15 Maret 2011
Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 7/MUNAS VII/MUI/11/2005
Tentang
PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional
MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H / 26-29 Juli 2005 M :
Menimbang :
1. bahwa pada akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama serta paham-paham sejenis lainnya di kalangan masyarakat;
2. bahwa berkembangnya paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme agama di kalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut;
3. bahwa oleh karena itu, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.
Mengingat :
1. Firman Allah SWT :
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.
(QS. Ali Imran [3]: 85)
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam…”.
(QS. Ali Imran [3]: 19)
"Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku".
(QS. Al Kafiruun [109]: 6)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.
(QS. al-Ahzab [33]: 36).
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
(QS. al-Mumtahinah [60]: 8-9).
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang berbuat kerusakan”.
(QS. al-Qashash [28]: 77).
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”.
(QS. al-An’am [6]: 116).
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan
kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”.
(QS. al-Mu’minun [23]: 71).
2. Hadis Nabi saw.:
a. Imam Muslim (w. 262 H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah SAW :
“Demi Dzat Yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka”.
(H.R. Muslim)
b. Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non-muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najasyi raja Abesenia yang bergama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam.
(riwayat Ibn Sa’d dalam al- Thabaqat al-Kubra dan Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari).
c. Nabi saw melakukan pergaulan sosial secara baik dengan komunitas-komunitas
non-muslim seperti komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal di Najran; bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin Ahthab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah (Sayyid Bani Quraizah).
(Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Memperhatikan : Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada
Munas VII MUI 2005.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT,
MEMUTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG PLURALISME, LIBERALISME, DAN SEKULARISME AGAMA
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
3. Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yangg bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
4. Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hu-bungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
2. Umat Islam haram mengikuti paham pluralism, sekularisme dan liberalisme agama.
3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat
Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.
Ditetapkan : Jakarta, 21 Jumadil Akhir 1426 H
28 Juli 2005 M
MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa
Sekretaris
ttd
Drs. Hasanuddin, M.Ag
Ketua
ttd
K.H. Ma’ruf Amin
14 Maret 2011
PERTANYAAN UNTUK SYI'AH
A. Tentang Ahlul Bait.
1. Syiah meyakini bahwa Ali adalah imam yang ma’shum. Lalu kami jumpai –menurut klaim mereka- bahwa ia menikahkan putrinya, saudari al Hasan dan al Husain, dengan Umar ibnul Khattab radhiyallahu ‘anhu. Ini berkonsekuensi salah satu dari dua hal bagi Syiah, yang paling manis dari keduanya terasa pahit, yaitu: Pertama, Ali ‘alaihissalam tidak ma’shum, karena menikahkan putrinya dengan orang kafir. Ini bertentangan dengan dasar-dasar mazhab, bahkan ini berkonsekuensi bahwa para imam selainnya tidak ma’shum pula. Kedua: Umar radhiyallahu ‘anhu adalah seorang muslim. Ali menjadikannya sebagai menantu. Ini adalah dua jawaban yang harus dipilih!
2. Syiah mengira, Abu Bakar dan Umar adalah kafir. Lalu kami dapati bahwa Imam Ali telah rela dengan kekhalifan keduanya, ikut berbai’at, dan tidak memberontak terhadap keduanya. Ini berkonsekuensi bahwa Ali tidak ma’shum, karena ia membai’at orang kafir, zalim dan membenci Ahlul Bait sebagai bentuk persetujuan kepada keduanya. Ini merusak kema’shuman dan menolong orang zalim atas kezalimannya. Ini tidak mungkin dilakukan orang yang ma’shum sama sekali. Atau apa yang dilakukannya adalah kebenaran, karena keduanya adalah dua khalifah yang beriman, jujur lagi adil. Dengan demikian orang Syiah telah menyelisihi imam mereka karena mengkafirkan, mencaci, melaknat dan tidak rela terhadap kekhalifahan keduanya. Akibatnya kita bingung dengan urusan kita sendiri: Apakah menempuh jalan yang ditempuh Abul Hasan (Ali), ataukah kita menempuh jalan syiah-nya yang membangkang?!
