21 Oktober 2012
Siapakah Mereka Para Salaf?
Syaikh yang mulia, siapakah mereka para Salaf?
***
"As-Salaf" maknanya adalah orang-orang yang terdahulu. Setiap orang yang mendahului orang yang lainnya, maka itu adalah salafnya. Akan tetapi, jika disebutkan istilah "As-Salaf" secara mutlak, maka yang dimaksudkan dengannya adalah tiga generasi yang diutamakan; para Sahabat, Tabi’in dan Pengikut Tabi’in. Merekalah As-Salaf ash-Shalih.
Siapa yang datang setelah mereka, dan berjalan diatas manhaj (metode/jalan) mereka, maka dia juga seperti mereka berada diatas thariqah (jalan) para as-Salaf walaupun dia datang belakangan dari masa (kehidupan) mereka. Karena "As-Salafiyyah" dimaksudkan sebagai manhaj yang ditempuh oleh as-Salaf ash-Shalih radhiyallahu ‘anhum sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :
إن أمتي ستفترق على ثلاثة وسبعين فرقة كلها فى النار إلا واحدة وهي الجماعة
"Sesungguhnya umatku akan terpecah kepada 73 golongan, seluruhnya di neraka kecuali satu golongan, yaitu al-Jama’ah".
Dalam redaksi lain :
من كان على مثل ما أنا عليه و أصحابي
"(Yang selamat adalah) orang yang berada diatas apa yang aku dan sahabat-sahabatku berada diatasnya".
Dengan landasan ini, as-Salafiyyah berkait dengan makna. Setiap orang yang berada diatas manhaj para Sahabat, Tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka dia adalah “Salafy”, walaupun dia berada di masa kita sekarang, yaitu abad XIV Hijri.
(Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullahu)
14 Oktober 2012
Hukum Sembelihan yang Disembelih dalam Peristiwa Tertentu
Apa hukumnya sedekah yang aku sembelih dan aku
katakan dalam diriku atau kepada orang yang ada bersamaku : Ini adalah sedekah
untuk Allah Ta’ala dalam kesempatan kelulusan anakku, atau selamatnya dia dari
kecelakaan mobil, atau dalam peristiwa kegembiraan apa saja? Syaikh Yang Mulia,
apakah boleh aku makan dari sedekah tersebut atau tidak? Perlu diketahui, aku
sama sekali tidak bersumpah atas nama Allah atau bernazar untuk melakukan ini
dan itu. Akan tetapi, saat terjadi peristiwa bahagia itu, maka aku katakan :
Ini adalah sedekah untuk Allah Ta’ala. Berikanlah petunjuk kepada kami tentang
apa yang kami sebutkan, semoga Allah memberi ganjaran pahala kepada Anda, dan
metode apa yang baik untuk kami lakukan?
*****
Hukum asal dalam amalan-amalan adalah dibangun
diatas niatnya. Niat merupakan syarat untuk mendapatkan ganjaran atas sebuah
perbuatan. Selayaknya seorang muslim meniatkan taqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah ‘azza wa jalla dalam setiap nafkah (yang dia keluarkan). Jika terjadi
sebuah peristiwa yang (dibenarkan oleh) syariat seperti kedatangan tamu,
memotivasi anak dan yang semacamnya; kemudian dia meniatkan hal tersebut untuk
taqarrub (kepada Allah), maka tidak mengapa dia makan darinya. Wa bi_Llâhi at taufîq.
وصلى الله على نبينا محمد, وآله وصحبه وسلم
Al Lajnah ad Dâ-imah li al Buhûts al ‘Ilmiyyah
wa al Iftâ’ (Fatwa no. 9573)
Ketua :
Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz
Wakil :
Abdul Razzaq Afifi
Anggota :
Abdullah bin Ghudayyan
08 Oktober 2012
Menggabungkan Lebih dari Satu Ibadah dengan Satu Niat
Bolehkah menggabungkan niat puasa sunnat tiga hari dalam satu bulan dengan puasa hari Arafah? Apakah mendapat dua pahala sekaligus?
******
Alhamdulillah, masalah penggabungan lebih dari satu ibadah dengan satu niat terbagi menjadi dua jenis:
Pertama: Ibadah yang tidak boleh digabungkan dengan ibadah lainnya dalam satu niat. Yaitu ibadah yang independen atau ibadah parsial (merupakan bagian dari ibadah lainnya). Ibadah jenis ini tidak mungkin digabungkan dengan yang lainnya, misalnya seseorang yang terluput shalat sunnat fajar hingga terbit matahari, dalam waktu bersamaan masuklah waktu shalat Duha. Dalam kondisi seperti ini, tidak boleh menggantikan shalat sunnat fajar dengan shalat Duha demikian sebaliknya dan tidak boleh pula menggabungkan keduanya dalam satu niat. Sebab shalat sunnat fajar bersifat independen demikian pula shalat Duha. Tidak boleh digabungkan antara keduanya. Demikian pula bila kedua ibadah tersebut bersifat parsial atau bagian darinya, tidak boleh digabungkan dalam satu niat. Misalnya seseorang berkata: "Saya meniatkan shalat Fajar dengan shalat wajib atau dengan shalat sunnat rawatib." Ini jelas tidak boleh! Sebab shalat sunnat rawatib adalah bagian dari shalat wajib sebelumnya, maka keduanya tidak boleh digabungkan dalam satu niat.
Kedua: Maksud pensyariatan ibadah itu hanyalah sekedar formalitas ritual saja dan bukanlah tujuan. Dalam kondisi ini boleh digabungkan dalam satu niat. Misalnya: seoarang lelaki yang masuk masjid sementara orang-orang tengah menunaikan shalat subuh. Sebagaimana dimaklumi bahwa apabila seseorang memasuki masjid, ia harus mengerjakan dua rakaat tahiyyatul masjid. Jika ia ikut shalat bersama imam shalat subuh ketika itu maka sudah terhitung melaksanakan dua rakaat tahiyyatul masjid. Karena maksud dari tahiyyatul masjid adalah mengerjakan dua rakaat setiap kali masuk ke dalam masjid. Demikian pula bila seseorang masuk masjid bertepatan waktu Duha, lalu ia kerjakan dua rakaat dengan niat shalat duha maka telah terhitung mengerjakan dua rakaat tahiyyatul masjid. Jika ia niatkan keduanya maka itu lebih ideal. Itulah batasan masalah penggabungan dua ibadah dalam satu niat.
Termasuk di antaranya puasa hari Arafah, maksud pensyariatannya adalah agar kaum muslimin berpuasa pada hari itu, baik ia niatkan untuk puasa tiga hari setiap bulannya atau ia niatkan untuk hari Arafah. Hanya saja jika ia niatkan untuk hari Arafah maka tidak dapat menempati posisi puasa tiga hari setiap bulan. Jika ia niatkan untuk salah satu dari tiga hari puasa setiap bulan maka telah terhitung puasa hari Arafah, apabila ia niatkan keduanya lebih ideal lagi.
Liqa' Babil Maftuh oleh Ibnu Utsaimin, XIX/51
__________________
Sumber :
http://www.islamqa.info/