Sponsors

25 November 2015

Atas Nama “Mashlahat Dakwah”

Diantara tipuan syaitan terhadap sebagian aktivis dakwah adalah pelegalan hal-hal yang menyimpang dari prinsip dasar keyakinan agama mereka atas nama mashlahat dan kepentingan dakwah!

Atas nama mashlahat dakwah, gambar dan foto tokoh yang dibanggakan dalam suatu jama’ah boleh dipajang dengan berbagai macam gaya dan bentuknya. Padahal banyak para ustadznya dan kader dakwah sejatinya yang masih menganggap tabu persoalan foto, tapi anehnya sepertinya tidak ada masalah jika berkait dengan kepentingan pencitraan lembaga dan tokohnya.

Atas nama kepentingan dakwah, dibenarkan berkawan dan bermesraan dengan siapa saja selama dia masih muslim tanpa peduli bagaimana prinsip dasar aqidah dan manhajnya.

Atas nama dakwah, para aktivis wanitanya diharuskan keluar rumah untuk ikut andil dalam memperjuangkan “dakwah” (baca : jamaah/lembaga/organisasi) walaupun itu harus mengorbankan rumahnya[1]. Kami tidak berbicara tentang wanita yang keluar untuk belajar dan menuntut ilmu syar’i dalam batas-batas yang diperlukan dan tidak menyita waktu dan tenaganya. Yang kami bicarakan adalah eksploitasi para akhawat untuk bekerja mati-matian demi kepentingan rekrutmen kader untuk mencapai jumlah tertentu demi kebanggaan dan ketenaran!

Atas nama kemashlahatan dakwah, majelis ilmu tidak lagi dianggap penting dan efektif kalau tidak bisa mengumpulkan banyak massa yang akan direkrut menjadi kadernya.

Atas nama kepentingan dakwah pula kualitas kader tidak lagi menjadi perhatian penting karena semuanya diharuskan sibuk untuk memperbanyak jumlah.

Atas nama dakwah, ketulusan dalam berjuang harus ternoda oleh semangat untuk pencitraan lembaga dan para ustadznya agar dikenal di kalangan masyarakat. Lagi-lagi untuk sebuah kepentingan.

Atas nama kepentingan dakwah, para kader diarahkan untuk bepartisipasi dalam pemilihan kepala daerah dengan mendukung calon tertentu. Tidak ada yang salah jika tujuannya memang benar untuk kemashlahatan Islam dan kaum muslimin. Tapi kalau dukungan itu dengan imbalan pemberian “bantuan materi” si calon?! Kami jadi ragu, jangan-jangan dukungan itu hanya untuk mashlahat jamaah si pendukung calon tersebut.

Agama ini adalah agama rabbânî yang Allah telah menjadikan tujuannya adalah sebaik-baik tujuan. Dan Dia menjadikan sarana untuk mewujudkan tujuan tersebut sebagai sarana yang mulia dan terhormat.

Allah tidak akan mungkin menjadikan kemenangan dakwah ini tegak diatas manhaj yang bukan berasal dari manhaj dakwah Nabi ﷺ.

Penggunaan wasilah dan sarana apa saja yang menyelisihi manhaj rabbânî yang telah digariskan oleh Rasulullah ﷺ dalam dakwah beliau adalah bentuk penyimpangan dari jalan kebenaran dan pelecehan terhadapnya. Bahkan, walaupun sebagian wasilah itu bisa mendatangkan sedikit manfaat menarik dalam pandangan para pengikut dakwah tersebut.

Para ulama kita dahulu telah menetapkan sebuah kaedah penting, bahwa “akhir umat ini tidak akan pernah baik kecuali dengan perkara yang telah menjadikan baik generasi awalnya”.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullahu ditanya, “Apakah wajib mendapatkan sebagian mashlahat, baik yang bersifat wajib kifa’i atau ‘aini, jika jalan menuju kepada mashlahat tersebut terdapat perkara-perkara yang menyimpang dan diharamkan?”

