumah.”[1] Beliau bertanya, “Siapa Syubrumah?” Ia menjawab, “Saudaraku.” (atau “kerabatku.”). Beliau bertanya, “Apakah engkau telah menghajikan dirimu?” Ia menjawab, “Belum.” Maka Nabi ﷺ bersabda,

حُج عن نفسك ثم حُج عن شبرمة

Berhajilah untuk dirimu, kemudian berhajilah untuk Syubrumah.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain. Diperselisihkan tentang hukum marfu’nya dan keshahihannya).

Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama dan pendapat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma.

Terlepas dari perselisihan ulama tentang keshahihan hadits, namun perkataan seorang shahabat lebih pantas untuk diikuti dalam persoalan khilaf yang terjadi dalam masalah ini. Terlebih tidak diketahui adanya pendapat shahabat lain yang berbeda dari pendapat Ibnu Abbas.

Yang perlu menjadi perhatian dan harus dipahami, saat menghajikan orang lain hanya berlaku satu niat. Tidak boleh seseorang yang menghajikan orang lain meniatkan satu hajinya itu untuk dirinya dan orang lain, atau diniatkan untuk beberapa orang sekaligus.

Wa bi_llahi at-taufiq.

——————

[1] Setiap orang yang berniat ihram, maka dia mengucapkan “labbaika hajjan” untuk haji atau “labbaika ‘umratan” untuk niat umrah. Jika dia menghajikan orang lain, maka dia mengucapkan “labbaika ‘an fulân” untuk fulan/orang tertentu dengan menyebut namanya.

0 tanggapan:

Posting Komentar