3. Setelah wafatnya Fathimah ‘alaihassalam, Imam Ali menikah lagi dengan sejumlah wanita dan memiliki anak-anak dari mereka, diantaranya: Abbas, Abdullah, Ja’far dan Utsman. Ibu mereka adalah Ummul Banin binti Hizam.
Juga Ubaidullah dan Abu Bakar, ibu keduanya adalah Laila binti Mas’ud ad Darimiyyah.
Yahya, Muhammad al Asghar dan ‘Aun. Ibu mereka Asma’ binti ‘Umais
Ruqayyah dan Umar, ibu keduanya Ummu Habib binti Rabi’ah.
Pertanyaannya: Apakah mungkin seorang ayah menamakan buah hatinya dengan musuh bebuyutannya? Lalu bagaimana halnya jika sang ayah adalah Ali bin Abi Thalib? Bagaimana mungkin Ali menamakan anak-anaknya dengan nama orang-orang yang kalian anggap mereka adalah musuh-musuhnya?! Apakah seorang yang berakal menamakan anak-anak yang dicintainya dengan nama musuh-musuhnya?!
4. Penulis kitab Nahjul Balaghah –sebuah kitab pegangan di kalangan Syiah- meriwayatkan bahwa Ali menolak menjadi khalifah dan mengatakan :”Tinggalkan aku, dan carilah orang selain aku!”. Ini menunjukkan kebatilan mazhab Syiah. Sebab bagaimana mungkin ia menolak menjadi khalifah, padahal pengangkatannya sebagai imam dan khalifah adalah perintah wajib dari Allah yang harus dituntut dari Abu Bakar seperti yang kalian duga?!
5. Syiah mengira bahwa Fathimah ‘alaihassalam, darah daging Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang terpilih, telah dihinakan pada masa Abu Bakar, dipatahkan tulang rusuknya, rumahnya akan dibakar, dan janinnya yang mereka namakan al Muhsin digugurkan!
Pertanyaannya: Dimanakah Ali bin Abi Thalib dari semua ini? Mengapa ia tidak menuntut hak istrinya, padahal ia adalah seorang sangat pemberani?!
Syiah mengklaim bahwa Ali berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan hadits :”Engkau bagiku seperti kedudukan Harun bagi Musa”. Kemudian kami dapati bahwa Harun tidak menggantikan Musa! Bahkan Musa digantikan oleh Yusya’ bin Nun.
B. Perayaan al Husainiyyah di hari Asyura’
1. Disebutkan dalam Nahjul Balaghah,”Setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Ali mengatakan yang ditujukan pada beliau,’Seandainya engkau tidak melarang berkeluh-kesah dan menyuruh bersabar, niscaya aku telah limpahkan atasmu air duka’.”
Disebutkan juga bahwa Ali mengatakan,”Barangsiapa memukulkan tangannya ke pipinya saat terjadi musibah, maka sungguh telah batal amalannya”.
Al Husain mengatakan kepada saudarinya, Zainab, di Karbala’ sebagaimana dinukil penulis Muntahaa al Aamaal, “Wahai Saudariku, aku memintamu dengan nama Allah dan engkau harus menjaga sumpah ini; jika aku terbunuh, jangan engkau merobek-robek bajumu karena meratapi aku, jangan mencakar wajahmu dengan kuku-kukumu, dan jangan pula mengucapkan kata-kata kutukan saat aku gugur sebagai syahid”.
Syaikh Syiah, Muhammad bin al Husain bin Babawaih al Qummi yang bergelar ash Shaduq berkata :”Diantara kata-kata Rasulullah yang belum pernah diucapkan sebelumnya: Ratapan (saat kematian) termasuk perbuatan jahiliyyah!”