Beliau rahimahullahu menjawab,

“Tidak boleh! Karena tidak ada dalam Islam kaedah yang mengatakan ‘tujuan membolehkan segala cara’. Bahkan Islam telah menyebutkan lebih dari satu dalil dalam Kitab-Nya dan sunnah nabiNya – ﷺ – bahwa rezki yang telah Allah tetapkan untuk seseorang, tidak boleh seorang muslim mencari jalan untuk mendapatkannya dengan jalan yang diharamkan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits (riwayat) al-Hakim dan lainnya dari sabda Nabi ﷺ,

إِنَّ مَا عِنْدَ الله لَا يُنَالُ بِالحَرَامِ

Apa yang berada di sisi Allah tidak boleh didapatkan dengan cara yang haram.’

Rezki yang berasal dari Allah, yang dia itu tidak seperti kedudukan shalat dan yang semacamnya dari kewajiban-kewajiban yang fardhu ‘ain, rezki itu diusahakan seorang muslim semata-mata untuk memelihara dirinya dari meminta-minta kepada manusia. Andai ia mencukupkan diri dengan rezki yang halal dan tidak berusaha yang selain itu, ia tidak dianggap sebagai orang yang lalai, karena mencari rezki sebagaimana yang kami sebutkan semata-mata agar seorang manusia bisa menjaga dirinya dari meminta-minta kepada manusia.

Jika saja usaha untuk mendapatkan rezki itu tidak boleh dengan cara yang haram dengan dalil hadits yang sudah dikenal, yaitu sabdanya, ‘Apa yang di sisi Allah tidak boleh diusahakan dengan cara yang haram’; maka lebih pantas lagi, dan lebih layak lagi bahwasannya tidak dibolehkan seorang muslim, bahkan seluruh muslim, dan bahkan sebuah jamaah Islam, yang ingin mendakwahi manusia untuk mengamalkan Kitab Allah dan sunnah Rasulullah ﷺ; sangat layak bagi mereka untuk tidak menghalalkan sebagian perkara yang diharamkan untuk mewujudkan sebagian dari tujuan-tujuan mereka. Karena hal itu kebalikan dari firman Allah tabâraka wa ta’âlâ seperti,

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.’ (QS. Ath-Thalaq ayat 2 & 3).

Itu dari satu sisi.

Di sisi lain, kita berbeda dari seluruh jamaah-jamaah dan kelompok-kelompok. Kita bukanlah kelompok (hizb), dan kita bukanlah koalisi (gabungan beberapa kelompok)… Kita adalah kaum muslimin, dan kita berusaha untuk berjalan dalam Islam kita ini di atas manhaj para Salafush shalih kita, radhiyallâhu ‘anhum ‘ajma’în.

Setiap kita mengetahui dengan pasti bahwa mereka suatu waktu dahulu tidak pernah terlintas dalam benak mereka, apalagi untuk mewujudkan itu dalam kehidupan mereka, bahwa mereka akan menghalalkan sebagian perkara haram demi untuk mewujudkan sebagian tujuan-tujuan islami… Bagaimana bisa (itu dilegalkan)?! Sementara ayat tadi mengatakan,

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.’ (QS. Ath-Thalaq ayat 2 & 3).

Lisan orang yang mengucapkan bolehnya melakukan sebagian pelanggaran untuk mewujudkan sebagian tujuan-tujuan syar’i; ucapan mereka itu bertolak belakang dengan ayat tersebut. Yaitu ucapan mereka bahwa ‘siapa yang bertakwa kepada Allah di masa kini, yang ingin menerapkan hukum-hukum Allah seluruhnya, maka dakwahnya akan sangat terbatas dan sempit. Karenanya telah menjadi keharusan untuk melanggar sebagian perkara yang tidak diizinkan Rasul sehingga kita bisa melebarkan dakwah ini!

