Adiy bin Hatim radhiyallahu 'anhu berkata: "Wahai Rasulullah! Dahulu kami tidak pernah menyembah mereka." Rasulullah bertanya: "Bukankah mereka menghalalkan yang diharamkan Allah, lalu kalian ikut menghalalkannya, dan mengharamkan yang dihalalkan Allah, dan kalianpun turut mengharamkannya?" Adi menjawab: "Benar wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Itulah bentuk peribadatan kepada mereka."
Jadi, orang-orang Nashrani yang mentaati para rahib mereka dalam berbuat maksiat dengan keyakinan memutar balikkan yang halal dan yang haram dengan mengikuti pendapat para rahib tersebut, dianggap ibadah kepada selain Allah. Itu termasuk perbuatan syirik besar yang bertentangan dengan tauhid.
Adapun berkenaan dengan pertanyaan, bila orang yang mentaati orang tuanya misalnya dalam berbuat maksiat itu meyakini bahwa perbuatannya itu maksiat, maka orang tersebut masuk dalam kategori memperturutkan hawa nafsu, bukan ketaatannya yang dimaksud di atas. Atau bila ia melakukannya karena takut dihukum oleh kedua orang tuanya bila tidak sampai pada level "dalam paksaan", maka ia berdosa, berbuat maksiat dan melanggar sabda Nabi:
لا طاعة لمخلوق فى معصية الخالق عز وجل
"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Azza wa Jalla." Diriwayatkan oleh Ahmad (1041), dan hadits itu shahih.
Namun dengan perbuatan itu, si anak tidaklah menjadi musyrik. Akan tetapi apabila si anak berkeyakinan bahwa ucapan orang tuanya itu dapat menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, maka ia telah melakukan perbuatan syirik besar.
Seyogyanya seorang muslim itu menundukkan dirinya sendiri agar hawa nafsunya mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mendahulukan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya daripada ketaatan kepada siapapun. Hendaknya cintanya kepada Allah dan rasul-Nya juga lebih daripada cinta kepada selain keduanya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tidaklah salah seorang dari kalian beriman hingga aku (Rasulullah) lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia." (HR. Al-Bukhary, no. 63).
Semoga Allah memberikan petunjuk menuju jalan yang lurus.
Syeikh Muhammad Shalih Al-Munajid