Ada pertanyaan setelah memaparkan semua ini: Mengapa Syiah menyelisihi kebenaran yang disebutkan didalamnya?! Siapa yang akan kami percayai, Rasul dan Ahlul Bait atau para tokoh agama?
2. Jika melukai kepala (pada hari Asyura’), ratapan dan memukul dada itu berpahala seperti yang mereka klaim, mengapa para tokoh agama tidak melakukannya?
3. Syiah berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama daripada putranya, al Husain. Jika perkaranya demikian, mengapa kalian tidak meratapinya saat memperingati peristiwa terbunuhnya sebagaimana ratapan kalian terhadap putranya?! Kemudian bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih utama daripada keduanya? Lalu mengapa kalian tidak meratapinya melebihi ratapan kalian terhadap keduanya?
4. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah sujud di atas tanah al Husainiyyah dimana kaum Syiah bersujud? Jika mereka mengatakan “Iya”, maka kami katakan ini adalah dusta, Demi Rabb Pemilik Ka’bah.
Jika mereka katakan “Tidak”, kami katakan: Jika memang demikian, apakah kalian lebih lurus jalannya daripada Rasulullah? Padahal riwayat-riwayat mereka menyebutkan bahwa Jibril pernah datang membawa sewadah tanah Karbala’ kepada Nabi ‘alaihissalam.
C. Taqiyyah
1. Taqiyyah (berbohong untuk melindungi diri) tidak dilakukan kecuali karena ketakutan. Ketakutan itu ada dua macam :
Pertama, mengkhawatirkan dirinya. Kedua, takut terhadap kesulitan, gangguan fisik, celaan, cacian, dan dicerca kehormatannya.
Adapun kekhawatiran terhadap diri, maka dia ditiadakan dari imam karena dua sebab:
Pertama : Kematian para Imam sekte Itsna Asyariyah yang biasa adalah karena pilihan mereka sendiri – menurut klaim kalian.
Kedua : Para imam memiliki pengetahuan tentang apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi. Jadi, mereka tahu dengan ajalnya, bagaimana kematian mereka, dan waktunya secara khusus, sebagaimana yang mereka klaim. Sebelum waktu kematian, mereka tidak akan mengkhawatirkan dirinya, dan mereka tidak perlu berlaku munafik dalam agama mereka dan menipu kaum mukmin yang awam.
Adapun jenis takut yang kedua, yaitu takut terhadap kesulitan, gangguan fisik, celaan, cacian; maka tidak diragukan lagi bahwa bersabar menghadapi semua ini adalah tugas para ulama. Apalagi Ahli Bait Nabi, mereka lebih pantas lagi untuk tabah menghadapi semua ini untuk membela kakek mereka. Lantas jika demikian, untuk apa taqiyyah?
D. Imam Kedua Belas
1. Kalian mengatakan, sebab ghaibnya imam yang kedua belas di tempat persembunyiannya adalah karena takut dizalimi. Namun, mengapa keghaiban ini terus berlanjut meskipun kekhawatiran tersebut telah sirna dengan berdirinya negara-negara Syiah sepanjang sejarah, seperti Dinasti Ubaidiyyah, Dinasti Buwaihi, Shafawid, dan terakhir negara Iran sekarang?
Mengapa ia tidak keluar sekarang, padahal Syiah mampu membela dan melindunginya di negeri mereka? Jumlah mereka jutaan dan akan menebusnya dengan jiwa raga mereka sepanjang waktu.
2. Syiah menyebutkan bahwa Imam Mahdi mereka apabila telah muncul, maka ia akan memutuskan hukum dengan hukum keluarga Dawud!
Lantas dimanakah syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menghapus syariat-syariat yang telah berlalu?!
E. Shahabat
1. Disaat kami melihat Syiah mendekatkan diri kepada Allah dengan mencaci-maki para pembesar Shahabat, terutama tiga khalifah: Abu Bakar, Umar dan Utsman. Ternyata kami tidak menjumpai seorang Sunni pun yang mencaci-maki seorang pun dari Ahlul Bait! Bahkan mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintai Ahlul Bait. Ini adalah perkara yang tidak bisa dipungkiri oleh Syiah, walaupun dengan kedustaan.