Saya katakan, di sana ada peringatan yang mengingatkan tentang adanya keburukan yang berbahaya jika para pengemban dakwah kebenaran tidak memperbaiki urusan mereka sebelum dia menjadi semakin runyam. Yaitu kami mendengar dari waktu ke waktu bahwa mereka selalu saja melakukan pelanggaran-pelanggaran yang banyak dalam jalan yang mereka sebut sebagai penyebaran dakwah!”[2]


Penggunaan istilah “mashlahat dakwah” pada saat ini dalam banyak kasus adalah pemutar balikan fakta untuk kepentingan tertentu dari orang-orang yang menggunakannya. Seorang da’i dalam pergerakan Islam besar di abad ini pernah memperingatkan bahaya dari penggunaan istilah tersebut. Beliau berkata, semoga Allah mengampuni dan merahmatinya, “(Ungkapan) mashlahat dakwah telah berubah menjadi berhala yang dipuja oleh para pengikut dakwah dan mereka mulai melupakan manhaj dakwah yang prinsip. Wajib bagi para pengikut dakwah untuk istiqamah diatas jalan dakwah tersebut dan benar-benar teliti menempuh jalan itu, tanpa harus menoleh kepada hasil-hasil yang terkadang mengganggu pikiran mereka bahwa padanya ada bahaya yang akan mengancam dakwah dan para pengikutnya… Satu-satunya bahaya yang wajib mereka khawatirkan adalah bahaya penyimpangan dari manhaj dikarenakan oleh salah satu dari sebab-sebab, baik penyimpangan itu banyak atau sedikit. Allah lebih tahu dari mereka persoalan mashlahat dan mereka tidak dibebankan untuk hal itu. Mereka hanya dibebankan satu perkara, yaitu jangan sekali-kali menyimpang dari manhaj, jangan sekali-kali melenceng dari jalan ini![3]

Kami tidak pernah mengingkari istilah mashlahat dakwah. Yang kami ingkari adalah penggunaan istilah itu untuk kepentingan yang selain kepentingan Islam dan kaum muslimin. Tidak boleh memanfaatkan istilah “mashlahat dakwah” untuk kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok yang sempit. Sehingga digambarkan kepada para pengikutnya bahwa kepentingan pribadi dan kelompoknya itulah dia mashlahat dan kepentingan dakwah atau sebaliknya. Sebagaimana juga tidak boleh menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan-tujuan dakwah yang mulia.

Kita telah berkomitmen terhadap diri-diri kita bahwa kita tidak akan melakukan perkara yang diharamkan, tidak akan meninggalkan apa yang diwajibkan, dan tidak akan melakukan bid’ah demi untuk mashlahat dakwah! Karena Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan kita untuk istiqamah![4]

Allah Ta’ala berfirman,

فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوهُ

Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya.” (QS. Fushshilat ayat 6).

Dan Dia berfirman mengajak kepada sikap istiqamah,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ، نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ، نُزُلا مِّنْ غَفُورٍ رَّحِيمٍ

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami ialah Allah dan mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu’. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushshilat ayat 30-32).

—————————

Footnotes :

[1] Para ulama membolehkan seorang wanita yang memilliki kapasitas ilmu syar’i untuk keluar rumah berdakwah di kalangan wanita, mengajarkan mereka urusan agamanya. Tapi dengan syarat hal itu dilakukan dengan izin suami dan tidak mengabaikan urusan rumah, suami dan anak-anak. Anehnya di zaman ini, seorang muslimah baru saja mengenal Islam, dan waktu, tenaga dan pikirannya dieksploitasi habis-habisan untuk mengurus dan memperjuangkan kepentingan lembaga yang mereka sebut “dakwah”!!

[2] Rekaman no. 401 dari Silsilah al-Hudâ wa an-Nûr

[3] Afrâh ar-Rûh, Sayyid Quthb rahimahullahu

[4] Al-Makhraj min al-Fitnah, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullahu

0 tanggapan:

Posting Komentar