Sponsors

05 November 2015

Menghadiahkan Bacaan Quran untuk Mayit

Para ulama berbeda pendapat dalam persoalan menghadiahkan pahala bacaan Al-Quran kepada orang yang sudah meninggal, apakah sampai pahalanya atau tidak?

Pendapat yang terpilih dari dua pendapat ulama, bahwa “hadiah” bacaan tersebut tidaklah sampai kepada si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

Dan tidak ada (pahala) bagi manusia kecuali apa yang diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39).

Juga berdasarkan sabda Nabi ,

إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية وعلم ينتفع به وولد صالح يدعو له

Jika seorang anak Adam meninggal, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).

Imam Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya mengenai firman Allah dalam surat An-Najm ayat 39, “Berdasarkan ayat ini, Imam Syafi’i dan pengikutnya mengambil kesimpulan hukum bahwa bacaan (Al-Qur’an) tidak sampai jika pahalanya dihadiahkan kepada mayit, karena itu bukan amal dan jerih payahnya. Oleh karenanya, Rasulullah tidak menganjurkan dan tidak mengajak umatnya untuk itu dan tidak pula memberi petunjuk baik secara jelas atau isyarat. Tidak pula hal itu dinukil dari seorang pun dari para shahabat radhiyallahu 'anhum. Jika hal itu suatu kebaikan, pasti mereka akan mendahului kita (dalam perkara itu). Dalam masalah ibadah, hendaknya membatasi dengan perkara yang telah dikhususkan oleh dalil, tidak diperkenankan mengalihkannya dengan berbagai macam qiyas dan logika. Adapun doa dan shadaqah, hal itu telah disepakati sampainya pahalanya (kepada mayat) karena dengan tegas dinyatakan dalam syariat.” (Tafsir Ibnu Katsir, IV/258).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu pernah ditanya tentang menghadiahkan bacaan Al-Qur’an dan shadaqah untuk ibu, baik (beliau dalam kondisi) hidup atau mati? Beliau menjawab:

“Kalau bacaan Al-Qur’an,  para ulama berbeda pendapat, apakah pahala sampai kepada mayit? Para ulama berbeda dalam dua pendapat. Yang terkuat adalah (pahala itu) tidak sampai karena tidak ada dalilnya. Dan karena Rasulullah tidak pernah melakukannya terhadap orang-orang yang telah wafat dari kalangan umat Islam seperti puteri-puteri beliau yang telah wafat saat beliau masih hidup. Sepengetahuan kami, hal itu  tidak pernah dilakukan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. Yang lebih utama bagi orang mukmin adalah meninggalkan hal itu dan tidak membacanya untuk mayit maupun untuk yang masih hidup. Begitu  juga tidak melakukan shalat untuk mereka, dan juga amalan sunnah dengan berpuasa untuk mereka. Karena semuanya itu tidak ada dalilnya.

Asal dari ibadah adalah tauqifi (hanya membatasi pada dalil) yang ada perintahnya dari Allah subhanahu wa ta’ala atau rasul-Nya dalam syari’atnya. Sementara sedekah, hal itu bermanfaat bagi yang hidup maupun mati dengan kesepakatan (ijma’) umat Islam. Begitu juga dengan doa, bermanfaat bagi yang hidup maupun mati dengan kesepakatan umat Islam. Orang yang masih hidup, tidak diragukan lagi bahwa sedekah dan doa bermanfaat baginya. Orang yang berdoa sementara kedua orang tuanya masih hidup, keduanya bisa mengambil manfaat dengan doanya tersebut, begitu juga dengan sedekah akan bermanfaat ketika keduanya masih hidup.

Menunaikan haji untuknya kalau mereka lemah karena sudah tua atau sakit yang tidak mungkin sembuh, juga bermanfaat baginya. Karena telah ada ketetapan dari beliau , bahwa seorang wanita bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji, sementara ayahku sudah tua, tidak mampu melakukan perjalanan. Apakah saya (boleh) menunaikan haji untuknya?” Beliau menjawab, “Tunaikanlah haji untuknya.”

Kemudian, ada juga orang lain yang datang kepada Nabi dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku sudah tua, tidak mampu menunaikan haji dan (naik) kendaraan. Apakah (boleh) saya menunaikan  haji dan umrah untuknya?” Beliau menjawab, “Tunaikan haji untuk ayahmu dan lakukanlah umrah.”

Ini adalah dalil bahwa menghajikan mayit atau orang yang masih hidup tapi lemah karena usianya  atau wanita lemah karena sudah tua renta adalah boleh. Demikianlah, sedekah, doa, haji atau umrah untuk mayit dan orang yang sudah tidak mampu, semuanya ini bermanfaat baginya menurut pendapat seluruh ahli ilmu. Begitu juga puasa untuk mayit, kalau dia mempunyai kewajiban puasa baik karena nadzar, kaffarah atau puasa Ramadhan, berdasarkan keumuman sabda beliau , “Barangsiapa yang meninggal dunia dan mempunyai beban puasa, maka walinya yang (menggantikan) puasanya.” (hadits Muttafaq ‘alaih).

Begitu pula hadits-hadits lain yang semakna. Akan tetapi barangsiapa yang terlambat puasa Ramadhan karena alasan yang dibenarkan agama seperti sakit, bepergian kemudian meninggal dunia sebelum ada kesempatan mengqadha’nya, maka tidak (perlu) digantikan puasanya, juga tidak perlu memberikan makanan, karena dia memiliki udzur yang syar’i.” (Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Syaikh Ibn Baz, IV/348)

Demikianlah penjelasan dari sebagian ulama, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi dan para shahabatnya, radhiyallahu ‘anhum.

Wallahu a'lam.

0 tanggapan:

Posting Komentar