2. Jika Syiah menyebutkan bahwa mereka yang hadir di Ghadir Khum itu ribuan Shahabat yang semuanya telah mendengar wasiat tentang kekhilafahan untuk Ali sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengapa tidak seorangpun dari ribuan shahabat itu datang dan marah kepada Abu Bakar?! Bahkan tidak pula Ammar, Miqdad ataupun Salman (yang merupakan pengikut setia Imam Ali menurut klaim Syiah).
3. Jika kaum munafik dan kaum yang murtad sedemikian banyak jumlahnya sebagaimana yang diklaim Syiah setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu bagaimana Islam berkembang?! Dan bagaimana Persia dan kekuasaan Romawi Timur bisa jatuh, serta Baitul Maqdis juga ditaklukkan?
4. Syiah menyangka bahwa Muawiyah adalah kafir. Lalu kami dapati al Hasan turun dari tampuk kekuasaan untuknya padahal ia adalah imam yang ma’shum. Maka konsekuensinya mereka harus mengakui bahwa al Hasan telah turun dari tampuk kekuasaan untuk diserahkan kepada orang kafir. Ini menyelisihi kema’shumannya, atau berarti Muawiyah itu seorang muslim.
5. Syiah mengutuk Muawiyah, sementara kami tidak mendapati Imam Ali ‘alaihissalam mengutuknya dalam surat-suratnya.
6. Agama Islam telah sempurna pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan firman-Nya :”Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu”. [terjemah QS al Ma-idah ayat 3]
Sementara madzhab Syiah baru muncul setelah wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?!
(Disadur dari buku As-ilah Qoodat Syabaab asy Syii’ah ilaa al Haq [Pertanyaan-pertanyaan yang Membawa Pemuda Syiah kepada Kebenaran], terjemahan Indonesia “Menimbang Ajaran Syiah, 188 Pertanyaan Kritis” oleh Sulaiman bin Shalih al Kharasyi)
12 Maret 2011
Fatwa MUI tentang Aliran Syi'ah
Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional bulan
Jumadil Akhir 1404 H./Maret 1984 M merekomendasikan tentang
faham Syi’ ah sebagai berikut :
Faham Syi’ah sebagai salah satu faham yang terdapat dalam
dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab
Sunni (Ahlus Sunnah Wal Jamm’ah) yang dianut oleh Umat Islam
Indonesia.
Perbedaan itu di antaranya :
1. Syi’ah menolak hadis yang tidak diriwayatkan oleh Ahlu Bait,
sedangkan Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak membeda-bedakan
asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu mustalah hadis.
2. Syi’ah memandang “Imam” itu ma ‘sum (orang suci), sedangkan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah memandangnya sebagai manusia biasa
yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan).
3. Syi’ah tidak mengakui Ijma’ tanpa adanya “Imam”, sedangkan
Ahlus Sunnah wal Jama’ ah mengakui Ijma’ tanpa mensyaratkan
ikut sertanya “Imam”.
4. Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/
pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama,
sedangkan Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) memandang dari
segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah
untuk menjamin dan melindungi da’wah dan kepentingan umat.
5. Syi’ah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar
as-Siddiq, Umar Ibnul Khatab, dan Usman bin Affan, sedangkan
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengakui keempat Khulafa’ Rasyidin
(Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib).
Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah seperti tersebut di atas, terutama mengenai
perbedaan tentang “Imamah” (pemerintahan)”, Majelis Ulama
Indonesia menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham
Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap
kemungkinan masuknya faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah
Ditetapkan : Jakarta, 7 Maret 1984 M
4 Jumadil Akhir 1404 H
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua
ttd
Prof. K.H. Ibrahim Hosen, LML
Sekretaris
ttd
H. Musytari Yusuf, LA